Jumat, 29 Mei 2009

Neoliberalisme, Boediono, dan Buku Saya

Sebagai penulis buku Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia, tentu wajar kalau saya memberikan buku tersebut kepada beberapa orang sebagai upaya memperkenalkan gagasan dan pemikiran saya. Ketika buku itu terbit, Oktober 2004, beberapa orang termasuk pejabat tinggi yang menjabat pada pemerintahan 2004-2009 saya kirimi buku tersebut.

Dari orang-orang yang saya kirimi buku tersebut hanya lima orang yang merespon balik, baik yang menyambut secara antusias maupun sekedar mengucapkan terima kasih. Kelima orang tersebut adalah:(1)Prof. Dr. Mubyarto (2)Prof. Dr. Sri Edi Swasono (3)Permadi, SH anggota DPR (4)Maria Hartiningsih, wartawati Kompas dan (5)Dr. Sukardi Rinakit. Mengenai Prof. Dr. Sri Edi Swasono, buku saya tidak saya berikan langsung, pihak PUSTEP UGM yang memberikannya.

Gagasan saya dalam buku tersebut adalah mengenai ekonomi jalan ketiga atau ekonomi jalan tengah yang berbeda dengan ekonomi neoliberal. Meskipun disebut jalan tengah bukan berarti tidak jelas atau tidak tegas. Baik metode berpikir dan ukuran-ukurannya sangat jelas.

Ketika buku saya tersebut terbit, Dr. Boediono tidak menjabat menteri. Saya tidak memberikan buku saya kepadanya. Saya tidak tahu apakah Pak Muby (Prof. Dr. Mubyarto) memberikan buku saya kepadanya atau tidak. Yang jelas hanya lima orang di atas yang ngaruhake (menyapa).

Memang orang yang tidak merespon balik kiriman buku saya bukan berarti orang tersebut adalah pro neoliberal. Salah satunya adalah Dr. B. Herry Priyono. Meskipun tidak merespon balik kiriman buku saya, beliau masih konsisten menentang neoliberalisme seperti tercermin dalam tulisan terbarunya di harian Kompas 28 Mei 2009 hlm 6. Mereka yang merespon balik buku saya paling tidak mengetahui bahwa ada suatu alternatif di luar neoliberal.

Menyimak pernyataan Boediono selaku cawapres di kantor harian Kompas 19/5 bahwa Indonesia tidak akan bebas dari utang (Kompas 20/5/09/hlm1) menunjukkan bahwa Dr. Boediono belum meninggalkan paradigma neoliberalnya. Tetapi saya tidak tahu apakah beliau antek asing atau bukan. Saya berharap masyarakat tidak menyamakan istilah neoliberal dengan istilah antek asing karena keduanya berbeda.

Tulisan ini saya posting bukan dengan tendensi tertentu, tetapi sebagai upaya sumbang saran dan shring pengalaman sebagai cendekiawan independen yang pro kebenaran dan rakyat (publik) bukan pro capres tertentu. Bukan pula karena menginginkan jabatan (struktural) tertentu. Pekerjaan apa yang sesuai dengan hati nurani saya sudah saya jelaskan dalam postingan terdahulu Wahyu Keprabon. Sebagai bagian dari open society, saya dan postingan ini terbuka terhadap kritik. Sikap tulus dan jujur diperlukan agar kita dekat dengan kebenaran.

Selasa, 26 Mei 2009

...Saya Berharap Barat Bertobat

Menurut paradigma lama, mata uang negara manapun akan mengalami penyusutan nilainya. Uang 1 US $ hari ini tidak sama dengan 1 US $ 20 tahun lalu. Peningkatan permintaan akan suatu mata uang akan bisa mencegah penyusutan nilainya.

Praktek yang dilakukan negara-negara maju, khususnya Barat, untuk mempertahankan agar mata uangnya tidak menyusut adalah dengan dominasi ekonomi, budaya, teknologi, dan politik terhadap negara lain. Dominasi ekonomi dilakukan dengan meminjamkan dan menginvestasikan mata uangnya ke negara lain. Ini dilakukan baik oleh swasta ataupun pemerintahnya baik langsung ataupun melalui berbagai lembaga seperti IMF dan World Bank. Dengan cara ini kewajiban membayar bunga dan laba dibebankan kepada negara lain (berkembang). Dominasi budaya, teknologi, dan politik juga akan bisa mempertahankan nilai mata uang negara maju.

Praktek-praktek kolonialistis seperti ini sudah seharusnya ditinggalkan. Penyusutan nilai mata uang terjadi karena liabilitas publik (masyarakat dan negara) jauh lebih tinggi dari asetnya sebagaimana dijelaskan oleh teori biososioekonomi.

Liabilitas publik yang tinggi itu terjadi karena pertama, pewarisan kekayaan berlimpah dibiarkan saja. Kedua, dana-dana filantropi masih diputar untuk mendapatkan bunga dan laba. Memutar dana filantropi (dan pajak) agar mendapatkan bunga atau laba adalah salah satu bentuk sesat pikir. Sebagaimana pajak_kalau habis harus ditarik lagi dari warga negara_demikian juga dana filantropi, kalau habis harusnya minta lagi. Harus ada kontinyuitas.

Ironisnya peringatan akan bencana ekonomi itu telah ditulis oleh Alkitab (Holy Bible), suatu kitab yang tidak asing bagi peradaban Barat. Sayangnya hal itu tidak dipahami. Pewarisan kekayaan berlimpah itu identik dengan triple six, menurut Alkitab. Untuk itu saya telah membuat blog dan situs mobile berbahasa Inggris yaitu [http://public-prosperity.blogspot.com] dan [http://satriopiningitasli.param.mobi] agar peringatan sampai kepada perdaban Barat sehingga damai sejahtera segera terwujud di seluruh muka bumi. Tentu menulis dalam bahasa Inggris tidak selancar menulis dalam bahasa Indonesia. Kemampuan bahasa Inggris saya saat ini tidak sebaik 18 tahun lalu. Namun dari sedikit tulisan berbahasa Inggris itu, saya dengan segala kerendahan hati, berharap barat bertobat.

Rabu, 20 Mei 2009

Percaya Diri Perlu, untuk Kebangkitan Kita Semua

Peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional Indonesia sudah berlalu setahun yang lalu. Hari ini kita memperingatinya untuk yang ke-101. Momentum tersebut seharusnya dipakai untuk menginventarisir potensi bangsa guna menghadapi tantangan di masa depan baik nasional, regional, dan global.

Tahun ini dunia menghadapi krisis global yang tidak bisa dianggap sepele. Ekonomi mungkin bisa dikatakan pulih (menurut paradigma lama) tetapi kerusakan lingkungan, kemungkinan ledakan populasi penduduk, kemiskinan, dan kesenjangan kaya miskin masih akan menghadang kita semua di planet ini.

Perjuangan kemerdekaan Indonesia memulai babak baru 101 tahun lalu dengan semangat nasional kaum terdidik. Intelektualitas merupakan salah satu modal untuk membebaskan bangsa dari penjajahan politik dan ekonomi. Kita seharusnya memanfaatkan potensi intelektual yang ada pada anak bangsa untuk bebas dari kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi sosial, tidak hanya sekedar pulih dari krisis.

Keseriusan untuk menemukan potensi anak bangsa seharusnya diwujudnyatakan. Keseriusan itu yang belum terlihat di kalangan elite yang sepak terjangnya dikenal publik. Rasa percaya diri perlu dipupuk dan ditumbuhkembangkan untuk kebangkitan kita semua. Sebelum Barat dan Arab datang ke Nusantara, kita adalah peradaban besar yang tidak minder bergaul dengan bangsa lain. Kaya dan dermawan sebagaimana tercermin dalam tradisi gotong royong.

Kini neoliberalisme mendapat banyak kritikan. Perubahan juga memerlukan rasa percaya diri. Kita sebenarnya memiliki potensi untuk melakukan persuasi kepada peradaban lain untuk berubah bukan dengan kekerasan tetapi dengan intelektualitas dan bekal spiritual anak bangsa. Seharusnya itu diwujudkan untuk kebangkitan kita semua.

Selasa, 19 Mei 2009

Cara Mudah Mengidentifikasi Neoliberalisme

Istilah neoliberalisme sedang menjadi bahan pembicaraan publik ketika salah satu cawapres yang terdaftar dalam pilpres 2009 dinilai penganut paham itu. Di dalam berbagai diskusi baik di dunia nyata atau maya, neoliberalisme sering dipersepsikan sebagai pro asing atau antek asing. Persepsi neoliberalisme sebagai pro asing sebenarnya kurang tepat atau bahkan menyesatkan. Bagi publik, khususnya aktivis sosial atau politik perlu suatu cara praktis tapi tepat bagaimana mengidentifikasi neoliberalisme. Seseorang yang menyatakan diri pro domestik saja tidak otomatis sudah meninggalkan paradigma neoliberalistiknya.

Pada dasarnya kekeliruan mendasar neoliberalisme adalah penggunaan cara berpikir mikro pada tataran makro. Padahal dari segi akuntansi kedua tataran itu berseberangan. Deposito milik kita misalnya, adalah benar aset kita masing-masing secara pribadi, tetap pada tataran makro deposito itu tadi adalah libilitas bagi publik (makro). Sebenarnya penganut neoliberalisme (istilah netralnya neoklasik) sudah mengingatkan dalam suatu textbook ekonomi makro: "Hampir semua peristiwa ekononomi makro berkaitan_seringnya memperbaiki satu sisi berarti memperburuk yang lain" (Case & Fair, 2001, Prinsip-prinsip Ekonomi Makro, Prenhalindo, Jakarta). Misalnya resesi diperlukan untuk menahan inflasi tetapi resesi sendiri meningkatkan pengangguran. Solusi menyeluruh pada semua sisi secara bersamaan tidak dikenal pada mazhab neoklasik (atau yang populer dengan istilah ejekan neoliberal). Oleh karenanya penganut mazhab ini biasanya menimpakan bebannya ke luar negri dengan ekspansi investasi baik yang dilakukan swasta maupun negara. Mungkin karena cara mengatasi masalahnya seperti ini maka kaum neoliberal, di Indonesia, dipersepsikan sebagai antek asing dimana Indonesia dijadikan salah satu tempat mengurangi beban.

Cara yang paling mudah mengenali neoliberalisme adalah: (1)mengenali obsesi seseorang pada pertumbuhan PDB. Penganut mazhab ini terobsesi pada pertumbuhan PDB yang tinggi. Jadi meskipun seseorang menyatakan diri pro domestik tetapi kalau masih terobsesi pertumbuhan PDB tinggi, tetap saja orang tersebut penganut neoliberal yang pro akumulasi kekyaan pemilik modal. Padahal kekayaan pribadi adalah liabilitas bagi publik. (2)mengenali ketergantungan pada hutang dalam pembiayaan APBN entah hutang luar negri maupun domestik. Ketergantungan pada hutang menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil pejabat tersebut adalah pro pemilik modal, penganut neoliberal. Padahal seharusnya kekayaan tersebut dihibahkan atau dibayarkan sebagai pajak.

Itulah cara-cara sederhana tetapi tepat dalam mengidentifikasi apakah seseorang penganut mazhab neoliberal atau tidak. Memang seseorang bisa mengubah paradigmanya, akan tetapi waktu nantinya yang akan membuktikan apakah benar-benar sudah berubah atau belum.

Jumat, 15 Mei 2009

Antara Ratu Adil dan satrio piningit

Banyak tulisan-tulisan di internet yang menyamaratakan antara Ratu Adil dan satrio piningit. Satu orang menulis: "Satrio Piningit (Ratu Adil)" maka orang lain menulis seperti itu tanpa tahu duduk persoalannya. Dibandingkan isu Ratu Adil, isu satrio piningit tergolong baru. Isu satrio piningit populer dan dibicarakan dimana-mana sekitar tahun 1998.

Pengalaman saya mengatakan bahwa Ratu Adil dan satrio piningit adalah dua sosok yang berbeda, tetapi bukan berarti keduanya tdak memiliki hubungan sama sekali. Seorang budayawan dan rohaniwan yang mengangkat topik Ratu Adil dalam disertasinya tidak memahami apa arti satrio piningit yang sebenarnya. Berikut ini saya kutipkan tulisan Sindhunata yang berjudul Kera Sakti dalam kumpulan karyanya yang berjudul Bayang-bayang Ratu Adil diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (GPU) tahun 1999. Dalam artikel tersebut dikatakan: "Bersama kawan-kawannya, Marwoto baru mementaskan lakon ketoprak Kera Sakti Satria Piningit. Satria Piningit sedang diramalkan dan dibicarakan di mana-mana. Tapi tak pernah jelas, siapa itu Satria Piningit. Apakah ia ada dan akan datang, juga masih tanda tanya. Kegemaran kita untuk berkasak-kusuk tentang Satria Piningit yang tidak jelas itu adalah bukti, bahwa kita ini adalah bangsa yang gemar akan politik yang tidak jelas dan penuh
teka-teki" (hlm 193).

Kutipan di atas jelas-jelas menunjukkan sesorang yang mendalami tradisi Ratu Adil dalam disertasinya pun tidak tahu apa itu satrio piningit. Ini juga menunjukkan isu satrio piningit tidak setua isu Ratu Adil.

Ada beberapa buku yang secara khusus membicarakan isu satrio piningit. Dua di antaranya adalah karya Kusumo Lelono (KL) terbitan GPU dan karya D Soesetro & Zein Al Arief (D&Z) terbitan Penerbit Media Pressindo Yogyakarta. Keduanya terbit tahun 1999. Dalam buku KL di bawah judul Satrio Piningit ditambahkan keterangan 25 Sandi Gaib Mengenai Pemimpin Bangsa, Para Tokoh, Partai, dan Situasi Sosial Politik Indonesia. Sementara dalm buku karya D&Z diberi judul tambahn: Sosok Misterius yang akan membawa Indonesia keluar dari Krisis.

Keduanya banyak membahs isu satrio piningit meskipun memiliki pendekatan berbeda. Karya KL berisi sandi gaib berdasarkan pendekatan spiritual KL sebagaiman ditulis dalam pengantar (hlm xx). Sementara karya D&Z menggunakan pendekatan studi pustaka khususnya tabloid dan majalah yang marak mengangkat isu satrio piningit di tahun 1998.

Memang dalam kedua buku itu istilah satrio piningit dikaitan dengan Ratu Adil. Dalam pengantarnya di hlm xii-xiii, KL mengatakan: "Zaman Kalasuba bertepatan dengan munculnya seorang penyelamat berjulukan Sultan Herucakara atau disebut juga Satrio Piningit. Dalam Ramalan Jayabaya tokoh ini dilambangkan sebagai Tunjung Putih Semune Pudak Sinumpet". Sementara itu dalam karya D&Z dikatakan: "Zaman Edan muncul pada tahap sejarah tertentu baru berakhir jika sudah muncul Ratu Adil atau Satrio Piningit untuk memulihkan situasi" (hlm 10).

Mungkin karena kutipan itu lalu orang menyamaratakan satrio piningit dengan Ratu Adil. Pengalaman saya mengatakn keduanya memang memiliki kemiripan tetapi tidak sama. Istilah piningit dalam satrio piningit memang berarti tersembunyi atau disembunyikan, tetapi bisa juga berarti belum dikenal. Airlangga (1021-1042M) dan kisah Damrwulan bisa mengilustrasikan makna satrio piningit. Seorang satrio piningit tidak harus muncul sebagai Ratu Adil tetapi tidak berarti bertentangan dengan Ratu Adil. Dalam pengalaman saya seperti yang telah saya ceritakan dalam postingan terdahulu (Wahyu Keprabon) muncul sebagai raja mataram. Mungkin bagi banyak orang itu aneh, tetapi bagi saya tidak. Persoalannya adalah karena tiak bnyak yang tahu bahwa bumi Mataram pernah dikuasa oleh orang asing yang tidak tahu makna mataram.

Orang yang memahami makna mataram, tindakannya bisa selaras dengan kehendak Ratu Adil yang membela keadilan dan kesejahteraan publik bagi rakyat. Meskipun saya meyakini bahwa saya adalah satrio piningit, saya tidak akan mengaku sebagai Ratu Adil karena yang pantas menjadi Ratu Adil adalah Tuhan sendiri. Tetapi itu bukan berarti saya bertentangan dengan Ratu Adil. Saya telah memahami pantangan-pantangan apa yang harus saya jalani yang ditetapkan Tuhan. Hal ini adalah salah satu bentuk asketisme.

Kalau ada seseorang mengaku sebagai satrio piningit tetapi tidak menjalani pantangan-pantangan tertentu, ia bukan satrio piningit yang ditunggu banyak orang.

Minggu, 10 Mei 2009

Gak Kapok-kapok Menenggelamkan Bioekonomi, Gak Kapok Mengepung...mataram?

Umumnya pengalaman yang di-sharingkan adalah yang indah-indah dan menggembirakan seperti sembuh dari penyakit yang sulit diobati dengan metode kedokteran modern atau pengalaman mendapat rejeki nomplok atau pekerjaan. Namun karena amat sangat penting maka, meskipun sangat mengerikan, kejadian setahun yang lalu itu perlu saya sharing-kan di blog ini. Sebagaimana layaknya sebuah sharing maka saya berusaha agar apa yang saya sampaikan selugas mungkin.

Hidup dalam kesulitan ekonomi, kesepian, dan terisolir dari teman-teman itulah kondisi saya setahun lalu. Belum mengenal facebook dan media blog waktu itu menambah dalamnya keterisoliran diri saya. Atas budi baik adik saya, saya masih bisa menumpang di Bogor. Ketika hp saya rusak, rekan kerja saya meminjamkan hp putrinya yang berwarna pink. Kesesakan hidup membayang, manakala pemerintah berencana menaikkan harga BBM. Cengkeraman paradigma neoliberalistik menyusahkan banyak orang.

Kemanakah kejengkelan harus diekspresikan dalam kondisi seperti itu? Kalau saja waktu itu saya sudah mengenal media blog, saya pasti curhat melalui blog saya. Atau kalau saya sudah mengenal facebook, saya curhat melalui facebook. Itupun dengan catatan kondisi keuangan saya sehat. Satu-satunya cara waktu itu adalah mengirimkan SMS.

Keprihatinan dan peringatan itu saya sebarkan kepada wartawan, teman, dan relasi. Sayangnya ada seorang wartawan yang nomor hp-nya sudah berubah sehingga tidak bisa menjadi saksi peristiwa besar itu. Saya tidak tahu apakah SMS saya diteruskan kepada orang lain atau tidak. Beberapa orang yang saya kirimi SMS waktu itu antara lain adalah Titus Swastono, Nanis Cahyaningdyah, Agus Riyono, dan Dr Vincent Gaspersz. Ternyata nomor hp Titus Swastono dipakai putranya, Efra. Efra memberitahu nomor baru ayahnya yang langsung saya simpan di ponsel. Sehari kemudian pada saat peristiwa mengerikan itu terjadi, atas budi baik Mas Titus tanpa saya minta, Mas Titus memforward kembali SMS itu kepada saya. Kemudian saya mendokumentasikan SMS itu dalam SIM card saya sehingga terbaca sampai hari ini.

Inilah SMS saya tanggal 11 Mei 2008 itu:"....Saya berharap kepada semua pihak agar jangan mengepung/menenggelamkan bioekonomi & saya(putri sion). Kalau terkepung...engkau akan melihat kedatangan Tuhan...dlm...gempa,...topan,...nyala api...(Yes 29:6). Juga Mikha 4:13. Gak kapok-kapok ngepung bioekonomi? Gak kapok ngepung sion(mataram)? Ir. R. Yohanes Hani Putranto."

Seperti kita ketahui sehari kemudian terjadi gempa bumi di Sichuan RRC. Tentu saja apa yang saya tulis dalam SMS itu tidak asal tulis. Saya tidak akan berani menuliskan hal-hal seperti itu tanpa mengalami atau melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya selama bertahun-tahun. SMS itu hanyalah puncak gunung es pengalaman spiritual saya.

Harapan saya ke depan adalah agar semua pihak tidak menghambat implementasi biososioekonomi. Dengan adanya blog ini, akses publik terhadap biososioekonomi menjadi mudah. Meskipun demikian hambatan terhadap penyebaran URL blog ini masih saya alami baik oleh media cetak atau internet. Tentu sebagai teori ilmiah, biososioekonomi boleh dikritisi, dikoreksi, atau diperbaiki. Tetapi saya berharap dengan sangat jangan ada lagi yang menghambatnya, baik publikasinya maupun implementasinya.

Rabu, 06 Mei 2009

Satrio Piningit sebagai Pengalaman Sejati: Angin Perubahan

Mulai hari ini di blog ini, saya tampilkan label baru yaitu Satrio Piningit sebagai Pengalaman Sejati. Perlu diketahui bahwa label ini masuk kategori spiritual sehingga sebagaimana tulisan-tualisan saya yang berlabel spiritual tidak dibaca dengan kacamta rasional buta atau eksakta absolut. Meskipun demikian saya tetap akan berusaha bahwa apa yang saya sampaikan mendekati kebenaran.

Buku berjudul Satrio Piningit karya Kusumo Lelono terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 1999 termasuk buku pertama yang saya kenal yang membahas tema satrio piningit. Buku tersebut berisi 25 sandi gaib mengenai situasi sosial politik Indonesia.

Dalam sandi pertama disebutkan:"Jika diumpamakan seperti bulan berselimut mega terlindung oleh situasi terjaga oleh daya kekuasaan Tuhan, sinar bulan purnama akan bercahaya bila sudah tiba masanya&amp" Buku ini saya beli sekitar pertengahan atau akhir tahun 2001.

Sebelumnya, sekitar Agustus 2001, saya sudah mendengar dari seorang teman bahwa orang yang akan menggantikan Presiden Megawati adalah seorang satrio piningit yang akan membawa Indonesia keluar dari krisis. Saya tidak menanyakan lebih lanjut apa dasar pendapat teman saya itu. Tetapi dari penuturan teman saya itu saya mulai sadar dan tahu apa sebenarnya arti satrio piningit.

Mungkin pendapat teman saya tadi terpengaruh atau salah tafsir atas buku karya Kusumo Lelono yang teksnya saya kutip di atas: seperti bulan berselimut mega. Saya merasa waktu itu (tahun 2001-2004) cukup banyak yang berpendapat bahwa bulan purnama akan muncul bila mega tersingkir atau menyingkir.

Tetapi saya memiliki pengalaman lain yang berbeda dibanding pendapat banyak orang pada waktu itu. Mega atau mendung sebenarnya merupakan simbol monopoli. Masyarakat tradisional sering menyimbolkan begitu karena pengalaman mereka sehari-hari mengamati alam semesta. Pandangan masyarakat tradisional ini tercermin dalam Mahabarata.

Hujan memang mempunyai peran penting dalam menumbuhkan tanaman. Akan tetapi apabila mega-mendung atau hujan menguasai langit selama berhari-hari tentu akan menyusahkan rakyat kecil yang jumlah pakaiannya terbatas dan tidak memiliki mesin cuci-pengering. Pakaian yang telah dicuci tidak kunjung kering sementara yang dipakai sudah mulai bau dan kotor.

Matahari, purnama, dan bintang adalah simbol cahaya yang menerangi kegelapan dan pemandu arah. Mencorong tetapi tidak sombong. Tahu diri kapan saatnya terbit, kapan saatnya terbenam. Di negeri tropis ini matahari tidak pernah memonopoli langit selama berhari-hari.

Pengalaman saya mengatakan manakala kekuatan-kekuatan monopolistis tertiup angin perubahan, saat itulah satrio piningit muncul. Seseorang meskipun tidak memakai nama mega, bisa saja merupakan manifestasi kekuatan monopolitis yang lebih menakutkan daripada seseorang yang jelas-jelas memakai nama mrega dalam dirinya. Buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia terbit pada masa reformasi. Meskipun demikian dominasi media konvensional (cetak+tv) masih menghambat akses biososioekonomi oleh publik. Sampai akhirnya muncul angin perubahan dengan adanya media altenatif seperti blog atau micro blog (facebook) dan saya mulai aktif di dalamnya.

Marilah kita belajar dari matahari, purnama, dan bintang. Mencorong tetapi tidak sombong, tahu diri, kapan saatnya terbit kapan saatnya terbenam. Masih menyisakan ruang-ruang di angkasa raya di mana mega-mega bisa tampil. Seseorang meskipun tidak memakai nama mega boleh jadi memiliki rencana memonopoli "angkasa raya" dalam waktu lama. Tetapi saya percaya bahwa angin perubahan masih akan bertiup kencang.

Minggu, 03 Mei 2009

Meninggalkan Paradigma Marxian

Berteman melalui situs jejaring sosial seperti facebook membuat saya banyak mendapat umpan balik mengenai upaya-upaya memajukan dan memperjuangkan kesejahteraan umum. Sebenarnya cukup banyak energi yang ada di jejaring sosial itu. Sayangnya kadang kurang terarah karena masih belum seluruhnya meninggalkan paradigma Marxian. Reformasi yang terjadi di Indonesia 10 tahun lalu membuka kebebasan berpendapat dan menimbulkan suatu euforia pada berbagai kalangan termasuk pada mereka yang mengadopsi paradigma Marxian, baik pengadopsi lama atau baru.

Euforia di kalangan Marxian, sayangnya justru menutup mata mereka akan adanya paradigma baru yang lebih rasional. Hari buruh 1 Mei 2009 diperingati dengan dengan berbagai dinamika dan gelora yang tidak bisa lepas sama sekali dengan paradigma Marxian. Pandangan Marx bahwa laba berasal dari eksploitasi buruh sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Penjelasan mengenai hal ini sudah saya berikan khususnya dalam postingan saya terdahulu yang berjudul: "Misteri Laba dan Kesengsaraan Rakyat" di blog ini.

Biososioekonomi sebagai teori ekononomi jalan ketiga jelas-jelas berbeda dari paradigma Marxian. Biososioekononomi bukan suatu teori ekononomi yang tak jelas, asal jalan tengah yang bukan ini bukan itu, tetapi jelas-jelas memiliki metode berpikir dan ukuran-ukuran yang jelas dan accountable. Pandangan biososioekonomi sejalan dengan demokrasi ekonomi dalam paradigma barunya di mana laba berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Tentu yang harus mengembalikan laba itu adalah orang pemilik usaha bukan institusi bisnis, karena seorang manusia bisa bersifat sosial sementara perusahaan tidak. Laba (beserta akumulasinya=kekayaan) harus dikembalikan kepada semua orang, semua orang adalah konsumen. Tanpa melakukan kegiatan konsumsi (makan), manusia pasti mati. Meluasnya pengangguran karena jatuhnya daya beli rakyat merupakan tanda bahwa tidak semua laba telah dikembalikan kepada semua orang.

Saya berharap paradigma baru ini disimak dengan baik. Kalau tidak maka segala energi aktivis akan terbuang sia-sia tidak tepat sasaran karena masih mengadopsi paradigma Marxian yang sudah tidak relevan lagi. Semua tulisan di blog ini yang berlabel biososioekonomi bisa dipakai sebagai rujukan untuk memahami paradigma baru yang seharusnya diakomodasi itu. Perjuangan buruh seharusnya menyatu dengan perjuangan konsumen (sosial) di mana semua orang adalah konsumen sosial tetapi tidak semua orang adalah buruh (karyawan). Ini adalah suatu perjuangan yang lebih luas untuk kepntingan semua orang. Semoga dipahami.