Selasa, 28 September 2010

Bioekonomi Solusi untuk Indonesia dan Dunia

Untuk mengenang kembali bagaimana istilah bioekonomi (biososioekonomi) muncul, berikut ini saya posting artikel saya yang pernah saya kirim ke media massa nasional tetapi tidak dimuat. Tulisan itu ditulis tanggal 20 September 2002, delapan tahun lalu. Berikut ini adalah artikel itu, di sini saya posting dengan cara mengetikkan kembali huruf demi huruf.

Profesor Mubyarto menulis artikel di harian Kompas, 17/9/2002 yang diberi judul "Ekonofisika atau Sosioekonomi, Mana yang Paling Dibutuhkan Indonesia?" Judul yang disusun dalam kalimat tanya ini cukup menyentak kesadaran kita. Saya setuju dengan kesangsian beliau bahwa ekonofisika belum tentu bisa membantu menyelesaikan masalah Indonesia. Tulisan ini merupakan jawaban atas ajakan Prof Mubyarto agar Ilmu Ekonomi rujuk dengan sosiologi dan antropologi, meskipun yang ditulis di sini agak berbeda. Apa yang dipaparkan di sini merupakan bagian dari pemikiran-pemikiran yang saya kembangkan dalam dua buku saya baik yang dalam tahap penerbitan maupun dalam tahap penyusunan. Naskah pertama Suara Alam: Menemukan Jalan ke Tanah Terjanji, Menuju Kapitalisme Tanpa Darwinisme sedang dalam tahap penerbitan Sedang yang kedua Herucakra Society Suatu Jalan Ketiga *) sedang dalam tahap penyusunan.

Ekonomi berasal dari bahasa Yunani yang berarti seseorang yang mengelola rumah tangga atau apa yang disebut pengurus/pelayan (Curry, Jeffry Edmund, MBA, PhD. Memahami Ekonomi Internasional, PPM Jakrta, 2001, terj. Dari Short Course in "International Economics" World Trade Press, 2000). Dari sini berkembang ekonomi individu, kota, dan negara. Krisis yang menimpa Indonesia, Argentina atau negara lain merupakan permasalahan yang ada kaitannya dengan globalisasi. Krisis dan permasalahan global mestinya diselesaikan secara global. Bioekonomi tidak bisa ditempatkan pada tataran kebijakan ekonomi negara, tetapi harus ditempatkan pada tataran global antara alam dan manusia tanpa sekat-sekat negara.

Apa yang saya maksud dengan bioekonomi sebenarnya adalah kependekan dari biososioekonomi, namun karena istilah yang terakhir ini terlalu panjang dan berkonotasi dengan faktor-faktor sosiologi dan budaya yang mungkin tidak universal maka saya memutuskan untuk memendekkannya menjadi bioekonomi. Bioekonomi didasarkan pada kenyataan bahwa bumi atau alam ini adalah ruang yang minus bukan netral. Dimana dalam ruang minus itu pangan hanya bisa diproduksi dengan cukup jika manusia bersedia (terpaksa) mati dan tubuhnya hancur terdekomposisi menjadi tanah dan pupuk untuk bisa didaur ulang atau diproses kembali menjadi beras, kedelai, dan lain-lain seperti halnya dikenal dalam biologi. Analog dengan hal itu adalah kekayaan, kekayaan cukup untuk memakmurkan dan mensejahterakan umat manusia secara adil jika dan hanya jika kekayaan tersebut didaur ulang, bukan diwariskan kepada anak cucu. Rumusan saya ini saya paparkan dalam buku saya yang pertama.

Dengan memberi notasi atau tanda minus kepada bumi maka kelahiran individu manusia harus dihitung sebagai hutang terhadap alam sehingga selanjutnya bisa disusun suatu neraca antara alam dan manusia yang saya namakan neraca hutang dan pembayaran hutang (lihat tabel).

Berdasarkan neraca inilah kekayaan seharusnya dikelola Dari neraca tersebut di atas terlihat bahwa pengelolaan kekayaan selama ini tidak baik sehingga menimbulkan defisit yang maha dahsyat terutama karena tidak berjalannya daur uklang kekayaan. Berapa persenkah maksimum pajak yang bisa dikenakan dan bisa ditolerir oleh "organisme hidup" seperti individu atau perusahaan? Selama persentasenya tidak bisa mencapai 100% dan daur ulang kekayaan tidak terjadi maka sisi hutang akan jauh lebih besar dari sisi pembayaran hutang. Daur ulang kekayaan seharusnya dilakukan oleh semua individu yang masa hidupnya sudah berakhir dan terutama oleh yang gemuk-gemuk. Tetapi hukum daur ulang kekayaan jangan "diekstrapolasikan" untuk diterapkan kepada perusahaan karena akan menyebabkan bangkrut dan tutup.

Kekayaan daur ulang adalah kekayaan yang tidak mengikuti hukum ekonomi bisnis tetapi mengikuti hukum karitas dan keadilan (seperti yang saya paparkan dalam buku saya yang pertama). Kekayaan ini dipakai untuk membiayai jaminan sosial (pendidikan gratis, jaminan kesehatan, food stamps) untuk generasi mendatang. Selain itu kekayaan ini juga berguna untuk menstabilkan kurs valuta asing, menurunkan suku bunga**) menggerakkan ekonomi riil karena terdistribusi kepada lebih banyak individu, dan meminimalkan depresiasi uang.

Hoogendijk dalam bukunya Revolusi Ekonomi (Hoogendijk, Willem. Revolusi Ekonomi, Menuju Masa Depan Berkelanjutan Melalui Pembebasan dari Pengejaran Uang Semata, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1996, terj dari The Economics Revolution: Towards a Sustainale Future by Freeing the Economy from Money-making. Uitgeverij Jan an Arkel. 1991) memaparkan bahwa kesengsaraan umat manusia saat ini karena diterapkannya prinsip uang harus tumbuh yang pada gilirannya menyebabkan apa yang disebutnya sebagai spiral kesengsaraan. Bioekonomi menjawab masalah ini dengan baik yaitu dengan kekayaan daur ulang yang dibiarkan terdekomposisi habis dipakai untuk membiayai jaminan sosial serta menjaga stabilitas finansial. Selain itu Hoogendijk dalam buku tersebut juga memaparkan depresiasi uang permanen. Artinya harga minuman kakek pada masa itu adalah 5 sen, sekarang 1 dollar, sedangkan pada masa kakeknya kakek adalah 1 sen. Ini terjadi karena suplai uang yang lebih banyak dari barang dan jasa. Sedangkan menurut bioekonomi depresiasi terjadi karena masuknya materi dan energi dari alam bebas ke dalam sistem ekonomi yang diikuti dengan pencetakan uang tidak diimbangi atau dinetralisir dengan mengeluarkan uang tadi dari sistem ekonomi manakala materi dan energi tadi hilang atau habis dikonsumsi sehingga jumlah uang selalu tumbuh lebih banyak dari barang dan jasa. Dengan daur ulang kekayaan seharusnya umat manusia tidak perlu mencetak uang lagi karena laba usaha atau bunga yang diperoleh yang dalam neraca di atas berada pada kolom hutang bisa dicukupi, ditutup atau dinetralisir dengan kekayaan daur ulang yang terdekomposisi. Dengan demikian demikian depresiasi uang bisa ditekan sekecil mungkin. Pencetakan uang hanya diperkenankan apabila ada tambahan baru masuknya materi durables (emas, permata, properti) dari alam bebas ke dalam sistem ekonomi.

Inilah sebagian dari pemikiran-pemikiran yang saya kembangkan. Saya tidak bisa mengungkapkan semuanya dalam ruang yang terbatas ini. Jalan ketiga yang saya kembangkan dalam buku kedua saya berbeda dengan jalan ketiganya Anthony Giddens, dimana jalan ketiganya Anthony Giddens bisa dikategorikan pemikiran politik atau filsafat politik, sedangkan jalan ketiga saya merupakan filsafat pengelolaan kekayaan atau non politik. Jadi tidak menggunakan jalur negara. Dalam buku tersebut saya usulkan pembukaan jalur baru yang lebih pendek dalam mengontrol kekayaan, dimana yang perlu dikontrol adalah apa yang saya namakan linierisme individu***) yaitu segala paham dan adat istiadat untuk mewariskan kekayaan yang berlimpah ruah kepada anak cucu Jalur tersebut adalah dengan memberdayakan kedaulatan individu sebagai konsumen. Jalur yang selama ini ada yaitu jalur politik dianggap terlalu sesak dan panjang sementara negara sebenarnya adalah suatu institusi yang terbelenggu dan sarat beban sehingga menggunakan jalur ini akan mengurangi efektifitasnya. Kontrol oleh konsumen ini lebih bersifat langsung, legal, demokratis, adil, dan non kekerasan.

Hari-hari setelah dimuatnya dan terbitnya buku-buku saya ini, kita akan melihat apakah umat manusia akan menjadi lebih arif dan bijaksana sehingga mau menerima kenyataan pahit ini bahwa di dalam ruang minus, kekayaan harus dihitung hutang oleh alam dan harus didaur ulang. Atau manusia akan mencapai puncak kekonyolannya dengan tetap menganggap bumi adalah netral dan membolehkan pewarisan kekayaan.

Jakarta, 20 September 2002

Demikian artikel saya waktu itu sebagai respon atas artikel Pak Mubyarto. Dalam artikel itu saya paparkan neraca yang menjadi landasan pemikiran bioekonomi. Awalnya artikel itu begitu sederhana dan mengandung beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki kemudian hari akan tetapi sebagai kerangka berpikir sebenarnya sudah sangat memadai dan jernih. Dari situ bioekonomi menawarkan suatu opini bahwa yang dimaksud pendapatan makro (publik) adalah pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu. Menjumlahkan pendapatan individual (mikro) menjadi PDB dan menggunakannya sebagai ukuran makro sebenarnya secara ilmu akuntansi tidak bisa dipertanggungjawabkan. Penggunaan angka PDB dan pertumbuhan PDB sebagai ukuran makro adalah sebuah kebodohan atau pembodohan sistematis akademis yang digemakan dan dipropagandakan oleh media massa.

*) Sebagai catatan, naskah saya yang pertama sampai hari ini 28 September 2010 belum ada yang menerbitkan (saya berhenti mengirimkan ke penerbit sejak kurang lebih 6 tahun lalu), mungkin tulisan-tulisan saya dalam naskah yang pertama akan saya posting juga di blog ini. Sementara naskah saya yang kedua diterbitkan dengan judul Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia oleh Wedatama Widya Sastra Jakarta Oktober 2004.

**)Di kemudian hari saya tidak sependapat bahwa penterapan bioekonomi akan menurunkan suku bunga. Pendapat saya belakangan adalah dengan diterapkannya bioekonomi pembayaran bunga oleh sistem menjadi sangat efisien karena sistem tidak membayar bunga kepada dana yang termasuk kategori triple six (dana berlimpah dari warisan). Suku bunga yang dinikmati dana non triple six boleh jadi sangat besar dengan inflasi yang kecil. Dalam hal ini bunga yang dinikmati oleh dana non triple six bisa dikatakan semacam profit sharing.

***)Belakangan setelah saya menulis karya tulis "Mengentaskan Kemiskinan dengan Paradigma Baru Demokrasi Ekonomi" tahun 2005 dan terutama di blog ini saya lebih suka menggunakan istilah "triple six" untuk menggantikan istilah "linierisme individu"

Selasa, 21 September 2010

Membongkar Penindasan (2)

Gambaran mengenai jaman keemasan itu sebenarnya sederhana. Kesederhanaan itu memungkinkan semua orang termasuk yang tingkat intelektualitasnya sederhana bisa memahaminya serta berpartisipasi menjaga agar tidak terjadi manipulasi atau penyerongan terhadap jaman keemasan itu serta tidak ada penindasan (penenggelaman) informasi.

Jaman keemasan itu kurang-lebih bisa diperumpamakan dengan pesta perkawinan sehingga semua yang menghadirinya kenyang dan gembira. Dahulu kala memang mempelai laki-laki itu telah menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang pesta perkawinan itu. Kabar gembira mengenai akan diselenggarakannya pesta perkawinan disebarkan baik oleh mempelai laki-laki maupun sahabat-sahabatnya. Semua orang diundang dalam pesta besar itu.

Suatu waktu mempelai laki-laki diambil dari para sahabat-sahabatnya. Sebelumnya ia dengan diiringi para sahabat memasuki sebuah kota dari mana seharusnya mempelai perempuan berasal. Akan tetapi penduduk kota itu menolaknya dan membunuhnya. Maka mempelai laki-laki menjatuhkan pilihannya ke tempat lain.

Kini kisah mempelai laki-laki itu telah tersebar ke seluruh muka bumi di saat sekitar satu milyar penduduk bumi terancam kelaparan dan kemiskinan. Memang tidak semua penduduk bumi mengenal mempelai laki-laki itu beserta rencana pesta perkawinannya. Namun yang mengenal mempelai laki-laki itu juga tidak semuanya memahami bagaimana suatu pesta perkawinan untuk seluruh penduduk bumi dibiayai. Bahkan dari mereka tidak sedikit yang menganggap bahwa pesta seperti itu hanya terjadi di surga atau beranggapan bahwa mempelai laki-laki itu hanya jalan ke surga bukan sekaligus jalan kesejahteraan umum di bumi, padahal setiap hari berdoa: "Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga."

Kesadaran akan adanya pesta perkawinan di bumi hanya terjadi pada sebagian kecil orang. Ketika dunia dilanda krisis ekonomi global dan kemiskinan maka menjadi penting bagaimana pesta besar itu dibiayai. Memang yang mengetahui bagaimana pesta besar di bumi itu dibiayai hanya ada dua yaitu mempelai laki-laki itu sendiri dan mempelai perempuan. Dalam banyak kebudayaan di bumi seorang sahabat baik sahabat mempelai laki-laki atau mempelai perempuan memang tidak tahu bagaimana pesta besar di bumi itu dibiayai.

Pesta perkawinan yang terbuka bagi semua orang itu adalah suatu kabar gembira bagi semua orang. Demikian juga munculnya mempelai perempuan adalah kabar gembira. Semua orang dan sahabat bisa ikut hadir dan bisa ikut berpartisipasi bagaimana pesta besar untuk semua orang di bumi itu diselenggarakan dan dibiayai. Namun kabar gembira itu tidak banyak diketahui orang antara lain karena sepak terjang media massa dengan prinsipnya "bad news is good news." Good news sering ditenggelamkan dengan bad news dan junk news. Sepak terjang media massa itu ikut membutakan mata banyak orang tentang jaman keemasan.

Sedikit keberuntungan muncul karena mempelai perempuan itu mempunyai sahabat yang berpartisipasi mempublikasikan dan menyeberluaskan karyanya. Rumusannya: "kelahiran adalah hutang yang harus dibayar dengan kematian" (rumusan dasar biososioekonomi) menjadi kunci pembuka bagaimana pesta besar itu dibiayai. Dan karena rumusannya itu, layaklah ia disebut mempelai perempuan bukan sekedar sahabat mempelai laki-laki.

Penindasan selain bersembunyi di balik hal-hal yang tampaknya ilmiah tetapi tidak ilmiah juga penindasan itu bercokol dan lestari karena sepak terjang media massa dengan prinsipnya: "bad news is good news." Good news telah ditenggelamkan. Penenggelaman good news harus menjadi keprihatinan semua orang. Mempelai perempuan dengan rumusannya adalah good news yang sering ditenggelamkan oleh media massa. Seseorang yang tidak memiliki jiwa penindas seharusnya tidak menenggelamkan good news, karena kalau ia menenggelamkan good news ia juga bagian dari penindas atau anteknya penindas Penindasan seperti itu harus dibongkar dan dihentikan.

Pesta besar di bumi itu adalah keniscayaan yang yang tak terhindarkan. Memang seperti halnya Petrus, Yohanes, Andreas, atau Thomas, mempelai perempuan itu adalah manusia biasa. Mempelai perempuan itu meskipun nampak tetapi tidak memiliki kekuasaan, ia hanya manusia biasa sekedar titik di bumi yang menjadi sebuah tanda. Segala kekuasaan dan kemulian ada pada memelai laki-laki karena ia adalah TUHAN Semesta Alam. Meskipun tidak nampak, Mempelai Laki-laki sangat berkuasa. Maka kalau pesta besar di bumi ini dihambat atau diboikot oleh para penindas dan antek-anteknya maka TUHAN Semesta Alam dan para penghuni di surga akan bertindak menghancurkan dan menghukum para penindas, penghambat, pengacau, atau pemboikot, karena Mempelai Laki-laki tidak mau dipermalukan seandainya undangan telah hadir tetapi hidangan tidak siap. Bertobat selagi sempat karena esok mungkin terlambat, jangan menenggelamkan good news.

Melalui postingan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada siapa saja yang telah berpartisipasi mempublikasikan serta menyebarluaskan teori ekonomi makro biososioekonomi dan blog ini. Saya dengan sepenuh hati selalu berdoa bagi Anda, yang pro biososioekonomi, agar terhindar dari hukuman atau kutukan TUHAN yang akan dijatuhkan ke bumi.

Selasa, 14 September 2010

Mengenai Komentar-komentar di Blog Ini

Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih atas kunjungan Anda di blog yang hampir berusia dua tahun ini, juga saya mengucapkan terima kasih atas komentar-komentar yang Anda tulis di bawah postingan artikel saya atau di guest box. Mohon maaf sekiranya saya tidak sempat membalas satu-persatu setiap komentar meskipun secara tidak langsung saya menjawabnya dalam postingan terbaru.

Disediakannya ruang komentar adalah untuk memberi kesempatan bagi pengunjung memberikan tanggapan atau sekedar tulisan. Juga berinteraksi baik dengan saya ataupun dengan sesama pengunjung. Saya berharap ruang tersebut digunakan secara bertanggung jawab. Bertanggung jawab akan kebenaran, keadilan, dan kedamaian. Sebagaimana saya membuat blog ini juga karena didasarkan itikad baik akan kebenaran, keadilan, dan kedamaian maka seyogyanya demikian juga setiap orang yang berkomentar di blog ini baik yang anonim maupun yang beridentitas. Saya tetap memberi kesempatan kepada komentator anonim, karena menurut saya tidak semua komentator anonim adalah pengacau. Bisa saja komentator anonim beritikad baik, jujur, dan cerdas, hanya saja karena satu dan lain hal tidak menampilkan identitas aslinya. Kesempatan seperti itu semoga saja digunakan oleh pejabat atau orang besar lain yang enggan menampilkan identitasnya. Saya juga berharap agar komentator pada tema-tema yang sulit membaca dengan baik semua atau paling tidak sebagian besar postingan saya karena pernah terjadi suatu komentar pada suatu artikel pernah saya jelaskan dalam artikel yang saya posting sebelumnya.

Sampai saat ini saya belum membuat kebijakan moderasi atas setiap komentar. Saya berharap setiap pengunjung menyaring sendiri setiap komentar atau saya persilakan menyampaikan komentar tandingan.

Semoga keberadaan blog ini bermanfaat bagi kehidupan publik yang sehat yang berjuang mewujudkan demokrasi ekonomi secara damai.

Minggu, 12 September 2010

Selamat Idul Fitri 1431 H

Kepada yang merayakan, saya pribadi mengucapkan: "Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H, mohon maaf lahir dan batin."

Selasa, 07 September 2010

Membongkar Penindasan, Menghentikan Mafia Berkeley

Penindasan sering berlindung di balik hal-hal yang tampaknya ilmiah tetapi sebenarnya tidak ilmiah. Celakanya justru penindasan seperti itu sulit dibongkar karena menjadi keseharian yang membutakan mata banyak orang.

Seperti sering saya kemukakan di blog ini bahwa menyadarkan orang akan adanya penindasan bukan berarti kita pro kekerasan. Revolusi memang belum selesai, revolusi damai tetap dimungkinkan. Pada saat yang sama kita memang harus setia dengan jalan damai. Dua butir terakhir ini saya kemukakan dalam postingan terdahulu yaitu postingan tertanggal 17 Agustus dan 24 Agustus ("Pemerintahan Tuhan"). Kedua postingan itu mestinya masih segar dalam ingatan kita.

Seorang ekonom, apalagi kalau gelarnya doktor seharusnya memahami dasar-dasar akuntansi. Kalau ia memahami dasar-dasar aktuntansi seharusnya menolak penggunaan PDB (produk domestik bruto) dan pertumbuhan PDB sebagai ukuran makro ekonomi. PDB adalah penjumlahan pendapatan individual tahunan di suatu negara. Secara ilmu aktuntasi penjumlahan pendapatan individual tidak berkorelasi langsung dengan aset publik, bahkan sebenarnya berkebalikan atau berkorelasi negtif. Penjumlahan pendapatan individual akan berkorelasi langsung dengan penjumlahan aset individual. Dalam pengelolaan bank sentral, deposito individu adalah liabilitas. Dalam hal deposito individu ini memang teori ekonomi makro lama sudah benar, sayangnya tidak konsisten dalam arti azas itu tidak diterapkan untuk aset individu lain yang berupa saham, properti, atau yang lain yang terakumulasi karena adanya pertumbuhan PDB. Teori ekonomi makro biososioekonomi lebih konsisten, hadir untuk mengoreksi teori ekonomi makro lama. Menurut teori ekonomi makro biososioekonomi semua milik individu apakah deposito, saham, properti atau yang lain adalah liabilitas bagi publik. Banyak persoalan terjadi karena liabilitas publik lebih tinggi dari asetnya. Idealnya liabilitas publik sama dengan asetnya.

Penjumlahan pendapatan individual tidak menggambarkan pendapatan publik. Yang menggambarkan pendapatan publik adalah pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu seperti dijelaskan oleh teori ekonomi makro biososioekonomi. Pendapatan publik ini akan menjadi aset publik kalau dikelola dengan baik sesuai kaidah teori ekonomi makro biososioekonomi. Kalau tidak dikelola dengan baik, akan jatuh menjadi aset individual yang berarti menjadi liabilitas publik.

Kalau dengan penjelasan seperti ini masih juga bertahan dengan kekeliruan itu (yaitu penggunaan PDB) lantas apa yang sebenarnya terjadi dengan para ekonom itu? Bodoh, kaku dengan formalitas akademik, acuh tak acuh, atau memang bekerja untuk pemilik modal sebagai bagian dari suatu jaringan yang oleh beberapa orang disebut Mafia Berkeley?

Semula saya berhati-hati menggunakan istilah Mafia Berkeley ini dan mengambil sikap positif thinking bahwa para ekonom yang dikategorikan Mafia Berkeley itu sekedar khilaf atau kaku dengan formalitas akademik. Namun setelah membaca tulisan Kwik Kian Gie yang diposting tanggal 21 Juni 2010 yang berjudul "Sri Mulyani Indrawati (SMI), Berkeley Mafia, Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), IMF dan World Bank (WB)" di Koran Internet (www.koraninternet.com) saya mungkin perlu mengubah pandangan saya bahwa apa yang disebut Mafia Berkeley itu memang nyata. Dalam tulisan itu Kwik Kian Gie menulis: "Awalnya kelompok ini adalah para ekonom dari FE UI yang disekolahkan di Universitas Berkeley untuk meraih gelar Ph.D Tetapi lambat laun menjadi sebuah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) yang sangat kompak dan kokoh ideologinya. Ideologinya mentabukan campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Afiliasinya dengan kekuatan asing yang diwakili oleh Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF, sehingga sangat sering memenangkan kehendak mereka yang merugikan bangsanya sendiri. Lambat laun para anggotanya meluas dari siapa saja yang sepaham. Banyak ekonom yang tidak pernah belajar di Universitas Berkeley, bahkan tidak pernah belajar di UI menjadi anggota. Mereka membentuk keturunan-keturunannya."

Masih menurut Kwik, anggotanya ditambah dengan para sarjana ilmu politik dari Ohio State University dengan Prof. Bill Lidle sebagai tokohnya. Juga diperkuat dengan orang-orang yang merasa dirinya pandai di Indonesia. Tulisan Kwik selanjutnya mengisahkan pengalamannya sebagai pejabat pemerintah sejak jaman Gus Dur berinteraksi dengan SMI atau orang lain yang termasuk OTB. Mengenai Bill Lidle atau Wiliam Lidle pernah saya tulis di blog ini pada saat menjelang pemungutan suara pilpres Juli 2009.

Yang membedakan saya dengan Kwik adalah bahwa saya konsisten dengan biososioekonomi, bahwa yang menjadi persoalan bukan hanya modal asing tetapi semua milik individu baik asing maupun domestik. Masyarakat Sidoarjo dirugikan oleh tindakan atau aktivitas pemilik Lapindo yang notabene adalah domestik. Tetapi modal milik negara asing pun bisa menjadi liabilitas bagi dalam negeri (sebagai catatan perlu diketahui bahwa kelemahan teori politik klasik telah saya bahas dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia).

Liabilitas publik yang tinggi itu terjadi karena pendapatan publik (pajak, derma, daur ulang kekayaan individu) rendah. Bapa bangsa seperti Bung Hatta sendiri sudah mengingatkan bahwa rakyat akan tetap terjajah kalau di samping demokrasi politik tidak ada demokrasi ekonomi. Dan saya selalu mengingatkan bahwa jangan katakan ada demokrasi ekonomi ketika anggota masyarakat masih memiliki kebiasaan mewariskan kekayaan berlimpah pada keturunannya sendiri.

Seperti saya kemukakan di awal postingan ini, penindasan atau penjajahan sering berlindung pada hal-hal yang kelihatnnya ilmiah tetapi tidak ilmiah. Tugas cendekiawan yang jujur adalah membongkar penindasan itu dan menghentikan sepak terjang Mafia Berkeley (OTB). Anda semua bisa berpartisipasi dan bahkan dituntut partisipasinya dengan menyebarluaskan (melalui sms atau internet)tulisan yang mencerahkan yang berupaya menghentikan sepak terjang OTB seperti tulisan Kwik atau tulisan saya. Patut dihargai tulisan Kwik yang memaparkan pengalamannya dalam berinteraksi dengan OTB/Mafia Berkeley. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada siapa saja yang telah mempublikasikan dan menyebarkan tulisan saya. Karena penindasan berlindung di balik apa yang kelihatan ilmiah atau apa yang kelihat profesional maka membongkarnya juga dimulai dari yang ilmiah.

Sebagai teori ilmiah, teori ekonomi makro biososioekonomi, terbuka terhadap kritik dan perbaikan Kalau biososioekonomi salah tunjukkan salahnya, kalau benar harus diterima. Para penolak teori ekonomi makro biososioekonomi boleh jadi adalah anggota OTB/Mafia Berkeley. Paling tidak ekonom yang menolak biososioekonomi adalah ekonom yang menjengkelkan tidak pro rakyat. Sepak terjang OTB/Mafia Berkeley harus dihentikan.