Selasa, 31 Agustus 2010

Membedakan Negara dan Pejabat Pemerintah


Kita mungkin perlu hati-hati dalam menggunakan istilah karena hal itu boleh jadi akan berdampak besar di kemudian hari. Istilah "negara gagal" memang pernah muncul ke permukaan dipopulerkan oleh media massa. Istilah itu berasal dari sebuah buku karya cendekiawan asing.

Kita perlu lebih arif dan jangan naif menggunakan istilah "negara gagal". Istilah yang kelihatan ilmiah itu belum tentu tepat digunakan kepada Indonesia. Janganlah sok intelek atau sok seminaris dengan istilah yang kelihatan ilmiah atau kelihatan mentereng tetapi berbahaya bagi negara. Menurut hemat saya penggunaan istilah "negara gagal" itu secara naif justru menguntungkan kelompok radikal yang ingin mengganti sistem, mengganti NKRI dengan sistem lain. Sangat berbahaya kalau kemudian kelompok radikal itu menjejalkan pengaruhnya ke benak orang lebih dari sekali seminggu di rumah-rumah ibadah.

Selain itu, menurut hemat saya, penggunaan istilah "negara gagal" juga secara naif menguntungkan politisi (pejabat pemerintah) yang busuk yang sebenarnya gagal menegakkan kepentingan publik di Republik ini. Suatu kritik atau penilaian terhadap pejabat pemerintah seharusnya memang ditujukan kepada pejabat tersebut. Jangan sampai karena takut menilai atau takut mengatakan pejabat tertentu gagal maka dipakailah istilah "negara gagal." Kita harus mencegah agar politisi busuk tidak diuntungkan. Kita perlu memahami psikologi massa. Kalau tidak maka saya khawatir bahwa penggunaan istilah "negara gagal" akan menguntungkan politisi busuk yang berprinsip: "kalau saya terpental dari jabatan saya maka Indonesia harus hancur."

Indonesia harus jalan terus walau ada pejabat pemerintah yang harus diganti. Pergantian pejabat pemerintah adalah hal yang biasa dalam Republik asalkan sesuai konstitusi dan untuk kepentingan publik. Memang idealnya kita perlu melakukan evaluasi ulang atau training ulang bagi pejabat pemerintah dari berbagai lapisan agar kita memiliki pejabat pemerintah yang benar-benar berani membela dan menegakkan kepentingan publik. Pejabat pemerintah yang hanya mengurusi kepentingan sendiri dan kelompok tidak layak menjadi pejabat publik.

Saya prihatin dengan kenaifan beberapa pihak yang kata-kata atau tindakannya justru menguntungkan kelompok radikal atau politisi busuk. Penindasan, sengaja atau tidak sengaja, sering berlindung pada hal-hal yang kelihatannya ilmiah tapi naif. Sekali lagi kita perlu memahami psikologi massa. Kalau yang gagal pejabat pemerintah katakanlah pejabat tersebut gagal. Jangan katakan negara gagal.

Semoga postingan sederhana dalam suasana perayaan ulang tahun kemerdekaan RI ini dipahami. Merdeka!!!

Selasa, 24 Agustus 2010

Pemerintahan Tuhan

Tidak ada hal yang sering memancing perdebatan dan tidak ada hal yang sering diperebutkan selama lebih dari 2.000 tahun selain apa yang disebut Kerajaan Sorga dengan segala variasi, penyimpangan, atau turunannya. Hanya hati yang jernih tenang dan kepala dingin yang membuat kita bisa bertemu dengan kebenaran.

Menurut kamus yang dilampirkan pada bagian belakang Alkitab terbitan LAI, Kerajaan Sorga atau Kerajaan Allah adalah pemerintahan Allah sebagai Raja yang hendak dilaksanakan di sorga maupun di bumi. Sementara Garry Wills dalam buku terjemahannya "What Jesus Meant, Maksud Yesus yang Sebenarnya" yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama 2007 menggunakan kata Pemerintahan Tuhan dalam setiap pembahasannya, dan itu mengganti istilah Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga yang dipakai Alkitab terbitan LAI.

Sejak awal memang ada orang-orang yang mau menyerong Kerajaan Sorga sebagaimana tercatat di dalam Injil Matius 11:12-14. Dalam Mat 11:12 dikatakan: "Sejak tampilnya Yohanes Pembaptis hingga sekarang, Kerajaan Sorga diserong dan orang yang menyerongnya mencoba menguasainya." Mungkin karena pernah diserong, dalam sejarah selanjutnya Kerajaan Sorga pernah didorong ke langit sehingga tidak bersentuhan dengan hal-hal yang profan di bumi. Dalam Doa Syukur Agung, ritus resmi Gereja Katolik, istilah Kerajaan Sorga sering dipakai menggantikan kata sorga menandakan bahwa Kerajaan Sorga juga pernah didorong ke langit. Padahal antara sorga dan Kerajaan Sorga adalah dua hal yang berbeda.

Karena didorong ke langit, maka di kalangan Katolik hampir tidak ada awam (bukan rohaniwan) yang berani membicarakan perihal Kerajaan Sorga atau Kerajaan Allah. Kalau saya memberanikan diri memposting tema di atas karena suatu dorongan hati nurani saya yang tidak tega menyaksikan kesengsaraan rakyat, juga karena saya terlahir sebagai orang Jawa yang dalam perjalanan hidup saya telah menemukan diri saya sebagai orang JHWH/JAWA yang arti harafiahnya adalah umat Tuhan. Maka menemukan atau menerima "Kingdom of JHWH" atau "Kingdom of Heaven" adalah suatu proses yang tak terelakkan yang alamiah dan mengalir begitu saja. Namun agar tidak tumpang tindih dengan pihak lain, saya hanya akan fokus pada salah satu bagian dari "Kingdom of JHWH" yaitu kesejahteraan umum di bumi di mana saya pribadi meyakini bahwa di bagian itulah saya dipekerjakan Tuhan. Saya tidak dipekerjakan pada bidang kerohanian/sorgawi.

Pemerintahan Tuhan memang sering memancing orang untuk menguasainya dengan cara menyerongnya. Namun Pemerintahan Tuhan yang sebenarnya tidak bisa diserong karena tegaknya Pemerintahan Tuhan tergantung pada kuasa-Nya, tidak tergantung pada saya, pada Anda, atau pada otoritas keagamaan. Dalam hal kesejahteraan umum, pengalaman dan perjalanan hidup saya menemukan suatu kenyataan di bumi bahwa hambatan terbesar di pihak manusia akan tegaknya
Pemerintahan Tuhan adalah sikap manusia yang anti demokrasi ekonomi. Dan perjalanan rohani saya itu menemukan bahwa anti demokrasi ekonomi tak lain adalah apa yang disebut dengan istilah triple six sebagaimana saya baca dalam Alkitab Perjanjian Lama (1Raj10:14 atau kitab paralelnya 2Taw9:13). Meskipun tidak banyak di antara pelayan Firman atau otoritas keagamaan yang menjelaskan seperti itu namun saya pribadi meyakini bahwa triple six itu berkaitan dengan pewarisan kekuasaan dan atau kekayaan berlimpah pada keturunan sendiri. Sungguh suatu hal yang membahagiakan bagi saya, bahwa saya bisa melihat suatu hal yang bagi banyak orang adalah rahasia yaitu Pemerintahan Tuhan dan hambatannya yang terbesar di pihak manusia.

Sebagaimana suatu pemerintahan, hukuman atau penghancuran terhadap penyeleweng atau penghambat memang akan dilakukan. Tepat pada titik inilah yang sering menjadi kontroversi, perdebatan, penyelewengan, atau pertikaian. Inkuisisi, terorisme, kekerasan atas nama agama, atau negara agama adalah kenyataan kelam dalam sejarah umat manusia. Namun menurut hemat saya sebagaimana saya baca dalam Alkitab penghancuran atau penghukuman di bumi itu sebenarnya dilakukan oleh Tuhan dan penghuni sorga lainnya entah malaikat atau orang/santo yang sudah hidup mulia di sorga bukan dilakukan oleh kita yang masih hidup dan berjuang di bumi (bdk Wahyu 19:19-21, Wahyu 2:16 atau Wahyu 2:26-27).

Penggunaan kekerasan oleh kita yang masih hidup di bumi terhadap penghambat "Kingdom of JHWH" adalah suatu penyelewengan. Kehendak Tuhan agar kita yang masih hidup di bumi tidak menggunakan kekerasan dapat dibaca baik dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Baru. Dalam Perjanjian Lama paling tidak ada tiga perikop yang berwibawa yang perlu disebut di sini yaitu Yesaya 2:4 dan, Daniel 2:45, dan Daniel 8:25. Dalam Kitab Daniel itu jelas-jelas ditekankan "...tanpa perbuatan tangan manusia..." Dalam Daniel 8:25 dikatakan: "Tetapi tanpa perbuatan tangan manusia ia akan dihancurkan"

Dalam Perjanjian Baru pun demikian paling tidak ada dua perikop dalam Injil yang perlu saya sebut di sini yaitu kata-kata Yesus kepada Petrus saat Yesus akan ditangkap (Mat 26:52)dan Luk 12:42-46. Mengenai Lukas 12:42-46 perlu saya kutip lengkap di sini: "Jawab Tuhan: 'Jadi, siapakah pengurus rumah yang setia dan bijaksana yang akan diangkat oleh tuannya menjadi kepala atas semua hambanya untuk memberikan makanan kepada meraka pada waktunya? Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi pengawas atas segala miliknya. Akan tetapi, jikalau hamba itu jahat dan berkata di dalam hatinya: Tuanku tidak datang-datang, lalu ia mulai memukul hamba laki-laki dan hamba-hamba perempuan, dan makan minum dan mabuk, maka tuan hamba itu akan datang pada hari yang tidak disangkanya, dan pada saat yang tidak diketahuinya, dan akan membunuh dia dan membuat dia senasib dengan orang-orang yang tidak setia....' " Kesetiaan akan perjuangan tanpa kekerasan adalah syarat mutlak dalam Pemerintahan Tuhan. Mungkin yang dimaksud hamba dalam perikop itu adalah saya, Anda, hirarki Gereja Katolik, orang Yahudi/Farisi, Senopati (Danang Sutawijya) atau siapa pun (terlalu sensitif untuk disebut di sini). Siapa yang dimaksud hamba dalam perikop ini tidak terlalu penting, tetapi yang penting pada dasarnya adalah kesetiaan pada jalan damai sampai kesudahannya.

Pesan pokok yang ingin disampaikan dalam postingan ini adalah bahwa penggunaan kekerasan dalam Pemerintahan Tuhan adalah sebuah penyelewengan kalau itu dilakukan oleh kita yang masih hidup di bumi Kita bisa memperjuangkan demokrasi ekonomi dengan cara-cara damai sebagaimana saya sampaikan dalam buku saya atau melalui blog ini.

Mungkin tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa dalam mewujudkan Kerajaan Sorga di bumi, TUHAN berkarya sebagai Sang Maha Seniman dalam arti Kerajaan Sorga di bumi bersentuhan dengan hal-hal yang profan tetapi tidak terperosok ke dalamnya. Kerajaan Sorga bersentuhan dengan etnisitas tetapi tidak menjadi kerajaan etnis, bersentuhan dengan realitas politik pada jamannya tetapi tidak masuk ke dalam struktur politik (sebagai negara agama), bersentuhan dengan nama kerajaan di masa lalu tetapi tidak sama dengan kerajaan itu. Bagaimana sentuhan-sentuhan yang terjadi itu tidak membuat Kerajaan Sorga terperosok ke dalamnya? Bagi yang bukan seniman atau yang tidak memahami kesenimanan akan sulit memahaminya memang. Dibutuhkan sikap hening dan jiwa seni untuk memahaminya. Kedatangan Yesus yang kedua tidak akan menjadikan sebuah negara menjadi negara agama. Dalam iman Kristiani Yesus Kristus bukanlah tokoh gagal yang gagal mendirikan negara agama di masa lalu. Yesus lebih besar dari Raja Daud dan tidak sama dengan Raja Daud. Yesus datang kembali bukan sebagai Raja Israel, Raja Yerusalem, atau Raja Mataram. Yesus datang sebagai Raja Semesta Alam. Tugas saya hanya menyampaikan pesan atau peringatan akan kesejahteraan umum di bumi.

Oleh karena itu dalam bulan kemerdekaan ini selalu saya ingatkan dan tekankan bahwa NKRI sebagi negara demokrasi modern yang berdasar hukum dan Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya adalah sesuatu yang sudah final. Kita harus menjaga apa yang telah diperjuangkan para bapa bangsa itu. Petugas dan penjaga keaamanan jangan takut dengan orang-orang yang menggunakan kekerasan dengan jubah agama. Marilah menjadi negarawan yang baik sesuai konstitusi.

Marilah menjadi anggota masyarakat yang baik yang setia pada jalan damai.

Selasa, 17 Agustus 2010

Revolusi Memang Belum Selesai, Revolusi Damai Dimungkinkan!

Jadwal postingan saya hari ini bertepatan dengan perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan negara kita tercinta Republik Indonesia yang ke-65 tanggal 17 Agustus 2010. Puji syukur kita panjatkan kepada TUHAN Semesta Alam atas berkah karunia-Nya sehingga kita menjadi seperti sekarang ini. Ada yang sudah final ada yang belum selesai.

Revolusi Indonesia telah membawa Nusantara menjadi negara demokrasi modern yang berdasar hukum dan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika dan menghormati hak-hak asasi manusia. Itulah yang sudah final. Pancasila adalah konsensus nasional yang tidak bisa dibatalkan. Di dalam Republik Indonesia kita semua harus mengutamakan kepentingan publik bukan kepentingan pribadi atau kelompok, karena hal itu adalah salah satu hakekat republik.

Di tengah perayaan HUT RI ke-65, masih ada warga negara yang belum sepenuhnya merdeka. Ada yang tidak bisa beribadah dengan tenang, ada yang tidak bisa menyekolahkan anaknya, ada yang tidak mampu membayar biaya rumah sakit atau dokter ketika sakit dan membutuhkan perawatan, ada yang tidak bisa makan tiga kali sehari makanan bergizi dan aneka persoalan sosial ekonomi lain yang dihadapi warga negara. Hal itu harus menjadi perhatian dan keprihatinan kita semua. Pejabat pemerintah harus selalu diingatkan bahwa sebagai pejabat publik seharusnya benar-benar menjaga kepentingan publik. Jangan sampai karena persoalannya banyak dan berat, pejabat publik berprinsip: yang penting citra saya menguat, masa bodoh dengan penderitaan rakyat atau kepentingan publik.

Akan halnya kesejahteraan rakyat terkait langsung dengan demokrasi ekonomi dalam paradigma biososioekonomi. Revolusi yang telah mengantar Nusantara menjadi negara demokrasi modern masih menyisakan pekerjaan rumah yang tidak kalah berat yaitu demokrasi ekonomi. Jangan katakan ada demokrasi ekonomi ketika masih ada pewarisan kekayaan berlimpah. Setelah raja-raja Nusantara menyatakan diri sebagai bagian Republik Indonesia, muncullah peristiwa lain yang memperpuruk demokrasi ekonomi yaitu munculnya raja-raja bisnis, baik yang fair maupun kroni pejabat, dengan akumulasi kekayaan yang diwariskan kepada keturunan mereka sendiri Demokrasi politik terwujud dengan berdirinya NKRI tetapi demokrasi ekonomi merosot drastis. Lebih mengenaskan lagi kalau orang yang anti demokrasi ekonomi itu menjadi pejabat publik atau ketua umum partai dan ikut menentukan setiap kebijakan publik pemerintah.

Sebagaimana saya jelaskan dalam postingan peringatan hari lahirnya Pancasila di blog ini awal Juni lalu bahwa menurut ekonomi jalan ketiga atau jalan tengah kekayaan (akumulasi laba) itu berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Ekonomi jalan tengah/biososioekonomi itu otomatis adalah demokrasi ekonomi. Empat cara damai untuk menghentikan pewarisan kekayaan berlimpah saya sebutkan dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia hlm (73), juga sering saya sebut di postingan blog ini yang berlabel Herucakra Society.

Kontrol oleh masyarakat konsumen adalah salah satu cara damai yang bisa dilakukan semua orang kapan saja di mana saja. Berbeda dengan demokrasi politik di mana kita menentukan pilihan kita lima tahun sekali, kontrol oleh masyarakat konsumen untuk menghentikan pewarisan kekayaan berlimpah bisa dilakukan setiap hari dari diri kita masing-masing. Ini adalah suatu demarketisasi (bukan boikot) atas produk atau jasa yang anti demokrasi ekonomi. Proses demarketisisasi ini harus berlangsung kontinyu dan konsisten (ajeg) karena setiap saat (bukan lima tahun sekali) kita memilih produk atau jasa yang kita perlukan. Saya membedakan proses demarketisasi dengan boikot di mana boikot bersifat kolektif dan massal, sementara demarketisasi bersifat situasional. Dalam demarketisasi kita masih bisa mentolerir kalau situasi di daerah tertentu tidak ada produk atau jasa pengganti yang ramah terhadap demokrasi ekonomi/biososioekonomi. Tetapi kampanye harus tetap jalan terus supaya kita selalu ingat, sampai tersedia jasa atau produk yang ramah demokrasi ekonomi/biososioekonomi yang bisa kita beli. Memang idealnya ada lembaga yang kredibel yang memberi label kepada produk yang ramah demokrasi ekonomi/biososioekonomi seperti ecolabeling untuk produk ramah lingkungan.

Namun bukan berarti bahwa ketika pelabelan seperti itu belum siap, kita hanya diam saja berpangku tangan. Mulailah dengan apa yang kita masing-masing orang bisa melakukannya. Mulailah dengan apa yang kita gunakan sehari-hari seperti jasa operator telpon seluler, mie instan, juga media massa baik cetak atau televisi. Ketika produk atau jasa tadi diproduksi oleh perusahaan yang pemegang sahamnya memperoleh sahamnya dari warisan kekayaan orang tuanya yang berlimpah maka kita harus tegas menolaknya. Carilah produk atau jasa lain yang ramah demokrasi ekonomi/biososioekonomi. Demikian juga kalau ada media massa yang anti demokrasi ekonomi/biosoioekonomi atau yang menayangkan orang yang anti demokrasi ekonomi sebagai pahlawan, kita perlu juga menolaknya carilah penggantinya dari situs, blog, jejaring sosial, atau media massa lain. Kita harus selalu diingatkan akan hal ini, kalau situasi kita tinggal tidak memungkin kita tetap harus ingat bahwa kita harus menghindari produk atau jasa yang anti demokrasi ekonomi atau anti biososioekonomi. Inilah revolusi damai yang akan menyempurnakan kemerdekaan kita setelah demokrasi politik (dalam wadah NKRI dan Pancasila) kita peroleh dan kita pertahankan. Revolusi memang belum selesai, revolusi damai dimungkinkan!

Tak lupa saya mengucapkan:
"DIRGAHAYU INDONESIA, SELAMAT HUT RI ke-65! MERDEKA!!!
Semoga TUHAN ikut menjaga keselamatan RI sampai kahir jaman, dan semoga damai sejahtera melimpahi kita semua. Amin"

Selasa, 10 Agustus 2010

Tuhan Memenuhi Harapan Juru Kunci Itu

Dalam sebuah mimpi, seorang juru kunci melihat bahwa perawan yang mampir ke tempat tinggalnya itu diperebutkan dua gerombolan. Dua gerombolan itu menunuduh juru kunci itu menyembunyikan perawan tadi. Kemudian juru kunci itu berharap agar orang seperti Raja Yudistira yang memperolehnya. Berikut ini saya kutipkan tulisan Sindhunata mengenai pengalaman Mbah Tomo juru kunci tadi:
"Berdasarkan pengalamannya, perawan itu selalu berarti sasmita (pesan gaib) yang mendatangkan pulung dan kesejahteraan. Tak heran jika ia diperebutkan dua gerombolan tak dikenal. Mbah Tomo sendiri mengharap, agar perawan itu tidak jatuh di tangan mereka yang salah dan jahat. 'Seharusnya yang memiliki pulung itu adalah raja seperti Ratu Ngamarta (Raja Amarta-Yudistira), yang tidak digoda oleh keinginan apa-apa' kata Mbah Tomo" (Bayang-bayang Ratu Adil, 1999, hlm 41).

Itu tadi cuplikan pengalaman Mbah Tomo juru kunci Petilasan Kembang Lampir yang terletak di Dusun Giri Sekar, Panggang, Gunung Kidul, DIY. Petilasan itu dipercaya sebagai tempat turunnya wahyu keprabon di jaman Ki Ageng Pemanahan abad keenambelas Masehi. Karena banyak hal yang dikhawatirkan Mbah Tomo waktu itu, ia minta pihak Kraton untuk sementara menutup Petilasan Kembang Lampir. Ia khawatir petilasan itu disalahgunakan untuk mencari kekuasaan (Bayang-bayang Ratu Adil, 1999, hlm 40).

Saya tidak mengenal Mbah Tomo secara pribadi, saya mengetahui kisah, pengalaman, dan harapannya melalui buku karya jurnalis di atas. Harapan Mbah Tomo adalah suatu harapan yang juga diharapkan banyak orang yaitu harapan agar rakyat hidup dalam kesejahteraan dan kedamaian, selain itu tentunya juga agar tidak ada penyalahgunaan kepercayaan atau penyalahgunaan budaya untuk kepentingan pribadi, status quo, atau kelompok melalui lembaga politik.

Mengenai pulung atau wahyu keprabon sendiri, dalam budaya Jawa sebenarnya ada suatu kearifan bahwa wahyu keprabon itu tidak bisa dipaksa atau dibelenggu, ia bebas jatuh kepada siapa yang dikehendaki seperti tercermin dalam ungkapan "dijangka tuna, digayuh luput" yang artinya diminta tidak dapat, diraih pun lepas.

Ada sebagian orang yang tetap berpendapat bahwa dalam masa modern seperti sekarang ini, wahyu keprabon itu berkaitan dengan jabatan Presiden RI dan diturunkan melalui pilpres, karena hanya melalui cara seperti itu kondisi damai dapat dijaga. Pendapat seperti itu terlalu textbook thinking, sementara banyak textbook, seperti textbook teori ekonomi yang harus ditulis ulang atau diganti.

Pengalaman dan pendapat saya berbeda. Menurut pendapat saya wahyu keprabon tidak ada kaitannya dengan jabatan Presiden dan tidak diturunkan melalui pilpres namun demikian kondisi damai tetap bisa dijaga dan kesjahteraan umum tetap bisa diwujudkan. Hal itu terjadi karena memang Tuhan menghendaki dan merencanakan kedamaian serta kesejahteraan umum.

Saya meyakini memperoleh wahyu keprabon setelah membaca sebuah sasmita (pesan gaib) yang tersandi dalam nama putri kraton (RA Parjinah) sebagaimana sudah saya jelaskan dalam blog ini. Kalau kedamaian bisa dipertahankan karena adanya NKRI dimana saya (yang memperoleh wahyu keprabon) lahir tidak di DIY tetapi di Lampung. Adanya NKRI membuat semua warga negara hidup nyaman di luar wilayah budaya asalnya. Orang Jawa atau Bali tinggal di Lampung, orang Flores tinggal di Jambi, orang Sumatera menjadi Bupati di P Jawa, orang Papua menjadi penyanyi di Jakarta atau orang Lampung membuka usaha di Jawa Timur misalnya. Jasa NKRI dalam hidup saya tidak akan saya lupakan. Kedamaian akan lebih sulit diciptakan kalau saya lahir di DIY. Itu semua karya Tuhan.

Selain karena saya tidak lahir di DIY, yang paling utama adalah karena saya tidak mengikuti garis Zelot, dan saya harus menjalani berbagai pantangan lain. Kalau saya mengikuti garis Zelot, saya akan mengangkat senjata atau paling tidak mengusir penjajah dari Bumi Mataram (wilayah yang membentang antara K Progo dan K Opak). Sebuah garis atau ketetapan yang tidak zelotis tidak hanya telah ditetapkan tetapi juga diteladankan oleh Atasan saya, Yesus Kristus yang lahir dalam penjajahan Romawi. Ia membawa suatu paradigma kemesiasan yang berbeda dengan yang dipersepsi sebagian besar bangsa Yahudi saat itu. Diurapi sebagai Raja (memperoleh wahyu keprabon) dalam paradigma lama berarti menjadi raja (dan menikmati privelege) seperti Raja Saul atau Raja Daud. Tetapi dalam paradigma baru yang diteladankan Tuhan Yesus Kristus, diurapi berarti harus melayani, harus menjalani banyak pantangan dan menanggung resiko akan tugasnya. Maka berbagai macam pantangan harus saya jalani seperti tidak menjadi Zelot, tidak triple six, tidak menggunakan kekerasan (Injik Lukas 12:45-46), tidak lagi belajar perang (Yes2:4), tidak merangkap pekrjaan sebagai imam/nabi. Menjadi presiden atau jabatan struktural publik lain juga pantangan bagi saya.

Saya meyakini dan berpendapat meskipun saya tidak menjadi presiden kesejahteraan umum tetap bisa diwujudkan kalau teori ekonomi makro biososioekonomi diaplikasikan dan diimplementasikan. Kita semua dituntut partisipasinya untuk mewujudkan kesejahteraan umum itu secara damai seperti saya jelaskan dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia atau di blog ini, khususnya yang berlabel Herucakra Society. Sebagai teori ilmiah, biososioekonomi terbuka terhadap kritik, koreksi, dan perbaikan. Namun kalau dihambat, Tuhan akan bertindak.Tugas saya hanya memberi peringatan. Satrio Piningit tidak sama dengan Ratu Adil. Eksekusi akan dilakukan oleh Tuhan Sang Ratu Adil Sejati dan para penghuni surga lainnya. Tuhan memenuhi harapan juru kunci itu, memperoleh wahyu keprabon (diurapi) dalam paradigma baru berarti menjalani banyak pantangan.

Tuhan tidak meminta saya membuat kerajaan atau negara agama. NKRI sebagai negara demokrasi modern dan Pancasila sudah final. Menjelang perayaan dan peringatan HUT RI ke- 65 kita diingatkan untuk tetap menjaga dan mencintainya. Memang ada oknum pejabat RI yang tidak baik yang tidak bertindak sebagai negarawan. Kita bisa mengganti pejabat tersebut sesuai konstitusi.

Kejawaan dan keindoneisaan tidak harus dipertentangkan bahkan bisa hidup bersamaan dalam harmoni kalau dijelaskan oleh orang yang tepat yang mengalami pengalaman rohani yang otentik dan yang menjalani berbagai macam pantangan. Marilah menjadi negarawan dan anggota masyarakat yang baik. Saya pribadi mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalaninya, mohon maaf kalau ada kata yang kurang berkenan.

Jumat, 06 Agustus 2010

Isu Redenominasi

Akhir-akhir ini pemberitaan media massa ramai dengan isu redenominasi rupiah yang direncanakan atau diwacanakan bank sentral

Menurut keterangan pejabat, pada dasarnya redenominasi tidak mengubah nilai mata uang terhadap barang. Sebagai contoh sepeda motor seharga Rp 15.000.000,- menurut denominasi lama bisa dibeli dengan uang rupiah denominasi baru sebesar Rp 15.000,- Demikian juga roti seharga Rp 1.000,-menurut denominasi rupiah lama bisa dibeli dengan uang rupiah denominasi baru sebesar Rp 1,- Tetapi gaji yang biasanya dibayar Rp2.000.000,- dengan denominasi rupiah lama akan dibayar dengan denominasi rupiah baru sebesar Rp2.000,-

Pada dasarnya redenominasi tidak mengubah nilai mata uang terhadap barang. Hanya akan menjadi lebih sederhana, tidak banyak nolnya. Itu berarti pula tak banyak mengurangi beban rakyat.

Menurut hemat saya redenominasi bukan sesuatu yang paling utama dan urgent untuk dilakukan. Yang paling utama adalah bahwa BI harus berani keluar dari paradigma neoliberalistiknya yang jelas-jelas membebani rakyat. Harus bersama-sama civil society bekerja sama mewujudkan demokrasi ekonomi yang sesuai paradigma biososioekonomi.

Selasa, 03 Agustus 2010

Apakah Birokrasi Mengalami Defisit Fiskal?

Bulan Agustus adalah bulan kemerdekaan di mana pada tanggal 17 Agustus kita memperingati dan merayakan ulang tahun kemerdekaan negara kita tercinta Republik Indonesia. Postingan selama sebulan ke depan akan saya isi dengan kemerdekaan dan keindonesiaan. Namun sebelum itu saya memposting suatu tema tentang ekonomi dan sejarah.

Postingan ini mungkin agak bersifat subyektif namun demikian saya akan berusaha untuk seobyektif mungkin. Memang sebenarnya tema seperti ini adalah tugasnya arkeolog atau sejarawan profesional. Postingan ini tidak dimaksud memberi jawaban pasti atau hipotesis yang serius (formal) tetapi sekedar marangsang proses berpikir bagi siapa saja untuk lebih aktif mencari kebenaran.

Seperti kita ketahui pada masa Pu Sindok pusat pemerintahan berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Penyebab perpindahan itu belum diketahui dengan pasti Berikut ini saya kutipkan pendapat Supratikno Rahardjo dalam bukunya Peradaban Jawa hlm 58-59: "Mengenai sebab-sebab perpindahan pusat pemerintahan, juga masih belum ada jawaban yang memuaskan. Boechari telah menunjukkan bahwa hipotesis Schrieke tidak meyakinkan karena tidak adanya bukti bahwa rakyat Mataram sebenarnya tertindas karena dibebani oleh penguasa untuk mendirikan banyak bangunan monumental dalam waktu yang relatif pendek. Namun, hipotesis tandingan yang dikemukakannya, bahwa sebab keruntuhan itu adalah letusan Gunung Merapi, juga tidak memuaskan mengingat bahwa bencana alam gunung meletus merupakan pengalaman yang biasa mereka hadapi. Bukti-bukti prasasti mengesankan bahwa perpindahan itu tidak berlangsung tiba-tiba, tetapi dalam jangka yang relatif lama"

Sementara menurut Ninie Susanti dalam bukunya "Airlangga, Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI" terbitan Komunitas Bambu 2010, kemungkinan besar perpindahan itu karena faktor ekonomi (hlm 125). "Perpindahan pusat pemerintahan yang jelas terjadi telah direncanakan dengan matang. Namun demikian, apabila terjadi letusan gunung berapi yang merusak, ini hanya suatu pemicu dari perpindahan tersebut" demikian ditulis Ninie di halaman 125.

Boleh jadi alasan perpindahan itu tidak tunggal, selain ekonomi mungkin juga untuk menghindari serangan musuh, juga dipicu letusan gunung berapi. Mengnenai faktor ekonomi perlu dicari lebih dalam selain yang sudah dikemukakan para ahli. Menurut hemat saya boleh jadi birokrasi Kerajaan Mataram Kuno mengalami defisit fiskal atau paling tidak tekanan hebat akibat obral pemberian status sima (perdikan) pada masa Rakai Kayuwangi (855-885M) di satu sisi dan pembengkakan birokrasi kerajaan di sisi lain akibat perkembangan jaman termasuk juga untuk meningkatkan pertahanan mengantisipasi serangan luar. Di antara raja-raja Jawa Kuno, memang Rakai Kayuwangi yang paling banyak meberikan status sima diikuti Pu Sindok (929-948M) diurutan kedua (Peradaban Jawa hlm 161). Pemberian status sima dan pembukaan sawah baru memang sangat menonjol pada masa Kayuwangi. Hal itu digunakan untuk pemeliharaan bangunan peribadatan bukan untuk membangun bangunan peribadatan baru (Peradaban Jawa, hlm 417). Bangunan peribadatan yang monumental yaitu Borobudur dan Candi Larajonggrang memang didirikan sebelum Rakai Kayuwangi, yaitu jaman Samaratungga dan Pramodhawardhani-Pikatan. Dengan penetapan status sima maka pendapatan (birokrasi) kerajaan berkurang dua pertiganya ("Airlangga, Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI, hlm 57").

Mungkin karena itu pula pada masa Jawa Timur baik pada masa Mataram kuno atau kerajaan sesudahnya pendirian bangunan peribadatan monumental dan pemberian status sima berkurang intensitasnya karena khawatir menyebabkan tekanan atau defisit fiskal.
Perpindahan pusat pemerintah ke Jawa Timur mungkin dimaksud untuk lebih aktif dan serius mengelola pemasukan pajak dari sektor perdagangan antar pulau atau antar benua yang sudah mulai ramai. Pada masa Jawa Kuno usaha perdagangan juga dikenai pajak ("Airlangga, Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI, hlm "). Rencana pemindahan itu boleh jadi merupakan keputusan matang yang direncanakan dengan baik meskipun mungkin pernah menimbulkan pertentangan pendapat di kalangan birokrasi kerajaan. Memang masa setelah Kayuwangi sampai dengan Pu Sindok selama kurang lebih 45 tahun terdapat 9 orang raja memerintah, 2 di antaranya bahkan memerintah kurang dari setahun yaitu Dyah Tagwas dan Rakai Gurunwangi (Peradaban Jawa hlm 65).

Kalau benar bahwa salah satu sebab pemindahan pusat pemerintahan karena tekanan atau defisit fiskal, maka raja yang memutuskan memindahkan pusat pemerintahan patut dihargai keputusannya karena ia menyelamatkan pemasukan pajak di satu sisi tanpa harus mencabut status sima yang telah diputuskan raja sebelumnya. Tanpa berkonflik dengan tanah sima.

Meskipun birokrasi mengalami tekanan atau defisit fiskal bukan berarti masa Jawa Tengah adalah masa di mana rakyat hidup dalam kemiskinan. Kekayaan terdistribusi kepada penduduk sima. Dilihat dari jumlah emas yang ditemukan, masa Jawa Tengah adalah puncak perdaban sebagaimana dikemukakan Supratikno Rahardjo dalam bukunya Peradaban Jawa hlm 146.

Pengalaman masa Mataram Kuno dalam mengelola pajaknya dapat dijadikan pelajaran bagi kita saat ini. Pembiayaan pemerintahan dan pembangunan dengan hutang tidaklah bijaksana. Demokrasi ekonomi dalam paradigma barunya yang berdasarkan teori ekonomi makro biososioekonomi adalah keniscayaan untuk keluar dari jerat hutang dan untuk menyejahterakan rakyat secara keseluruhan.