Jumat, 31 Juli 2009

Individu, Institusi Bisnis, dan Lapindo

Salah satu kelemahan teori ekonomi makro keynesian adalah tidak membedakan antara individu dan institusi bisnis. Padahal keduanya berbeda dan harus dibedakan. Memukul rata keduanya akan membawa banyak kesulitan dalam mengelola ekonomi publik (negara dan masyarakat).

Dalam kampanye pilpres seorang capres ada yang menampilkan sikap pro rakyat di depan rakyat tetapi begitu berhadapan dengan pengusaha bersikap lain. Padahal kalau seseorang memahami biososioekonomi seharusnya bisa bersikap lebih tepat. Ia seharusnya tetap pro rakyat ketika tampil di depan rakyat dan bersikap tegas di depan pengusaha sebagai individu tanpa meninggalkan sikap ramah terhadap institusi perusahaan. Pengusaha sebenarnya perlu ditegur karena sebagai manusia yang adalah juga homo socius harus lebih dermawan dari pada institusi bisnis.

Biososioekonomi jelas membedakan antara individu dengan institusi bisnis. Postingan yang sederhana ini mencoba memberi contoh kasus perbedaan antara individu dengan institusi bisnis. Ketika Bank Suma bangkrut, William Soeryadjaya menjual sahamnya di Astra untuk ikut menanggung kebangkrutan Bank Suma. Tetapi bukan berarti Astra sebagai perusahaan terseret kebangkrutan Bank Suma. Sebagai perusahaan Astra tetap sehat. Konsekwensinya hanya satu yaitu William Soeryadjaya tidak lagi menjadi orang terkaya kedua di Indonesia. Dalam pergaulan sosial (di luar pergaulan bisnis), merosotnya peringkat seseorang dalam deretan orang kaya seharusnya bisa diterima. Manusia bukan hanya homo economicus saja. Masyarakat seharusnya menerimanya dengan baik.

Bandingkan dengan kasus Lapindo, apakah pemilik perusahaan itu mau menjual sahamnya untuk menutup kerugian rakyat? Padahal harga sahamnya pernah melambung tinggi. Pemerintahan yang berisi orang-orang yang tidak bisa membedakan perbedaan antara individu dengan institusi bisnis akan cenderung menyengsarakan rakyat. Hal itu sudah terbukti, sudah teruji.

Senin, 27 Juli 2009

Mimpi Firaun dan Tafsir Ramalan Satrio Piningit

Di dalam suatu mimpi disebutkan tujuh ekor lembu kurus memakan tujuh ekor lembu gemuk. Itulah mimpi yang dialami oleh Firaun sebagaimana dikisahkan dalam Alkitab. Mimpi itu membuat Raja Mesir itu resah dan gelisah. Ia ingin mengetahui makna mimpi itu dan memanggil orang-orang yang menurut perkiraannya bisa menafsirkan mimpi itu.Tetapi tak satupun yang dapat mengartikan mimpi itu kepadanya.

Sampai akhirnya berdasarkan anjuran kepala juru minuman dipanggilnyalah seorang tahanan keturunan Ibrani yang dikenal sebagai Yusuf (anak Yakub). Berkat bantuan Tuhan dan terang iman, Yusuf bisa mengartikan mimpi itu, bahwa akan terjadi kelimpahan selama tujuh tahun yang kemudian diikuti masa kelaparan karena paceklik selama tujuh tahun pula. Kemudian ia menasihati Firaun: "Oleh sebab itu, baiklah tuanku Firaun mencari seorang yang berakal budi dan bijaksana, dan mengangkatnya menjadi kuasa atas tanah Mesir. Baiklah juga tuanku Firaun berbuat begini, yakni menempatkan penilik-penilik atas negeri ini dan dalam ketujuh tahun kelimpahan itu memungut seperlima dari hasil tanah Mesir. Mereka harus mengumpulkan segala bahan makanan dalam tahun-tahun baik yang akan datang ini dan, di bawah kuasa tuanku Firaun, menimbun gandum di kota-kota sebagai bahan makanan, serta menyimpannya. Demikianlah segala bahan makanan itu menjadi persediaan untuk negeri ini dalam ketujuh tahun kelaparan yang akan terjadi di tanah Mesir, supaya negeri ini jangan binasa karena kelaparan itu." (Kej 41:33-36). Supaya negeri ini jangan binasa karena kelaparan, demikian perlu saya tegaskan sebagai sesuatu yang perlu diingat bahwa meskipun bangsa Mesir tidak mengenal atau mempercayai Tuhan (monoteis) Yang Maha Kuasa tetapi direncanakan oleh Tuhan untuk terhindar dari bahaya kelaparan. Dan meskipun Yusuf adalah orang asing, Firaun mempercayainya sehingga bangsa Mesir terhindar dari kebinasaan akibat kelaparan.

Ada suatu rumusan yang mirip dan sebangun. Mimpi Firaun mengenai tujuh ekor lembu kurus dan tujuh ekor lembu gemuk itu mirip dan sebangun dengan rumusan dasar teori biososioekonomi: "kelahiran adalah hutang yang harus di bayar dengan kematian" yang salah satunya kemudian menghasilkan neraca herucakra society (hcs) yang menggambarkan aset dan liabilitas masyarakat sebagaimana telah saya tampilkan dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia (hlm96), dan juga dalam makalah saya di situs Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM.

Neraca yang saya rumuskan itu adalah suatu keseimbangan yang harus dicapai untuk terwujudnya masyarakat yang adil sejahtera berkesinambungan yang selaras dengan alam. Kalau jumlah kelahiran lebih besar dari kematian maka alam akan terganggu keseimbangannya dan akan mengalami peningkatan beban. Kalau neraca hcs mencatat nilai bersih minus maka akan banyak persoalan pada perekonomian masyarakat seperti instabilitas (gejolak pasar) dan rendahnya daya beli rakyat. Biososioekonomi menawarkan metode berpikir dan analisis untuk memahami persoalan makro ekonomi lebih jelas dalam relevansinya dengan kesejahteraan publik (rakyat). Teori lama tidak relevan dengan persoalan rakyat karena yang dipakai sebagai ukuran atau besaran yang harus dicapai adalah pertumbuhan PDB. Kelemahan konsep PDB dan pertumbuhan PDB sudah saya bahas di blog ini.

Hukum akuntansi dan keseimbangan merupakan suatu hal yang mendasar dan harus diperhatikan dalam mengelola makro ekonomi. Biososioekonomi membuat persoalan makro itu menjadi sederhana tetapi jelas dan tidak ambigu. Di dunia ini ada keseimbangan ada untung ada rugi, ada gemuk ada kurus sebagaimana terlihat dalam kisah Yusuf dan Firaun. Seseorang yang diserahi mengelola makro ekonomi harus mengetahui letak keseimbangannya. Kalau banyak orang berhutang, kalau defisit anggaran negara membengkak di mana letak keseimbangannya? Ketidakseimbangan, sebagaimana dijelaskan oleh teori biososioekonomi, terjadi karena pemasukan bagi publik kurang. Pajak kurang, derma juga terlalu kecil, sementara daur ulang kekayaan individu sebagaimana diharapkan teori biososioekonomi hampir nihil.

Bukankah persoalannya sangat jelas? Bagaimana solusi agar terhindar dari bencana ekonomi itu juga jelas? Solusi untuk keluar dari krisis juga jelas. Kalau memang teori biososioekonomi salah tunjukkanlah letak salahnya.

Banyak orang menafsirkan dan mengartikan ramalan mengenai satrio piningit tidak seperti yang saya jelaskan. Kalau krisis dan kesengsaraan rakyat berlanjut tentu bukan salah saya. Bagi saya solusinya sudah jelas.
Satrio piningit sekedar pemberi peringatan, bukan eksekutor. Saya tetap meyakini bahwa Tuhan memiliki kuasa menjatuhkan tulah ke bumi sebagaimana Dia lakukan terhadap bangsa Mesir dahulu.

Menurut hemat saya, bangsa Mesir dihukum Tuhan bukan karena tidak mengenal Tuhan (monoteis) tetapi karena durhaka dan menindas. Durhaka atas kebaikan-Nya yang telah meloloskan bangsa itu dari bencana kelaparan. Menindas bangsa Yahudi yang pernah dipakai Tuhan untuk meloloskan bangsa itu dari bencana kelaparan. Orang yang benar-benar mengenal Tuhan seharusnya tidak bertindak durhaka, tidak menindas dan tidak melakukan kekerasan. Kepada para penindas tulah dan hukuman telah disediakan. Hanya saja hari h yang dahsyat itu memang datang seperti pencuri, tak terduga dan tidak bisa diprediksi.

Rabu, 22 Juli 2009

Dialog Antar Kebenaran

Debat Capres dalam kampanye pilpres beberapa waktu lalu tidak memberikan pencerahan bagi publik mengenai neoliberalisme dan bahayanya bagi kehidupan rakyat. Hal ini karena selain waktunya terbatas juga karena para kandidat lebih fokus bagaimana memenangkan pilpres.

Selain kritik (debat) terhadap neoliberalisme, perlu juga suatu dialog. Siapapun presidennya kritik dan dialog perlu dilanjutkan di ruang publik maupun ruang akademik. Postingan saya kali ini menampilkan tulisan saya yang berjudul:"Dialog Antar Kebenaran" yang merupakan salah satu tulisan saya dalam kumpulan tulisan "Wahyu untuk Rakyat" edisi baru. Kumpulan tulisan saya itu sampai hari ini masih berujud naskah, akan tetapi beberapa orang memang sengaja saya kirimi. Siapa saja pihak-pihak yang saya kirimi bisa dilihat dalam postingan yang berjudul:"Wahyu Keprabon" di blog ini.

"Dialog Antar Kebenaran" ini saya tulis tanggal 7 Februari 2007saat saya belum mengenal media alternatif seperti blog atau facebook. Berikut ini kutipan selengkapnya.

Dialog adalah suatu komunikasi dua arah di mana masing-masing pihak mengemukakan kebenaran atau perasaan kepada pihak lain dan juga mendengar dan menyimak kebenaran atau perasaan yang dikemukakan pihak lain. Dialog tidak sama dengan berdebat. Di dalam dialog tidak perlu terjadi kesepakatan untuk menemukan kebenaran yang paling benar.

Beberapa tahun yang lalu, akhir 2002 dan awal 2003, diadakan pertemuan tokoh-tokoh masyarakat dalam dan luar negeri juga para intelektual dunia untuk berdiskusi dan berdialog guna mencegah kemungkinan benturan antar peradaban. Dua pertemuan terpisah yang digagas oleh dua lembaga yaitu Center for World Conscience yang didirikan oleh Christianto Wibisono dan The Habibie Centre itu berusaha menjawab kekhawatiran waktu itu yang dibayang-bayangi perang Irak.

Selama ini dialog yang populer memang dialog antar agama atau antar iman. Atau paling tidak antar peradaban Barat dengan Islam yang hampir sama dengan dialog antar agama. Suatu dialog antar kebenaran masih belum populer. Padahal untuk mewujudkan suatu dunia yang nyaman dan damai perlu juga mengadakan dialog antar kebenaran, agar masing-masing pihak mengerti kebenaran dari perspektif pihak lain.

Tulisan ini memaparkan beberapa contoh dialog antar kebenaran itu. Meskipun tulisan ini sangat sederhana, semoga bisa menggugah semua pihak untuk mau mendengar dan menyimak kebenaran dari perspektif yang berbeda.

Dialog Antara Agama dengan Ilmu Pengetahuan

Suatu dialog yang baik menuntut kerendah hatian kedua belah pihak. Hal itu tidak terlalu sulit apabila menyangkut dua cabang ilmu pengetahuan. Sebagai bagian dari masyarakat terbuka, ilmuwan atau ilmu pengetahuan, dituntut dan bahkan sudah terbiasa untuk rendah hati dan terbuka terhadap koreksi.

Mamun hal itu agak sulit bila menyangkut agama. Suatu agama bisa saja mengklaim lebih superior terhadap ilmu pengetahuan. Untuk suatu kepentingan yang lebih luas ada baiknya jika agama mau mendengarkan kebenaran dari perspektif yang lain. Terlebih-lebih kalau kepentingan yang luas itu menyangkut kesejahteraan semua orang dan perdamian.

Sebagai contoh adalah kegiatan filantropi. Adalah sangat menarik bahwa media yang menyebarluaskan kegiatan filantropi sebagai suatu "Sajian Utama" justru media bisnis seperti Swasembada bukan media umum yang mengklaim sebagai humanis atau memihak hati nurani rakyat. "Awalnya, hampir semua pengusaha dan eksekutif yang dihubungi SWA menolak menceritakan pengalaman filantropi mereka." Beberapa di antara mereka menyebutkan bahwa agamalah yang melarang itu (Swasembada No 07/XXII 6-19 April2006 hlm 29). Namun majalah itu bersikeras untuk menjadikan topik filntropi sebagai "Sajian Utama" dengan alasan untuk menyebarluaskan dan menyemaikan semangat kedermawanan sosial.

Agama (manapun) sering lebih fokus pada penyumbang, dalam arti orang yang menyumbang harus tetap berkenan di hadapan Tuhan. Sementara bagi ilmu pengetahuan (dan majalah itu) fokus pada yang disumbang, agar mereka yang lapar dan miskin terselamatkan. Kalau dengan publikasi gencar itu bisa meningkatkan kedermawanan sehingga mereka yang lapar dan miskin terselamatkan mengapa tidak disebarluaskan?

Sebenarnya kalau keduanya mau berdialog, tidak perlu saling menghambat. Agama bisa menyerahkan itu kepada masing-masing individu apakah motivasi menyumbangnya masih berkenan di hadapan Tuhan atau tidak, tanpa harus menghambat pihak lain untuk melakukan publikasi besar-besaran guna menyelamatkan yang disumbang.

Contoh lain mengenai poligami. Beberapa agama memang tidak melarang poligami. Namun menurut ilmu pengetahuan perbandingan antara penduduk laki-laki dengan perempuan itu 50 banding 50 atau satu banding satu Di dalam komunitas terbatas setelah perang mungkin perbandingan itu bergeser cukup jauh misalnya 40 banding 60. Tetapi ini kasus khusus di lokasi terbatas. Dalam kondisi normal bila separuh laki-laki melakukan poligami dengan dua isteri saja maka separuh laki-laki lain tidak memiliki isteri. Bukankah hal seperti ini bisa menimbulkan kerawanan dan kemungkinan konflik horisontal? Memang diperlukan sikap rendah hati untuk terbuka terhadap kebenaran dari perspektif hukum alam ini.

Dialog Antara Agama dengan Kearifan Lokal

Suatu masyarakat yang tinggal di suatu wilayah selama puluhan atau ratusan tahun tentu telah berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggalnya, apakah lingkungan itu hutan tropis, padang pasir, pulau-pulau kecil atau salju abadi. Kearifan lokal biasanya diperoleh dari interaksi dengan lingkungan tempat tinggalnya selama puluhan atau ratusan tahun.

Agama (misioner) yang datang ke suatu wilayah membawa suatu kebenaran yang mungkin sejalan atau tidak sejalan dengan kearifan lokal. Ketika agama mengklaim kebenaran yang di bawanya sebagai kebenaran mutlak dan mengabaikan sama sekali kearifan lokal maka sering timbul ketegangan apalagi kalau kebenaran agama dipaksakakn melalui kekerasan.

Yudaisme, menurut hemat penulis, adalah kearifan lokal yang sangat cemerlang yang memperoleh terang iman Namun kecemerlangan itu pula yang mungkin menutupnya untuk menjadi agama misioner. Kearifan Yudaisme untuk bangsa Yahudi sendiri. Ketika Yudaisme belum mengalami transformasi menjadi Kristianitas, kearifan lokal Yahudi itu bisa berdialog dengan (kearifan lokal) masyarakat lain dengan damai. Kisah Yusuf anak Yakub merupakan contoh dialog dan kerja sama antara kearifan Yahudi yang sangat cemerlang dengan masyarakat lain yakni Mesir. Dari kerjasama itu bangsa Mesir bisa bebas dari bahaya kelaparan. Tanpa mengubah iman bangsa Mesir, Yusuf telah menampilkan citra Allah yang peduli kepada mereka yang terancam kelaparan, meskipun mereka tidak mengenal-Nya. Dengan terang iman, Yusuf menafsirkan mimpi Firaun dan mengusulkan cara-cara mencegah bahaya kelaparan. Dialog dan kerja sama seperti inilah yang seharusnya dijadikan pedoman atau model bagi agama misioner seperti Islam dan Kristen untuk berdialog dengan kearifan lokal.

Seperti halnya ilmu pengetahuan atau teori yang bisa salah, kearifan lokal pun bisa tercemar oleh takhayul, adat istiadat yang tidak sehat, atau berbagai kekeliruan lain. Dalam perjalanan waktu, kearifan lokal Yahudi yang cemerlang itu pun memerlukan koreksi.

Ada baiknya agama juga terbuka terhadap kearifan lokal yang memperoleh terang iman yang menawarkan solusi atas berbagai krisis dan ketidakadilan sosial. Agama yang menutup diri terhadap hal tersebut di atas boleh jadi sedang menutup diri terhadap kebenaran atau paling tidak sedang menampilkan wajah agama yang kolonialistis.

Dialog Antar Paradigma

Di dalam dunia ilmu pengetahuan pun perlu juga adanya dialog antar cabang ilmu pengetahuan, mazhab, maupun antar paradigma. Dialog itu seharusnya membawa pencerahan dan masa depan yang lebih baik, lebih adil, lebih sejahtera dan lebih damai. Suatu teori tidak bisa mengklaim sebagai kebenaran mutlak yang tidak memerlukan koreksi, meskipun teori itu selama berpuluh-puluh tahun dipakai sebagai pedoman kerja.

Kasus keterpurukan sektor riil di Indonesia bisa dipandang dari berbagai paradigma dimana masing-masing paradigma memiliki pendukung atau pengusul yang berbeda yang seharusnya bisa saling berdialog. Khusus dalam dialog antar paradigma ini bisa dicari kebenaran yang paling mendekati kebenaran. Keterbukaan semua pihak untuk mau mendengarkan dan menyimak pihak lain sangat diperlukan.

Media massa seharusnya tidak nyerocos dengan opininya sendiri, tetapi juga mau menyalurkan opini yang ada di masyarakat guna membuka pintu dialog antar paradigma. Kebebasan pers jangan hanya dipahami sebagai kebebasan media massa menyampaikan opininya sendiri dan menutup saluran bagi opini anggota masyarakat. Dialog antar paradigma sebagai bagian dari dialog antar kebenaran merupakan salah satu upaya untuk mengatasi krisis multidimensi di negeri ini.

Di masa mendatang seharusnya dialog tidak hanya terjadi antara agama yang satu dengan agama lain tetapi dengan berbagai kebenaran seperti yang dijelaskan di atas. Dialog antar agama saja tidak cukup untuk menunjang masyarakat yang damai dan sejahtera.

Jakarta, 7 Februari 2007

Demikian opini saya yang saya tulis waktu itu. Para pendukung neolib, sepanjang yang saya amati, belum mau menyimak paparan pihak lain. Atau mungkin karena suatu kepentingan, masih ngotot dengan paradigmanya sendiri. Paradigma neolib tidak salah total memang, dalam tataran mikro atau privat sepanjang tidak merugikan institusi publik seperti bank sentral atau negara (manapun), paradigma ini benar. Tetapi dalam tataran makro atau publik paradigma neolib itu SALAH. Dalam tataran mikro apa yang oleh individu dikategorikan aset pada tataran makro dikategorikan sebaliknya, liabilatas.

Media massa pun belum menjadi jembatan dialog. Bahwa mereka yang memperjuangkan atau menyuarakan ekonomi kerakyatan masih ditindas oleh media massa tidak hanya terjadi pada saya, tetapi juga rekan-rekan pejuang ekonomi kerakyatan yang saya temui. Rakyat akhirnya berharap pada kuasa dan belas kasih Tuhan. Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga.

Sabtu, 18 Juli 2009

Turut Berbelasungkawa dan Prihatin

Turut berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya atas terjadinya ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta Selatan kemarin 17/07/2009. Semoga korban yang meninggal beristirahat dalam damai Tuhan, yang sakit dan terluka segera dipulihkan dan disembuhkan, keluarga korban dikuatkan dan dihibur. Semoga aktor dibalik tindakan biadab ini bertobat. Saya berharap agar pemerintah segera mengungkap pelaku dan aktor dibalik semua ini kemudian menangkap dan mengadilinya. Siapapun pelakunya dan apapun motivasinya, tindak kekerasan yang biadab ini tidak bisa dibenarkan.

Satu hal lain yang perlu saya sampaikan adalah: "Selain Tuhan, hanya orang yang sudah hidup di surga bersama Tuhan yang boleh membunuh. Selama kita masih hidup di dunia, bersikaplah rendah hati untuk tidak membunuh. Membunuh bukanlah jalan menuju surga"

Demikian perlu saya sampaikan semoga dimengerti.

Kamis, 16 Juli 2009

Ateisme Akan Kena Batunya?

Ada ateisme absolut, ada ateisme praktis. Ateisme absolut tidak mempercayai adanya Tuhan sama sekali. Sedangkan ateisme praktis masih mempercayai adanya Tuhan tetapi tidak mempercayai kuasa-Nya. Dalam buku yang berjudul:"Kritik Sosial Politik Nabi Yesaya", Dr. Berthold Anton Pareira O.Carm menulis di halaman 299 sbb: "Karena pengenalan akan Allah merupakan dasar perdamaian dan keadilan? Saya kira demikian. Dasar segala kekerasan dan penindasan ialah karena orang tidak mengenal Allah atau tidak mau mengakui dan menghormati kekuasaan-Nya serta perhatian-Nya pada orang kecil tertindas (bdk. Mzm 82). Orang menduga bahwa Allah itu jauh dari dunia dan tidak berbuat apa-apa. Itulah ateisme praktis yang telah membawa penderitaan dan mencelakakan banyak orang lain"

Banyak orang menyangka bahwa Tuhan itu jauh dan tidak berbuat apa-apa atau berbuat nyata hanya di masa lalu di area Timur Tengah. Sehingga peringatan akan kedatangan murka-Nya sering diremehkan atau dianggap aneh. Bahkan ada yang ekstrim dengan berpandangan: tidak mungkin Tuhan murka. Pandangan semacam ini mungkin karena salah paham terhadap Injil. Dalam buku yang sama di halaman 269, Pareira menulis: "Pewartaan tentang kemurkaan Tuhan dianggap sudah tidak cocok lagi dengan Injil. Pemikiran dan sikap ini menurut hemat saya sama sekali tidak injili. Memang gambaran Bapa meresapi seluruh Perjanjian Baru. Akan tetapi, Tuhan Yesus juga menunjukkan bahwa Bapa di surga juga bisa bersifat keras dan memperlihatkan murka-Nya...."

Di jaman ini banyak orang tidak tahu mengapa Tuhan murka. Tetapi orang yang mempelajari dan memahami biososioekonomi (bioekonomi) akan bisa memahami juga mengapa Tuhan murka. Pewarisan kekayaan berlimpah ruah kepada anak keturunan sendiri sebagaimana ditentang biososioekonomi adalah sebuah kejahatan maha besar di hadapan Tuhan, ketidakadilan terhadap sesama, dan pemerkosan terhadap alam lingkungan hidup di sekitar kita. Alkitab sendiri sudah mengingatkan bahwa triple six yang akan mendapat hukuman atau murka Tuhan itu berkaitan dengan pewarisan kekayaan berlimpah itu. Dan itu adalah fakta Alkitabiah bukan tafsir.

Pengalaman saya memperjuangkan demokrasi ekonomi dan biososioekonomi memang ketika biososioekonomi terpojok dan tertindas sering terjadi bencana seperti gempa di berbagai tempat. Tidak semua gempa menunjukkan kemurkaan-Nya memang. Sebagian gempa hanya kejadian alam biasa. Tetapi selama tujuh tahun perjuangan saya ada tujuh gempa yang bisa dianggap istimewa (lihat postingan terdahulu:"Gempa Italia Gempa ke-7" di blog ini). Menurut hemat saya ketujuh gempa ini merupakan peringatan akan murka-Nya yang lebih dahsyat di masa yang akan datang.

Demikian juga setelah postingan yang berjudul :"Perspektif Spiritual Pilpres 2009" yang diposting tanggal 07/07/2009 telah terjadi 2 kali guncangan gempa yaitu di China 10/07 (Kompas Mobile 11/07/2009 diakses pkl 04:15) dan Taiwan 14/07 (Kompas Mobile 14/07/2009 pkl 04:13).

Hal pokok yang ingin disampaikan dalam postingan ini adalah bahwa ketika cara-cara damai untuk mengimplementasikan biososioekonomi, menentang triple six (dan neoliberal) buntu, maka sangat bijaksana kalau kita menunggu saja kuasa Tuhan untuk menjatuhkan hukuman ke bumi. Justru keyakinan dan sikap seperti ini yang bisa menghindari kekerasan horisontal untuk tetap menjaga perdamaian.

Bagi saya Tuhan itu begitu nyata, dekat, membela orang tertindas dan mempunyai kuasa menjatuhkan hukuman ke bumi. Cara-cara damai untuk menentang triple six (dan neolib) seolah gagal. Tetapi tepat pada saat seperti itu kuasa Tuhan sedang bekerja untuk menjatuhkan hukuman ke bumi di hari h yang tak terduga. Datang seperti pencuri. Dan ateisme pun akan kena batunya.

Hanya implementasi atau aplikasi biososioekonomi yang akan membuat wong cilih bisa tersenyum dan lingkungan hidup terjaga seimbang lestari.

Sabtu, 11 Juli 2009

William Liddle Mau Membodohi Indonesia?

Pada tanggal 7 Juli 2009 satu hari menjelang pilpres, saya membaca hasil wawancara tertulis wartawan Kompas Ilham Khoiri (Kompas 07/07/2009, hlm 5) dengan R William Liddle, Indonesianis dan profesor ilmu politik Ohio State University, Columbus, Ohio, AS. Pada saat itu saya sedang menyiapkan postingan di blog ini yang berjudul: "Perspektif Spiritual Pilpres 2009" Pikiran saya sedang bimbang apakah mau mengkritik pendapat William Liddle dalam wawancara itu dan mempostingnya di blog ini saat itu juga atau saya meneruskan tulisan yang sudah saya rencanakan. Memilih dua-duanya tidak mungkin karena keterbatasan waktu. Karena saya merasa tidak bisa bekerja sendiri tanpa Tuhan, maka saya memutuskan melanjutkan rencana semula dan menunda kritik terhadap William Liddle.

Apakah William Liddle mau membodohi bangsa Indonesia? Tidak mudah untuk menjawabnya. Akan tetapi ada dua hal yang perlu saya kritik. Pertama, pernyataannya yang mengatakan bahwa "Tanpa pertumbuhan, tidak ada pendapatan, dan tidak ada pajak yang bisa dipakai untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan masyarakat" Kedua, mengenai kebijakan ekonomi yang menurutnya dengan gampang diperoleh dari ekonom profesional.

Mengenai yang pertama, sebelumnya saya perlu mengutip lebih lengkap pernyataan Liddle atas pertanyaan Kompas "Bagaimana masa depan demokrasi di Indonesia dengan politik pencitraan semacam itu?" Berikut ini bagian pertama jawabannya "Pertama, pilihan kebijakan ekonomi yang tepat yang diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan globalisasi masa kini. Kebijakan tersebut perlu bersifat pragmatis, bukan ideologis, kalau yang dimaksudkan dengan ideologis adalah pertentangan antara kutub-kutub populisme ala Hugo Chavez dan apa yang disebutkan (dituduhkan) sebagai neoliberalisme yang tidak memberikan peran kepada negara, hanya kepada pasar.

Perdebatan itu sudah lama steril. Ikutilah perdebatan yang sedang terjadi di Amerika, tempat yang dipersoalkan bukan peran negara sebagai lawan, melainkan sebagai teman pasar. Jangan takut kepada pasar yang memang merupkan sumber utama pertumbuhan dan oleh karena itu sumber utama distribusi yang lebih merata. Tanpa pertumbuhan, tidak ada pendapatan dan tidak ada pajak yang bisa dipakai untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan masyarakat"

Pertumbuhan apakah yang dimaksud? Kalau yang dimaksud adalah pertumbuhan PDB maka jelas bahwa Liddle tidak mengerti konsep PDB. Tidak ada pertumbuhan PDB atau pertumbuhan PDB 0% hanya berarti tidak ada peningkatan PDB. Misalnya PDB suatu negara tahun 2007 adalah Rp 5.000 triliun kalau pertumbuhan PDB 0% pada tahun 2008 itu hanya berarti PDB tahun 2008 adalah Rp 5.000 triliun dan BUKAN berarti PDB tahun 2008 nol rupiah. Dalam kondisi seperti itu seseorang yang tahun 2007 laba atau pendapatannya Rp 5 Milyar, tahun 2008 Rp 5 Milyar juga. Memang ada yang pendapatannya naik atau turun, tetapi secara total tetap. Berarti tetap saja ada pajak yang bisa ditarik.

Mengenai yang kedua, kebijakan ekonomi yang diperoleh dari ekonom profesional. Apakah yang dimaksud profesional kalau pada saat yang sama Liddle tidak mengakui kegagalan perekonomian yang didasarkan pada teori ekonomi yang cenderung neoklasik atau neoliberal. Tidak benar bahwa anti neoliberalisme berarti sekedar memberi peran kepada negara. Teori ekonomi makro keynesian pun sebenarnya cenderung atau mudah jatuh menjadi neoklasik. Keynes masih menggunakan paradigma mikro dengan menjadikan PDB sebagai ukuran kesejahteraan. PDB adalah total pendapatan individual tahunan di suatu negara. PDB tidak mencerminkan kesejahteraan publik dan pemerataan. Kebijakan ekonomi dari ekonom yang disebut profesional tetap tidak akan meningkatkan kesejahteraan rakyat (publik) secara nyata kalau masih berada pada paradigma neoklasik yang memuja maksimalisasi pendapatan dan kekayaan individual. Yang diperlukan bukan sekedar kebijakan ekonomi tetapi perubahan paradigma. Turunnya nisbah pajak dan meningkatnya jumlah hutang nominal Indonesia selama lima tahun terakhir menunjukkan paradigma neoklasik itu gagal. Saya keberatan kalau hal seperti itu disebut profesional.

Patut disayangkan bahwa opini semacam ini bisa lolos untuk dimuat terlebih-lebih tepat satu hari menjelang pilpres. Sebagian orang Indonesia memang bodoh atau paling tidak silau pada pakar asing, silau pada kulit atau penampilan. Tetapi tidak semua orang Indonesia bodoh. Janganlah kiranya kita bertindak seperti "pepatah" berikut: "gubuk reyot di seberang lautan tampak tetapi Borobudur di pelupuk mata tidak tampak"

Rabu, 08 Juli 2009

Mari Kita Lanjutkan Perjuangan Menyejahterakan Rakyat

Siapa pun presiden yang terpilih dalam pilpres 2009 harus meninggalkan paradigma neoliberal dan menggantinya dengan paradigma baru yang pro rakyat sekaligus pro lingkungan hidup. Kita semua dipanggil untuk aktif ikut menyejahterakan rakyat dalam kemampuan dan kapasitas masing-masing yang berbeda. Ada orang yang kapasitasnya besar ada yang kecil. Mereka yang kapasitasnya kecil, misalnya, bisa sekedar memberi informasi kepada teman atau kenalannya akan perlunya demokrasi ekonomi dalam paradigma baru beserta keberadaan teori ekonomi makro baru yang menjadi pedomannya.

Sementara itu mereka yang kapasitasnya besar bisa berperan lebih aktif baik pikiran, waktu, tenaga, maupun harta dalam berbagai lembaga politik ataupun non politik. Termasuk juga aktif dalam diskusi dan jejaring sosial baik yang formal atau non formal. Mengapa aktif dalam diskusi seperti itu perlu. Karena buku teks ekonomi yang standar yang banyak dipakai sekarang ini hanya cocok untuk mengajar mahasiswa, tidak cocok untuk menasihati pemerintah dan menyejahterakan publik (rakyat). Buku teks semacam itu belum direvisi.

Anda bisa berpartisipasi baik perorangan atau dalam kelembagaan sesuai kondisi masing-masing.
(1)Lembaga Politik. Baik pemerintah atau legislatif termasuk sebagai oposisi konstruktif agar pemerintah bisa meninggalkan paradigma neolibnya.
(2)Beberapa Yayasan atau Pusat Studi sangat aktif mengembangkan paradigma non neolib serta memajukan demokrasi ekonomi. Beberapa lembaga yang perlu saya sebut adalah Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (dahulu bernama Pusat Studi Ekonomi Pancasila) dan Mubyarto Institute. Mubyarto Institute memiliki account di situs jejaring sosial facebook.
(3)Pusat-pusat pengaruh dalam civil society, seperti institusi keagamaan atau budaya yang menawarkan kearifan lokal atau local genius.
(4)Lembaga swadaya masyarakat. Beberapa lembaga swadaya masyarakat aktif mengkritik paradigma neolib.
(5)Lembaga konsumen sosial. Ini masih relatif baru dan masih berada dalam gagasan saya. Tugas lembaga ini adalah mewujudkan demokrasi ekonomi dalam paradigma barunya, bahwa laba dan kekayaan berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang) sesuai teori biososioekonomi. Di masa datang lembaga seperti ini akan berperan penting dan merupakan mitra bagi pemerintah dan bank sentral.
(6)New media. New media seperti blog atau micro blog (facebook) bisa dipakai untuk berkomunikasi dan berdiskusi.

Demikian beberapa lembaga dimana kita bisa berpartisipasi. Secara obyektif teori ekonomi neoklasik atau neoliberal itu sudah terbukti gagal mewujudkan kesejahteraan publik. Sikap neolib dalam tataran mikro (privat) yang tidak merugikan lembaga publik (seperti pemerintah dan bank sentral) memang tidak salah. Tetapi dalam tataran makro (publik) sikap neolib itu salah.

Meskipun sudah terbukti salah, karena berbagai kepentingan, sikap neolib itu masih merajalela. Diperlukan partisipasi kita untuk mengoreksinya. Tuhan memberkati Anda.

Salam Indonesia

Selasa, 07 Juli 2009

Perspektif Spiritual Pilpres 2009

Di tengah permasalahan DPT menjelang Pilpres 8 Juli 2009 ada baiknya semua kandidat mawas diri, bahwa siapapun yang keluar sebagai pemenang akan menghadapi permasalahan kesejahteraan rakyat dan lingkungan hidup yang berat. Oleh karenanya jangan menambah persoalan dengan ambisi pribadi atau kelompok.

Postingan ini sebenarnya lebih tepat diberi judul "Perspektif Spiritual Lima Tahun Ke Depan" Namun judul yang terakhir ini terasa kurang menjual. Tulisan ini bukan suatu ramalan spiritual, tetapi suatu peringatan akan masa depan. Sebagaimana postingan lain yang berlabel spiritual, maka postingan ini hendaknya tidak dibaca dengan kacamata eksakta. Namun demikian tetap perlu saya sampaikan.

Sebenarnya terwujudnya jaman keemasan tidak tergantung pada institusi apapun termasuk institusi keagamaan, institusi politik, ataupun institusi media massa Memang kita bisa mengupayakannya dengan cara-cara manusiawi non kekerasan sebagaimana saya sampaikan dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia dan juga dalam blog ini terutama dalam tulisan yang berjudul "Jalan Ketiga Ekonomi Dunia"

Namun sebagaimana pernah saya sampaikan, berdasarkan pengalaman, apabila cara-cara non kekerasan tidak berhasil, Tuhan Yang Maha Kuasa sendiri yang akan bertindak dengan menjatuhkan hukuman atau kutukan ke bumi. Hal itu terjadi tanpa perbuatan tangan manusia sebagaimana ditulis Kitab Suci. Apa yang ditulis oleh Kitab Suci itu menuntut kita untuk TIDAK melakukan kekerasan, TIDAK menjadi eksekutor, karena TUHAN sendiri yang akan melakukan-Nya di hari yang dahsyat.

Jadi, jaman keemasan itu tergantung hanya pada kuasa TUHAN. Tidak tergantung pada institusi apa pun. Juga tidak tergantung pada saya.

Saya berpendapat bahwa yang dimaksud saatnya tidak diketahui adalah mengenai hari, jam, menit, dan detiknya. Tetapi mengenai dekadenya atau tahunnya mungkin masih bisa diprediksi. Semakin detil semakin tidak bisa diprediksi. Dalam kurun waktu lima tahun ke depan boleh jadi telah ditetapkan Tuhan akan datangnya hari H yang dahsyat itu, tetapi bisa juga terjadi setelah lima tahun itu. Tetapi kurun waktu lima tahun bukan suatu kurun waktu yang pendek untuk diabaikan atau dispelekan begitu saja. Apalagi kalau dasar pertimbangannya adalah kesengsaraan rakyat. Berjaga-jaga dan waspada tetap perlu.

Memang ada semacam ateisme praktis yang mengatakan bahwa urusan kesejahteraan publik adalah urusan manusia di bumi. Sementara Tuhan amat sangat jauh di Surga. Orang tidak mengakui dan menghormati kekuasaan-Nya serta perhatian-Nya yang nyata kepada orang kecil dan tertindas (Dr. B Anton Pareira O. Carm, 2005, Kritik Sosial Politik Nabi Yesaya, Penerbit Dioma, Malang, hlm 299). Ateisme praktis seperti itu yang perlu dikritik.

Pengalaman saya selama kurun waktu tujuh tahun terakhir memperjuangkan demokrasi ekonomi dan biososioekonomi mengatakan bahwa memang kekuasaan Tuhan begitu nyata. Ada hal yang perlu diingat mengenai suatu ayat dalam Kitab Perjanjian Lama (Kitab yang berisi kisah umat Tuhan dan firman-Nya sebelum Yesus Kristus). Peringatan itu dicatat Kitab Mazmur (salah satu Kitab dalam Perjanjian Lama) yaitu Mazmur 110:5-6 yang bunyinya:"TUHAN ada di sebelah kanan-Mu; Ia meremukkan raja-raja pada hari murka-Nya, Ia menghukum bangsa-bangsa, sehingga mayat-mayat bergelimpangan; Ia meremukkan orang-orang yang menjadi kepala di negeri luas" Apakah ayat ini tidak ada relevansinya dengan kehidupan sosial sekarang? Bagi orang yang menganut ateisme praktis akan segera mengatakan tidak relevan.

Tetapi bagi yang kritis tidak akan secepat itu menilai. Sebagaimana kita saksikan melalui laporan media massa bahwa pada 26 Desember 2004 telah terjadi tsunami dahsyat dengan korban meninggal berasal dari berbagai bangsa dan negara. Kemudian pada tahun 2005 ada dua kecelakaan pesawat terbang dengan korbannya seorang raja dan gubernur. Sultan Deli XIII (Letkol Tuanku Ottoman Mahmud Perkasa Alam) meninggal dalam kecelakaan pesawat CN 235 Kamis 21/7/2005 (sumber Kompas.com 23/7/2005). Sementara Tengku Rizal Nurdin yang menjabat Gubernur Sumut meninggal dalam kecelakaan pesawat Mandala Airline 5/9/2005 (sumber http://rizalnurdin.blogspot.com ).

Bukan berarti bahwa mereka yang meninggal dalam tsunami dan kecelakaan pesawat itu lebih besar kesalahannya dari pada kita yang masih hidup. Saya menganggap hal itu baru suatu peringatan. Hari yang dahsyat akan lebih dahsyat dan menyangkut seluruh dunia bukan hanya Indonesia.

Hari yang dahsyat itu berkaitan dengan suatu hukuman bukan kerusuhan sebagaimana dipersepsi sebagian orang. Memang ada suatu ramalan bahwa munculnya satrio piningit didahului goro-goro. Goro-goro tidak berarti kerusuhan. Kalaupun yang dimaksud kerusuhan, itu sudah terjadi di tahun 1998 sebelum saya meyakini bahwa hal mengenai satrio piningit itu menunjuk saya (4 Juli 2002). Kita semua pihak, harus menjaga agar tidak terjadi tindak kekerasan atau kerusuhan.

Mengenai goro-goro berikut ini saya kutipkan apa yang sering didaraskan atau disenandungkan dalang wayang kulit: "...ndadekake perbawaning goro-goro. Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap....Ana lindhu sadina kaping pitu, aluning samodra ngelepi padharatan,...gunung tarung padha gunung" Yang terjemahannya:"...memicu terjadinya goro-goro. Bumi goncang, langit membara (karena muntahan lava gunung berapi, halilintar, atau kejatuhan meteor), ada gempa sehari tujuh kali, gelora samudera naik menenggelamkan daratan,...gunung saling bertabrakan" Kurang lebih seperti itu. Mengenai gempa tidak hanya didaraskan dalang wayang kulit tetapi disebut Kitab Suci baik Perjanjian Lama atau Baru.

Yang ingin saya sampaikan di dalam postingan ini intinya adalah agar semua pihak tidak menenggelamkan atau mengabaikan biososioekonomi dan demokrasi ekonomi. Kalau biososioekonomi tidak diimplementasikan, maka rakyat tetap dalam kondisi terjajah. Penindasan akan mendapat hukuman TUHAN sebagaimana ditulis Kitab Suci

Bagi yang ateis sekalipun juga perlu menyadari bahwa kalau biososioekonomi tidak diimplementasikan lingkungan hidup akan rusak atau bahkan hancur akibat hukum alam yang wujudnya bisa pemanasan global atau kerusakan lain. Efek buruk Pertumbuhan PDB sama dengan pertumbuhan populasi penduduk. Hanya biososioekonomi yang tidak mensyaratkan pertumbuhan PDB. Biososioekonomi tidak sekedar ideologi pro wong cilik tetapi juga berarti ekologi dan kearifan yang ramah lingkungan. Hal-hal seperti ini yang belum dimengerti banyak orang.

Semoga pilpres kali ini tidak menghasilkan presiden dan wapres yang anti biososioekonomi. Memang yang akan terkena kutukan bukan hanya pejabat pemerintah. Hal itu sudah saya sampaikan dalam postingan terdahulu:"Peringatan dan Pesan untuk Orang Jawa: Terhindar Kutukan Memasuki Jaman Keemasaan" Namun demikian pejabat pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab. Marilah kita mengikuti pilpres dengan penuh rasa tanggung jawab.

Minggu, 05 Juli 2009

Mengubah Paradigma Mengubah Angka

Elite politik menuduh ada yang tidak sabar dengan perbaikan ekonomi yang sedang diupayakannya. Suatu tuduhan yang mengindikasikan tidak dipahami dan dirasakan betapa berat rakyat menanggung beban dan bayangan bertambahnya beban dikemudian hari karena elite politik terbenam dalam paradigma neolib, dan berpikir linier. Sehebat apapun suatu program kalau itu lahir dari cara berpikir linier dalam paradigma neolib tak akan banyak memperbaiki ekonomi rakyat, tak akan meringankan beban rakyat secara nyata. Sedikit perbaikan memang bisa, ekonomi bisa saja dikatakan pulih dari krisis. Tetapi stabilitas adalah suatu barang langka dalam perekonomian yang ekspansif dan mengalami overinvestment seperti yang saat ini kita alami secara global. Krisis kelihatannya pulih di satu sektor, tetapi bisa berpindah ke sektor lain. Demikian juga suatu krisis yang kelihatannya sudah berlalu di suatu wilayah, sebenarnya sedang bergerak pindah ke wilayah lain. Atau beban dan masalahnya sedang ditimpakan ke negara lain dengan sengaja.

Oleh karena itu saya menawarkan perubahan paradigma dalam mengentaskan kemiskinan sebagaimana saya sampaikan dalam Lomba Karya Tulis Pengentasan Kemiskinan 2005 yang diadakan oleh LP3ES dan Yayasan Damandiri. Dengan mengubah paradigma, angka-angka bisa berubah spektakuler tidak linier. Berikut ini saya kutipkan sebagian makalah saya dalam lomba tersebut.

Ada dua pendekatan yang sering dipakai sebagai metode berpikir untuk menghadapi berbagai persoalan, termasuk ekonomi dan kemiskinan, yaitu metode induktif-empiris dan metode deduktif-logis (bdk Mubyarto, Gagasan besar Ekonomi & Kemajuan Kemanusiaan, Aditya Media, Yogyakarta. Hlm 23). Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan pendekatan induktif-empiris kita sering tidak bisa melihat atau meramalkan angka-angka yang mungkin terjadi sebagai akibat perubahan paradigma atau variabel yang disengaja. Sebagai contoh selama 22 tahun (1980-2002) kurang lebih 20 pengembang hanya mampu memasok sekitar 32.700 unit apartemen atau rata-rata 1.600 unit per tahun. Semantara salah satu pengembang dalam kurun waktu 3 tahun 2002-2004, yang notabene adalah masa krisis, mampu memasok 7.796 unit atau 2.599 unit per tahun (lihat Tabloid Transaksi Properti, 5 Mei - 30 Juni 2003 hlm 1. Tabloid ini diterbitkan oleh Pusat Studi Properti Indonesia pimpinan Panangian Simnungkalit). Keduapuluh pengembang yang pertama tadi terjebak pada paradigma lama bahwa apartemen atau hunian vertikal hanya diperuntukkan bagi pekerja asing yang tinggal di Jakarta. Sementara satu developer terakhir menggunakan paradigma baru yaitu dengan membidik konsumen lokal sebagai penghuninya, dengan merancang unit apartemennya lebih kecil sehingga harganya terjangkau. Dahulu memang tidak terpikir bahwa orang kita mau tinggal di apartemen karena data empirisnya memang langka. Contoh lain mengenai globalisasi, selama bertahun-tahun globalisasi (ekonomi) dianggap sebagai biang kemiskinan dan penderitaan tetapi dengan adanya bencana tsunami Asia Desember 2004, globalisasi (informasi dan solidaritas) mampu meringankan penderitaan ratusan ribu orang yang terkena musibah. Oleh karena itu meskipun tidak anti pendekatan induktif-empiris maka dalam tulisan ini lebih ditekankan pada pendekatan deduktif-logis dengan memahami hukum-hukum alam yang mendasari terjadinya atau munculnya data-data empiris. Dengan pendekatan deduktif-logis dalam memandang masalah kemiskinan dan ekonomi diharapkan bisa menghasilkan perubahan mendasar secara besar-besaran dan mempertahankan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan keadilan yang berkesinambungan.

Demikian kutipan saya. Kegagalan seorang pemimpin selain terjebak pada cara pandang linier juga karena pandangan yang empiristis. Segala-galanya dituntut harus ada fakta empirisnya padahal dalam kasus tertentu fakta atau data empirisnya belum tersedia. Kalau hal-hal seperti itu mau dilanjutkan, beban rakyat tidak akan berkurang banyak.

Sabtu, 04 Juli 2009

Air Mata Mereka adalah Air Mataku

Tujuh tahun sudah, kutempuh jalan ini. Sejak aku mengetahui Engkau menyebut namaku, memberiku sebuah prasasti putih di mana nama baru dan identitasku tertulis di atasnya. Kujalani perjuangan ini, untuk demokrasi ekonomi dan kesejahteraan publik. Kujalani dengan segala macam suka duka. Jatuh bangun, penolakan dan penerimaan, rintangan dan hambatan, penghinaan dan apresiasi.

Segala macam upaya telah kulakukan dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Paparan ilmiah maupun peringatan spiritual telah kusampaikan melalui blog-ku. Ku kan sesuaikan dengan rencana dan rancangan-Mu yang tertulis sejak dahulu kala.

Berbagai kejadian telah kualami, pengalaman spiritualku telah meneguhkan hatiku dan menerangi jiwaku. Berbagai peristiwa di luar juga telah kusaksikan melalui laporan media massa selama 7 tahun terakhir. Engkau sungguh Maha Besar, Maha Mulia, dan Maha Kuasa ya TUHAN.

Upaya maksimalku belum membuat mereka yang lapar dan miskin bisa tersenyum dan tertawa. Resistensi masih ada. Beban hidup mereka masih berat bahkan sebagian bertambah berat.

Air mata mereka yang lapar dan miskin adalah air mataku, kan kutumpahkan setiap malam di atas bantal dan ranjangku. Dengarkanlah ya TUHAN tangisku dan permohonanku karena ini adalah tangis seluruh rakyat-Mu. Dengarkanlah ya TUHAN melebihi perhatian-Mu pada Daud (Mazmur 6:7-11) kalau ini memang rencana dan rancangan-Mu. Pimpinlah kami ke dalam terang dan damai sejahtera-Mu, sehingga kami rakyat-Mu tidak kelaparan lagi.

Kini aku telah berdiri di hadapan gerbang yang terbuka dan telah kutemukan padang rumput yang hijau. Akan tetapii...batu itu dibuang oleh tukang-tukang bangunan.

Kini kami hanya bisa berharap pada kuasa dan keajiban-Mu. "Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru. Hal itu terjadi dari pihak TUHAN, suatu perbuatan ajaib di mata kita" (Mzm 118:22-23).

Ya TUHAN, berilah kiranya keselamtan! Ya TUHAN berilah kiranya kemujuran! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama TUHAN!

Loloskanlah kami dari hari yang dahsyat itu ya TUHAN sehingga kami bisa meneruskan peraaban baru di bumi dalam terang, kuasa, dan damai sejahtera-Mu.

Kutulis ini untuk mengenang kebesaran-Mu, kemuliaan-Mu, serta pnggilan-Mu. Aku hanya seorang hamba yang harus menjalankan apa yang harus kujalankan.

Jakarta 4 Juli 2009

Kamis, 02 Juli 2009

Prof. Dr. Boediono yang Tak Peduli Mazhab

Prof. Dr. Boediono (selanjutnya disebut Boediono) tidak peduli mazhab ekonomi. Demikian terungkap dalam wawancara oleh majalah Tempo. Hasil wawancara itu dimuat oleh majalah Tempo minggu ini. Saya mengetahuinya dari mengakses http://tempointeraktif.com hari Selasa 30/06/09 jam 11:40. Apakah itu berarti Boediono telah siap menerima mazhab dan paradigma baru dalam pemikiran ekonomi?

Saya tidak mengenal Boediono secara pribadi. Selain dari hasil wawancara yang dilakukan majalah Tempo, saya mengamati Boediono dari beberapa sumber:(1)Wawancara yang dilakukan wartawan Kompas sebagaimana dimuat di harian Kompas 30/06/2009 hlm 39. (2)Analisis psikologi oleh Bagus Takwin, Niniek L Karim, Nurlita Hafiyah, dan Dicky Pelupessy sebagaimana dimuat di harian Kompas 30/06/2009 hlm39. (3)Tayangan ulang debat Cawapres di Trans 7 tanggal 01/07/09.

Dari sumber-sumber yang saya dapatkan di atas saya menemukan sosok Boediono. Di dalam wawancara dengan Tempo, ketika kepadanya ditanyakan mazhab ekonomi apa yang dia ikuti, Boediono menjawab bahwa ia tidak peduli mazhab. Dia mengikuti yang bisa diterapkan dan memberikan manfaat.

Namun pernyataan bisa diterapkan dan memberikan manfaat ini agak kurang jelas. Perlu dipertanyakan manfaat bagi siapa? Ekonomi selalu berkaitan dengan kepentingan. Pengeluaran bagi suatu pihak bisa berarti pemasukan bagi pihak lain. Efisiensi bagi suatu pihak bisa berarti pemborosan bagi pihak lain. Aset bagi suatu pihak bisa berarti liabilitas bagi pihak lain.

Selain itu apakah pernyataan bisa diterapkan berarti "yang mudah diterapkan." Membaca hasil analisis psikologi sebagaimana dimuat di harian Kompas yang saya sebutkan di atas tampak aspek kepribadian Boediono yang konservatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa menerima solusi baru yang mungkin bisa benar. Ini merupakan kelemahan kepribadiannya.

Memang beliau juga memiliki kekuatan dan aspek kepribadian yang menonjol seperti sederhana dan pekerja keras, selalu berusaha mencapai yang didambakan dan selalu ingin hasil yang terbaik. Namun mengingat tantangan perekonomian yang dihadapi sangat besar kelebihan kepribadiannya bisa tenggelam oleh kelemahannya.

Dalam debat cawapres tampak Boediono tidak terlalu meyakinkan khususnya mengenai bagaimana cara mebiayai peningkatan kualitas hidup rakyat berkaitan dengan kesehatan dan pendidikan. Agak aneh memang, dengan latar belakang ekonom, Boediono tidak bisa menjawab pertanyaan mendasar dari mana pembiayaan diperoleh. Dalam hal ini Prabowo yang bukan ekonom lebih meyakinkan dengan tawaran paradigmanya dan sumber dananya. Tampak Boediono masih terjebak paradigma neolib.

Memang bersama Mubyarto, Boediono pernah menekuni Ekonomi Pancasila istilah lama yang sekarang diganti dengan istilah ekonomi kerakyatan. Namun dari kedua orang itu yang gigih, tekun, dan konsiten sampai akhir hayatnya menekuni ekonomi kerakyatan hanya Mubyarto. Mungkin benar bahwa Boediono pragmatis mencari mana yang mudah diterapkan. Analisis psikologi sebagaimana saya peroleh dari Kompas di atas memang menyebutkan:"Implikasinya, Boediono kurang tertarik pada pemikiran atau ide transformatif-revolusioner".

Oleh karena itu saya pribadi sebagai bagian dari anak bangsa berharap kepada semua pihak agar paradigma neoliberal ini JANGAN dilanjutkan. Siapapun nantinya yang keluar sebagai pemenang pilpres kali ini harus sadar akan bahaya neolib bagi rakyat.

Rabu, 01 Juli 2009

Foto Sudut Desaku (2)

Ini adalah foto sebuah pohon liar yang eksotik dengan bunga-bunga kuning berkelopak lebar. Sekilas mirip pohon sakura di Jepang, tetapi daunnya lebar seperti daun jati. Dalam gambar daun-daun tersebut tidak nampak karena berguguran. Pohon ini tumbuh liar di halaman rumah kakekku (sekarang rumah itu sudah dibongkar) di Dusun Hargobinangun, Desa Merbau Mataram, Kecamatan Merbau Mataram, Lampung Selatan. Foto bunga pohon ini menjadi salah satu koleksi wallpaper ponselku yang juga saya posting di blog ini.