Rabu, 29 April 2009

Mewujudkan Perubahan, Satu Bumi untuk Semua (2)

Tidak sedikit yang menyangka bahwa perubahan besar hanya bisa diwujudkan dengan tampilnya seorang pemimpin yang kuat. Anggapan seperti itu sebenarnya merupakan bentuk penyelesaian persoalan secara teritorial dengan mengabaikan suatu realitas bahwa masalah yang bisa diselesaikan di suatu wilayah, bisa berpindah ke wilayah lain. Overinvestment yang terjadi di negara A bisa berpindah ke negara B. Sebenarnya selain pasar masih ada satu lagi dari tiga pilar keadaban publik yang bisa mengglobal yaitu society. Upaya mengatasi krisis global seharusnya melibatkan global society. Tentu yang dimaksud global society bukan kumpulan para pemimpin negara di dunia. Tetapi jejaring sosial antar individu, pusat pengaruh, maupun institusi NGO di seluruh dunia. Krisis global harus diatasi secara global.

Program MDGs adalah salah satu contoh program yang sesat pikir. Mengapa? Pertama, karena program itu dibiayai dari pajak negara yang persentasenya terbatas. Orang yang memahami matematika pasti tahu keterbatasan persentase pajak di satu sisi dan besarnya liabilitas publik di sisi lain. Kedua, pajak suatu negara adalah prestasi otoritas fiskal negara itu sehingga tidak mudah baginya untuk merelakan sebagian pajak itu didistribusikan ke negara lain.
Sementara itu tantangan dan persoalan yang dihadapi demikian besar.

Menurut hemat saya perubahan besar ke arah yang lebih baik bisa terwujud jika masing-masing orang mengubah paradigmanya sesuai posisi dan bidangnya. Perubahan paradigma yang saya maksud adalah agar masing-masing orang mengakomodasi paradigma biososioelonomi. Bagi ilmuwan dan cendekiawan segeralah mengkritik biososioekonomi bila biososioekonomi salah. Bila benar segera mendorong implementasi dan pengembangannya lebih lanjut. Bagi elite media konvensional (cetak + tv) segera mengambil peran. Semua mempunyai peran masing-masing dalam perubahan besar ini. Itu dimulai dengan menyimak biososioekonomi, karena tanpa menyimak tidak ada dialog dan diskusi. Adanya hanya monolog.

Anda semua bukan bawahan saya. Tuhan (yang saat ini tidak nampak) akan langsung memimpin saudara semua dalam perubahan besar ini melalui hati dan pikiran Anda. Jadi, bukan saya yang memimpin tapi Tuhan. Semoga ini dimengerti.

Jumat, 24 April 2009

Belajar Ilmu Ratu Adil

SAAT kudeta terjadi, raja dan putra mahkota terbunuh, seorang Biyung Emban--baby sitter--melarikan bayi putra bungsu raja ke padepokan di lereng gunung. Kepada Begawan pemilik padepokan Biyung mengaku suaminya tewas dalam kerusuhan di ibu kota dan minta izin untuk tinggal, mengabdi pada padepokan!

"Asal mau membuat pondok dan cari makan sendiri, silakan!" sambut Begawan.

Mereka pun tinggal di padepokan itu. Berbeda dengan Aragorn yang meninggalkan istana dengan cincin tanda ia anak raja dalam "Lord of the Rings", putra raja yang diaku sebagai anak Biyung Emban itu tidak membawa apa pun tanda ia pewaris tahta! Maka itu, ia pun diperlakukan sebagai cantrik--murid--biasa oleh Begawan.

Tapi itu hanya sampai Begawan mendapat wangsit untuk mematangkan cantrik yang satu itu dengan ilmu memerintah negara secara adil, bersih, dan bijaksana! Begawan pun mendidiknya dengan keras, untuk menjadikannya layak sebagai seorang satrio piningit; pemimpin yang mumpuni dengan perilaku bisa diteladani.

....

Maka itu, rakyat merindukan seorang satrio piningit yang menguasai ilmu Ratu Adil.

Kisah di atas adalah kutipan dari tulisan H. Bambang Eka Wijaya (HBEW) di Lampung Post on line, tanggal 21 Maret 2004. Tulisan di atas merupakan salah satu dari berbagai tulisan pengamat mengenai satrio piningit. Karya HBEW di atas termasuk karya yang lumayan bagus.

Saya perlu menggarisbawahi beberapa hal dalam tulisan HBEW. Pertama, adanya kekerasan dan ketidakadilan yang menyebabkan seseorang yang berhak atas tahta harus diungsikan dan disembunyikan jauh dari pusat kerajaan. Kedua, mengenai ilmu Ratu Adil. Ketiga, cara mengidentifikasi satrio piningit. Dan keempat tidak disamarataknnya antara satrio piningit dan Ratu Adil.

Sebagai pengamat, tentu HBEW menulis dari sudut pandang pengamat. Sementara saya menulis satrio piningit sebagai pengalaman sejati. Ketidakadilan dan kekerasan di masa lalu itu nyata, tidak dibuat-buat. Bukan pura-pura ditindas dan menampilkan wajah memelas supaya terpilih dalam pilpres. Dalam ilustrasi yang ditulis HBEW di atas berupa kudeta. Dalam pengalaman kami berupa perampasan dan penjajahan atas bumi Mataram (dalam hal ini termasuk Perdikan Mangir) di abad ke-16. Sama-sama ketidakadilan apakah kudeta atau penjajahan.

Yang sangat menarik dari karya HBEW adalah mengenai ilmu Ratu Adil yang hampir tidak pernah disebut oleh pengamat-pengamat lain. Memang beberapa pengamat ada yang menyebut-nyebut konsep kepemimpinan. Tetapi pengalaman saya mengatakan bahwa menggunakan istilah ilmu Ratu Adil lebih relevan, karena hal itu tidak hanya menyangkut kepemimpinan tetapi juga keadilan. Ilustrasi HBEW mengenai ilmu Ratu Adil sudah lumayan. Menurut pengalaman saya ilmu Ratu Adil itu bukan sebuah ilmu berdisiplin tunggal tetapi multi disiplin atau bahkan bersifat holistic (menyeluruh) karena juga menyangkut hal yang spiritual dan mencakup juga ngelmu (bukan dalam perngertian klenik) tetapi sesuatu yang bisa terwujud hanya jika diikuti dengan tindakan atau laku. Berlarut-larutnya krisis global dan dan ketidak adilan serta kemiskinan selain karena suatu interest kelompok juga karena solusi yang ditawarkan terkotak-kotak dalam disiplin ilmu yang kaku dan sangat tidak holistic karena tidak sinkron dengan rencana Tuhan. Orang yang memahami ilmu Ratu Adil tindakannya bisa sinkron dengan rencana atau kehendak Tuhan tanpa harus mengganti Pancasila dengan hukum agama (manapun).

Hal ketiga yang saya garis bawahi dari tulisan HBEW adalah cara mengidentifikasi satrio piningit. Dalam tulisan HBEW bayi putra bungsu raja itu tidak membawa tanda apapun sebagai orang yang berhak atas tahta kerajaan. Berbeda dengan kisah Airlangga beserta isterinya (puteri Dharmawangsa Tguh) _yang juga lolos dari dari Pralaya_yang sangat mudah dikenali oleh rakyat Medang (Mataram) karena waktu kejadian mereka sudah dewasa. Sebagai sebuah opini di alam kebebasan berpendapat ilustrasi HBEW tentu boleh-boleh saja bahwa satrio piningit itu adalah seseorang yang terpilih dalam pilpres. Ini memang berbeda dengan pengalaman saya karena ketika sesorang ketiban pulung (wahyu keprabon) maka harus menjalani banyak pantangan, antara lain tidak menduduki jabatan struktural publik seperti jabatan presiden sebagaimana pernah saya tulis dalam postingan terdahulu ("Wahyu Keprabon"). Tanpa tanda-tanda fisik sepreti cincin atau keris, seseorang yang menerima wahyu keprabon bisa dibedakan dengan orang lain tanpa harus terpilih menjadi presiden. Bagi sebagian orang hal ini kelihatannya baru padahal pernah ditulis oleh D Soesestro dan Zein Al Arief dalam bukunya Satrio Piningit terbitan Penerbit Media Pressindo (1999): " Dengan kata lain, komentar Gus Nukit yang didasarkan pada kekuatan penglihatan batinnya ini menyiratkan bahwa apa yang dimaksud dengan Satrio Piningit bukanlah tokoh yang secara otomatis menduduki jabatan fungsional (maksudnya struktural-pen) semisal Presiden" (hlm 67).

Tulisan HBEW tidak menyamaratakan antara satrio piningit dengan Ratu Adil, ini sangat menarik. Banyak tulisan pengamat yang menyamaratakan antara satrio piningit dengan Ratu Adil. Saya perlu membuat penjelasan khusus dalam blog saya ini nantinya bahwa keduanya memang berbeda meskipun memiliki kemiripan. Nanti akan saya jelaskan dalam blog ini, meski sudah saya jelasakan dalam hard copy tulisan saya "Wahyu untuk Rakyat" yang pernah saya sebarkan pada beberapa pihak.

Menurut pengalaman saya keadilan bukan hanya sebuah ilmu yang bisa dipelajari oleh siapa saja tetapi juga suatu rencana Tuhan yang mungkin hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memahami.









Senin, 20 April 2009

Dampak Biososioekonomi dalam Bidang Lingkungan Hidup dan Kependudukan

Memperingati Hari Bumi tanggal 22 April 2009 ini saya menampilkan tema lingkungan hidup dalam kaitannya dengan biososioekonomi. Postingan ini mengutip apa yang saya tulis dalam "Karya Tulis 2025" yang diselenggarakan Bank Indonesia Desember 2006.

Pada awal ketika program kelaurga berencana (KB) diperkenalkan, sering mendapat tentangan dari komunitas tertentu yang berpandangan kurang luas. Namun saat ini hampir semua pihak menyadari bahwa pertumbuhan populasi penduduk yang tak terkendali berbahaya bagi kehidupan manusia di bumi. Laporan Susan George dalam The Lugano Report sudah mengingatkan bahayanya kelebihan populasi penduduk bumi( Juliawan, B Hari, 2004. "Keretaku tak Berhenti Lama" Basis, edisi 05-06 Th ke-53, hlm 9-10, Mei-Juni 2004).



Menurut biososioekonomi kelahiran adalah hutang yang harus dibayar dengan kematian. Maka pertumbuhan penduduk lebih dari nol persen akan meningkatkan beban alam. Pertumbuhan PDB juga merupakan beban bagi alam. Sayangnya istilah pertumbuhan PDB kalah populer dengan istilah pertumbuhan ekonomi yang menggantikannya. Ada anggapan bahwa adanya kegairahan ekonomi hanya terjadi bila ada pertumbuhan PDB. Bagi orang awam yang tidak mengenal konsep PDB, bisa keliru menangkap istilah pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi pertumbuhan PDB nol persen tetapi PIT 100% sebenarnya ada juga kegairahan ekonomi karena semua orang bisa tumbuh menjadi lebih kaya. Dalam kondisi seperti ini bisa juga dikatakan ada pertumbuhan ekonomi. Bahkan pertumbuhan ekonomi seperti ini adalah pertumbuhan ekonomi dengan pemakaian sumber daya alam yang efisien.



Memang di dalam perekonomian konvensional apabila pertumbuhan PDB nol persen atau lebih rendah dalam waktu yang cukup lama, bisa membahayakan industri perbankan. Dalam kondisi seperti ini tidak ada pertumbuhan laba dan tidak ada kredit investasi baru yang dikucurkan. Laba bisnis perbankan tergantung kredit konsumsi yang akan digenjot habis-habisan, serta laba dari surat berharga seperti SBI. Akan tetapi dalam paradigma biososioekonomi pertumbuhan PDB nol persen tidak akan merusak industri perbankan karena perbankan akan mendapat fee dari dana daur ulang yang berada di tangannya.



Akibat pembangunan dan pertumbuhan PDB, lingkungan hidup tempat kita tinggal mengalami kerusakan. Pemanasan global bisa melelehkan es di kutub utara (Lihat tulisan yang berjudul "Kutub Utara Meleleh, Ancaman bagi Semua" Kompas 22 November 2004). Pemanasan global terjadi karena efek gas rumah kaca yaitu gas dari pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Melelehnya es kutub akan meningkatkan tinggi permukaan laut dan mengancam keberadaan kota-kota pantai. Kenaikan itu bisa mencapai 7 meter dalam waktu kurang lebih seratus tahun ke depan. Indonesia yang merupakan negara kepulauan pasti terancam.



Bahkan laporan mengenai efek pemanasan global termutakhir amat menciutkan hati: "Tahun 2009, China akan melewati AS sebagai pemancar terbesar gas utama pemanasan global, satu dekade lebih cepat daripada ramalan terdahulu" Demikian laporan Badan Energi Internasional seperti dikutip Ninok Leksono (Lihat tulisan yang berjudul "Dunia 2048: Kerontang dan Tanpa Seafood"? Kompas 22 November 2006, hlm 1. Dalam tulisan itu juga dikatakan konsekwensi dari pemanasan global seperti banjir besar akan menelan 20% PDB dan memicu depresi ekonomi. Hal ini karena pertumbuhan PDB yang tinggi di China dan penggunaan energi batu bara di sana.


Biosoioekonomi sebenarnya menawarkan pembangunan yang berkelanjutan dengan sesedikit mungkin mengubah atau menggeser keseimbangan alam, sesedikit mungkin membebani alam. Di wilayah-wilayah yang sudah maju pertumbuhan PDB harus ditekan serendah mungkin mendekati nol persen. Dan apabila aplikasi biososioekonomi sudah merata dan angka PDB sudah cukup merata di seluruh dunia, maka pertumbuhan PDB harus dikendalikan mendekati nol persen. Adanya dinamika perkembangan teknologi, tidak memungkinkan pertumbuhan PDB menjadi kontinyu nol persen dalam jangka panjang. Meskipun demikian dibandingakn dengan perekonomian konvensional yang membebani alam, apa yang ditawarkan oleh sistem perekonomian biosoioekonomi sudah sangat bersahabat dengan alam.


Itulah dampak biososioekonomi sebagai hukum alam yang apabila dilawan akan menghasilkan yang mengerikan. Tetapi apabila diikuti juga akan membuka peluang bagi kehidupan yang lebih baik.

Kalau kita memang mencintai bumi maka suda saaatnya kita memilih sistem perekonomian yang bersahabat dengan alam, bukan perekonoian yang ingin menggenjot PDB setinggi mungkin.

Kamis, 16 April 2009

Pesta Demokrasi dan Pesta Perkawinan

Pemilu legislatif sebagai bagian dari pesta demokrasi telah dilaksanakan pada tanggal 9 April lalu dengan meninggalkan beberapa persoalan serta hasil yang kurang menggembirakan bagi kalangan yang anti neoliberalisme. Pemilu 9 April itu merupakan pelaksanaan Pemilu yang terburuk sepanjang sejarah reformasi karena banyaknya golput, baik golput aktif yang sengaja tidak memilih maupun golput karena tidak terdaftar pada DPT.

Bagi mereka yang anti neoliberalisme, pemilu legislatif yang dimenangi (berdasarkan quick count) partai-partai neoliberal ini adalah suatu pertanda bahwa kehidupan rakyat tidak akan banyak berubah menjadi lebih baik dalam lima tahun ke dapan kecuali mereka_yang terpilih dan memerintah karena kemenangannya dalam pemilu (maupun pilpres nanti)_mau mengubah paradigma neoliberalistiknya.

Pemilu adalah salah satu cara konstitusional manusiawi non kekerasan yang bisa diupayakan raktyat untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Meskipun bukan satu-satunya cara, tetapi tetap harus diapresiasi dengan keikutsertaan kita secara aktif sebagaimana saya juga ikut berpartisipasi. Namun di luar Pemilu tentu perlu diketahui suatu pandangan holistic (menyeluruh) mengenai kesejahteraan umum di mana Tuhan Semesta Alam telah merencanakan-Nya untuk seluruh umat manusia di bumi.

Sinkronisasi dengan rencana Tuhan bukan berarti menjejalkan hukum agama (manapun) ke dalam hukum positif negara. Saya termasuk orang yang tidak sependapat dengan suatu pandangan bahwa jaman keemasan akan terjadi dengan mengubah Pancasila dengan hukum agama (manapun). Jaman keemasan itu disediakan pada umat manusia di seluruh bumi bukan hanya untuk bangsa Indonesia.

Kondisi jaman keemasan itu bisa diibaratkan sebagai sebuah pesta perkawinan, di mana akan disediakan hidangan yang bergemuk dan bersumsum dan Tuhan megoyakkan kain perkabungan bagi semua bangsa. Pesta ini adalah pesta besar bagi orang-orang di seluruh bumi. Bagaimanakah pesta besar ini dibiayai? Tuhan Sang Mempelai Laki-laki pasti tahu bagaimana pesta besar ini dibiayai. Kalau Mempelai Laki-laki tidak nampak (tidak nampak bukan berarti tidak berkuasa), mempelai perempuan tahu bagaimana pesta besar ini harus dibiayai. Dalam budaya manapun dan pada jaman apapun sahabat mempelai laki-laki tidak tahu bagaimana pesta besar ini harus dibiayai.

Patut direnungkan kata-kata Samuel sebelum mengurapi Daud menggantikan Raja Saul, kita tidak akan duduk makan sebelum ia (Daud) datang kemari (1 Samuel 16:11). Bagaimana mungkin suatu pesta besar bisa terlaksana tanpa keterlibatan mempelai perempuan yang mengetahui pembiayaan pesta ini?

Dalam pesta perkawinan itu Mempelai Laki-laki memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengundang semua orang, maka atas perintah-Nya itu saya megnundang semua orang sebagaimana saya tulis dalam postingan terdahulu:"Peringatan dan Pesan untuk Orang Jawa: Terhindar Kutukan Memasuki Jaman Keemasan". Begitulah jaman keemasan itu bisa diumpamakan sebagai pesta perkawinan.

Dalam suasana Paskah ini, saya mengucapkan Selamat Paskah (bagi yang merayakan). Kalau Anda mengenal Mempelai Laki-laki pastikan Anda hadir dalam pesta perkawinan akbar ini. Paskah artinya Tuhan lewat dan kita terluput dari hukuman (bdk Keluaran 12:13). Di luar pesta perkawinan ini adalah neraka dunia.

Dan bagi Anda semua, Anda semua diundang untuk menghadiri pesta perkawinan akbar ini. God Bless You all.

Jumat, 10 April 2009

Gempa Italia Gempa ke-7

"Dan lihatlah, tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit tebelah,..." Demikian ditulis oleh Matius dalam Injilnya (Mat 27:51) yang mengisahkan penyaliban Yesus Kristus. Kisah sengsara itu diperingati oleh umat Kristiani sedunia hari ini sebagai Hari Jumat Agung.

Gempa bumi adalah tanda-tanda kekuasaan Mesias dan salah satu hal yang akan menghancurkan triple six adalah gempa bumi. Demikian saya tulis pada tanggal 9 Mei 2006 dalam tulisan saya yang berjudul "Perlukah Mesias Baru" yang saya kirimkan ke majalah HIDUP sebelum gempa Yogya-Klaten 27 Mei 2006.

Inti tulisan saya saat itu adalah bahwa tidak perlu mesias baru karena Mesias (Yesus Kristus dari Nazaret) masih berkuasa. Salah satu tandanya adalah gempa bumi di beberapa tempat. Tulisan saya memang dimuat pada edisi 4 Juni 2006 tetapi bagian yang mengatakan gempa bumi dan triple six dihilangkan.

Pada hari Senin 6 April 2009 pukul 03:32 waktu setempat di L'Aquila Italia (100 km timur laut kota Roma) terjadi gempa bumi yang memakan korban meninggal tidak kurang dari 260 orang (Kompas mobile 10/04/2009 diakses jam 06:31 dan Kompas cetak 07/04/2009 hlm 10). Hari Senin adalah hari yang istimewa karena hari itu adalah hari pertama setelah hari Minggu Palma yang merupakan hari raya dalam kalender liturgi Gereja.

Sampai dengan hari ini gempa Italia tersebut adalah gempa ke-7 yang terjadi berdekatan dengan hari raya setelah saya menulis surat keprihatinan saya tanggal 21 November 2003 atau gempa ke-4 bila dihitung dari gempa Yogya. Gempa-gempa tersebut adalah:
  1. Gempa Iran 26 Desember 2003
  2. Gempa Aceh 26 Desember 2994
  3. Gempa Nias 28 Maret 2005 ( 1 hari setelah Paskah)
  4. Gempa Yogya-Klaten 27 Mei 2006 (2 hari setelah Kenaikan Yesus Kristus)
  5. Gempa Taiwan 26 Desember 2006
  6. Gempa Sichuan 12 Mei 2008 (1 hari setelah Pentakosta)
  7. Gempa Italia 6 April 2009
Melihat kejadian-kejadian tersebut saya tetap pada pendapat saya bahwa triple six itu berkaitan dengan pewarisan kekayaan berlimpah. Dan pemimpin agama dari agama mana pun yang tidak melarang triple six pada umatnya akan terkena hukuman sebagaimana saya tulis dalam postingan terdahulu :"Peringatan dan Pesan untuk Orang Jawa: Terhindar Kutukan, Memasuki Jaman Keemasan"

Saya juga berpendapat bahwa gempa bumi pada tanggal-tanggal istimewa tersebut (bdk Mat24:7) merupakan tanda akan beralihnya jaman lama ke jaman baru yang penuh damai sejahtera. Menurut hemat saya kalau orang tidak bertobat dari triple six maka akan ada hari H yang dahsyat yang akan menjadi tanda peralihan jaman teresebut. Salah satu hal yang menyebabkan hari H yang dahsyat tersebut tidak bisa diprediksi adalah karena menyangkut waktu pertobatan yang merupakan wewenang TUHAN. Kalau waktunya diperpanjang banyak rakyat yang mati karena kelaparan dan kemiskinan, kalau waktunya diperpendek mungkin banyak petinggi agama yang akan terkena. Semoga ini dimengerti.

Saya berharap siapapun juga jangan menghambat akses blog saya ini oleh publik. Selain blog ini saya masih mempunyai web atau blog lain yang berbahasa Inggris yang memang khusus ditulis untuk orang asing terutama barat yaitu http://public-prosperity.blogspot.com dan http://satriopiningitasli.param.mobi

Selasa, 07 April 2009

Dampak Biosoioekonomi pada Sektor Moneter-Perbankan

Beberapa hari lalu saya posting tulisan biososioekonomi pada tahun 2006 yang berjudul "Dampak Biosioekonomi dalam Sektor Modal/Keuangan Global" postingan itu merupakan kutipan dari karya tulis saya 2006 yang saya ajukan dalam lomba "Karya Tulis 2025" yang diselenggarakan Bank Indonesia. Dalam postingan kali ini saya kutipkan tulisan saya dari karya tulis yang sama khususnya dampak biososioekonomi (sebagai hukum alam) pada sektor moneter-perbankan.


Bidang moneter dan perbankan termasuk bidang yang menderita akibat tidak seimbangnya neraca HCS (mengenai neraca herucakra society/HCS bisa dilihat dalam makalah saya yang berjudul :"Bioekonomi, Ekonomi Masyarakat, dan Kependudukan"di www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id). Depresiasi permanen mata uang atau currency debasement merupakan fakta yang dihadapi dan dirasakan banyak orang. Mereka yang pendapatannya pas-pasan atau pensiunan dengan pendapatan pas-pasan termasuk kelompok yang menderita akibat depresiasi ini.


Banyak orang beranggapan bahwa depresiasi permanen mata uang ini timbul sebagai akibat tidak didukungnya uang fiat dengan jaminan emas. Uang fiat memang tidak didukung emas di bank sentral. menurut Tony A Prasetiantono hal ini karena produksi emas tidak akan mencukupi untuk kebutuhan itu. ( lihat tulisan Tony A Prasetiantono yang berjudul;" Uang sebagai Komoditas" Kompas 28 Juni 2000. Dalam tulisan itu dikatakan "Namun demikian, sistem standar emas semacam itu juga tidak bisa dpertahankan. Soalnya jumlah cadangan emas yang dapat disimpan di bank sentral tidak sebanding dengan kebutuhan transaksi dalam perekonomian yang kian cepat berakselerasi"


Ada pula usulan agar digunakan standar emas. Usulan ini pernah disampaikan kepada Presiden Ronald Reagen pada tahun 1981. Ia membentuk komisi, setelah melakukan pengkajian, komisi itu menolak gerakan tersebut. "Bagian penting alasan di balik penolakan itu adalah bahwa standar emas menempatkan kekuatan ekonomi yang besar di tangan negara yang memproduksi emas" (Case & Fair. Prinsip-prinsip Ekonomi Makro, Prenhalindo, Jakarta, 2002, terj dari Principles of Economics, Prentice Hall, New Jersey, 2000).



Bagi mereka yang terbiasa dengan rekening T atau neraca aset-liabilitas, akan segera menangkap bahwa apabila neraca HCS menghasilkan nilai negatif yang tinggi maka hal itu akan berpengaruh besar pada depresiasi (permanen) mata uang. Pencetakan uang oleh bank sentral atau penerbitan obligasi pemerintah akan membuat uang fiat tidak bisa bertahan nilainya. Secara teoritis kalau pertumbuhan populasi penduduk nol persen, pertumbuhan PDB juga nol persen, kekayaan individu terdaur ulang sesuai harapan biososioekonomi maka nilai uang bisa dipertahankan tidak terdepresiasi atau kalau terdepresiasi sangat kecil sekali. Dalam kondisi seperti itu bank sentral tidak perlu mencetak uang lagi, tidak perlu meminta pemerintah menerbitkan obligasi. Metode daur ulang sebenarnya adalah suatu metode yang selaras dengan hukum alam. Dengan metode ini maka perakaian sumber daya alam termasuk kekayaan juga lebih efisien. Perimbangan antara jumlah emas dan jumlah penduduk (bila pertumbuhan penduduk nol persen) akan selalu tetap. Dengan daur ulang kekayaan emas, maka emas seolah-olah tidak pernah habis. Hal yang sama berlaku untuk properti dan uang fiat. Perhatikan pula air kolam renang, apabila setiap minggu kita harus menguras sekaligus membuang arinya kemudian menyedot dari tanah air baru, betapa besar pemborosannya. Memang diperlukan revolusi berpikir (bdk Mubyarto, 2003, "Tanpa Revolusi Cara Berpikir Bangsa Indonesia akanMasuk Jurang" Kompas 14 Oktober 2003).


Tidak adanya daur ulang pada plastik akan menyebabkan penumpukan sampah plastik yang semakin menggunung karena plastik tidak bisa membusuk padahal harus diproduksi terus-meneerus untuk kebutuhan manusia. Metode daur ulang adalah metode yang universal. Bebas dari prasangka ideologi, agama, atau budaya tertentu. Tidak adanya daur ulang akan menyebabkan banyak permasalahan. Sampah plastik yang menggunung pada kasus plastik atau liabilitas yang tinggi jauh dari asetnya pada neraca HCS dan pemerintah.


Pengetatan moneter secara konvensional dengan iming-iming bunga SBI atau obligasi pemerintah sebenarnya suatu operasi moneter yang mahal bagi pemerintah dan masyarakat. Sekali lagi perlu diingat bahwa ekonomi itu berkaitan dengan kepentingan. Pemborosan bagi pihak yang satu bisa berarti efisiensi bagi pihak lain, aset bagi pihak yang satu bisa berarti liabilitas bagi pihak lain.


Apabila di Indonesia ada 10.000 orang yang memiliki deposito besar dari warisan, maka apabila mereka menghibahkan Rp1 milyar saja kepada bank sentral maka itu berarti terjadi pengetatan moneter permanen sebesar Rp 10 triliun. Dan apabila mereka meminjamkan Rp 5 milyar tanpa bunga kepada bank sentral selama dua tahun akan terjadi pengetatan temporer sebesar Rp 50 triliun (Hani Putranto:"Mengentaskan Kemiskinan dengan Paradigma Baru Demokrasi Ekonomi"karya tulis 2005). Tentu saja dana yang diserap itu masuk ke brankas bank sentral dan tidak dipakai untuk meningkatkan gaji pegawai bank sentral karena hal ini akan menyebabkan dana masuk ke pasar, masuk ke dalam sistem ekonomi. Ini adalah metode kontraksi moneter yang murah dan efektif. Murah di sini dipandang dari sudut kepentingan pemerintah, masyarakat, dan bank sentral yang dalam hal ini berada pada kepentingan yang sama. Bukan dipandang dari sudut pandang individu atau dinasti (klan). Memang dalam metode ini sejumlah fee perlu dibayarkan kepada bank komersial asal deposiito karena bank adalah institusi bisnis yang tetap harus mendapatkan pemasukan atau laba.


Membayar bunga atau laba kepada pemilik kekayaan besar dari warisan adalah suatu pemborosan. Pemborosan itulah yang tidak disadari oleh teori ekonomi konvensional karena pihak yang hendak dibela kepentingannya oleh teori itu tidak jelas. Kalau suku bunga deposito menjadi minus atau selisihnya dengan inflasi sangat kecil, secara teoritis itu merupakan pengaruh dari pemborosan itu, yaitu adanya dana warisan berjumlah besar pada dana pihak ketiga dalam perbankan.


Bagi bank, deposito adalah liabilitas. Bagi perekonomian makro, menurut biososioekonomi, deposito dan semua hak milik individu adalah liabilitas. Kalau kita ingin masalah moneter dan perbankan teratasi maka aset masyarakat (bukan aset orang per orang-pen) harus ditingkatkan sehingga mendekati liabilitasnya. Neraca HCS memang tidak perlu menghasilkan nilai positif karena masyarkat bukan institusi bisnis namun nilai negatifnya yang luar biasa besar harus segera diatasi.


Demikian pandangan biososioekonomi. Biososioekonomi sebagai ekonomi publik kerakyatan tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi usaha kecil (ekonomi rakyat orang per orang) tetapi juga pada sektor moneter.


Senin, 06 April 2009

Ekonomi Keluar Rel, Rakyat Tetap Susah

Sebagai blogger saya tetap berusaha untuk independen dalam tulisan-tulisan saya. Independen di sini bukan berarti sekedar netral, tetapi pro kebenaran dan rakyat (publik). Oleh karena itu sebagai blogger dan sebagai anak bangsa, saya melalui blog ini, perlu menyuarakan pendapat saya khusus menjelang Pemilu 9 April 2009. Semoga bermanfaat bagi rakyat banyak dan tetap berada pada kebenaran.

Para bapa bangsa pendiri NKRI memiliki suatu visi bahwa negara yang didirikan adalah suatu negara yang tidak kapitalistis tetapi juga tidak komunistis. Negara ini tidak didirikan hanya untuk golongan tertentu. Dari semua untuk semua.

Akan tetapi dalam perjalanan 4 tahun terakhir ini nuansa neoliberalistik dalam kebijakan publik pemerintah masih sangat terasa. Awalnya dengan menampilkan menteri perekonomian yang secara mencolok mata sangat-sangat neoliberalistik. Meskipun telah terjadi reshufle kabinet, tetap saja kebijakan neoliberalistik tidak berakhir sehingga tidak bisa mengimbangi eskalasi beban hidup rakyat.

Kesalahan fatal paradigma neoliberal adalah menggunakan cara pandang mikro pada tataran makro. Padahal antara mikro dan makro itu berseberangan. Apa yang oleh mikro disebut aset, pada tataran makro (publik) yang lebih luas disebut liabilitas atau beban. Menggenjot PBB setinggi mungkin sebagaimana obsesi paradigma neoliberalistik saja menggenjot liabilitas.

Teori ekonomi yang neoliberalistik telah gagal mengantisipasi krisis dan gagal mencegah meningkatnya kesengsaraan rakyat sehingga beban hidup rakyat bertambah berat. Maka saya perlu menyatakan bahwa saya keberatan terhadap klaim-klaim keberhasilan yang disuarakan melalui iklan atau propaganda oleh orang maupun partai politik.

Pengelolaan perekonomian telah keluar dari rel yang diamanatkan para bapa bangsa. Pemerintah tidak punya perhatian sama sekali terhadap usulan anak bangsa yang memberanikan diri merumuskan suatu teori ekonomi makro baru yang merupakan teori ekonomi jalan ketiga atau jalan tengah yang dinamakan biososioekonmi (bioekonomi). Teori itu telah dipublikasikan Oktober 2004 dan diseminarkan tangal 2 November 2004 dalam seminar bulanan ke-22 di Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM. Kalau kondisi seperti ini dilanjutkan maka rakyat tetap akan susah, lingkungan hidup hancur, pemanasan global mengancam dan perekonomian tidak akan stabil.

Memang ekonomi jalan ketiga rumusan saya tidak mudah diimplementasikan, perlu kerja sama dengan civil society. Akan tetapi kalau inisiatif dan niat baik civil society tidak mendapat sambutan pemerintah maka pemerintah bertanggung jawab atas kesengsaraan rakyat.

Marilah kita renungkan apakah kondisi seperti ini akan kita lanjutkan?

Minggu, 05 April 2009

Krisis Multidimensi Harus Diatasi dengan Cara Apa

Pengantar: Dengan adanya krisis global, sebagian media massa sudah mulai sadar meskipun agak samar-samar pentingnya teori ekonomi baru. Dalam postingan kali ini saya tampilkan sebuah tulisan saya di tahun 2005 yang tidak dimuat. Perjuangan untuk mmeperkenalkan teori saya itu memang berat, meskipun pada tahun itu teori saya telah saya presentasikan dalam seminar.

Krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak 1997 masih menekan hidup rakyat kebanyakan. Sejak Soeharto lengser, sudah empat presiden memerintah. Bahkan satu yang terakhir dipilih secara langsung oleh rakyat. Harapan rakyat untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik belum akan terwujud dalam waktu segera terutama dengan munculnya krisis energi dan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM seratus persen lebih. Kompensasi Rp 100.000,- per bulan untuk sekitar 15 juta keluarga miskin memang sedikit meringankan beban rakyat miskin, namun hal itu belum bisa menyelamatkan keluarga kategori hampir miskin yang karena kenaikan harga BBM jatuh menjadi miskin. Di samping itu pengkategorian miskin dan hampir miskin adalah sesuatu yang kurang jelas sehingga rawan konflik seperti terjadi di beberapa daerah.

Kesalahan tidak sepenuhnya di tangan pemerintah. Sebagian kalangan berpendapat siapapun presidennya tak akan mamapu mengatasi krisis multidimensi ini (bdk Jeffrie Geovanie, Kompas 3/10/2005). Oleh karena itu setiap komponen bangsa termasuk insan pers perlu mawas diri, jangan-jangan dirinya termasuk penghambat dalam mengatasi krisis ini.

Rakyat pasti senang kalau harga BBM tidak dinaikkan. Harga BBM atau energi murah tidak selalu harus diatasi dengan subsidi. Anggapan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM adalah bagian dari tekanan atau agenda neoliberal tidak terlau salah memang. Akan tetapi pengelolaan atau kebijakan atas sisi penawaran dan permintaan energi juga perlu untuk mendapatkan energi yang harganya terjangkau rakyat kebanyakan. Dalam hal ini termasuk diversifikasi sumber energi, pembangunan kilang minyak, dan kebijakan investasi di bidang eksplorasi minyak. Tidak kalah penting adalah pengelolaan pada sisi permintaan yaitu dengan menekan permintaan melalui penghematan energi, penyedian sistem transportasi yang efisien seperti mass rapid transportation (MRT), dan peningkatan daya beli rakyat. juga pengendalian pertumbuhan penduduk dunia,yang terakhir ini diluar jangkauan pemerintah RI,kerja sama dengan PBB dan global civil society diperlukan. Untuk mendapatkan energi murah juga perlu memperhatikan fundamental moneter dan pengendalian kurs valas. Besar sekali tantangannya.

Krisis energi hanyalah salah satu yang membuat hidup rakyat semakin tertekan. Kehidupan rakyat belum sepenuhnya pulih setelah dihantam badai krisis multidimensi sejak 1997, terbukti dengan munculnya kasus busung lapar di daerah lumbung padi seperti NTB. Kasus ini menunjukkan daya beli rakyat masih rendah. Meskipun selama beberapa tahun sebelum kenaikan harga BBM 1 Oktober tingkat inflasi di bwah dua digit, suku bunga deposito apalagi tabungan tingginya di bawah inflasi. Rakyat kebanyakan yang hanya bisa menabung Rp 10.000 hingga Rp 50.000 per bulan tabungannya termakan inflasi. Diperlukan waktu lebih lama bagi rakyat kecil untuk menumpuk modal.

Almarhum Mubyarto pernah menyatakan bahwa krisis yang terjadi sejak tahun 1997 itu bukan krisis ekonomi tetapi krisis ilmu ekonomi, yaitu kegagalan teori ekonomi konvensional dalam menyejahterakan rakyat. Pernyataan itu memang tepat. Mari kita lihat beberapa fakta berikut ini. Dua negara raksasa ekonomi dunia, AS dan Jpang, memiliki liabilitas yang jauh lebih tinggi dari asetnya. Dua tahun lalu liabilitas pemerintah AS adalah 9 triliun dollar AS sementara asetnya hanya 1,7 triliun dollar AS. Rasio hutang pemerintah Jepang juga besar.Total asetnya hanya 457,7 triliuin yen sementara kewajibannya 813,4 triliun (Kompas 9 Mei 2005, hlm 1).

Perhatikan pula dua institusi yaitu bank sentral dan negara. Apa yang ada dalam aktiva bank sentral memang berupa emas, akan tetapi sebagian besar lainnya adalah surat hutang pemerintah (Case & Fair, Prinsip-prinsip Ekonomi Makro, Prenhalindo, 2002, hlm 140). Ini jelas absurd, karena sebagian besar aktiva bank sentral adalah liabilitas bagi pemerintah (negara). memang di dalam teori ekonomi suatu aset (aktiva) bagi satu pihak adalah liabilitas bagi pihak lain. Deposito milik individu adalah aset individu yang bersangkutan, tetapai deposito ini adalah liabilitas bagi bank komersial. Akan tetapi harus diingat bahwa hal itu hanya terjadi pada dua pihak yang berseberangan kepentingannnya. Sementara antara negara (pemerintah) dan bank sentral adalah dua pihak yang seharusnya berada pada kepentingan yang sama yaitu menjaga kesejahteraan masyarakat.

Kritikan terhadap teori ekonmi konvensional bukannya tidak ada, seperti yagn dilalukan oleh Joseph Stiglitz atau paul Ormeraod akan tetapi keseriusan dan konsistensi semua pihak termasuk insan pers untuk mengatasi krisis ini belum optimal.

Upaya menemukan atau merumuskan teori ekonomi yang lebih relevan dalam mazhab barunya juga bukannya tidak ada. Rumusan baru itu telah saya buat dengan teori yang dinamakan sebagai teori biososioekonomi atau sering dipendekkan menjadi teori bioekonomi. Terkesan media massa lebih senang mengritik pemerintah daripada mencari solusi atas berbagai krisis. Benar bahwa korupsi harus diberantass dan pemerintah harus selalu diingatkan, akan tetapi ancaman terhadap perekonomian global yang mungkin bisa mengalami turbulensi yang menyengsarakan kehidupan rakyat serta berbagai persoalan seperti kesenjangan yang makin lebar antara si kaya dan si miskin, kerusakan lingkungan, pemanasan global, dan kelaparan tidak semuanya disebabkan oleh korupsi sebagai faktor utamanya.

Saya sering merenung dan tersenyum mengingat absurditas aktiva bank sentral. Jangan-jangan penghambat terbesar upaya kita keluar dari krisis adalah media massa, meskipun sebagian di antaranya mengklaim sebagai hati nurani rakyat. Wah?! Rakyat yang mana? Lantas krisis multidimensi ini harus diatasi dengan cara apa?

Jakarta, 31 Oktober 2005
Tulisan ini dikirim ke harian umum nasionla. Juga ada dalam kumpulan tulisan saya "Wahyu untuk Rakyat" edisi kedua.

Jumat, 03 April 2009

Dampak Biososioekonomi dalam Sektor Modal/Keuangan Global

Berikut ini saya kutipkan sebagian karya tulis saya dari karya tulis yang saya sampaikan dalam lomba Karya Tulis 2025 yang diselenggarakan Bank Indonesia Desember 2006.

Menurut Biososioekonomi, perekonomian konvensional sebenarnya sangat ekspansif karena aset individu jauh lebih tinggi dari aset masyarakat atau libilitas (masyarakat-pen) jauh lebih tinggi dari aset. Dalam kondisi yang sangat ekspansif seperti ni berbagai instrumen investasi apakah itu barang riil seperti properti atau surat berharga seperti saham bisa mengalami overinvestment yang nampak pada harga yang bubbles. Harga tinggi ini bisa terkoreksi jatuh dan menimbulkan krisis. Properti dan saham yang menjadi jaminan kredit terpangkas nilainya, bank merugi atau mengalami kredit macet kemudian membebankan biaya krisis pada pemerintah (bdk tulisan A Tony Prasetiantono yang berjudul"Ada Apa dengan Ekonomi Jepang?" Kompas 7 Mei 2002). Hutang pemerintah Jepang pernah mencapai 140% PDB. Negara-negara lain juga hutangnya besar. Sebagian hutang merupkan biaya untuk mengatasi krisis. Hutang telah menjadi permaslahan global bagi banyak negara (lihat tulisan A Tony Prasetiantono yang berjudul "Utang Suatu 'Horor' Global" Kompas 5 Februari 2002)

Teori ekonomi konvensional (neoliberal atau keynesian-pen) memandang siklus bisnis sebagai sesuatu yang alamiah. Naik turunnya perekonomian dari booming ke resesi atau depresi dianggap sebagai hukum alam yang wajar. Pandangan ini tidak tepat. Kalau kita mengamati naik turunnya populasi burung hutan, misalnya, selama 100 tahun, maka akan terlihat keteraturan naik turunnya populasi burung tersebut mengikuti musim. Dalam hal ini gerak kurva naik turun adalah alamiah. Tetapi perekonomian tidak bisa dipandang seperti ini.

Overinvestment yang berubah menjadi krisis dalam perekonomian bukan sesuatu yang alamiah. Menurut biososioekonomi hal itu terjadi karena jumlah laba yang dikeluarkan dari sistem ekonomi ke dalam sistem sosial tidak sebanding dengan jumlah laba yang tercipta dalam sistem ekonomi itu. Teori ekonomi konvensional hanya mengenal pajak untuk mengeluarkan laba itu dari sistem ekonomi, mungkin juga sedikit derma yang karena jumlahnya kecil maka diabaikan. Karena pajak persentasenya terbatas maka overinvestment itu akan terjadi berulang-ulang seolah-olah sebuah siklus alam yang tidak bisa dihindari. Selain pajak biososiokeonomi mengenal derma dan daur ulang kekayaan individu untuk mengeluarkan laba (dan kekayaan) dari sistem ekonomi. Tingkat laba juga tidak akan jatuh karena laba yang dikeluarkan dari sistem ekonomi setara dengan laba yang tercipta. Laba atau kekayaan itu masuk lagi ke dalam sistem ekonomi sehingga tingkat laba tidak pernah jatuh.

Globalisasi investasi, khususnya investasi pada portofolio, dan globalisasi modal asing sering menyebabkan overinvestment dan tidak stabilnya perekonomian suatu negara. Kurs valas bisa bergejolak dan merepotkan berbagai pelaku ekonomi terutama pabrikan dan perbankan. Dalam perekonomian konvensional modal menjadi sangat volatil. Biososiokeonomi berusaha menstabilkan perekonomian selain dengan menghibahkan atau meminjamkan sejumlah dana ke bank sentral juga karena aset-aset masyarakat, yang dikelola yayasan pengelola seperti valas, saham, dan properti, dijual sesuai jadual jatuh tempo yang telah ditetapkan untuk membayar jaminan sosial seperti beasiswa.

Demikian sebagian kutipan saya. Lain kali saya juga akan memposting tulisan-tulisan biososioekonomi di masa lalu. Karya tulis saya tersebut ada dalam naskah tulisan saya "Wahyu untuk Rakyat" edisi kedua.

Kamis, 02 April 2009

Orde Baru dan Kesejahteraan Umum

Pengantar: Sebagaimana saya janjikan dalam postingan terdahulu, "Yang Diharapkan dari Media Konvensional" maka dalam postingan kali ini saya tampilkan tulisan saya mengenai biososioekonomi yang ditulis pada tanggal 16 Desember 2003. Tulisan ini saya kirim ke harian nasional dan majalah mingguan tetapi tidak dimuat. Pemberantasan korupsi memang harus dilakukan, tetapi saya keberatan kalau itu dijadikan satu-satunya syarat menuju kepada kesejahteraan umum. Semoga tulisan saya yang saya posting dengan cara pengetikan kembali dari hard copy ini bisa dijadikan pelajaran berharga di mana tindakan di masa lalu masih berpengaruh sampai hari ini.

Beberapa waktu yang lalu masyarakat dan pers begitu gencar mengkritik pemerintah yang korup. Kritikan bertubi-tubi itu begitu keras bahkan dengan kata-kata yang agak kasar. Kini, setelah "serangan-serangan" itu, muncul kehebohan baru, komponen-komponen Orde Baru siap bangkit pada Pemilu 2004 mendatang.

Saya termasuk orang yang tidak begitu vokal mengkritik pemerintah yang korup. Bukan berarti saya tidak anti korupsi. Korupsi memang harus diberantas karena merupakan salah satu pertukaran kepemilikan yang tidak adil dan juga tidak legal. Kalau saya tidak tajam mengkritik pemerintah karena saya punya perhitungan tersendiri.

Salah satu mekanisme pertukaran kepemilikan yang adil adalah mekanisme pasar. Kalau mekanisme pasar diotak-atik mungkin bisa menghasilkan keadilan, mungkin juga tidak. Tetapi kalau saat bersamaan aset trilyunan atau milyaran rupiah berpindah tangan dengan cara yang tidak adil dalam waktu sekejap dengan mekanisme warisan maka yang dihasilkan sudah pasti ketidakadilan sosial. Tidak diperlukan seorang doktor lulusan Eropa atau AS untuk bisa melihat kebenaran ini. Teori ekonomi yang merumuskan dengan sangat baik bahwa kekayaan individu mestinya tidak diwariskan adalah teori hasil penemuan saya yang saya namakan teori bioekonomi. Bioekonomi adalah teori ilmiah yang bebas dari prasangka ideologi, budaya, atau agama.

Buat apa mengkritik pemerintah sekarang dengan keras dan membabibuta kalau toh dengan kritikan itu belum tentu bisa mensejahterakan rakyat (sekolah gratis, murah sandang, pangan, papan, dan pajak juga ringan serta mencari rejeki juga mudah). Apalagi kalau kritikan itu justru dimanfaatkan oleh kekuatan lama yang tidak kalah bobroknya (otoriter, penuh rekayasa, dan KKN) untuk mencoba bangkit. Berapa persen pajak ditarik dari kekayaan individu? Katakanlah 20%. Berapa persen yang dikorupsi? Sekian persen. Kalau 80% kekayaan individu (setelah dipotong 20%) tidak diwariskan tetapi didaur ulang seprti diaharapkan oleh teori bioekonomi maka dunia ini sudah mencapai masyarkat adil dan makmur, sekolah bisa gratis, barang-barang murah, pajak ringan, menceri rejeki juga mudah, ekonomi juga bisa stabil. Ini bukan janji kampanye tetapi sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan dari sudut pandang ilmiah dan filosofis.

Memang negara tidak akan mampu memaksa warganya untuk tidak mewariskan kekayaan individu kepada anak cucunya. Hal ini adalah urusan apa yang dalam naskah buku saya, saya namakan herucakra society, yaitu open dan civil society dimana individu di dalamnya mendaur ulang kekayaan masing-masing dengan damai melalui 1)kesadaran diri masing-masing individu, 2)tekanan institusi agama pada umatnya masing-masing, 3)etika sosial, 4)tekanan dan kontrol oleh masyarkat konsumen.

Reformasi selama ini hanya dipahami sebagai mengganti orang ini orang itu. Sudah saatnya kita melakukan reformasi budaya. Setiap individu harus bisa memanage qalbunya dengan baik seperti disarankan oleh Aa Gym. Penghargaan yang besar harus kita berikan kepada orang seperti beliau dan orang-orang lain yang berkehendak baik.

Dengan segala kerendahan hati yang saya miliki dan dengan segala hormat bagi Anda orang-orang mantan pejabat atau yang terkait dengan Orde Baru saya perlu menyarankan kepada Anda. Kalau Anda memang benar-benar berniat untuk memperjuangkan kesejahteraan umum, yang diperlukan bukan membuat partai ini atau partai itu. Yang diperlukan sederhana saja, kembalikan atau sumbangkan sebagian besar kekayaan Anda kepada negara (state) atau kepada masyarakat (society) dengan cara memberi beasiswa, tanpa Anda sendiri meminta balasan apapun dari negara dan masyarakat. Proses hukum atau rekonsiliasi dengan masyarakat bisa dilakukan kemudian. Kalau proses rekonsiliasi dipilih sebagai alternatif, mungkin masyarakat, masih bisa mentolerir sebagian kecil kekayaan masih berada di tangan Anda untuk melanjutkan perjalanan hidup Anda dengan standar yang sederhana. Anda bisa tinggal di rumah tipe 70/120 di Bekasi atau Tangerang dengan standar hidup sesuai masyarakat sekitar. Atau kalau Anda enggan bersosialisasi dengan tetangga Anda bisa tinggal di Apartemen Mediteranean Garden Residence di Tanjung Duren, atau Mediteranean Gajah Mada di Jl Gajah Mada atau paling mewah Apartemen Taman rasuna yang bisa menjaga privasi Anda.

Sudah saatnya masyarakat mengahrgai seseorang bukan dari kekayaannya atau jabatannya tetapi dari apa yang disumbangkan kepada sesamanya. Reformasi mestinya tidak sekedar mengganti orang tetapi perlu juga reformasi budaya dan qalbu dan itu perlu peran serta civil society atau herucakra society.

Rabu, 01 April 2009

Mewujudkan Perubahan: Satu Bumi untuk Semua (1)

Segala upaya untuk mengatasi krisis global pasti akan gagal kalau tidak didasari suatu teori ekonomi baru yang benar-benar memahami hukum keseimbangan (akuntansi) dan kelangkaan (ekonomi). Kegagalan teori ekonomi konvensional mengantisipasi krisis, jelas menunjukkan bahwa teori itu tidak benar-benar memahami hukum akuntansi dan kelangkaan. Perekonomian mungkin akan pulih dengan sendirinya (dalam waktu yang tidak mudah diprediksi dan setelah memakan banyak korban) tetapi tidak akan stabil tanpa tindakan yang didasari pemahaman atas hukum keseimbangan dan kelangkaan.

Beberapa upaya yang menunjukkan tidak dipahaminya hukum akuntansi dan kelangkaan itu adalah tindakan ke arah proteksionisme, munculnya neososialisme, dan regulasi atau pengawasan sektor keuangan. Proteksionisme justru akan mengakibatkan perekonomian global terperosok semakin dalam. Neososialisme muncul tanpa landasan teori ekonomi yang accountable.

Demikian pula pertemuan G-20 (2-04-09) tak akan mengatasi krisis kalau hanya membatasi diri pada tindakan tambal-sulam dengan mengawasi lebih ketat lembaga investasi termasuk industri derivatif. Maraknya lembaga investasi itu karena perekonomian mengalami overinvestment. Kalau lembaga seperti itu dibatasi atau diawasi ketat maka yang terpukul adalah pemodal kecil. Selain itu pembatasan akan mengakibatkan dana-dana menumpuk di bank, dan kalau disalurkan ke sektor riil melalui mekanisme pemberian kredit maka hal itu menyebabkan overinvestment berpindah ke sektor riil. Ini tidak mengubah keadaan menjadi baik.

Kalau mau berubah harus mau menyimak saran biososioekonomi yaitu mengembalikan laba dan akumulasinya (=kekayaan) kepada semua orang melalui pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu kemudian didistribusikan ke seluruh dunia tanpa sekat negara, atau sekat primordial-sektarian lain, sehingga terwujud kondisi yang stabil, adil sejahtera di seluruh bumi. Satu bumi untuk semua. Kalau biososioekonomi tak memahami hukum akuntansi dan ekonomi maka tak satupun prediksinya yang benar.