Jumat, 08 Februari 2013

Dan Brown, Kemiskinan, dan Kolonialisme

Di awal tahun 2013 ini saya
telah memposting artikel berjudul "Pasca 2012 Pasca Kolonial" Harapan saya adalah agar kita meninggalkan paradigma dan sikap kolonialistis. Selain itu juga saya berharap agar TUHAN ikut campur tangan membebaskan kita dari kolonialisme. Dalam rangka itulah artikel saya hari ini saya posting.

Beberapa hari yang lalu saya menemukan artikel saya yang pernah diterbitkan oleh tabloid rohani populer Sabda no 80/Th IX Januari 2006. Seingat saya judul tulisan itu dalam naskah saya adalah "Kerajaan Allah dan Kemiskinan" tetapi oleh redaksi diubah menjadi "Irene, Lasiman, Dan Brown Versus Pengalaman Pribadi Saya" Mungkin pertimbangan redaksi adalah untuk menarik perhatian pembaca yang waktu itu banyak menanggapi tulisan atau ceramah ketiga orang tersebut. Dalam tulisan itu saya mengajak pembaca untuk lebih peduli pada pengentasan kemiskinan dengan menentang benih-benih "triple six" dalam diri masing-masing. Lebih peduli pada Kerajaan Allah dan pengentasan kemiskinan (demokrasi ekonomi) dari pada reaktif terhadap tulisan atau omongan orang lain_yang tidak seiman_ karena TUHAN sebagaimana saya kenal dari Alkitab dan pengalaman rohani saya juga peduli kepada mereka yang lapar, miskin, dan tertindas.

Kemiskinan menjadi masalah yang menuntut perhatian dan tindakan kita semua. Beberapa waktu yang lalu saya membaca berita di harian Kompas (2/2/2013, hlm 8) yang berjudul Pembangunan Global, Kemiskinan Ekstrem Melanda 1,5 Miliar Penduduk Bumi. Itu berita tentang kemiskinan dan MDGs. Menurut berita itu sebanyak 1,5 miliar penduduk bumi atau 1 dari 5 penduduk bumi berada di bawah kemiskinan ekstrem yang standar hidupnya satu dollar AS. Sekitar 170 juta anak balita menderita kekurangan gizi, 100 juta anak tidak menikmati pendidikan dasar. Banyak yang mati muda, angka kematian anak balita mencapai 26.000 per hari dan kematian ibu melahirkan 500.000 per tahun. Tidak kurang dari 824 juta orang mengalami kelangkaan pangan dan 500 juta orang terancam kelaparan dan kekurangan gizi.

Menurut pengamatan saya MDGs atau Tujuan Pembangunan Milenium berjalan berdasarkan paradigma ekonomi konvensional (neoklasik dan keynesian) yang kurang bisa diandalkan untuk mengentaskan kemiskinan.Ilmu Ekonomi seharusnya mengikuti matematika sederhana yaitu bila laba yang diambil individu adalah 100 maka yang dikembalikan kepada publik seharusnya juga 100 bukan 50 atau 10 apalagi 2,5 atau 1. Segala macam teori ekonomi atau teori pembangunan yang tidak tunduk pada akuntansi dan matematika sederhana itu dipastikan akan gagal mengentaskan kemiskinan. Teori ekonomi makro biososioekonomi yang notabene tunduk pada matematika sederhana di atas telah menjelaskan panjang lebar bagaimana aset pribadi harus diredistribusikan ke seluruh dunia tanpa sekat-sekat negara dan tanpa sekat primordial.

Namun pengalaman saya memperjuangkan biososioekonomi menunjukkan adanya hambatan dari kelompok kepentingan (triple six) dan kolonialisme atau kombinasi keduanya. Tabloid Sabda termasuk yang berani menerbitkan tulisan saya apa adanya. Selain itu hanya PUSTEP UGM yang memposting makalah saya di situs resminya. Setahu saya berita seminar itu pun hanya diekspose oleh harian Suara Merdeka Semarang. Lebih banyak media konvensional yang tidak menaruh perhatian pada teori ekonomi makro biososioekonomi dan perumusnya. Itulah kolonialisme dalam wujud sehari-harinya yang menenggelamkan teori ekonomi yang pro rakyat, pro keadilan, dan pro publik.

Kolonialisme sering menganggap hal-hal yang dari luar adalah baik dan pada saat yang sama menafikan kearifan lokal atau kebenaran yang ditemukan penduduk lokal. Saya mengamati bahwa tidak jarang kolonialisme mulai dari teks atau textbook dan mengabaikan kejadian, penemuan, atau suatu pengalaman dan kisah nyata yang belum banyak dikenal orang karena tidak diekspose media konvensional. Kalau mau lepas dari pandangan kolonialistis haruslah sejenak meninggalkan teks dan textbook kemudian mengamati berbagai peristiwa seperti krisis ekonomi, krisis utang, kelaparan, gempa bumi, tsunami, atau pun pengalaman seseorang dalam merumuskan dan memperjuangkan biososioekonomi (dan demokrasi ekonomi).

Dalam tulisan saya yang diterbitkan tabloid Sabda di atas, saya mulai dari pengalaman rohani atau pengalaman pribadi saya. Sebaliknya Dan Brown mulai dari teks khususnya teks Injil apokrif (tersembunyi) atau bahkan Injil palsu. Dengan mulai dari teks sadar atau tidak sadar Dan Brown cenderung kolonialistis.

Dengan mencari sensasi atau memojokkan iman Kristiani, Dan Brown sebenarnya sedang menenggelamkan keadilan distributif dan kebenaran. Betapa tidak, kalau ekonomi sesuai akuntansi atau matematika sederhana di atas dan telah dijelaskan panjang lebar oleh teori ekonomi makro biososioekonomi maka segala tindakan yang menghalanginya akan berarti menghalangi keadilan distributif itu sendiri. Dan Yesus Kristus, sebagaimana saya kenal dari Injil (kanonik), menyampaikan ajaran sosial yang sesuai akuntansi dan matematika sederhana di atas (bdk Luk 12:33 atau Mat 19:21). Yesus Kristus menentang pewarisan kekayaan berlimpah. Dia pro rakyat dan pro keadilan. Dia lahir ketika bangsa Yahudi berada dalam penjajahan Romawi, ikut merasakan derita rakyat akibat kolonialisme. Memang saat ini umat Kristiani tidak sepenuhnya mengikuti ajaran sosial Yesus Kristus di atas akan tetapi hal itu bisa dikoreksi tanpa perlu agama baru tanpa perlu mesias baru. Kesediaan tabloid Sabda
memuat tulisan saya berarti bahwa kekeliruan itu bisa dikoreksi. Apalagi dengan dirumuskannya teori ekonomi makro. Kesalahan itu bisa dikoreksi.

Kita akan mengalami kesulitan dalam mengentaskan kemiskinan kalau sikap dan paradigma kolonialistis masih merajalela di sekitar kita. Tidak sedikit orang yang sebenarnya baik dan saleh tapi kolonialistis hanya karena tidak tahu bahwa sikapnya itu kolonialistis. Untuk itulah artikel ini memberi tahu. Menenggelamkan biososioekonomi, ajaran sosial Yesus Kristus, atau menenggelamkan iman orang akan Yesus Kristus berarti bersikap kolonialistis seperti Dan Brown atau yang lain.

Untuk tidak kolonialistis kita harus tidak mulai dari teks dan textbook, tapi mulailah dengan mengamati berbagai kejadian dan pengalaman rohani yang telah saya share di blog ini di bawah label pengalaman spiritual, pengalaman, atau label spiritual. Saya telah menemukan teori ekonomi makro biososioekonomi, menemukan bahwa JHWH dan JAWA adalah tetragramaton yang sama, menentang triple six, lahir sebagai hasil perkawinan antara K Progo dan K Opak, membaca nama saya R Hani Japar tersandi dalam mimpi orang lain. Saya mengalami tertindas dan dibebaskan. Perhatikan pula bahwa saya lahir di awal musim semi (22Maret) di Merbau Mataram (nama yang mengkombinasikan nama pohon dan nama kerajaan) bandingkan dengan teks Injil kanonik (Luk 21:29-33). Itulah tanda segera akan tegaknya "Kindgom of JHWH/JAWA" atau "Kingdom of Heaven"

Jangan lagi bersikap
kolonialistis. Karena kolonialisme akan mendapat hukuman langsung dari TUHAN entah di bumi ini atau di neraka nanti.

Kolonialisme dan triple six menghambat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Semoga dimengerti.


Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.com/2013/01/pasca-2012-pasca-kolonial.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2010/09/membongkar-penindasan-2.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2010/08/tuhan-memenuhi-harapan-juru-kunci-itu.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2010/08/pemerintahan-tuhan.html

http://www.satriopiningitasli.com/2010/06/demokrasi-ekonomi-biososioekonomi-lebih.html

http://www.satriopiningitasli.com/2010/04/tanda-tanda-itu-begitu-nyatameningkat.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2010/03/perlu-pendekatan-mikro-sekaligus-makro.html