Selasa, 22 Februari 2011

Legitimasi Etis Sebuah Revolusi

Kesengsaraan rakyat dan kemiskinan yang terjadi di mana-mana telah mendorong beberapa pihak untuk melakukan revolusi. Dari beberapa gerakan revolusioner, sebagaimana saya amati melalui situs jejaring sosial, ada yang berada pada jalan damai namun ada juga yang tidak menutup kemungkinan menggunakan kekerasan. Berbagai gerakan revolusioner itu didasarkan pada ideologi atau paradigma yang bervariasi dari yang marxis-komunis sampai yang etatis.

Ketika kesengsaraan rakyat memuncak, memang perubahan besar-besaran yang cepat atau disebut revolusi sering tidak terelakkan. Namun demikian menurut saya revolusi damai dan konstitusionallah yang seharusnya diupayakan. Dalam situasi seperti ini ternyata ada suatu hal yang sering dilupakan yaitu ilmu pengetahuan atau pemikiran baru sebagai pencerah suatu revolusi. Revolusi atau reformasi kadang hanya menghasilkan pejabat baru dengan paradigma lama dan dengan kebiasaan lama yang buruk yang itu-itu juga. Hadirnya ilmu pengetahuan dan pemikiran baru adalah syarat mutlak suksesnya sebuah revolusi damai yang menghasilkan peradaban baru yang lebih adil, sejahtera, dan damai. Revolusi tanpa pencerahan akan sangat berbahaya.

Kemiskinan dan kesengsaraan rakyat adalah sebuah fenomena sosial-ekonomi dimana kita seharusnya terbuka pada paradigma ekonomi baru yang nonkonvensional. Terbuka pada pemikiran baru. Sebagian orang memang sudah terbuka terhadap paradigma baru. Namun sebagian lain masih menutup hati dan pikirannya.

Suatu perubahan damai-konstitusional yang terjadi secara cepat dan besar-besaran memerlukan dukungan yang sangat luas dari semua kalangan. Tepat seperti itulah, yaitu dukungan dari kalangan luas itu, yang menjadi titik lemah gerakan revolusioner yang mendasarkan gerakannya pada marxisme dan etatisme. Saya sering menjelaskan di blog ini bahwa tesis Marx mengenai laba yang mengatakan bahwa laba adalah nilai surplus yang diambil alih kapitalis dari buruh atau hasil eksploitasi kapitalis tidak bisa dipertahankan lagi. Secara matematis tidak ketemu atau tidak balance kalau dikatakan laba adalah hasil eksploitasi terhadap buruh yang diambil alih kapitalis. Seseorang yang cerdas, memahami matematika dengan baik, dan jujur akan menolak suatu pandangan bahwa laba berasal dari buruh atau karena buruh dibayar lebih rendah dari nilai keseluruhan produk. Dasar perjuangan Marx adalah mengembalikan apa yang diambil kapitalis kepada kaum buruh seperti ditulis oleh Marx dan dikutip Popper di dalam bukunya "Masyarakat Terbuka". Kutipan Popper saya kutip dalam buku saya "Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia" halaman 62. Inilah sebagian kutipan Popper dari Marx, Marx menulis: ".... Kapitalisme telah hancur lebur. Masa kepemilikan pribadi kapitalis telah habis. Para pengambil alih akan diambil alih."

Secara empiris kelemahan tesis Marx sudah nampak di negara-negara yang mengakomodasi pemikiran Marx secara damai melalui partai sosial demokrat dengan tingginya biaya produksi aneka barang, juga tingginya biaya hidup di negara-negara itu. Peningkatan upah buruh sering kejar-kejaran dengan inflasi. Hal itu menunjukkan bahwa secara matematis tidaklah ketemu atau tidak balance kalau dikatakan bahwa laba adalah nilai surplus yang diambil alih kapitalis dari buruh. Perjuangan Marx terlalu eksklusif untuk kelompok buruh seperti dikatakannya dengan tesis "nilai surplus yang diambil alih". Oleh karena itu kalau ada yang merencanakan revolusi dengan memakai paradigma Marx baik secara damai apalagi dengan kekerasan, mohon maaf saya TIDAK akan ikut. Tesis Marx mengenai nilai surplus tidak bisa dipertahankan. Revolusi Marxis tidak akan mendapat dukungan luas karena mengekslusifkan kaum buruh. Tidak semua orang adalah buruh (karyawan). Ada pedagang kecil, pengusaha home industry, petani kecil, kelompok usia pensiun, kelompok usia sekolah dan lain-lain.

Demikian pula kalau ada yang merencanakan revolusi dengan paradigma etatisme, saya juga TIDAK akan ikut. Sebagaimana pandangan Marx, pandangan etatis ini juga secara matematis tidak ketemu atau tidak balance. Pandangan etatis itu menganggap kekayaan berasal dari negara. Pandangan ini selain tidak balance juga akan menimbulkan ketegangan dengan negara asing yang memiliki investasi di dalam negeri. Emas dan minyak yang ada di perut bumi menjadi barang berharga bukan karena negara tetapi karena ada yang menghargai dan membelinya sesuai dengan harga yang ditawarkan. Pihak yang menghargai itulah yang disebut konsumen. Tanpa ada yang menghargai, emas dan minyak bumi di perut bumi di wilayah hukum suatu negara tidak akan ada harganya.

Oleh karena itu menurut opini saya, revolusi damai-konstitusional-tercerahkan yang akan mendapat dukungan yang paling luas dan secara matematis balance adalah revolusi konsumen sosial yang menuntut pengembalian laba kepada konsumen (semua orang). Tidak semua orang adalah buruh, tetapi semua orang adalah konsumen karena tanpa melakukan kegiatan konsumis (makan) semua orang pasti mati. Secara matematis benar bahwa laba terjadi karena konsumen membayar lebih tinggi dari biaya produksi, distribusi, dan pajak. Pandangan terakhir ini juga dianut biososioekonomi.

Dalam pandangan biosioekonomi yang dituntut mengembalikan laba (dan kekayaan sebagai akumulasi laba) itu bukan perusahaan atau institusi bisnis tetapi individu baik melalui pajak, derma, dan terutama daur ulang kekayaan individu. Individu tidak hanya homo economicus tetapi juga homo socius sehingga kemampuannya membayar pajak, derma, dan daur ulang kekayaan jauh lebih tinggi dari institusi bisnis. Tepat seperti inilah kelemahan teori ekonomi konvensional (neo klasik maupun keynesian), yaitu mencampur adukkan antara individu dan institusi bisnis dimana kemampuan sosial keduanya berbeda seperti langit dan bumi. Seorang karyawan yang bukan pengusaha pun bisa dianggap pengusaha yang memperoleh laba kalau gajinya melampaui biaya KHL (Kebutuhan Hidup Layak).

Tidak hanya kaum Marx yang menentang pewarisan kekayaan berlimpah, bioekonomi/biosoioekonomi juga menentang pewarisan kekayaan berlimpah itu. Biososioekonomi memang tidak bisa berjalan sendiri dalam arti daur ulang kekayaan individu tidak akan terjadi secara otomatis tanpa suatu upaya. Upaya damai itu memang memungkinkan. Seperti halnya sering saya informasikan di blog ini khususnya dalam postingan berlabel Herucakra Society atau di dalam buku saya halman 73, empat cara damai agar kekayaan bisa didaur ulang adalah: (1)kesadaran diri masing-masing individu (2)tekanan institusi agama terhadap individu umatnya masing-masing (3)norma atau etika sosial (4)kontrol kekayaan oleh masyarakat konsumen sosial.

Mungkin akan ada yang bertanya apakah tuntutan mendaur ulang kekayaan individu bukan suatu perbuatan sewenang-wenang atau bertabrakan dengan hak milik? Jawaban pertanyaan ini sudah saya kemukakan dalam buku saya "Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia" di halaman 76-77. Berikut ini saya kutipkan: "Jawaban atas pertanyaan ini harus dikembalikan pada rumusan dunia sebagai ruang minus yang menganggap kelahiran sebagai hutang terhadap alam atau beban alam. Hal ini membawa individu pada dua pilihan Seorang individu yang bercita-cita ingin menjadi kaya tetapi ragu-ragu bisa mendidik ankanya untuk tidak meminta warisan kekayaan, lebih baik kalau individu tersebut kalau tidak merencanakan memiliki anak. Kalau adat atau agamanya mewajibkan semua orang harus punya anak, lebih baik kalau individu tersebut tidak mengakumulasikan kekayaan. Rumusan ini merupakan rumusan universal yang bisa diterima semua orang. Di dalam ruang yang minus ini kita harus memilih salah satu. Selama minimal ada dua pilihan, berarti kebebasan masih ada, yang berarti pula tuntutan untuk mendaur ulang kekayaan dalam rangka memperjuangkan hak asasi sosial bukan suatu tuntutan yang bertabrakan dengan hak milik."

Kemudian di alenia kedua di bawahnya saya tulis: "Masih adanya dua pilihan dan kebebasan memungkinkan perjuangan mendaur ulang atau mengontrol kekayaan_dalam hal ini memutuskan linierisme individu_bisa dilegitimasi. Rumusan tersebut memberi legitimasi etis bagi kontrol kekayaan oleh masyarakat (dalam hal ini masyarakat konsumen-pen), tidak bertabrakan dengan hak milik dan bukan suatu tindakan sewenang-wenang"

Ketika kemiskinan dan kesengsaraan rakyat terjadi di mana-mana maka revolusi atau perubahan cepat secara besar-besaran memang diperlukan untuk membebaskan rakyat dari kelaparan dan kemiskinan. Akan tetapi revolusi itu harus terjadi secara damai, konstitusional, dan tercerahakan. Revolusi tanpa pencerahan hanya akan membawa kepada kesesatan massal. Revolusi itu juga berarti berubah pada jabatan dan kapsitasnya masing-masing. Perlu juga saya kemukakan bahwa revolusi yang terlalu fokus pada isu yang tidak fundamental seperti korupsi akan segera kehilangan energinya. Korupsi memang harus diberantas tetapi hal yang paling fundamental yang menyebabkan kemiskinan, kelaparan, dan kesengsaraan rakyat adalah karena liabilitas publik lebih tinggi dari asetnya sebagai akibat kurangnya pemasukan atau pendapatan publik terutama pendapatan dari daur ulang kekayaan individu. Tuntutan untuk mendaur ulang kekayaan individu secara damai melalui gerakan konsumen sosial memang suatu tuntutan yang revolusioner tetapi tidak sewenang-wenang karena memiliki legitimasi etis yang jelas.

Sebelum tulisan ini saya akhiri saya perlu ingatkan bahwa biososioekonomi sebagai teori ilmiah selalu terbuka terhadap kritik dan perbaikan. Pertanyaan saya adalah apakah teori ekonomi neo klasik, Marx, Keynes, atau etatisme terbuka terhadap kritik juga? Kalau tidak, mohon tinggalkan teori-teori itu karena kalau tidak Anda akan menyesatkan atau membutakan mata bayak orang.

Seandainya menurut Anda postingan ini mencerahkan mohon untuk diseberluaskan, bukan demi popularitas saya atau blog ini tetapi demi kesejahteraan umum. Terima kasih atas kerja samanya. Tuhan memberkati.

Selasa, 15 Februari 2011

Tidak Menghalangi Kritik Ilmiah dan Gerakan Damai Konsumen Sosial

Kesejahteraan publik-rakyat yang memadai bisa terwujud kalau demokrasi ekonomi (biosoioekonomi) diaplikasikan dan diimplementasikan. Hambatan implementasi biososioekonomi berasal dari kelompok kepentingan. Tidak jarang kelompok-kelompok seperti itu mempengaruhi pemerintah dan media massa konvensional (cetak dan tv) untuk menghambat demokrasi ekonomi (biososioekonomi). Dan saya sering kali harus mengingatkan bahwa jangan katakan ada demokrasi ekonomi kalau umat manusia masih memiliki kebiasaan mewariskan kekayaan berlimpah pada anak keturunannya sendiri.

Entah sengaja atau tidak, kerancuan berpikir dialami pejabat pemerintah di Indonesia dewasa ini. Kerancuan yang saya maksud adalah sikap sebagian pejabat pemerintah yang membiarkan kekerasan dan tidak melindungi warga negara dari ancaman kekerasan di satu sisi, tetapi di sisi lain menghalangi demokrasi ekonomi (biososioekonomi). Dengan bersikukuh pada paradigma neolib, sebenarnya pemerintah telah menghalangi demokrasi ekonomi (biososioekonomi). Orang yang pro pertumbuhan PDB, sudah pasti ia juga pro pemilik modal. Kalau ia mengatakan pro pertumbuhan PDB (mengejar pertumbuhan PDB) tetapi juga pro demokrasi ekonomi (biosososioekonomi) maka ia berbohong atau ia tidak memahami konsep PDB dan salah interpretasi terhadap makna pertumbuhan PDB. Dalam paradigma biososioekonomi, secara teoritis (deduktif-logis), bisa dikatakan bahwa di negara yang sedang berkembang apabila pendapatan publik ( dari pajak, derma, daur ulang kekayaan individu) meningkat otomatis PDB juga meningkat. Dalam paradigma bioekonomi (biososioekonomi) tidak disyaratkan suatu pertumbuhan PDB. Pertumbuhan PDB tidak perlu dikejar.

Apa yang ingin saya sampaikan melalui postingan ini adalah agar pejabat pemerintah tidak mengalami kerancuan berpikir. Salah satu tugas pemerintah (negara) adalah melindungi warga negara dari tindak kekerasan apa pun motifnya baik politik, ekonomi, atau agama. Termasuk dalam hal ini adalah melindungi pewaris kekayaan berlimpah dari tindak kekeasan dan serangan fisik lainnya. Namun pemerintah tidak boleh menghalangi kritik ilmiah dan kritik akademis terhadap pewarisan kekayaan berlimpah. Juga tidak boleh menghalangi gerakan konsumen sosial yang mau mewujudkan demokrasi ekonomi (bioekonomi) dengan cara konsumen sosial yaitu dengan suatu campaign agar konsumen tidak membeli produk atau jasa yang kandungan anti demokrasi ekonominya tinggi. Kritik ilmiah dan gerakan konsumen sosial non kekerasan seperti itu tidak boleh dihalangi oleh pemerintah. Justru dengan terwujudnya demokrasi ekonomi tugas pemerintah menjadi ringan. Demokrasi ekonomi tidak hanya obsesi para bapa bangsa pendiri Republik Indonesia, tetapi juga ditetapkan dalam TAP MPR No XVI/MPR/1998 Tentang Ekonomi Politik Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi yang salah satu isinya adalah: "Dalam pelaksanaan Demokrasi Ekonomi, tidak boleh dan harus ditiadakan terjadinya penumpukan aset dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seorang, sekelompok orang atau perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan" (Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, 2004, hlm 99-100, Ekonomi Pancasila, Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur penerbit Aditya Media dan PUSTEP). Tidak mudahnya bagi negara untuk mewujudkan demokrasi ekonomi memang menuntutnya untuk bekerja sama dengan civil society yang pro demokrasi ekonomi (biososioekonomi).

Semoga isi postingan sederhana ini dimengerti yaitu agar pemerintah melindungi warga negara dari tindak kekerasan dan anarkisme bukan melindungi orang yang anti demokrasi ekonomi terhadap kritik ilmiah dan gerakan damai konsumen sosial. Biarkan gerakan damai konsumen sosial dan kritik ilmiah terhadap pewarisan kekayaan berlimpah. Biarkan gerakan damai konsumen sosial dan kritik ilmiah itu menjadi arus utama.

Selasa, 08 Februari 2011

Kasus Ahmadiyah dan Sopan-santun Civil Society

Blog ini sebenarnya saya dedikasikan untuk demokrasi ekonomi dan kesejahteraan publik. Namun demikian adanya kasus penyerangan di Cikeusik, Pandeglang, Banten membuat saya prihatin. Dengan segala kerendahan hati, saya menyampaikan tulisan ini sebagai sumbang saran dari seorang warga negara dan warga masyarakat.

Bagi saya kasus tersebut menunjukkan adanya ketidakpahaman akan hubungan state (pemerintah) dan civil society di antara pejabat pemerintah dan sebagian komponen civil society kita. Kita harus menghargai kalau ada komponen civil society seperti MUI, misalnya, yang menyatakan atau memfatwakan bahwa suatu golongan atau aliran itu sesat atau tidak Islam. State (pemerintah) tidak boleh melarang fatwa MUI seperti itu. Demikian juga komponen civil society yang lain perlu toleran dengan fatwa MUI itu. Fatwa seperti itu hanyalah rujukan bagi umatnya (untuk kalangan sendiri) bahwa golongan atau aliran tertentu sesat atau tidak Islam. Namun demikian sopan-santun civil society menuntut kita agar fatwa seperti itu tidak diikuti tindak kekerasan, penyerangan, apalagi pembunuhan. Bahwa fatwa tidak boleh diikuti tindak kekerasan ini mesti dijelaskan oleh pejabat pembuat fatwa kepada umat atau massa di bawahnya yang notabene intelektualitas dan pendidikannya terbatas. Kita sesama warga masyarakat dan warga negara perlu bergaul dengan orang lain secara beradab meskipun menurut keyakinan kita, keyakinan orang lain itu sesat, hal ini membutuhkan kedewasaan sikap. Mohon dengan hormat hindari sikap kekanak-kanakan.

Dari sisi pemerintah tentu selain dituntut melindungi warga negara, sebagaimana telah disampaikan berbagai kalangan, juga perlu lebih memahami hakekat peran dan keberadaannya untuk tidak terseret kepada permasalahan yang tidak perlu atau tidak bisa diagendakan. Sebagaimana saya jelaskan dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia, bahwa negara seharusnya bergerak pada agory agenda, yang memang bisa diagendakan seperti pemilu, pilkada, atau pergantian pejabat pemerintah yang lain tetapi jangan memasuki wilayah yang tidak bisa diagendakan seperti perubahan keyakinan/agama warga negara. Meskipun suatu kompoenen civil society telah memfatwakan bahwa suatu golongan adalah sesat, negara tidak boleh mengagendakan perubahan keyakinan orang-orang yang dianggap sesat itu. Negara dalam hal ini pejabat pemerintah yang sedang memegang jabatan jangan mau diperalat oleh komponen civil society untuk mengagendakan sesuatu yang tidak bisa atau tidak perlu diagendakan oleh negara. Mengapa perubahan keyakinan tidak boleh diagendakan oleh negara, karena itu sesuatu yang tidak hanya asasi rohani tetapi juga sebagai sikap hormat pada TUHAN semesta alam. Batas pertobatan adalah kematian, biarkan TUHAN sendiri yang mengagendakan kematian setiap orang. Biarkan TUHAN sendiri yang mengagendakan pertobatan dalam setiap individu. Hal seperti ini tidak bisa dibuat massal dan diagendakan oleh negara (pejabat pemerintah). Negara pasti akan mengalami kesulitan kalau harus mengagendakan hal-hal seperti ini. Mohon dengan hormat kepada Bapak/Ibu pejabat pemerintah dan penjaga keamanan warga, hal seperti ini dipahami.

Sebagai pengetahuan tambahan mungkin sedikit perlu saya singgung mengenai istilah "nabi". Istilah ini tidak saja berbebeda pada golongan yang berbeda tetapi menurut pengetahuan saya berbeda juga karena perbedaan jaman. Apa yang disebut nabi dalam masa Kerajaan Israel 3.000 tahun yang lalu mungkin berbeda dengan masa sebelumnya. Dalam masa kerajaan Israel yang disebut nabi itu seperti Nabi Natan. Pada waktu itu juga, menurut tradisi Yudeo-Kristiani, Tuhan mengurapi seseorang menjadi nabi dan mengurapi orang lain menjadi raja (bdk Alkitab Perjanjian Lama, khususnya Kitab 1Raja-raja 19:15-16). Daud adalah salah seorang yang diurapi menjadi raja. Jadi menurut tradisi Yudeo-Krisitani Daud itu seorang raja bukan nabi sebagaimana diyakini golongan lain. Namun demikian dalam pergaulan sehari-hari saya tetap menghargai mereka yang menganggap Daud adalah nabi, bukan untuk mengikuti keyakinannya tetapi untuk menghargai orang lain sebagai manusia seutuhnya yang unik di mana kita berbeda tetapi tidak perlu bertikai. Bergaul secara beradab dengan orang lain adalah tuntutan bagi kita semua. Satu alinea ini sekedar pengetahuan tambahan. Inti dari apa yang saya sampaikan dalam postingan ini, saya sampaikan dalam alinea-alinea sebelumnya.

Saya dengan segala kerendahan hati saya mohon kepada Bapak/Ibu pejabat pemerintah dan pejabat civil society agar memahami perannya masing-masing dan memahami hubungan antara state dan civil society dengan lebih baik. Mohon dengan hormat untuk tidak mengagendakan hal-hal yang memang tidak bisa diagendakan negara. Marilah kita menjadi negarawan yang baik, marilah kita menjadi warga masyarakat yang baik yang bergaul secara beradab. Terima kasih atas perhatiannya.

Selasa, 01 Februari 2011

....Kalau Mau Mengikis Kebohongan

Meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan PDB atau pertumbuhan pendapatan per kapita, bukan berarti bahwa semua orang meningkat pendapatannya. Orang yang memahami matematika dan statistika tentu tidak akan salah menginterpretasikan angka pertumbuhan ekonomi tadi. Sayangnya tidak sedikit orang yang tidak memahami matematika bahkan mungkin seorang doktor sekalipun.

Jumlah pegawai yang pendapatannya tetap selama bertahun-tahun sangatlah banyak bukan hanya presiden saja. Dari mereka yang pendapatannya tetap selama bertahun-tahun itu ada yang kekayaannya bertambah (seperti kekayaan presiden misalnya) tetapi ada yang kekayaannya tidak bertambah. Mengapa? Mereka yang kekayaannya bertambah karena tingkat pendapatannya jauh di atas pengeluaran rutin sehingga sisa pendapatannya bisa ditabung menjadi aset atau kekayaan, sehingga kekayaanya meningkat dari tahun sebelumnya. Sementara mereka yang kekayaannya tidak bertambah karena tingkat pendapatannya pas-pasan atau kurang. Tidak ada sisa yang bisa ditabung. Kakayaannya tidak bertambah.

Pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan PDB tidak menggambarkan peningkatan pendapatan semua orang. Juga tidak menggambarkan peningkatan aset setiap orang.

Kalau kita memang mau mengikis kebohongan dan penyesatan kita harus mulai dari hal-hal yang kelihatannya sepele seperti ini yaitu tidak lagi meggunakan istilah pertumbuhan ekonomi di ruang publik dimana para pembaca atau audiensnya sangat awam. Istilah pertumbuhan ekonomi memang istilah yang menyesatkan yang bisa membuat orang awam salah interpretasi. Gunakan saja istilah pertumbuhan PDB (Gross Domestic Product) atau pertumbuhan GNP (Gross National Product).

Setelah tokoh-tokoh lintas agama mengkritik pemerintah dan kemudian sejumlah tokoh mendeklarasikan GERAM Hukum (Gerakan Anti Mafia Hukum) 27 Januari minggu lalu, seharusnya kini giliran akdemisi, ilmuwan, cendekiawan, dan media massa yang jujur untuk mempelopori tidak digunakannya lagi istilah pertumbuhan ekonomi untuk menunjuk pertumbuhan PDB atau GNP. Gunakan saja istilah pertumbuhan PDB atau pertumbuhan GNP. Hidup rakyat sangat susah jangan melakukan penyesatan dengan istilah pertumbuhan ekonomi seolah-olah dengan pertumbuhan ekonomi hidup rakyat membaik.

Sebuah revolusi tanpa revolusi pemikiran bisa mengarah pada kekacauan. Selama kita mengacu pada blog ini maka revolusi yang dimaksud adalah revolusi pemikiran untuk mengubah paradigma ekonomi setiap orang dan pejabat pemerintah selaku pemangku kepentingan publik menjadi berparadigma ekonomi publik kerakyatan (biososioekonomi). Perubahan seharusnya terjadi pada kapasitas dan jabatan masing-masing orang. Namun demikian bukan berarti pergantian pejabat pemerintah adalah hal yang tabu. Kita hidup di republik dimana pergantian pejabat pemerintah adalah hal yang lumrah selama dilakukan secara konstitusional dan damai.