Jumat, 31 Desember 2010

Refleksi Akhir Tahun: Menanyakan Masyarakat Terbuka

Masyarakat terbuka atau open society sebagaiamana dirumuskan Karl Popper adalah masyarakat yang percaya pada akal, kebebasan, dan persaudaraan antar umat manusia. Salah satu ciri masyarakat terbuka adalah rasional kritis. Berikut ini saya kutipkan dari buku saya halaman 88-89:

"Masyarakat terbuka memiliki ciri sikap rasional kritis, yang dibedakan dengan rasional tidak kritis. Di dalam rasionalisme tidak kritis seseorang 'tidak siap menerima sesuatu yang tidak dapat dipertahankan oleh argumen atau pengalaman'. Kerendahan hati merupakan inti dari rasionalisme kritis. Rasionalisme kritis adalah kesadaran mengenai keterbatasan seseorang, kerendahan hati intelektual orang yang mengetahui betapa seringnya mereka khilaf, dan betapa mereka banyak tergantung pada orang lain demi pengetahuan. Dalam rasionalisme kritis terkandung sikap mengakui bahwa 'saya mungkin salah dan anda mungkin benar, dan dengan suatu ikhtiar kita mungkin bisa menemukan kebenaran'. Ketulusan dan kejujuran merupakan syarat menemukan kebenaran". Saya perlu garisbawahi bagian terakhir: "saya mungkin salah dan anda mungkin benar, dan dengan suatu ikhtiar kita mungkin bisa menemukan kebenaran" Masyarakat terbuka adalah masyarakt yang terbuka terhadap koreksi demi
lebih mendekati kebenaran juga selalu berikhtiar untuk dekat sedekat mungkin dengan kebenaran. Apa yang selama ini dianggap benar mungkin saja salah. Di dalam masyarakat tertutup, orang tidak siap menerima sesuatu yang tidak bisa lagi dipertahankan dengan argumen atau pengalaman. Tidak siap menerima bahwa apa yang selama ini dianggap sebagai kebenaran ternyata sudah tidak bisa lagi dipertahankan sebagai kebenaran.

Berbagai kejadian di Indonesia dan dunia yang terjadi sepanjang tahun 2010 mengantarkan kita pada pertanyaan reflektif: di mana masyarakat terbuka saat ini? Apakah orang menjadi tertutup dan tidak siap menerima kebenaran baru? Sebagian orang dan aktivis sebagaimana saya lihat di situs jejaring sosial seperti facebook masih berpegang pada Marx bahwa laba adalah hasil eksploitasi buruh. Pandangan itu dipatahkan oleh teori ekonomi makro biososioekonomi bahwa laba berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Konsumen membayar lebih tinggi dari biaya produksi, distribusi, dan pajak sehingga tercipta margin laba. Namun kenyataannya masih saja sebagian orang dan aktivis mempertahankan pandangan Marx dengan sepak terjang organisasi buruhnya. Sementara biososioekonomi yang menawarkan gerakan konsumen sosial yang inklusif tanpa sekat masih belum diterima banyak orang.

Demikian juga mazab ekonomi konvensional yang mempersyaratkan pertumbuhan PDB (GDP) tinggi sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi dan syarat tidak terjadinya krisis ekonomi. Pandangan seperti itu juga dipatahkan oleh biososioekonomi. PDB adalah penjumlahan pendapatan individual tahunan sedangkan kenaikan PDB adalah kenaikan total pendapatan individual. Pendapatan individual tidak otomatis menjadi pendapatan publik, justru peningkatan total pendapatan individual itu akan meningkatkan aset individual total, dan aset individual adalah liabilitas bagi publik. Maka pandangan mazab konvensional itu seharusnya tidak bisa diterima oleh logika akuntansi yang sehat. Mengapa masih
Dipertahankan!??

Gejala-gejala seperti itu mengindikasikan adanya masyarakat tertutup yang tidak siap atau belum siap menerima kebenaran atau mungkin sengaja mau menenggelamkan kebenaran demi kepentingan kelompok. Kondisi seperti itu bisa diperparah oleh sepak terjang media konvensional (cetak dan tv) yang juga tidak terbuka pada kebenaran. Celakanya justru pengaruh media seperti ini masih cukup besar sehingga berpotensi membutakan mata banyak orang.

Masyarakat ilmiah seharusnya adalah bagian dari open society yang terbuka pada kebenaran baru dan terbuka terhadap koreksi untuk selalu lebih dekat dengan kebenaran. Kejujuran seharusnya menjiwai masyarakat ilmiah. Keberanian masyarakat ilmiah memang sedang dituntut untuk menyuarakan kebenaran. Tanpa keberanian dan kejujuran masyarakat ilmiah bisa jatuh menjadi Mafia Berkeley atau OTB (Organisasi Tanpa Bentuk, menurut istilahnya Kwik) yang menyengsarakan rakyat dan merusak lingkungan.

Akhir tahun adalah saat yang tepat melakukan refleksi diri, sejauh mana kita bersikap terbuka terhadap kebenaran? Sejauh mana kita siap meninggalkan kebenaran lama yang sudah tidak bisa lagi dipertahankan baik dengan argumen maupun pengalaman. Melangkahkan kaki meninggalkan tahun 2010 seharusnya juga kita siap meninggalkan hal-hal keliru atau salah yang tidak bisa lagi dianggap sebagai kebenaran.

Selasa, 28 Desember 2010

Pemerintahan Tuhan vs Perusak Bumi

Kalau bukan karena beberapa peristiwa, mungkin postingan seperti ini tidak akan saya buat karena khusus akhir tahun ini saya telah mempersiapkan refleksi akhir tahun setelah sepanjang tahun 2010 kita melihat atau mengalami berbagai peristiwa. Beberapa peristiwa yang mendorong tulisan ini adalah hujan salju di sebagian Timur Tengah, hujan salju di Australia saat seharusnya musim panas, dan beberapa gempa seperti gempa Iran (http://m.kompas.com/news/read/data/2010.12.21.12391617), Yogya/Pacitan (http://m.detik.com/read/2010/12/21/125942/1529667/10/pekerja-kantoran-di-surabaya-malang-juga-berhamburan), Jepang (http://m.detik.com/read/2010/12/22/020752/1530285/10/gempa-74-sr-guncang-jepang) dan terakhir gempa Vanuatu di Pasifik 25 Des 2010 WIB atau 26 Des 2010 waktu setempat (http://m.kompas.com/news/read/data/2010.12.26.08045510).

Berita hujan salju di sebagian Timur Tengah saya share melalui account facebook saya (www.facebook.com/hani.putranto) tanggal 12 Desember 2010. Dalam komentar saya tertanggal 13 Desember 2010 saya tulis: "....Jadi teringat Kitab Wahyu: khususnya Why 11:19 'Maka terbukalah Bait Suci Allah yang di sorga, dan kelihatanlah tabut perjanjian-Nya di dalam bait suci itu dan terjadilah kilat dan deru guruh dan gempa bumi dan hujan es lebat'. Juga Why 16:21'"

Dalam postingan di blog ini saya kutipkan Kitab Wahyu 11 dari ayat 15 sampai dengan ayat 19 yaitu ayat terakhir Wahyu 11, kutipan lengkapnya adalah sebagai berikut:

"Lalu malaikat yang ketujuh meniup sangkakalanya, dan terdengarlah suara-suara nyaring di dalam sorga, katanya:
'Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya, dan Ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya'
Dan kedua puluh empat tua-tua, yang duduk di hadapan Allah di atas takhta-takhta mereka, tersungkur dan menyembah Allah, sambil berkata:
'Kami mengucap syukur kepada-Mu ya Tuhan, Allah Yang Mahakuasa, yang ada dan yang sudah ada, karena engkau telah memangku kuasa-Mu yang besar dan telah memerintah sebagai raja dan semua bangsa telah marah, tetapi amarah-Mu telah datang dan saat bagi orang-orang mati untuk dihakimi dan untuk memberi upah kepada hamba-hamba-Mu, nabi-nabi dan orang-orang kudus dan kepada mereka yang takut akan nama-Mu, kepada orang-orang kecil dan orang-orang besar dan untuk membinasakan barang siapa yang membinasakan bumi.'
Maka terbukalah Bait Suci Allah yang di sorga, dan kelihatanlah tabut perjanjian-Nya di dalam Bait Suci dan terjadilah kilat dan deru guruh dan gempa bumi dan hujan es"

Demikian tadi saya kutipkan dari kitab Wahyu, kitab terakhir Perjanjian Baru otomatis juga kitab terakhir Alkitab. Dalam postingan ini tidak lagi saya jelaskan mengenai pemerintahan Tuhan (bisa juga disebut "Kingdom of Heaven" atau "Kingdom of JHWH") karena telah saya jelaskan dalam postingan berjudul "Pemerintahan Tuhan" tertanggal 24 Agustus 2010 di blog ini.

Dalam postingan ini saya ingin menggarisbawahi hukuman yang akan menimpa pembinasa bumi (Why 11:18). Peringatan Kitab Wahyu itu patut kita perhatikan mengingat kerusakan bumi oleh ulah manusia. Hujan salju di Australia pada saat seharusnya musim panas adalah tanda pemanasan global yang menimpa kutub selatan bumi yang berdekatan dengan Australia. Kerusakan bumi itu terjadi karena kesrakahan atau sesat pikir rezim atau mazab ekonomi yang mempersyaratkan pertumbuhan PDB bagi kesejahteraannya. Mazab itu masih eksis, lihat saja di media massa konvensional menjelang akhir tahun seperti ini, halaman media itu dihiasi banyak tulisan ekonomi untuk meningkatkan PDB tahun depan. Sama halnya pertumbuhan penduduk, sebenarnya pertumbuhan PDB akan semakin membebani bumi dan merusaknya. Itulah mazab konvensional (neoklsik atau keynes). Berbeda dengan mazab konvensional, biososioekonomi tidak mempersyaratkan pertumbuhan PDB, tetapi dengan daur ulang kekayaan individu semua orang bisa tumbuh kekayaannya yang diukur dengan angka PIT (persentse individu atau rumah tangga yang tumbuh, angka PIT 100% berarti semua orang atau rumah tangga bertambah kekayannya). Dalam biososioekonomi secara makro tidak ada pertumbuhan tetapi secara mikro ada pertumbuhan. Pertumbuhan makro atau pertumbuhan PDB yang seharusnya dicegah karena berpotensi meningkatkan beban alam dan merusak bumi.

Tentu pembinasa bumi tidak hanya berasal dari mazab ekonomi konvensional yang mempersyaratkan pertumbuhan PDB tetapi juga berasal dari orang-orang yang mengobarkan perang dan terorisme. Semoga peringatan Kitab Wahyu 11:18 itu diperhatikan semua orang apa pun agamanya. Demikian postingan ini saya tulis, saya bukan ahli bernubuat, hanya menyampaikan apa yang dinubutkan atau ditulis orang lain.

Bagi kita yang tidak merusak bumi atau tidak membuat hal-hal yang mendatangkan amarah Tuhan bisa menambahkan dalam doa harian kita doa Mazmur 118:25 yang bunyinya: "Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN, berilah kiranya kemukuran!"

Rahayu.

Sabtu, 25 Desember 2010

Selamat Natal 25 Desember 2010

Saya mengucapkan Selamat Natal 25 Dessember 2010, semoga kelahiran Tuhan membawa damai sejahtera bagi kita semua.

Selasa, 21 Desember 2010

Kekikiran Di Balik CSR

Bagi yang memahami matematik dan biososioekonomi atau paling tidak memahami hakekat ekonomi publik (plus matematik) tentu persoalan seperti ini pasti sudah diketahui. Akan tetapi bagi yang kurang memahami, mungkin tulisan ini berguna untuk ikut mengontrol dan mengoreksi jalannya ekonomi publik.

Gemerlap CSR (corporate social responsibility) sering tidak hanya menyilaukan mata banyak orang tetapi juga mungkin membutakannya. Citra yang terpancar dari iklan CSR sering menutupi suatu kenyataan bahwa boleh jadi individu-individu pemegang sahamnya kikir dan penindas. Dalam penjelasan mengenai biososioekonomi sering saya kemukakan bahwa manusia selain homo economicus juga homo socius artinya kapasitas kedermawanan sosial seseorang memang seharusnya lebih tinggi dari institusi bisnis. Kalau institusi bisnis hanya menyumbang 2,5% dari laba usahanya, maka seseorang seharusnya bisa menyumbang harta dalam persentase yang jauh lebih tinggi dari itu karena ia adalah juga bersifat homo socius.

Celakanya kalau individu lebih kikir dari perusahaan, kesengsaraan rakyat akan berlanjut. Praktek-praktek di mana individu lebih kikir dari perusahaan harus menjadi bahan perhatian para pemangku kepentingan publik agar paraktek-praktek buruk itu tidak meraja lela. Juga perlu diperhatikan permintaan pemotongan pajak karena perusahaan menjalankan CSR. Jangan sampai uang yang disumbangkan melalui CSR besarnya, misalnya, hanya Rp 100 milyar tetapi meminta pemotongan pajak sampai Rp 120 milyar. Dalam kasus seperti ini income publik bukan bertambah tetapi berkurang Rp 20 milyar. Lebih celaka lagi kalau uang Rp 20 milyar tadi dipakai untuk iklan pencitraan bahwa perusahaan dan individu pemegang saham adalah seorang pahlawan. Padahal kalau menurut logika biososioekonomi individu pemilik perusahaan itu harus menyumbang lebih dari Rp 120 milyar. Dijalankannya CSR bukan berarti membebaskan bagi pemiliknya untuk membayar kewajibannya apakah berupa pajak, derma, atau daur ualng kekayaan individu seperti dijelaskan oleh teori biososioekonomi. Orang yang mengerti biososioekonomi tidak mudah dibodohi oleh orang-orang kikir yang tampil bak pahlawan. Oleh karena itu banyak orang seharusnya mau mempelajari dan menyebarluaskan teori ekonomi makro biososioekonomi supaya rakyat tidak menjadi korban elite busuk.

Biososioekonomi berusaha meningkatkan pendapatan publik dan mengelolanya dengan baik agar aset publik sama dengan liabilitasnya. Agar aset publik tidak merosot di bawah liabilitasnya. Biososioejonomi membatasi income (publiknya) pada tiga sumber yaitu pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu. Biososioekonomi tidak menjadikan hasil investasi asetnya sebagai pendapatan utama publik karena orientasi pada investasi akan memanaskan makro ekonomi

Sabtu, 18 Desember 2010

Menanti Ratu Adil atau Menanti Pertobatan?

Harapan banyak orang tertindas akan datangya Ratu Adil (King of Justice) sebenarnya bukan harapan kosong meskipun beberapa persepsi mengenai Ratu Adil perlu diluruskan. Dalam blog ini saya sudah menjelaskan agar tidak salah persepsi. Hal seperti ini perlu saya kemukakan agar isu Ratu Adil tidak dimanfaatkan oleh petualang politik.

Seperti pernah saya jelaskan dalam postingan "Antara Ratu Adil dan satrio piningit" bahwa Tuhanlah yang pantas menjadi Ratu Adil sejati. Dan Ratu Adil berbeda dengan satrio piningit. Satrio piningit sejati memang harus mengaku sebagai bukan Ratu Adil supaya tidak terjadi "bencana teologis" (karena mengaku sbg Tuhan) tetapi bukan berarti bahwa satrio piningit sedang melawan Ratu Adil (Tuhan).

Mungkin kemudian timbul pertanyaan, kalau Ratu Adil itu ada dan satrio piningit telah muncul mengapa hidup rakyat tidak segera membaik. Perlu diingat bahwa tugas satrio piningit hanya menyampaikan peringatan. Dan seperti Anda lihat pada komentar-komentar di blog ini, tidak sedikit orang yang menghalangi tampilnya satrio piningit. Pengalaman saya memperjuangkan demokrasi ekonomi/biososioekonomi pun seperti itu, banyak dihalang-halangi. Good news munculnya satrio piningit bersama demokrasi ekonomi/biososioekonominya ditenggelamkan bad news oleh penguasa media konvensional baik cetak maupun tv. Padahal peringatan itu harus tersebar ke seluruh dunia.

Tuhan Sang Ratu Adil sejati memang berkuasa menjatuhkan tulah atau hukuman ke bumi terhadap orang-orang yang menghalangi terwujudnya kesejahteraan publik namun juga perlu diingat bahwa Tuhan memiliki kerahiman untuk menanti pertobatan banyak orang. Memang memprihatinkan bahwa masih ada orang yang menganggap mewariskan kekayaan berlimpah kepada anak keturunannya sebagai bagian dari hukum kasih, padahal Yesus Kristus Sang Ratu Adil Sejati tidak mengajarkan begitu.

Akan ada masanya pintu pertobatan ditutup karena Tuhan tidak mau rakyat-Nya mati kelaparan. Kapan saatnya? Tidak ada manusia yang tahu. Kita saat ini sedang menantikan pertobatan banyak orang karena Tuhan dg kemulian, kuasa, dan hukuman-Nya bisa datang kapan saja seperti pencuri. Bertobat selagi sempat karena esok mungkin terlambat.

Selasa, 14 Desember 2010

Quo Vadis Teologi Pembebasan

Tulisan ini adalah salah satu dari 17 tulisan yang terkumpul dalam naskah "Suara Alam: Menemukan Jalan ke Tanah Terjanji, Menuju Kapitalisme Tanpa Darwinsime" Yang menjadi ciri dalam postingan ini selain bahasanya sederhana juga ditulis dalam gaya sharing pengalaman rohani. Postingan ini ditulis kembali dengan cara diketik kata demi kata dengan sedikit perbaikan redaksionalnya. Selamat membaca.

Bukanlah maksud penulis untuk mengkritik teologi pembebasan. Justru penulis menghargai mereka yang terlibat dalam teologi pembebasan dengan mengorbankan waktu, harta benda, bahkan nyawanya untuk suatu pembebasan bagi kaum miskin di mana pun juga berada apakah di Amerika Latin atau di tempat lain. Terjadinya reformasi di Indonesia telah membuat buku-buku tentang teologi pembebasan lebih mudah diperoleh dan dibicarakan secara terbuka sehingga penulis mulai bisa mengerti dan memahami tentang teologi pembebasan yang konon bervariasi. Namun dari semua itu masih ada hal yang bagi penulis masih kabur yaitu akan dibebaskan dengan cara apa orang-orang miskin itu dan mau berjalan ke arah manakah teologi pembebasan?

Penulis bukanlah seorang doktor di bidang ekonomi, teologi, filsafat, kependudukan dan juga bukan seorang rohaniwan. Penemuan penulis akan jalan ke Tanah Terjanji yang dipaparkan dalam buku ini sebenarnya merupakan suatu penemuan yang berawal dari ketidaksengajaan dari suatu musibah yang menimpa penulis kira-kira sembilan tahun yang lalu. Tetapi penulis merasa bahwa latar belakang penulis yang S1 Teknologi Pertanian cukup bisa mendampingi penulis untuk bisa mencerna dan mengolah segala pengalaman tersebut dengan cukup cerdas, jernih dan bijak.

Maka dalam bagian ini penulis hanya mau men-sharing-kan saja mengenai pengalaman tersebut yang sebagian darinya pernah di-sharing-kan kepada rekan-rekan muda yang tergabung dalam paguyuban dan persaudaraan Kontak Suara Muda (KSM). Pengalaman ini berawal dari akhir bulan Februari 1993 ketika penulis kehilangan pekerjaan secara menyakitkan. Pada saat itu, empat tahun sebelum krisis melanda Asia, apa yang disebut sebagai nilai-nilai Asia sedang berada pada puncak arogansinya. Ternyata bukan hanya kehilangan pekerjaan saja yang penulis sadari kemudian tetapi juga kebebasan dan kemerdekaan. Sewaktu duduk dibangku sekolah kita boleh berpacu dan berprestasi setinggi-tingginya, kita bisa memilih sekolah favorit yang terbaik. Kompetisi yang terbuka adalah bagian dari masa sekolah yang kemudian lenyap ketika memasuki dunia kerja, tenggelam dalam suatu budaya nepotisme dan feodalisme.

Ada suatu tawaran pekerjaan untuk menjadi agen asuransi jiwa dari perusahaan nasional yang bonafid. Meskipun penulis merasa tidak terlalu bisa menjadi salesman tetapi tawaran itu pun penulis coba. Dari training yang diberikan aku merasa bahwa inilah duniaku dan kebebasanku yang pernah hilang. Di sini siapa pun boleh berprestasi sebaik-baiknya. Selesai training, pada bulan pertama aku berhasil membukukan transaksi dari saudara-saudaraku. Bulan kedua mulai ekspansi ke lingkungan yang di luar saudara, tetapi hasilnya nihil. Bulan ketiga keuanganku menipis. Ada seorang prospek (calon nasabah) yang baru dikenal dan bukan saudara yang agaknya cukup tertarik dengan plan asuransi beasiswa. Ketika dia memberikan isyarat setuju blanko surat perminataan pun aku siapkan dan ditandatanganinya. Kami membuat janji untuk bertemu lagi besok siang setelah makan siang dan dia minta dibawakan kwitansi pembayaran premi pertama. Demikianlah keesekon harinya, setelah makan siang saya datang dengan membawa kwitansi tanpa paginya konfirmasi terlebih dahulu. Ini adalah trik dari para senior yang merupakan bagian dari body language. Karena kalau pagi harinya ditelpon lebih dulu bisa jadi prospek tersebut membatalkan komitmennya untuk membayar karena kita dianggap tidak serius hanya bicara saja alias no action talk only. Tetapi ternyata prospek tersebut tidak masuk kerja pada hari itu karena sakit. Saat itu juga seoalah-olah langit runtuh. Mungkin ini akal-akalan orang tersebut untuk membatalkan komitmennya.

Terbayang kembali peristiwa tahun 1993 ketika penulis kehilangan pekerjaan. Sementara uangku semakin menipis dan agaknya orangtuaku pun punya harapan agar aku bisa sedikit banyak membantunya untuk menyumbang biaya sekolah adik-adikku. Pahit memang. Tidak hanya itu saja, semua pengalaman ini telah menggoncangkan imanku sehingga jatuh ke titik nadir. Ketika pulang aku duduk termenung sendirian di kamar kos sederhana yang disewa adik sepupuku tempat aku menumpang. Menatap langit yang mendung melalui jendela kamar yang terletak di tempat yang lebih tinggi dari rumah-rumah sekelilingnya yang juga sederhana. Pada saat itu melalui hati nuraniku aku mendengar seolah-seolah Tuhan berkata kepadaku: "Bangkitlah anak-Ku, Aku Bapamu!"
"Bapa..." Jawabku

Untuk pertama kalinya dalam hidup Kristianiku hatiku dan tubuhku begitu tergetar ketika aku memanggil Tuhan dengan sebutan Bapa.

Keesokan harinya aku menelepon kembali prospek tersebut dan dia menyatakan minta maaf karena kemarin tidak masuk. Siangnya saya diminta datang dan semuanya berjalan lancar. Ini merupakan transaksi pertama yang cukup signifikan dari prospek yang tidak dikenal secara pribadi. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada Bapa di surga. Dan sejak saat itu sebutan Bapa untuk Tuhan begitu menyentuh hatiku lebih dari sekedar formalitas teologis.

Perjalanan selanjutnya aku lalui dengan suka-dukanya sendiri. Sebagai ungkapan terima kasih kepada Bapa aku datang ke Lingkungan untuk ikut menjadi anggota koor juga petugas tata laksana yang mengumpulkan kolekte di gereja. Ucapan terima kasih itu juga terungkap dalam doa harianku:

"Puji dan syukur kuhaturkan kepada-Mu ya Tuhan
Karena Engkau menyelamatkan hidupku dari kehancuran
Engkau mengangkat hidupku dari kehinaan.
Aku percaya Sabda-Mu mampu menyembuhkan daku
sehingga aku bisa berbuah melimpah, buah yang bisa dinikmati orang lain, ranting dan daunnya menjadi tempat bernaung, memberikan kehidupan dan kesejukan bagi banyak orang
sehingga semua orang memuji dan memuliakan nama-Mu
sehingga Kerajaan-Mu semakin kokoh di muka bumi
bumi menjadi tempat bernaung yang aman dan nyaman bagi semua orang tanpa membeda-bedakan suku, agama, aliran politik, kebudayaaan dll
sambil menantikan kehidupan abadi di Sorga"

Kata-kata "Aku Bapamu" telah membangkitkan kembali semangat hidup dan prestasiku. Aku mendapatkan fasilitas training sebagai supervisor. Dalam training motivasi itu aku mendapatkan tambahan semangat yang menyala-nyala karena trainer mengingatkan kembali akan potensi dan talenta masing-masing pribadi atau individu serta prestasi-prestasi yang pernah dicapai. Bagiku ini mengingatkan kembali waktu SMP menjadi salah satu dari sedikit siswa yang diterima di SMA negeri. Kemudian waktu SMA lulus dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi. Dan kemudian diterima di PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Pada saat menyelesaikan skripsi, aku merupakan salah satu dari sedikit mahasiswa S1 yang berani menciptakan prosedur analisis sendiri dengan mendapat inspirasi dari hukum Stoke, kemudian memperoleh nilai A untuk skripsi tersebut.

Prestasi ini memang tidak langsung berpengaruh pada bidang yang aku tekuni (pemasaran asuransi jiwa) tetapi membangkitkan gairah dan semangatku selepas training. Sementara itu aku teringat kembali film Mahabharata yang disutradarai B.R. Chopra dan Ravi Chopra yang ditayangkan TPI awal tahun sembilan puluhan. Dalam ingatanku itu, aku teringat kisah Karna salah seorang ksatria berbakat dalam epik tersebut yang disia-siakan karena sistem feodal saat itu. Sementara itu di dalam bidang keagenan asuransi jiwa tersebut aku merasa menemukan kembali kemerdekaanku yang hilang setelah lulus kuliah, sehingga aku tertantang untuk berprestasi sebaik mungkin. Kemampuan sales talk-ku tidaklah istimewa tetapi kemampuan analisisku termasuk istimewa, maka meski kadang-kadang gentar menekuni profesi tersebut aku melakukan analisis-analisis. Sehingga memunculkan ide untuk memprospek mereka yang baru memiliki anak atau keluarga muda. Data base bisa dengan rutin diperoleh dan situasinya mendukung.

Telak! Bidikan ini tepat sasaran, prestasiku pun membaik dan bahkan yang lebih penting rutin dan konsisten. Transaksi rutin setiap bulan dan bahkan pernah membukukan transaksi sampai empat polis dalam satu bulan. Mulailah aku melengkapi sarana kerja dengan handphone yang waktu itu masih jarang dimiliki marketing lain. Keputusan ini aku ambil karena prestasiku konsisten. Di samping itu aku juga ikut menjadi nasabah asuransi dengan mata uang dollar yang waktu itu kurs-nya sekitar Rp 2.300-an / 1 US $ hal ini juga penting untuk memotivasi prospekku. Karena banyak nasabahku yang mengambil plan dollr maka aku membuka rekening dollar untuk menyimpan komisi-komisi dari polis dollar. Sehingga waktu itu aku merasa cukup sejahtera.

Ingatanku akan Karna ksatria Mahabharata yang mengesankan adalah ketika ia melepas anting dan rompi wasiatnya untuk diberikan kepada seorang brahmana yang membuatku terinspirasi akan pengembalian talenta. Dan ternyata perumpamaan talenta dalam Injil paralel (meskipun tidak sama persis) dengan ilustrasi kisah Karna dalam Mahabharata tadi, yaitu talenta dengan pengembangannya tidak diwariskan kepada anak cucu. Betapa besar rasa terima kasih ksatria ini sehingga harta yang begitu berarti itu diberikan kepada gurunya yang telah membuat ia sukses dalam karirnya. Sebagai orang beriman yang telah ditebus dan diangkat menjadi anak Tuhan aku merasa masih kurang bersyukur dan berterima kasih pada Allah Bapa semua orang. Maka ini pun aku ungkapkan dalam doa malam:

"Ya Bapa, segala yang ada padaku
talenta, kejayaan, kemenangan, dan
kemegahan ini adalah pinjaman dari-Mu
Dari-Mu semuanya ini berasal dan hanya kepada-Mu dan anak-anak-Mu semuanya ini nanti aku kembalikan
aku hanyalah manusia biasa yang tercipta dari debu dan akan kembali menjadi debu
tanpa karya penyelamatan-Mu
aku bukanlah apa-apa"

Selain itu aku juga mulai berpuasa setiap Jumat pertama dalam bulan sebagai suatu devosi akan Hati Kudus Yesus yang telah menyelamatkan aku. Kebetulan aku juga tinggal di suatu paroki yang diasuh oleh imam-imam kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ). Waktu itu kira-kira akhir tahun 1996, doa di atas sering aku doakan setiap malam. Hal pengembalian talenta beserta pengembangannya mulai aku pikirkan dari segi rasionalitasnya.

Seiring berjalannya waktu krisis melanda Asia dan Indonesia. Nasabah-nasabahku yang rata-rata adalah keluarga muda dan bekerja di perbankan dan sektor konstruksi juga ikut terpengaruh akibat gelombang PHK pada kedua industri itu, nilai dollar terhadap rupiah bergejolak. Aku termasuk yang terakhir terkena dampak krisis. Ketika bulan Mei 1998 ketika terjadi kerusuhan aku masih sempat menyetor uang komisi untuk ditabung di Bank Lippo Cilandak yang waktu itu karyawatinya tampak khawatir karena mungkin telah mendengar berita kerusuhan di tempat lain. Sebelumnya bulan Maret 1998 aku masih sempat membayar premi asuransiku karena masih memiliki cadangan dollar yang kalau dikurskan nilainya Rp 10.000,- / 1 US $.

Perjalanan hidupku terus berlangsung dengan suka-dukanya yang melelahkan. Tidak hanya dalam bisnis tetapi juga dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kalau sedang jatuh aku merasa Tuhan selalu membangkitkan semangatku :

"Bangkitlah anak-Ku
Katakan kepada-Ku
Segala pahit getir hidupmu
Aku Bapamu
Tidak ada bapa lain yang lebih tinggi dari pada-Ku"

Doa "Bapa Kami" termsuk yang aku rasakan getarannya dan aku hayati maknanya. Sebagai pekerja mandiri yang hidup dari komisi aku sangat mengerti arti rejeki dalam doa "Bapa Kami" tersebut. Berbeda ketika aku masih menjadi karyawan dimana Bapa telah diganti dengan majikan dan rejeki telah diganti dengan gaji.

Mengenai pengembalian talenta aku hanya berusah tidak berjanji. Tetapi agaknya Tuhan tahu dan di dalam hati nuraniku seolah-olah terjadi dialog sebagai berikut.

"Tidak! Kamu harus berjanji kepada-Ku
Untuk mengembalikan talenta beserta pengembangannya kepada-Ku"
"Kalau nantinya isteriku tidak setuju?"
"Kamu harus mecari isteri yang mengerti kehendak-Ku, dan mendidik anak-anakmu juga agar mengerti kehendak-Ku, juga agar dia bisa mencari menantu yang baik buatmu yang mengerti kehendak-Ku atau anak-anakmu mejadi biarawan/biarawati."

Akhirnya aku menyerah dan berjanji, kebaikan Tuhan telah membuatku terpanggil untuk berterima kasih dengan cara ini yaitu mengembalikan talenta beserta pengembangannya kepada Tuhan pada akhir hidupku seperti yang telah dipaprkan dalam semua bagian buku ini. Setelah mengalami pengalaman akan Allah sebagai Bapa ini mataku terbuka lebar. Ternyata Gereja memiliki harta karun yang luar biasa yang berupa teologi, spiritualitas dan tradisi yang memungkinkan keadilan sosial terjadi secara damai. Jalan ke Tanah Terjanji pun dengan gamblang penulis lihat.

Kasih terbesar seorang ayah kepada anaknya bukan ketika sang ayah mewariskan kekayaan yang berlimpah ruah kepada anaknya tetapi ketika sang ayah memperkenalkan kepada anak akan Bapa Surgawi yakni Allah sendiri. Dengan menjadi ahli waris Kerajaan Sorga, sang anak tidak bisa dan tidak boleh menuntut bapa duniawinya karena tidak mewariskan kekayaan kepada anaknya meskipun kekayaan orangtuanya berlimpah ruah. Kasih terbesar kedua seorang ayah tentunya seperti yang telah kita kenal selama ini yakni merawat sang anak dari sejak janin sampai dewasa mandiri.

Komunisme adalah sebuah kebodohan yang pernah dialami manusia. Sama rasa sama ratanya komunisme adalah sesuatu yang tidak mungkin terwujud karena di situ mengandung arti mengangkat yang satu tetapi menjatuhkan yang lain. Apalagi menjatuhkannya dengan kekerasan. Padahal yang ditawarkan Mesias jelas yaitu mengangkat atau menganggap semuanya menjadi anak-anak Tuhan sehingga roda keadilan yang dalam istilah Jawa disebut herucakra bisa berputar. Selama ini roda keadilan berhenti berputar atau kalau berputar tidak signifikan karena orang tidak mengalmi kasih Allah sebagai Bapa bagi semua orang.

Akan halnya yang terjadi pada Gereja Perdana adalah benar dari sudut pandang sorgawi tetapi kurang tepat dari sudut pandang duniawi. Penulis bukanlah ahli sejarah tetapi dari analisis logika saja kemungkinan pengembalian kekayaan pada waktu itu tidak mempertimbangkan fase mana dalam siklus hidup seseorang. Di samping itu sasaran tindakan karitatifnya tidak tepat sehingga menimbulkan distorsi, kemalasan atau ketidakadilan baru. Sampai-sampai seorang santo seperti St Paulus menggunakan dalil alam untuk kotbah rohaninya, siapa yang tidak bekerja tida usah makan. Tetapi kejadian itu tidak perlu disesali karena hal itu justru menunjukkan bahwa umat Gereja Perdana sedang mengalami euforia yang berlebihan sehingga beramai-ramai menjual hartanya untuk dibagi-dibagikan. Suatu euforia karena penebusan, dan hal itu wajar bahkan suatu hal yang bagus.

Mengembalikan talenta dan pengembangannya pada akhir hidup seseorang pada saat anak-anaknya sudah mandiri bukan berarti mengabaikan nilai-nilai pengorbanan atau menggunakan harta tersebut untuk berfoya-foya. Ini hanyalah cara agar tindakan karitatif tidak terdistorsi. Hal itu adalah suatu bentuk penghormatan kepada Tuhan Sang Pemilik talenta. Pengorbanan dan Penghormatan kepada Tuhan Sang Pemilik Talenta adalah dua hal yang berbeda namun keduanya mestinya menjadi bintang pedoman bagi awam (non rohaniwan/rohaniwati) yang notabene boleh mengumpulkan kekayaan.
Dalam hidup biarawan keduanya menyatu sehingga tidak kelihatan sebagai dua hal yang terpisah. Memanghapuskan hak milik seperti dalam komunisme tidaklah mungkin. Yang masih mungkin adalah sebagian orang terpanggil untuk hidup tanpa kekayaan seperti kesaksian hidup para biarawan dalam tradisi Katolik. Dan yang lain mendaur ulang kekayaan pribadinya pada akhir hidupnya, namun demikian tetap harus dihargai mereka yang mendermakan hartanya di tengah fase hidupnya bukan di akhir hidupnya. Mendermakan harta di tengah fase hidup seseorang menunjukkan besarnya pengorbanan orang tersebut. Dan dari segi rohani atau sorgawi tindakan ini sangat dihargai.

Apa yang penulis lihat setelah pengalaman rohani akan Allah sebagai Bapa ini adalah bahwa manusia hanya mungkin dibebaskan dari kemiskinan kalau ditebus dan dianggap atau diangkat menjadi anak-anak Allah. Penebusan inilah yang tidak penulis lihat dari teologi pembebasan sehingga arahnya tidak jelas.

Sebelum sharing ini diakhiri penulis perlu kemukakan bahwa penulis bukanlah mesias, bukan nabi, bukan rohaniwan, bukan pemimpin agama, bukan pemimpin politik dan juga tidak akan pernah menjadi salah satu di antaranya. Penulis hanyalah salah satu dari jutaan orang yang terpanggil untuk hidup sebagai atlet (kastria) seperti yang telah dipaparkan dalam buku ini.

Jakarta, akhir Desember 2001

Demikian waktu itu saya tulis, sebelum saya merumuskan teori biosoioekonomi. Bagi yang memahami biososioekonomi penjelasan mengenai daur ulang kekayaan dalam postingan ini terlalu sederhana. Baik daur ulang kekayaan pribadi maupun derma perlu dikelola dengan memperhatikan prinsip-prinsip biososioekonomi dimana income publik tersebut tidak hanya dialokasikan pada sektor riil tetapi juga moneter, tidak terdistribusi sesaat tetapi memperhatikan decomposition time sehingga aset publik tidak merosot di bawah liabilitasnya tetapi sama dengan liabilitasnya. Namun demikian saya rasa postingan sederhana dalam bahasa sederhana ini tetap bermanfaat bagi mereka yang kurang memahami ekonomi.

Jumat, 10 Desember 2010

Pemerintah Seharusnya Menyediakan Tempat untuk Warung Makan Bukan Menarik Pajak Warteg

Perlu dihargai upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Tetapi bahwa hal itu dilakukan dengan rencana menarik pajak bagi pengusaha warteg (warung tegal) oleh Pemprov DKI mulai Januari 2011 memang keterlaluan, meskipun belakangan Pemprov DKI menunda rencana tersebut. Tidak ada jaminan bahwa pengusaha warteg tidak akan menaikkan harga makanannya. Ujung-ujungnya rakyat kecil konsumen warteg yang akan menanggung bebannya.

Benar bahwa pengelolaan perekonomian publik memerlukan pajak sebagai salah satu income-nya dan penerimaan pajak kita masih harus ditingkatkan tetapi perekonomian publik yang pro keadilan dan pro rakyat seharusnya tidak mulai dengan menarik pajak terhadap yang menengah apalagi yang kecil. Seperti pernah saya jelaskan dalam blog ini bahwa biososioekonomi mulai dari yang paling besar. Demikian juga seharusnya pengelolaan perekonomian publik yang sehat, pro keadilan, dan pro rakyat. Biososioekonomi tidak dimulai dengan investasi tetapi dengan berbagi mulai dari yang paling kaya supaya yang lebih miskin bebannya ringan.

Dari pada menarik pajak dari pengusaha warteg seharusnya pemerintah menyediakan tempat bagi warung makan dan restoran menengah yang konsumennya pegawai rendah, pedagang kecil, mahasiswa dan kelompok menengah ke bawah lainnya sehingga harga makanan bisa ditekan murah tanpa banyak mengurangi margin laba penjualnya.

Salah satu tugas pemerintah adalah menyediakan infrastruktur termasuk di dalamnya adalah tempat makan yang murah bagi kelompok menengah ke bawah. Pengusaha warung makan atau restoran kelas menengah tidak perlu membeli atau menyewa untuk menjalankan usahanya karena telah disediakan pemerintah, pengusaha cukup membayar listrik, telpon, keamanan, kebersihan dan asuransi. Nantinya properti itu tetap milik pemerintah. Dengan cara seperti itu ada dua keuntungan bagi publik, pertama dengan tetap dimiliki pemerintah maka akan menjaga aset publik seimbang dengan liabilitasnya. Kedua, pemerintah bisa ikut melakukan semacam operasi pasar untuk menekan harga makanan yang dijualnya tetap murah tanpa secara signifikan menurunkan margin laba bagi penjualnya.

Perekonomian publik yang sehat dan pro rakyat memang menuntut keberanian pemerintah agar penerimaan publik dari kalangan atas meningkat dan lancar. Pajak adalah salah satu instrumen untuk meingkatkan income publik itu. Selain diperlukan sikap berani dari pemerintah, juga diperlukan sikap kooperatif pemerintah agar bersama civil society meningkatkan penerimaan publik non pajak yaitu derma dan daur ulang kekayaan individu dari kalangan atas sebagaimana dijelaskan teori ekonomi makro biososioekonomi.

Semoga penjelasan sederhana ini dimengerti.

Selasa, 07 Desember 2010

Selamat Tahun Baru 1944 dan Hari Raya Galungan

Saya pribadi mengucapkan Selamat Tahun baru 1 Suro 1944 Saka Jawa, 1 Muharam 1432 H dan juga selamat merayakan Hari Raya Galungan bagi yang merayakannya.

Jumat, 03 Desember 2010

Injil dan Kontra Injil

Postingan ini adalah salah satu dari 17 tulisan yang terkumpul dalam naskah "Suara Alam: Menemukan Jalan ke Tanah Terjanji Menuju Kapitalisme Tanpa Darwinisme." Ciri tulisan-tulisan dalam naskah tersebut adalah sederhana sehingga seharusnya mudah dipahami semua orang. Berikut saya tulis kembali dengan sedikit perbaikan kata atau kalimat tanpa mengubah isi.

Ini bukan reduksionisme makna Injil, karena di dalam seluruh buku ini yang dipaparkan adalah aspek duniawi dari Mesias yang membawa kemakmuran dan keadilan sosial di dunia. Injil yang berarti kabar gembira selayaknya menjadi kabar gembira bagi semua orang tanpa memandang batas-batas atau sekat-sekat agama, etnis, budaya, gender, status sosial dll Mewartakan Injil berarti mewartakan kabar gembira dan bukan berarti meng-Kristenkan seseorang. Dalam konteks keadilan sosial yang duniawi ini isi dari warta gembira yang pantas diketahui adalah kesediaan Tuhan menjadi Bapa bagi semua orang. Tentu saja menjadi Bapa di sini bukan berarti biologis tetapi dalam arti rohani dan psikologis.

Selama berabad-abad sebelum Mesias lahir sampai hari ini bahkan, tidak jarang seseorang melakukan dominasi dan pembedaan berdasarkan keturunan berdarah biru atau bukan. Ini dijadikan dasar oleh seseorang untuk berkuasa penuh atas yang lain sebagai raja. Raja-raja mengaku anak yang maha agung dari langit atau minimal mengaku membawa wahyu atau kuasa dari langit sementara rakyat diposisikan sebagai anak-anak singkong. Semua ini dilakukan untuk mempertahankan status quo seseorang beserta anak keturunannya. Seperti yang kita lihat contohnya dalam film "Mahabarata" yang pernah diputar di TPI kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Di situ terlihat bagaimana Pandawa membombardir Karna dengan sebutan anak kusir sampai terjadinya perang Baratayudha. Ini merupakan psy war bagi Karna. Tetapi setelah Karna tahu bahwa ia anak matahari maka segala macam serangan psikis itu tidak mempan.

Maka sebenarnya sebutan orang lemah dan miskin yang sering digunakan orang atau para ahli sudah tidak memadai lagi karena hak itu hanya akan membuat masyarakat tersebut tidak berdaya. Orang miskin dan orang yang jatuh miskin memang membutuhkan uang dan makanan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah spirit agar orang tersebut bisa bangkit menolong dirinya sendiri. Adalah sesuatu yang menggembirakan apabila Tuhan ternyata Tuhan mau menyediakan diri menjadi Bapa bagi semua orang. Seseorang tidak harus dilahirkan sebagai anak matahari seperti Karna, karena Tuhan memang telah mengkaruniakan diri-Nya menjadi Bapa bagi semua orang tanpa terkecuali. Inilah spirit bagi orang-orang yang sedang susah tersebut untuk bangkit. Inilah Injil. Kata Bapa jauh lebih dekat dan membumi dari pada kata Tuhan. Dengan demikian Tuhan telah mengisi ruang kosong antara bapa dan Tuhan yang kalau tidak ditempati Tuhan akan akan ditempati oleh bapa-bapa yang arogan dan eksklusif dan sering bertindak adigang adigung adiguna.

Tetapi kalau ada orang mengetahui atau memahami isi kabar gembira ini tetapi kepada orang lain atau anak orang lain mengajarkan bahwa ia anak singkong dan memperlakukan anak orang lain seperti itu sementara dia mengajarkan kepada anaknya sendiri secara diam-diam sebagai anak Tuhan maka inilah kontra Injil.

Jakarta, Akhir Desember 2001

Demikian tulisan saya waktu itu dengan kelebihan dan kekurangannya. Semoga Tuhan menjadi sumber kekuatan bagi semua orang.