Salah satu hal yang memrprihatinkan saya adalah adanya suatu anggapan dalam masyarakat bahwa diberlakukannya demokrasi politik tidak membawa kepada kesejahteraan umum. Sebagian anggota masyarakat malah terkena suatu "virus" yang oleh Prof Dr. Mubyarto (alm) disebut sebagai virus SARS (saya amat rindu Soeharto).
Saya, meskipun tidak dipilih melalui prosedur demokrasi, tetapi sangat menghargai demokrasi. Sudah sering saya sampaikan dalam tulisan-tulisan saya agar kita tetap mempertahankan demokrasi politik di NKRI. Meskipun mempunyai hak atas takhta dan bumi Mataram (wilayah yang membentang antara Kali Progo dan Kali Opak), saya tidak akan menggugat perampasan dan penjajahan atas bumi Mataram. Perlu diketahui bahwa bagi saya NKRI bukanlah penindas. Justru NKRI adalah salah satu king maker-nya meskipun tanpa disadari dan tanpa sengaja. Bagi saya NKRI sebagai negara demokrasi modern yang berdasar Pancasila, hukum, yang mengahrgai pluralitas (Bhinneka Tunggal Ika) dan menghargai hak asasi manusia, sudah final. Tidak prlu ada Negara atau Kerajaan Mataram.
Dalam berbagai tulisan, saya mengatakan bahwa kesengsaraan rakyat terjadi karena tidak adanya demokrasi ekonomi, bukan karena diberlakukannya demokrasi politik. Founding father kita, Bung Hatta mengatakan bahwa kalau di samping demokrasi politik tidak ada demokrasi ekonomi maka rakyat tetap dalam kondisi terjajah. Konstitusi NKRI juga menyebutkan perlunya demokrasi ekonomi agar tidak terjadi penumpukan asset pada segelintir perusahaan atau individu.
Dengan dirumuskannya teori makro biososioekonomi, wujud dari demokrasi ekonomi itu menjadi terang benderang. Menjadi jelas. Bila Marx menganggap bahwa laba adalah hasil eksploitasi buruh maka biososioekonomi beranggapan bahwa laba itu berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang tanpa sekat-sekat primordial, sektarian, dan tanpa sekat-sekat negara). Tentu yang "diwajibkan" mengembalikan akumulasi laba (kekayaan) bukanlah perusahaan tetapi individu, karena individu adalah juga homo socius sementara institusi bisnis tidak bisa menjadi lambaga sosial.
Daur ulang kekayaan individu dalam biososioekonomi adalah wujud nyata demokrasi ekonomi itu. Kekayaan yang berlimpah (sebagai akumulasi laba) memang seharusnya tidak diwariskan kepada keturunan pemilik kekayaan. Kalau demokrasi politik membatasi kekuasaan eksekutif dengan UU dan periodenya dibatasi, serta tidak diwariskan kepada pemilik kekuasaan maka demokrasi ekonomi juga harus mencegah pewarisan kekayaan berlimpah itu. Memang mencegahnya tidak dengan UU atau hukum positif negara sebagaimana saya usulkan dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia. Tetapi kritik terhadap pewarisan kekayaan berlimpah harus diartikulasikan dengan lugas sehingga dipahami dan diketahui semua pihak. Kemudian menjadi arus utama.
Kita semua yang berkeinginan untuk mewujudkan masa depan yang lebih sejahtera, lebih stabil, dan lebih damai, perlu bekerjasama untuk mengarusutamakan demokrasi ekonomi secara damai. Semua pihak bisa berperan dalam posisi, kapasitas, dan profesinya masing-masing untuk ikut serta. Sekedar tahu dan memahami demokrasi ekonomipun sebenarnya sudah berperan ikut mengarusutamakan demokrasi ekonomi meskipun peran itu sangat minimal. Paling tidak dengan mengetahui dan memahami demokrasi ekonomi, seseorang tidak bisa dikaburkan oleh pandangan yang mengatakan bahwa kesengsaraan rakyat terjadi karena diberlakukannya demokrasi politik.
Antara saya dan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM terdapat kesamaan namun juga perbedaan. PUSTEK UGM tersebut termasuk institusi yang tanggap pada kebutuhan rakyat banyak. Pada tanggal 31 Desember 2008 lembaga itu akan meluncurkan "Panduan Demokrasi Ekonomi untuk Pemilu 2009" baik cetak maupun webpage. Rencana peluncuran itu perlu saya tulis di sini sebagai partisipasi dalam mengarusutamakan demokrasi ekonomi. Sebagaimana saya berpartisipasi dalam program campaign Oxfam, saya pun perlu berpartisipasi untuk mengarusutamakan demokrasi ekonomi meskipun antara saya dan pusat studi itu mungkin memilki perbedaan.
Selain itu tak lupa pula untuk mengarusutamakan Gerakan Dunia Baru. Istilah Gerakan Dunia Baru dikemukakan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam Konferensi ke-4 Aliansi Strategis Rusia-Dunia Islam. Gerakan Dunia Baru ini merupakan jalan tengah non kekerasan. Ini perlu diingatkan lagi karena masih ada kelompok-kelompok yang memakai kekerasan seperti terjadi pada penyerangan Hotel Taj Mahal Mumbai India baru-baru ini.
Dalam berbagai agama den kebudayaan, sepanjang yang saya tahu, kedermawanan tidak hanya dibatasi 10% dari penghasilan atau kekayaan. beberapa orang Islam menyadari bahwa menerima atau mewariskan kekayaan berlimpah ruah pantas dihukum di neraka. tetapi pandangan ini belum menjadi arus utama. Di dalam Katolik sebagian orang juga sadar mewariskan atau menerima kekayaan berlimpah identik dengan triple six. Tetapi hierarki Gereja Katolik belum melarangnya.
Agama Budha sepanjang yang saya tahu juga tidak membatasi kedermawanan hanya 10%. Kisah Pangeran Sidharta yang meninggalkan istana untuk menjadi pertapa telah dikenal oleh nasyarakat Jawa ketika Candi Borobudur dibangun. Sebagian orang Yahudi memang beranggapan bahwa bederma 10% saja sudah cukup. Akan tetapi hal itu pernah dikritik Yesus Kristus. Orang Jawa tidak membatasi kedermawanan hanya cukup10% saja. Dalam tulisan saya di blog ini saya juga mengingatkan kembali orang Jawa.
Dengan melarang pewarisan kekayaan berlimpah ruah dan tidak membatasi kedermawanan hanya 10%, para pemimpin agama dan pusat pengaruh dalam masyarakat sudah mengambil perannya masing-masing dalam mengarusutamakan Gerakan Dunia Baru yaitu jalan tengah yang damai. Kita semua berharap agar peran itu segera dilaksanakan. Terlalu banyak sudah korban berjatuhan. Kita juga menghadapi krisis ekonomi dan keadaan suram tahun depan.
Dua hal penting yang akan kita lakukan tahun depan adalah mengarustamakan demokrasi ekonomi dan gerakan dunia baru. Dengan ikut menyebarluaskan tulisan ini Anda juga sudah ikut berpartisipasi untuk mengarusutamakan dua hal di atas untuk menggapai masa depan yang lebih adil, lebih sejahtera, lebih stabil, dan lebih damai. Ketidaksejahteraan terjadi bukan karena diberlakukannya demokrasi politik tetapi karena tidak adanya demokrasi ekonomi. Tidak semua orang tahu apa itu demokrasi ekonomi apa itu biosoioekonomi.
Tulisan ini merupakan upaya saya membayar hutang budi saya pada NKRI dan demokrasi politik. Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau saya lahir di Yogyakarta, saya beruntung lahir di Lampung. Saya juga tidak bisa membayangkan buku saya bisa terbit dalam masa pemerintahan otoriter Orba. Kita tidak perlu lagi kembali ke masa otoriter Orba. Sudah terlalu banyak korban yang berjatuhan untuk mereforamsi sistem yang otoriter itu entah pada tahun 1998 tahun 1996 ("kuda tuli") atau pada kesempatan lain. Korban itu tidak perlu lagi.
Dalam berbagai tulisan, saya mengatakan bahwa kesengsaraan rakyat terjadi karena tidak adanya demokrasi ekonomi, bukan karena diberlakukannya demokrasi politik. Founding father kita, Bung Hatta mengatakan bahwa kalau di samping demokrasi politik tidak ada demokrasi ekonomi maka rakyat tetap dalam kondisi terjajah. Konstitusi NKRI juga menyebutkan perlunya demokrasi ekonomi agar tidak terjadi penumpukan asset pada segelintir perusahaan atau individu.
Dengan dirumuskannya teori makro biososioekonomi, wujud dari demokrasi ekonomi itu menjadi terang benderang. Menjadi jelas. Bila Marx menganggap bahwa laba adalah hasil eksploitasi buruh maka biososioekonomi beranggapan bahwa laba itu berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang tanpa sekat-sekat primordial, sektarian, dan tanpa sekat-sekat negara). Tentu yang "diwajibkan" mengembalikan akumulasi laba (kekayaan) bukanlah perusahaan tetapi individu, karena individu adalah juga homo socius sementara institusi bisnis tidak bisa menjadi lambaga sosial.
Daur ulang kekayaan individu dalam biososioekonomi adalah wujud nyata demokrasi ekonomi itu. Kekayaan yang berlimpah (sebagai akumulasi laba) memang seharusnya tidak diwariskan kepada keturunan pemilik kekayaan. Kalau demokrasi politik membatasi kekuasaan eksekutif dengan UU dan periodenya dibatasi, serta tidak diwariskan kepada pemilik kekuasaan maka demokrasi ekonomi juga harus mencegah pewarisan kekayaan berlimpah itu. Memang mencegahnya tidak dengan UU atau hukum positif negara sebagaimana saya usulkan dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia. Tetapi kritik terhadap pewarisan kekayaan berlimpah harus diartikulasikan dengan lugas sehingga dipahami dan diketahui semua pihak. Kemudian menjadi arus utama.
Kita semua yang berkeinginan untuk mewujudkan masa depan yang lebih sejahtera, lebih stabil, dan lebih damai, perlu bekerjasama untuk mengarusutamakan demokrasi ekonomi secara damai. Semua pihak bisa berperan dalam posisi, kapasitas, dan profesinya masing-masing untuk ikut serta. Sekedar tahu dan memahami demokrasi ekonomipun sebenarnya sudah berperan ikut mengarusutamakan demokrasi ekonomi meskipun peran itu sangat minimal. Paling tidak dengan mengetahui dan memahami demokrasi ekonomi, seseorang tidak bisa dikaburkan oleh pandangan yang mengatakan bahwa kesengsaraan rakyat terjadi karena diberlakukannya demokrasi politik.
Antara saya dan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM terdapat kesamaan namun juga perbedaan. PUSTEK UGM tersebut termasuk institusi yang tanggap pada kebutuhan rakyat banyak. Pada tanggal 31 Desember 2008 lembaga itu akan meluncurkan "Panduan Demokrasi Ekonomi untuk Pemilu 2009" baik cetak maupun webpage. Rencana peluncuran itu perlu saya tulis di sini sebagai partisipasi dalam mengarusutamakan demokrasi ekonomi. Sebagaimana saya berpartisipasi dalam program campaign Oxfam, saya pun perlu berpartisipasi untuk mengarusutamakan demokrasi ekonomi meskipun antara saya dan pusat studi itu mungkin memilki perbedaan.
Selain itu tak lupa pula untuk mengarusutamakan Gerakan Dunia Baru. Istilah Gerakan Dunia Baru dikemukakan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam Konferensi ke-4 Aliansi Strategis Rusia-Dunia Islam. Gerakan Dunia Baru ini merupakan jalan tengah non kekerasan. Ini perlu diingatkan lagi karena masih ada kelompok-kelompok yang memakai kekerasan seperti terjadi pada penyerangan Hotel Taj Mahal Mumbai India baru-baru ini.
Dalam berbagai agama den kebudayaan, sepanjang yang saya tahu, kedermawanan tidak hanya dibatasi 10% dari penghasilan atau kekayaan. beberapa orang Islam menyadari bahwa menerima atau mewariskan kekayaan berlimpah ruah pantas dihukum di neraka. tetapi pandangan ini belum menjadi arus utama. Di dalam Katolik sebagian orang juga sadar mewariskan atau menerima kekayaan berlimpah identik dengan triple six. Tetapi hierarki Gereja Katolik belum melarangnya.
Agama Budha sepanjang yang saya tahu juga tidak membatasi kedermawanan hanya 10%. Kisah Pangeran Sidharta yang meninggalkan istana untuk menjadi pertapa telah dikenal oleh nasyarakat Jawa ketika Candi Borobudur dibangun. Sebagian orang Yahudi memang beranggapan bahwa bederma 10% saja sudah cukup. Akan tetapi hal itu pernah dikritik Yesus Kristus. Orang Jawa tidak membatasi kedermawanan hanya cukup10% saja. Dalam tulisan saya di blog ini saya juga mengingatkan kembali orang Jawa.
Dengan melarang pewarisan kekayaan berlimpah ruah dan tidak membatasi kedermawanan hanya 10%, para pemimpin agama dan pusat pengaruh dalam masyarakat sudah mengambil perannya masing-masing dalam mengarusutamakan Gerakan Dunia Baru yaitu jalan tengah yang damai. Kita semua berharap agar peran itu segera dilaksanakan. Terlalu banyak sudah korban berjatuhan. Kita juga menghadapi krisis ekonomi dan keadaan suram tahun depan.
Dua hal penting yang akan kita lakukan tahun depan adalah mengarustamakan demokrasi ekonomi dan gerakan dunia baru. Dengan ikut menyebarluaskan tulisan ini Anda juga sudah ikut berpartisipasi untuk mengarusutamakan dua hal di atas untuk menggapai masa depan yang lebih adil, lebih sejahtera, lebih stabil, dan lebih damai. Ketidaksejahteraan terjadi bukan karena diberlakukannya demokrasi politik tetapi karena tidak adanya demokrasi ekonomi. Tidak semua orang tahu apa itu demokrasi ekonomi apa itu biosoioekonomi.
Tulisan ini merupakan upaya saya membayar hutang budi saya pada NKRI dan demokrasi politik. Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau saya lahir di Yogyakarta, saya beruntung lahir di Lampung. Saya juga tidak bisa membayangkan buku saya bisa terbit dalam masa pemerintahan otoriter Orba. Kita tidak perlu lagi kembali ke masa otoriter Orba. Sudah terlalu banyak korban yang berjatuhan untuk mereforamsi sistem yang otoriter itu entah pada tahun 1998 tahun 1996 ("kuda tuli") atau pada kesempatan lain. Korban itu tidak perlu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar