Minggu, 27 Oktober 2013

Bertumpah Darah Satu, Indonesia

Tanggal 28 Oktober adalah peringatan sumpah pemuda, salah satu tonggak sejarah yang penting berdirinya Republik Indonesia. Salah satu butir sumpah pemuda adalah: bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.

Tulisan kali ini ingin menekankan pentingnya Indonesia yang terdiri dari laut dengan ribuan pulau sebagai tanah air bersama. Hal ini penting mengingat bahwa sejarah bangsa ini dulunya berupa kerajaan-kerajaan yang sebagian saling bersaing dan terlibat perang. Munculnya berbagai kalangan untuk menggali sejarah, kearifan, atau kejayaan masa lalu memang tidak salah karena hal itu bisa menumbuhkan rasa percaya diri dalam menghadapi globalisasi. Namun tanpa diimbangi sikap bijak bisa memicu disintegrasi.

Dalam hidup kedermawanan dan kegotongroyongan misalnya, kita saat ini kalah dibanding jaman Hindu-Budha. Sebelum rasio Gini kita meningkat menjadi 0,41 saya telah mengingatkan (http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/09/berbagi-dalam-peradaban-jawa.html)

Itu adalah sebagian keunggulan masa lalu yang kini merosot. Namun demikian masa lalu tidaklah sempurna. Masing-masing kerajaan di masa lalu punya kelebihan dan kelemahan sekaligus. Maka Sumpah Pemuda adalah salah satu tonggak sejarah yang penting. Tanah air kita adalah Indonesia dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika-nya bukan yang lain.

Tulisan sederhana ini sekadar mengingatkan. Marilah kita menjaganya.

Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/10/kaum-muda-pembaharuan-dan-persatuan.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/10/refleksi-sumpah-pemuda-persatuan-bangsa.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/05/mengapa-saya-menerima-nkri-dan.html?m=1

Selasa, 15 Oktober 2013

Daripada Menjadi Hutang Publik Lebih Bermanfaat Menjadi Beasiswa

Oleh Hani Putranto

Ada orang kaya dari warisan yang tergerak hatinya setelah ia memahami bahwa aset pribadinya adalah liabilitas bagi publik. Dan setelah membaca berita ini (http://mobile.kontan.co.id/news/di-bri-80-ori010-mengalir-ke-nasabah-kaya) semakin paham dan semakin tergerak hatinya bahwa liabilitas yang bisa berarti beban atau kewajiban (lawan kata aset) itu dalam sekejap berubah menjadi hutang publik dalam bentuk ORI atau obligasi pemerintah. Ia bisa memahami dan membayangkan bagaimana pemerintah nanti harus membayar utang dan bunganya. Dengan pajak memang, tapi tidak semua pajak berasal dari orang kaya. Karyawan baru yang gajinya cuma Rp 3,5 juta juga sudah kena pajak padahal karyawan baru ini juga tidak berasal dari keluarga kaya. Betapa berat beban yang akan ditanggung rakyat.

Maka orang kaya dari warisan ini mulai menata hidupnya. Dulu ia yang sering abai membayar pajak, kini mulai rajin membayar pajak sesuai peraturan. Tak ada yang disembunyikan. Dia sendiri sudah sangat mapan dengan income pribadinya yang tidak berasal dari warisan.

Oleh karena itu ia tidak ikut-ikutan membeli obligasi pemerintah dengan harta warisan orang tuanya. Ia justru memutuskan agar depositonya yang berasal dari warisan yang berjumlah puluhan milyar disumbangkan untuk beasiswa. Pertama-tama ia mengubah deposito menjadi tabungan. Ini bertujuan agar bank mendapat DPK (dana pihak ketiga) yang murah sehingga bank bisa survive (bunga tabungan lebih murah dari bunga deposito). Kemudian ia mulai memberikan beasiswa kepada ratusan pelajar TANPA sekat-sekat primordial-sektarian, TANPA SARA. Maka dari satu tabungan berkembang menjadi ratusan tabungan pelajar (orang tua pelajar) dan ia juga membayari biaya administrasi tabungan pelajar itu yang perbulannya sekitar Rp 10.000 per tabungan. Ini berarti meningkatkan fee based income bank karena jumlah account meningkat dari satu tabungan menjadi ratusan tabungan pelajar. Orang kaya dari warisan itu akan selalu menjaga agar tabungan dari warisan tidak dipakai membeli
obligasi, saham, atau instrumen investasi lain. Dalam beberapa puluh tahun tabungan itu memang akan habis didistribusikan untuk beasiswa. Kecuali sebesar 2,5%-5% dana yang memang disisakan (disediakan) untuk bank sentral atau likuiditas bank jika bank sentral menaikkan GWM (giro wajib minimum). Dana 2,5-5% ini dana untuk kontraksi moneter.

Dampak ekonomi:
Dari kegiatan itu akan tercipta dampak ekonomi. Tentu yang dimaksud adalah dampak ekonomi saat ini bukan dampak ekonomi nantinya yang akan dinikmati penerima beasiswa.

Selain terjadi kesadaran orang kaya untuk taat membayar pajak yang berarti tax ratio akan meningkat ada juga dampak ekonomi lain yaitu bagi bank dan sektor riil. Bagi bank jelas bank akan memperoleh DPK murah dan fee based income. Dalam situasi seperti ini proses ini bermanfaat bagi bank. Selain bagi bank ada juga dampaknya bagi sektor riil. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut:

Kategori keluarga penerima beasiswa terbagi dalam beberapa kategori:
(1) Keluarga kategori ini termasuk keluarga pas-pasandengan status gizi yang agak kurang tapi suami-isteri sangat sibuk bekerja banting tulang untuk mencukupi nafkah sehari-hari, tidak sempat memasak kecuali nasi, telur atau sambal. Sebelum menerima beasiswa mereka memang telah memiliki anggaran untuk sekolah anaknya. Setelah menerima beasiswa, anggaran untuk sekolah anaknya dialihkan untuk perbaikan gizi. Selain meningkatkan konsumsi telur juga dipakai membeli ayam goreng ala "fried chicken" yang dijual tetangganya yang masih bujangan. Dampak ekonominya jelas peningkatan konsumsi yang secara makro akan meningkatkan produksi telur, ayam pedaging, dan pakan ternak. Selain itu juga meningkatkan omset pedagang telur dan omset penjual "fried chicken" atau warteg (Warung Tegal).

(2) Keluarga kategori kedua ini meski status gizinya agak kurang tapi hanya suami yang bekerja, sementara isteri mengurus rumah tangga karena masih ada satu anaknya yang balita. Masih sempat memasak untuk keluarga. Sama seperti keluarga kategori pertama, sebelum menerima beasiswa mereka memang sudah mempunyai anggaran untuk sekolah anaknya. Setelah menerima beasiswa anggaran lama dipakai untuk peningkatan konsumsi/gizi. Dampak riilnya juga jelas yaitu peningkatan produksi telur, ayam pedaging, makanan bayi, dan ikan. Juga terjadi peningkatan omset pedagang telur, daging ayam mentah, dan ikan mentah.

(3) Keluarga kategori ketiga ini status gizinya cukup. Sebelumnya juga telah memiliki anggaran untuk sekolah anaknya. Setelah menerima beasiswa mereka berwisata kuliner bersama entah makan bersama di warung tenda yg menjual bebek goreng goreng, sea food, ayam taliwang, tongseng kambing, sate atau yang lain. Dampaknya di sektor riil juga nyata. Kalau ada peningkatan konsumsi, secara makro akan ada peningkatan produksi yaitu produksi ayam, ikan, dll.

(4) Keluarga kategori keempat ini mirip kategori ketiga hanya bedanya keluarga kategori keempat ini lebih suka menabung dan berinvestasi. Dampaknya di sektor riil tidak terlalu signifikan tapi tetap berkontribusi pada makro ekonomi. Paling tidak tetap bisa menjaga likuiditas perbankan. Selain itu nantinya bisa meningkatkan industri reksadana dan pasar modal kalau mereka berinvestasi di reksadana khususnya reksadana saham.

(5) Nah pemberian beasiswa kepada keluarga kategori kelima ini sebenarnya tidak berdampak pada sektor riil saat ini. Ini adalah keluarga miskin yang anaknya putus sekolah. Jadi berbeda dengan keempat kategori keluarga di atas. Keluarga kategori kelima ini sebelumnya memang tidak memiliki anggaran untuk sekolah anaknya. Kalau sebagian beasiswa dipakai untuk peningkatan gizi mungkin porsinya sangat kecil dan dampaknya di sektor riil juga kecil untuk saat ini. Dampak ekonominya baru terasa beberapa tahun lagi kalau penerima beasiswa dari keluarga kategori ini sudah lulus dan memperoleh pekerjaan.

Memang mungkin ada suara atau pertanyaan miring dari teman atau saudara orang kaya itu, misalnya: "Banyak sekali harta yang kau bagi-bagikan. Apakah keluargamu memperolehnya dari bisnis ilegal atau KKN!?" Tapi orang kaya itu menjawab dengan tenang: "Ini adalah balas budi keluarga kami pada konsumen. Kami sadar bahwa laba dan akumulasinya (aset) memang berasal dari konsumen. Kini kami mengembalikannya semua kepada konsumen (semua orang) dengan cara seperti ini"

Itulah dampak nyata dari redistribusi aset dengan pemberian beasiswa. Ide ini sederhana dalam artian tidak menunggu presiden baru untuk implementasinya.
Kisah di atas bukan kisah nyata tapi bisa menjadi nyata kalau ada orang kaya yang tergerak hatinya. Hal itu bisa terjadi kalau ide seperti ini di-share-kan. Ide ini didasarkan pada teori ekonomi makro baru, biososioekonomi/bioekonomi. Dari pada menjadi hutang publik lebih baik deposito dari warisan itu dibagikan dalam bentuk beasiswa. Hal itu akan memperbaiki makro ekonomi Indonesia. Mohon artikel ini di-share agak sampai kepada orang kaya.

Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/04/antara-kebenaran-akuntansi-dan-kesadaran_4307.html?m=1

http://satriopiningitasli.blogspot.com/2012/06/aset-pribadi-kita-membebani-publik.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/07/percuma-memberi-pancingperihal-beasiswa.html

http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul22.htm

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/06/demokrasi-ekonomi-biososioekonomi-lebih.html

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/09/berbagi-dalam-peradaban-jawa.html

Senin, 07 Oktober 2013

Menjaga Institusi Publik

Bulan September dan Oktober adalah bulan yang penting bagi teori ekonomi makro biososioekonomi. Pada tanggal 20 September 2002 saya mencetuskan istilah biososioekonomi, Oktober 2004 buku saya yang memuat teori ekonomi makro biososioekonomi/bioekonomi terbit (http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/12/krisis-global-baca-dulu-baru-kritik.html). Dan 22 Oktober 2008 Blog Satrio Piningit ini, yang banyak memuat artikel biososioekonomi, bisa diakses

Istilah biososioekonomi saya cetuskan setelah membaca artikel Prof. Dr. Mubyarto (alm) yang berjudul: "Ekonofisika atau Sosioekonomi, Mana yang Lebih Dibutuhkan Indonesia?" (Kompas 17 September 2002). Suku kata bio saya tambahkan untuk membedakannya dengan perusahaan. Kata bio itu mengacu pada manusia (bukan ikan atau ternak) sebagaimana biodata mengacu pada riwayat hidup seseorang. Dengan menambahkan suku kata bio maksud saya agar sosioekonomi dibedakan dengan ekonomi perusahaan karena yang bisa bersikap sosial sepenuhnya itu adalah manusia bukan perusahaan.

Waktu itu tulisan Mubyarto tersebut dihantam oleh tulisan Liek Wilardjo yang menganggap sosioekonomi dan Mubyarto melawan arus. Mungkin karena tulisan itu banyak ekonom tiarap. Ketika saya bertemu Pak Muby (panggilan akrab untuk Prof. Dr. Mubyarto) 2 November 2004 beliau mengaku "murtad" dalam artian keluar dari disiplin ilmu ekonomi. Pengakuan seperti itulah yang membuat saya berkesimpulan bahwa waktu itu banyak ekonom yang tiarap.

Baru setelah krisis keuangan di AS 2008, terjadi sebaliknya banyak ekonom yang sensitif disebut neolib dan menyangkal dirinya neolib padahal memang neolib. Sebenarnya sosioekonomi atau biososioekonomi bukanlah aneh atau kontroversial kalau orang mau back to basics yaitu pada akuntansi. Cobalah simak penjelasan sederhana di bawah ini.

Setiap aset yang dilepaskan kepemilikannya oleh individu entah dibayarkan sebagai pajak, derma, atau daur ulang (hibah) akan meningkatkan income dan aset publik. Peningkatan aset dan income publik ini juga bisa dikatakan peristiwa ekonomi dalam artian ekonomi publik. Apa yang oleh individu dianggap peristiwa sosial, secara publik adalah peristiwa ekonomi karena terjadi peningkatan income dan aset publik. Sebenarnya kalau orang memahami penjelasan ini tidak ada yang kontroversial atau melawan arus dalam istilah sosioekonomi yang menjadi judul artikel Mubyarto atau pun biososioekonomi yang saya cetuskan. Meski menggunakan istilah sosio bukan berarti keluar atau murtad dari disiplin ilmu ekonomi. Prinsip-prinsip akuntansi tetap harus dipakai untuk mengelola ekonomi publik tersebut.

Dalam tulisan-tulisan, saya biososioekonomi tidak anti ekonofisika sama sekali. Dalam salah satu penjelasannya mengenai chaos finansial, ( http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/12/chaos-finansial-dan-hukum-ii.html) biososioekonomi menggunakan Hukum II Termodinamika, suatu hal yang mungkin tidak dilakukan oleh Liek Wilardjo yang fisikawan itu. Ekonofisika di tangan seseorang yang memahami sosioekonomi bisa sangat bermanfaat bagi publik secara sosial.

Kini teori ekonomi makro biososioekonomi makin dikenal orang. Meski beberapa bulan terakhir saya hanya menulis satu artikel per bulan di blog ini tapi hampir setiap hari saya berdiskusi dengan teman di media sosial fb melalui account saya (haniputranto). Harapan saya adalah agar teori ekonomi makro biososioekonomi bisa menjadi pedoman yang obyektif dalam mengelola ekonomi publik. Selain itu juga menjadi pelita bagi setiap upaya untuk menjaga institusi-institusi publik yang sudah ada seperti negara atau bank sentral, dan merangsang munculnya institusi publik baru yaitu yayasan konsumen sosial yang akan mendistribusikan aset daur ulang ke seluruh dunia tanpa sekat-sekat negara dan tanpa sekat-sekat primordial sektarian. Tulisan-tulisan saya mengenai bank sentral bisa Anda baca di link ini http://satriopiningitasli.blogspot.com/search?q=bank+sentral&m=1 Bank sentral harus dijaga untuk tetap menjadi institusi publik.

Begitu pula kalau dalam tulisan di blog ini saya mengkritik pemerintah (misalnya http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1), hal itu bukan didasarkan pada sentimen "like or dislike" tetapi berdasarkan prinsip akuntansi yang obyektif yang mendasari teori ekonomi makro biososioekonomi untuk menjaga tegaknya kepentingan publik dan rakyat kebanyakan. Kritikan itu juga bukan suatu aktivitas politik praktis dalam artian untuk meraih kekuasaan tetapi suatu aktivitas yang ingin berpartisipasi dan bertanggung jawab untuk ikut serta menjaga institusi publik. Di tengah berbagai kasus yang menunjukkan banyaknya pejabat publik yang abai terhadap kepentingan publik, kita harus berpartisipasi menjaga institusi publik sesuai kapasitas dan jabatan kita masing-masing.

Semoga tulisan sederhana ini dipahami dan ditindaklanjuti.

Artikel Terkait

http://satriopiningitasli.blogspot.com/2010/09/bioekonomi-solusi-untuk-indonesia-dan.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/02/enak-di-lu-gak-enak-di-kita-sebuah.html

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/06/demokrasi-ekonomi-biososioekonomi-lebih.html

http://satriopiningitasli.blogspot.com/2010/10/dua-tahun-blog-satrio-piningit.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/05/media-konvensioanal-juga-berperan.html?m=1