Rabu, 03 Maret 2010

Di Istana Poh Pitu, Di Kota Medang, Di Bumi Mataram

Fakta-fakta arkeologis banyak memberi petunjuk mengenai kejadian di masa lalu. Dan sering fakta itu mengagetkan. Gambaran yang pasti mengenai masa lalu memang tidak mudah diperoleh atau bahkan tidak mungkin diperoleh, akan tetapi fakta-fakta arkeologis memang membantu. Tidak tepat pada kebenaran tetapi mendekati kebenaran, hal ini sering dirasa sudah cukup dari pada jauh dari kebenaran.

Judul di atas kurang lebih menggambarkan tafsiran yang dibuat arkeolog dari cuplikan kata-kata yang ada pada beberapa prasasti yang bunyi aslinya: (1)"i mamratipurastha medang kadatwan"-Siwagrha 856 M (2)"ri mdang ri poh pitu, rakai mataram..." Mantyasih I 907M (3)"kadatwan...i mdang i bhumi mataram"-Sugih Manek 915 M, Sangguran 928 M (d)"kadatwan...sri maharaja i bhumi mataram"-Turyyan 929 M (5)"i mdang i bhumi mataram I watu galuh"-Paradah II 943 sebagaimana saya baca di halaman 147-150 dari buku Peradaban Jawa karya arkeolog UI Supratikno Rahardjo yang diterbitkan Komunitas Bambu 2002.

Sebagaimana ditafsirkan oleh Supratikno Rahhardjo kata-kata dalam prasasti itu menunjukkan nama-nama tempat beserta hirarkinya. Nama istana dalam berbagai prasasti ada sekitar tiga buah yaitu Mamrati, Poh Pitu, dan Watu Galuh. Sementara nama ibu kotanya disebut sebagai Medang atau Mdang.
Nama Medang selalu dipakai meskipun istananya berpindah. Demikian juga ketika pusat pemerintahan pindah ke Jawa Timur nama Medang tetap dipakai.

Di mana letak ibu kota tersebut ketika pusat pemerintahan masih di Jawa Tengah? Berikut ini saya kutipkan pendapat Supratikno Rahardjo: "Ihwal ibukota Mataram, tanggapan di sini letaknya ibukota lebih dekat dengan pusat-pusat bangunan keagamaan terpenting pada saat itu. Ada dua kemungkinan lokasi, yakni di daerah Kedu dan di daerah Prambanan, atau di kedua wilayah tersebut dalam waktu yang tidak bersamaan. Kemungkinan tersebut ditunjang oleh kenyataan bahwa bangunan-bangunan keagamaan utama memang terpusat di kedua wilayah tersebut. Selain itu, konsentrasi penemuan prasasti-prasasti dari periode Mataram menunjukkan adanya lima wilayah yang tergolong kepadatannya tinggi, yakni Klaten, Bantul, Temanggung, Sleman, dan Magelang. Dari kelima wilayah ini, dua yang paling padat adalah Sleman (13) di daerah Prambanan dan Magelang (19) di daerah Kedu. Demikian pula temuan benda-benda logam, baik yang terbuat dari perunggu, perak, maupun emas, juga terkonsentrasi di kedua wilayah tersebut"

Salah satu temuan benda emas yang paling fenomenal adalah yang ditemukan di sebuah tempat yang disebut Wonoboyo di dekat Prambanan. Penemuan itu merupakan yang terbesar yang pernah ditemukan di Jawa, terdiri dari berbagai perhiasan, 6.396 keping uang emas, 600 keping uang perak dengan berat keseluruhannya adalah 35 kilogram (Supratikno Rahardjo, hlm 146).

Pada masa Jawa Timur yaitu masa Tamwlang-Kahuripan (929-1051M) ada beberapa prasasti yang menunjuk tempat pusat pemerintahan. Dalam prasasti itu ditulis: (1) "sri maharaja makadatwan i tamwlang"-Turyyan 929M (2) "sri maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i patakan" - Terep 1032M (3) "makateweka pandri sri maharaja makadatwan i kahuripan-Kamalagyan 1037M" (Supratikno Rahardjo hlm 150)

Mengenai tempat-tempat itu berikut ini saya cuplikkan pendapat Supratikno Rahardjo: "Nama-nama di atas dikutip untuk menunjukkan bahwa tidak mudah mengidentifikasi nama tertentu, apakah mengacu kepada nama negara, ibu kota, atau istana. Nama-nama Tamwlang dan Kahuripan jelas disebut sebagai kadatwan, sedangkan yang lain hanya dapat diduga. Demikian pula nama Wwatan Mas, menurut konteksnya mungkin juga mengacu nama ibukota" (hlm 150)

Pada masa Jawa Timur tidak mudah membedakan nama ibukota dan negara. Mengenai beberapa nama dalam berbagai prasasti pada masa 929-1486M, berikut ini saya kutipkan pendapat Supratikno Rahrdjo: "Pada umumnya nama ibukota sekaligus juga digunakan sebagai negara. Sebab itu nama-nama Kahuripan, Kadiri, Singhasari dan Wilwatikta sering dipahami dalam arti tersebut sekaligus. Meski demikian, dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti yang meyakinkan. Satu-satunya dukungan yang mungkin dapat diandalkan adalah dalam hal nama Wilwatikta, karena nama tersebut disebut baik sebagai nama kerajaan dan juga nama ibukota."

Selain bisa dipakai untuk memperkirakan lokasi ibu kota kerajaan, fakta-fakta arkeologis juga bisa menggambarkan aktifitas atau pencapaian di masa lalu. Dari semua raja-raja pada masa Jawa Kuno tercatat Rakai Kayuwangi (memerintah 855-885M) yang paling banyak mendistibusikan tanah sima/perdikan, diikuti oleh Mpu Sindok (929-948M).

Pada akhir masa Majapahit, nama Mataram dikenal sebagai negara bawahan atau kabupaten kecil di sekitar Kali Opak DIY Sementara nama Medang tidak terdengar beritanya atau tidak dipakai sebagai nama tempat. Menurut pendapat saya, sala satu hal yang menyebabkan Mataram tidak menjadi besar karena dikelilingi oleh tanah sima/perdikan atau tanah brahmana yang tidak bisa ditarik pajaknya. Pembesaran Mataram pada masa Senopati terjadi dengan proses yang tidak wajar. Dipandang dari sudut pandang budaya atau spiritual proses seperti itu akan menghasilkan kutukan atau karma. Sejarah memang mencatat bahwa setelah Senopati yang bukan orang Mataram itu berkuasa di Bumi Mataram (1588-1601), penjajah Belanda pun datang ke Pulau Jawa dan menjajahnya selama 350 tahun.

5 komentar:

  1. kalau feeling saya sih hehe,,,daerah medang adalah daerah magelang, dengan alasan banyak sekali bukti sejarah arkeologis yang masih bisa edilihat sampai sekarang, banyak sekali candi di daerah magelang, dan di dekat desa saya saya pernah melihat sendiri batu kuno prasasti dan selokan kuno bekas irigasi...coba saja kita jalan2 di perpustakaan wilayah semisal di jogja, di sana ada koleksi peta kuno jawa dan nusantara abad 10-11 M...ternyata daerah magelang sudah ada, dan uniknya nama desa saya pun ada sudah ada disana, desa Payaman Magelang..jadi desa saya umurnya sudah seribu tahun lebih,,,,hehe...

    BalasHapus
  2. salam perkenalan, bwt Ir.Yohanes Hani Putranto.
    Saya Munadi S,SIP.,SST, lahir di Kota Bumi Lampang Utara (sekarang Wai Kanan):13 Mei 1963. Saat ini bekerja Di PTAPB-BATAN YK. Saya mau nimbrung masalah pengetasan kemiskinan bangsa Indonesia. Saya Belun baca teori biososioekonomi anda, tapi saya yakin ini tentu suatu harapan yg di tujukan bagaimana dapat ikut serta memajukan bangsa kita.Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang sebut saja putra bangsa, dia juga punya visi dan misi bagaimana mewujudkan kesjahteraan yang adil dan merata di tanah air Indonesia. Saya tanya bgm caranya? belau menjawab harus dimulai dari pembentukan jiwa raga manusia indonesia menjadi manusia yg berjiwa raga pancasila yang sejati. Tanpa awal ini maka sistem apapun yg diterapkan adalam menata bangsa ini akan mengalami kesulitan menuju masayarakat adil dan makmur. Saya berharap kita dapat bekerjasama dalam mewujudkan indonesia merdeka dalam arti yg sebenarnya. wassalam.

    BalasHapus
  3. @Anonim: Pada dasarnya lima Kabupaten yaitu Temanggung, Magelang,Bantul,Sleman, dan Klaten adalah pusat peradaban Mataram Kuno. Terima kasih atas kunjungannya.
    @Munadi S SIP: terima kasih atas kunjungannya. Teori biososioekonomi yang saya rumuskan adalah teori ekonomi makro. Teori ini juga dikaitkan dengan demokrasi ekonomi. Saya terbuka untuk bekerja sama demi kesejahteraan publik.

    BalasHapus
  4. Daerah saya, magelang, ada desa namanya medangan, mungkin masih ada kaitannya dengan sejarah mataram kuno, mengingat tidak jauh dari situ terdapat lokasi candi sari dan candi gunung wukir yang disana terdapat prasasti wukir yang terkenal,

    BalasHapus
  5. Ada indikasi kuat, yang saat ini saya dengar dan saksikan, bahwa Satrio Piningit akan (di) munculkan, dan saat ini tinggal di wetan (timur) Kali Opak dan sudah 'diwisuda' di Poh Pitu, dekat Mbulak Salak, Cangkringan Sleman.

    Secara duniawi, sudah matang, untuk membawa rakyat pada kemakmuran, walau dia sendiri tidak tahu apa-apa, tapi sudah terpilih, melalui 'clemongan' tanpa rencana sebelumnya. ,International' sudah menyetujui, dan dengan asset dinasty, dengan dukungan sesepuh dan international akan dapat memakmurkan rakyat.

    Satrio Piningit ini, kebetulan adalah anak Paduka, yang selama hidupnya dititipkan, antara lain di Jombang dan Blitar.

    Walau saya tidak mempercayai sepenuhnya, namun pada waktu yang lalu sering terlaksana, seperti kata orang dulu, besok akan ada orang buta dan lumpuh ,ngideri' (mengelilingi) dunia.

    Sekarang tinggal menunggu kapan terlaksananya, dan melihat indikasi sekarang, mestinya tidak lama. Sangat mungkin tahun ini.

    Ini hanya tulisan, sekedar masukan atau informasi saja. Secara pribadi saya cukup percaya, karena scenario-nya sudah matang.

    Nuwun

    Atmodjo

    BalasHapus