Minggu, 27 Mei 2012

Refleksi Kebangkitan Nasional dan Reformasi

Reformasi yang digulirkan 14 tahun lalu telah membawa banyak perubahan. Selain perubahan positif seperti kebebasan berpendapat ada juga perubahan negatif seperti maraknya korupsi dan intoleransi yang merupakan efek tak dikehendaki oleh kaum reformis. Menurut pendapat saya hal-hal negatif tersebut bukan karena reformasi itu sendiri tetapi karena reformasi telah dibajak petualang politik atau politikus busuk yang bersekongkol dengan pemilik modal yang anti demokrasi ekonomi atau pemilik modal yang termasuk konglomerat hitam. Sudah begitu, diperparah dengan keterlibatan kaum fundamentalis radikal yang anti Pancasila. Selain adanya perubahan ada juga yang tidak berubah yaitu sikap feodal sebagian orang dan pejabat pemerintah yang sudah ada sejak jaman Orde Baru atau sebelumnya.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa salah satu hal yang menyemangati bergulirnya reformasi adalah Kebangkitan Nasional yang kita rayakan setiap tanggal 20 Mei. Spirit Kebangkitan Nasional bergelora di dada para demonstran dan segenap elemen bangsa pro reformasi 14 tahun lalu di mana 1 hari setelah perayaan Kebangkitan Nasional, Presiden Soeharto mengundurkan diri. Kebangkitan Nasional itu tidak lepas dari munculnya kaum terpelajar pribumi yang berasal dari rakyat kebanyakan. Kebangkitan Nasional mendorong Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan kemudian Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dengan cita-cita memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta melindungi tanah tumpah darah Indonesia.

Hal-hal negatif yang terjadi di jaman reformasi tidak hanya bertentangan dengan cita-cita reformasi itu sendiri tetapi bertentangan dengan cita-cita Indonesia merdeka. Oleh karena itu harus menjadi perhatian kita bersama.

Kini situasi kita tidak hanya dihadapkan pada maraknya korupsi, intoleransi kaum fundamentalis agama, dan tetap bercokolnya feodalisme, tetapi situasi dunia di mana Uni Eropa dilanda krisis ekonomi sementara AS belum benar-benar pulih dari krisis 2008. Sebagian kaum intelektual sudah menyadari bahwa krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1998 juga menuntut kita mengubah paradigma ekonomi   neolib yang menjadi dasar kebijakan pemerintahan Orde Baru. Kini apa yang menjadi keprihatinan sebagian kaum intelektual itu mulai diikuti dan dipercayai banyak orang meski belum menjadi perhatian pejabat pemerintah. Perlu diingat bahwa krisis moneter 1998 itu dipicu gejolak properti di Thailand 1997. 

Pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) seperti dituntut demonstran reformasi memang perlu akan tetapi mengubah paradigma ekonomi yang neolib juga sangat perlu. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara kapitalis menuntut kita untuk segera bertindak secara bijak dan cerdas demi kesejahteraan umum/rakyat.

Kebangkitan Nasional tidak terlepas dari kaum terpelajar dan cendekiawan. Terpelajar tidak hanya karena pendidikan formalnya tinggi tetapi juga cerdas memahami duduk persoalan yang dihadapi dan memiliki budi pekerti luhur. Seorang ekonom, meski bergelar doktor, kadang  jauh dari sikap terpelajar karena bersikukuh pada teori yang tidak relevan dengan kesejahteraan rakyat.

Semangat Kebangkitan Nasional dan reformasi seharusnya mendorong kita memperbarui dan memperbaiki diri guna menghadapi tantangan dan ancaman ekonomi yang ada di depan mata. Krisis ekonomi yang disertai gejolak atau krisis ekonomi yang "silent" tetap menjadi ancaman dalam perekonomian yang berparadigma neolib. Semoga tulisan dipahami.


Sabtu, 19 Mei 2012

Reformasi Budaya

Ketika reformasi terjadi di tahun 1998,  budaya Jawa banyak mendapat kritik karena dianggap ikut andil dalam munculnya krisis multidimensi.  Jauh sebelum Mei 1998 itu seorang budayawan yang sekarang sudah almarhum mengemukakan sulitnya menemukan padanan kata fairness dalam bahasa Jawa yang berarti sulit juga menemukan fairness itu sendiri dalam peradaban Jawa.

Menurut hemat saya memang tidak mudah menemukan fairness dalam peradaban Jawa. Sejarah Jawa mencatat lembaran kelam munculnya Ken Arok sekitar tahun 1222M. Oleh karena itu untuk menemukan fairness dalam peradaban Jawa kita mencarinya jauh sebelum tahun 1222M. Dahulu kita mempunyai Ratu Sima yang bermartabat yang bertindak tegas dan fair terhadap anaknya sendiri.

Di dalam masa reformasi ini marilah memeriksa batin kita masing-masing dalam suasana yang hening dan tenang apakah kita sudah memperbaiki dan mereformasi diri untuk berkontribusi pada budaya dan peradaban Jawa yang lebih baik? Semoga Tuhan menuntun dan memberkati usaha kita sampai berhasil.

Sabtu, 12 Mei 2012

Kebebasan Akademik

Dalam tulisannya di harian Kompas Sabtu 5/5/2012 hlm 6 lalu Prof. Sulistyowati Irianto mengingatkan pentingnya kebebasan akademik. Postingan saya yang sederhana kali ini sekedar menambahkan dari pengalaman pribadi saya.

Memasuki bulan Mei kita teringat pada gerakan mahasiswa dan rakyat dalam reformasi 1998 yang mengakhiri rejim lama. Setelah itu gairah penulisan dan penerbitan buku maupun surat kabar marak di Indonesia. Kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik pun membaik di era reformasi. Memang pada masa Orde Baru kebebasan akademik tidak sebagus era reformasi khususnya bagi mereka yang mengambil bidang non eksakta. Saya amati mereka yang mengambil bidang non eksakta sering mendapat tekanan dan pengawasan. 

Bagi yang mengambil jurusan eksakta kebebasan akademik pada masa Orde Baru jauh lebih baik dari non eksakta. Beruntung saya mengambil jurusan eksakta. Pengalaman saya adalah bahwa dengan kebebasan akademik itu otak kita terlatih dan terasah untuk berpikir. Dalam skripsi saya misalnya, saya membuat prosedur analisis sendiri yang terinspirasi dari Hukum Stoke. Sangat jarang mahasiswa S1 berani membuat prosedur analisis sendiri. Kebebasan akademik bisa mengarahkan kita pada berbagai penemuan ilmiah yang belum ditulis di texbook. 

Sebagaimana diingatkan oleh Sulistyowati Irianto bahwa penduduk dunia tahun 2050 diprediksi menjadi 9 miliar. Banyak permasalahan harus diatasi, kebebasan akademik menjadi sangat penting karena berbagai macam penemuan ilmiah muncul karena adanya kebebasan akademik. Buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia terbit Oktober 2004. Pada tanggal 2 November 2004, makalah saya tentang bioekonomi (biososioekonomi) diseminarkan dalam seminar bulanan ke-22 di PUSTEP UGM. Saya tidak yakin bahwa buku saya bisa terbit pada masa Orde Baru di mana kebebasan berpendapat dikekang.

Tulisan singkat ini sekedar mengingatkan semua pihak, khususnya adik-adik mahasiswa yang telah berjuang dalam gerakan reformasi Mei 1998. Kebebasan akademik itu sangat penting.

Senin, 07 Mei 2012

Selamat Hari Raya Waisak

Saya pribadi mengucapkan Selamat Hari Raya Waisak Bagi Umat Buda. Damai sejahtera bagi kita semua.

Jumat, 04 Mei 2012

Harus Sampai Menjual Harta (2)

Di dalam Kitab Kisah Para Rasul 4:34-35 dikatakan: "Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya."

Kitab Kisah Para Rasul adalah suatu kitab yang termasuk dalam Perjanjian Baru. Setiap tahun pada masa Paskah perikop tersebut di atas dibacakan kepada umat saat ibadah Misa. Perikop tersebut sengaja saya kutip di sini sebagai pengetahuan bahwa ada sekelompok komunitas yang berbagi harta sampai harus mejual harta mereka bukan hanya membagikan 3 atau 10%. Hal itu mereka lakukan karena mengikuti ajaran Sang Guru: "Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua,..." (Lukas 12:33).

Saya tidak tahu persis bagaimana sejarahnya bahwa sekarang umat tidak berbagi dengan cara sampai menjual harta seperti itu. Tetapi yang penting untuk saya kemukakan adalah bahwa menurut teori ekonomi makro biososioekonomi memang benar kalau berbagi harta memang harus sampai menjual harta. Bagi mereka yang cerdas dan memahami matematika serta akuntansi akan mudah memahami kebenaran biososioekonomi.

Teori ekonomi makro biososioekonomi tidak hanya membenarkan ajaran berbagi di atas (yaitu harus sampai menjual harta) tetapi juga memberi pedoman pendistribusiannya agar tidak membuat orang malas. Jaman dulu mungkin harta itu tidak didistribusikan ke sektor moneter atau bank sentral. Menurut biososioekonomi sebagian dana harus dihibahkan ke bank sentral mana pun (di seluruh dunia) untuk memperkuat aset bank sentral dan mencegah kemerosotan nilai uang fiat. Demikian juga biososioekonomi memberi pedoman mengenai perlunya decomposition time. Distribusi sesaat atau decomposition time 0 akan menyebabkan aset publik merosot jatuh dan liabilitas publik tetap tinggi. 

Sudah saatnya orang-orang yang peduli pada mereka yang lapar dan miskin belajar dasar-dasar akuntansi dan biososioekonomi. Cara pendistribusian yang kuno tidak accountable lagi. Selain itu perlu diingat bahwa tak satu pun sabda Yesus Krustus yang memaksa penderma menyalurkan dermanya kepada orang atau lembaga tertentu. Yesus Kristus memberi kebebasan penderma untuk memilih penyalur sumbangannya, yang penting sumbangannya sampai kepada yang disumbang atau kepada publik (sektor moneter, layanan publik, dan infra struktur). Oleh karena itu juga tidak salah kalau sebagian dibayarkan sebagai pajak kepada negara (demokrasi modern).

Artikel pendek ini sekedar mengingatkan. Bagi pembaca baru di blog ini silakan baca dulu artikel lain di blog ini sebelum berkomentar. Marilah kita menjadi anggota masyarakat yang baik dan warga negara yang baik yang turut berkontribusi pada kesejahteraan publik dan rakyat. Semoga TUHAN memberkati kita semua.