Selasa, 30 November 2010

Biososioekonomi dan Dilema Kenaikan Upah Minimum

Rencana pemerintah DKI menaikkan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 15,38 % dari Rp 1.118.000,- per bulan di tahun 2010 menjadi Rp 1.290.000,- per bulan di tahun 2011 mendapat tanggapan dari kalangan pengusaha ("Kenaikan UMP Bisa Picu PHK" baca di http://m.kompascom/news/read/data/2010.11.26.17023462). Sebagian pengusaha menganggap kenaikan itu terlalu besar. Sementara bagi buruh, uang sebesar itu masih di bawah nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL)yang sebesar Rp 1.401.289,- per bulan Bagi perekonomian konvensional yang didasarkan pada paradigma neo klasik (neo liberal) maupun keynesian, penetapan upah minimum adalah sebuah dilema Betapa tidak, kalau upah minimum terlalu kecil di bawah KHL tentu akan membuat hidup buruh tertekan. Sedangkan UMP yang tinggi pun bisa menimbulkan masalah.

Seperti sering saya jelaskan di blog ini bahwa di dalam ekonomi, pengeluaran salah satu pihak atau salah satu unit ekonomi bisa berarti pemasukan bagi pihak lain atau bagi unit ekonomi lain. Demikian juga dalam kasus upah minimum. Peningkatan UMP akan meningkatkan pemasukan bagi buruh, akan tetapi konsekwensinya akan ada peningkatan pengeluaran oleh pihak lain. Bagi pengusaha peningkatan UMP sering diikuti dengan efisiensi yang berarti melakukan PHK atau menaikkan harga barang atau jasa produksinya. Kenaikan harga barang akan berarti meningkatkan pengeluaran bagi konsumen atau paling tidak akan menekan hidup konsumen. Dan konsumen ini adalah semua orang baik usia sekolah maupun usia produktif, baik karyawan, petani kecil, pedagang kecil, pensiunan, maupun berbagai profesi lain yang tidak termasuk kategori karyawan.

Secara pribadi saya ikut prihatin dengan nasib buruh. Akan tetapi saya perlu mengingatkan bahwa perjuangan kaum buruh dengan serikat buruhnya bisa menimbulkan masalah dengan kenaikan harga atau meluasnya PHK. Perjungan buruh adalah perjuangan kelompok bukan perjuangan semua orang. Sudah sering terjadi peningkatan upah dan inflasi sering kejar-kejaran.

Saran saya untuk keluar dari dilema itu adalah perubahan paradigma dari paradigma konvensional (neo klasik atau keynesian) menuju paradigma biososioekonomi. Dalam paradigma biososioekonomi peningkatan kesejahteraan terjadi karena adanya daur ulang kekayaan individu yang antara lain bisa dipakai untuk membayar jaminan sosial untuk semua orang (bukan hanya buruh). Beasiswa dalam paradigma biososioekonomi itu akan menjangkau semua anak usia sekolah bukan hanya anak pintar saja seperti yang sering dilakukan dalam program CSR (Corporate Social Rensponsibility). Paradigma konvensional dan biososioekonomi jelas berbeda. Dalam paradigma biososioekonomi laba dan akumulasinya itu berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Tanpa pengembalian laba kepada semua orang tidak akan ada peningkatan kesejahteraan untuk semua orang. Laba terjadi karena konsumen membayar lebih tinggi dari ongkos produksi, distribusi, dan pajak. Perjuangan untuk mengembalikan laba kepada semua orang bisa dilakukan melalui organisasi konsumen sosial yang bersifat inklusif untuk semua orang tanpa sekat-sekat primordial-sektarian. Semua orang adalah konsumen sosial karena tanpa melakukan kegiatan konsumsi (makan) semua orang pasti mati.

Saya berharap kaum buruh melalui serikat pekerjanya mau mempelajari biososioekonomi dan menyebarkannya dari mulut ke mulut atau melalui semua media seperti sms, internet, dan lain-lain agar kesejahteraan untuk semua orang bisa segera terwujud. Saya berharap serikat pekerja ikut berjuang secara inklusif bersama organisasi konsumen sosial yang memang berjuang untuk semua orang.

Jumat, 26 November 2010

Dunia ini Hanyalah Arena, Panggilan Hidup Ksatria

Postingan ini adalah salah tulisan dari 17 tulisan saya yang termasuk dalam naskah "Suara Alam: Menemukan Jalan ke Tanah Terjanji, Menuju Kapitalisme Tanpa Darwinisme." Berikut saya posting dengan mengetiknya ulang huruf demi huruf.

Sejarah peradaban manusia selalu diwarnai dengan kompetisi dan bahkan peperangan, suatu persaingan untuk saling membunuh. Mungkin hal ini merupakan bagian dari apa yang dikatakan sebagai survival of the fittest seperti yang terungkap dalam teori Darwin. Namun bagaimanapun juga peperangan atau perkelahian itu telah menimbulkan korban nyawa atau kerusakan demi kerusakan. Pada bagian lain kompetisi antar individu untuk memperebutkan pangan dan rejeki meskipun secara fisik tidak menimbulkan luka-luka atau kematian akibat pendarahan dan kehancuran tetapi tetap saja bagi yang kalah dalam kompetisi akan mengalami kesengsaraan, kelaparan bahkan akhirnya kematian.

Hal tersebut di atas memang bagian dari hukum alam. Akan tetapi haruskah demikian kehidupan manusia yang dikaruniai akal budi? Baik peperangan fisik maupun kompetisi akhirnya bermuara pada kematian baik karena pendarahan, kehancuran, kerusakan fisik atau kelaparan. Suatu kompetisi memang adalah bagian dari naluri manusia atau makhluk hidup lainnya, namun suatu kompetisi antar individu yang berakhir dengan kematian mestinya dianggap sebagai suatu kompetisi yang biadab.

Adalah suatu hal yang baik dan positif apabila manusia bisa mencegah suatu kompetisi yang biadab. Usaha dan upaya manusia untuk mengadakan lomba seperti tercermin dengan diadakannya olimpiade olah raga adalah salah satu usaha untuk mengarahkan suatu kompetisi menjadi suatu kompetisi yang beradab. Di dalam kompetisi olah raga tersebut kekalahan tidak boleh diikuti kematian dan sportifitas adalah norma yang harus ditaati oleh semua peserta dalam berkompetisi. Dengan demikian naluri untuk berkompetisi dan saling mengalahkan tersalur dengan sehat dan beradab. Inilah yang sudah berlangsung dalam dunia olah raga. Seorang atlet ditantang untuk tekun berlatih mengembangkan talentanya, berjuang dengan ulet dengan ulet dalam pertandingan atau perlombaan untuk akhirnya keluar sebagai pemenang dan mendapatkan hadiah berupa medali emas, uang, atau piala baik piala tetap atau piala bergilir. Medali emas atau piala inilah simbol prestasi sang juara. Penghargaan tersebut sifatnya individual meskipun seseorang meraih medali dalam suatu tim (sepak bola misalnya) tetapi tetaplah individu dari anggota tim itu yang mendapat penghargaan. Alangkah lucunya kalau seorang juara memberikan dalam arti mewariskan piala atau medali itu kepada anaknya dan mengangkat anaknya sebagai juara baru. Kalau sekedar memberikan sebagai kenang-kenangan bahwa sang ayah atau ibu pernah menjadi juara tentu boleh-boleh saja. Tetapi kalau pemberian itu diikuti dengan pengangkatan anak menjadi juara baru pasti ditertawakan penonton, karena dianggap tidak bermutu.

Alangkah indahnya kalau suatu kompetisi individu dalam bidang bisnis (perdagangan, investasi, marketing, agribisnis, penemuan teknologi, karya cipta seni/mode) yang bisa menghasilkan uang bisa diarahkan kepada suatu kompetisi yang beradab. Artinya antar individu diberi kesempatan untuk berlomba atau bertanding secara sportif untuk menghasilkan yang terbaik sehingga selain konsumen pun mendapatkan manfaatnya, sang pemenang pun tidak akan mewariskan kekayaan yang diperoleh kepada anak cucunya. Seorang anak adalah individu baru yang diberi kesempatan yang sama untuk berlomba dengan anak-anak lain yang segenerasi. Selain itu yang benar-benar kalah dalam persaingan sehingga jatuh miskin tetap mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan fisik minimal sehingga tetap bertahan hidup. Kekalahan individu ini pun sifatnya tidak permanen dalam arti tidak turun-temurun, karena anaknya akan mendapat kesempatan yang sama dengan anak orang lain yang menang. Hal ini sangat dimungkinkan karena sang pemenang akan dengan suka rela, riang gembira dan semangat sportif untuk mengembalikan hasil kemenangannya kepada alam_pada saat anak-anaknya sendiri sudah mandiri dan pada saat akhir hidupnya_untuk didaur ulang kepada semuanya. Sudah saatnya umat manusia menganggap dunia ini hanya sekedar arena yang tetap mengakomodasi kompetisi tetapi suatu kompetisi yang beradab. Suatu anggapan bahwa dunia ini adalah the killing field atau suatu hutan rimba dengan hukum rimbanya mestinya bisa segera diakhiri.

Di samping kompetisi yang beradab seperti dikemukakan di atas ada suatu kompetisi yang harus dihindari karena dianggap tidak beradab alias biadab. Kompetisi antara individu yang berprofesi dalam bidang bisnis dengan individu yang berprofesi non bisnis seharusnya dihindari. Kompetisi dalam mengumpulkan kekayaan antara pebisnis dengan seorang jaksa atau hakim adalah suatu kompetisi yang mestinya dianggap biadab. Profesi jaksa atau hakim adalah suatu profesi dimana hasil kerja atau prestasinya tidak bisa atau tidak boleh dinilai dengan uang. Kompetisi jenis ini analog dengan pertempuran antara tentara yang bersenjata lengkap dengan seorang penduduk sipil yang tak bersenjata sehingga dikategorikan biadab. Dan seorang jaksa atau hakim yang ngotot untuk menyaingi pebisnis dalam mengumpulkan kekayaan adalah seorang hakim atau jaksa yang harus dikategorikan, maaf, dungu. Seorang hakim atau jaksa dihormati karena integritasnya terhadap profesinya bukan atas dasar kekayaannya.

Kalau seseorang ingin kaya seharusnya orang tersebut mengambil jalur profesi yang bergerak di bidang bisnis, sebagai pedagang, penemu teknologi yang komersial, karya cipta seni/mode yang bisa dikomersialkan dan lain-lain yang bersifat legal. Masalahnya di suatu negara seperti Indonesia dengan kebudayaannya seperti kita lihat sekarang profesi ini dianggap rendah dan tidak terhormat. Selain itu bukan suatu hal yang mustahil apabila perlawanan ideologis dan kultural terhadap kapitalisme seperti yang dihembuskan sementara orang justru menyuburkan suatu praktek memperoleh kekayaan secara ilegal. Karena kapitalisme atau orang-orang kapitalis dianggap jahat atau binatang ekonomi maka bukan suatu hal yang mustahil apabila suatu tindakan untuk memeras mereka atau mencuri harta mereka (harta IMF misalnya) dianggap terhormat atau heroik.

Mencegah semua orang untuk menjadi kaya adalah mustahil, karena dunia ini adalah dunia yang plural. Tetapi suatu hal yang masih mungkin dan masih realistis untuk dilakukan adalah mengarahkan suatu kompetisi menjadi kaya kepada suatu kompetisi yang benar-benar beradab seperti dikemukakan di atas.

Perlu juga digaris bawahi di sini bahwa kompetisi yang dimaksud di sini adalah kompetisi antar individu bukan antar institusi. Suatu kompetisi antar institusi bisnis (perusahaan) yang mengakibatkan salah satunya bangkrut tidak bisa dikategorikan suatu kompetisi yang biadab karena kebangkrutan institusi belum tentu mengakibatkan kematian individu-individu dalam perusahaan tersebut. Demikian juga persaingan antar partai politik yang menyebabkan salah satu atau beberapa di antaranya tidak mendapt kursi tidak bisa dikatakan sebagai kompetisi biadab selama kompetisi itu fair.

Dalam rangka mengarahkan suatu kompetisi menjadi kompetisi yang beradab inilah seorang pebisnis dipanggil untuk hidup sebagai ksatria. Kata ksatria dalam bagian ini maupun hampir seluruh buku ini adalah suatu kata yang berarti spoertif atau lawan kata raksasa dan bukan berarti militer, pejabat pemerintah atau kasta ksatria. Seorang ksatria terpanggil untuk memberikan proteksi dan konservasi bagi mereka yang bergerak di bidang non bisnis. Ksatria sejati juga memberikan jaminan hidup bagi yang kalah dalam persaingan. Dan akhirnya seorang ksatria terpanggil untuk mengembalikan talenta beserta pengembangannya (kekayaannya) untuk didaur ulang dan diredistribusikan kepada yang berhak sesuai prinsip karitas dan keadilan.

Kalau semua pebisnis menolak semua panggilan di atas maka kita manusia akan jatuh dan bertekuk lutut kepada hukum Darwin. Kalau hal ini terjadi apakah bedanya kita dengan binatang? Apakah bedanya dengan suatu makhluk yang dalam terminologi pewayangan disebut raksasa, pemangsa manusia?

Jakarta, Akhir Desember 2001

Demikian tulisan saya waktu itu dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Bagi yang memahami teori ekonomi makro biossosioekonomi tulisan seperti ini jelas terlalu sederhana. Artikel ini saya buat sebelum saya merumuskan biososioekonomi. Tetapi mungkin bagi yang terlalu berat mempelajari biososioekonomi, tulisan sederhana seperti ini lebih mudah dipahami dan tetap relevan untuk diposting saat ini. Semoga bermanfaat.

Selasa, 23 November 2010

Mewujudkan Perubahan: Satu Bumi untuk Semua (3)

Kasus penganiayaan tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri sangat memprihatinkan kita. Sudah selayaknya pemerintah melindungi warga negaranya sebagai bagian dari cita-cita Indonesia merdeka yakni melindungi segenap warga negara dan tanah tumpah darah dari penindasan. Di luar perlindungan itu ada satu hal mendasar yang harus diperhatikan yaitu perubahan paradigma.

Meskipun perlindungan terhadap TKW penting, itu bukan hal yang paling substansial. TKW bekerja di luar negeri dengan meninggalkan orang-orang yang dicintainya entah anak atau suami. Bekerja atau mencari rejeki di luar negaranya bukan hanya fenomena TKW asal Indonesia. Banyaknya migrasi orang-orang Timur Tengah ke Eropa juga pernah menimbulkan persoalan. Pecahnya kerusuhan rasial beberapa tahun lalu di Eropa juga membuat kaum humanis ikut prihatin.

Kasus pekerja migran adalah bagian dari suatu persoalan mendasar yang tidak disentuh sama sekali oleh berbagai solusi yang ditawarkan orang. Kini kita berada pada berbagai krisis. Setelah Yunani, Irlandia mengalami krisis. Itu kita baru bicara benua Eropa. Sementara di belahan dunia lain perang kurs tengah melanda dunia antara AS dan RRC. Perang kurs itu berawal dari defisit AS. Memang ada orang-orang yang bisa mengambil keuntungan dari perang kurs atau krisis finansial itu akan tetapi berbagai persoalan itu tidak bisa kita anggap remeh karena akan berdampak besar pada rakyat kecil. Apalagi solusi yang ditawarkan justru membebani rakyat dengan mengurangi pajak dan mengurangi jaminan sosial yang dibutuhkan rakyat. Berbagai persoalan itu tidak diatasi dengan cara yang tepat sehingga akan menimbulkan persoalan baru di masa yang akan datang.

Dari sudut pandang biososioekonomi ada dua hal yang patut saya sampaikan dalan kaitannya dengan solusi atas berbagai krisis itu pertama tidak adanya upaya peningkatan income publik yang signifikan. Kedua tidak adanya distribusi income publik yang melampaui batas negara sebagai bagian dari suatu paradigma bahwa laba beserta akumulasinya adalah berasal dari konsumen dan harus dikembalikan pada konsumen (semua orang).

Seperti yang sering saya sampaikan di blog ini bahwa yang dimaksud income publik adalah pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu. Kalau krisis diatasi dengan mengurangi pajak, menggelontorkan stimulus dengan menambah hutang publik (negara), mencetak uang, maka secara akuntansi cara penanganan krisis seperti itu tidak bisa dipertanggungjawabkan bahkan berlawanan arah dengan solusi yang tepat. Dengan cara itu persoalan tidak akan teratasi bahkan menimbulkan persoalan baru di masa mendatang atau persoalan di wilayah lain. Solusi krisis yang accountable adalah dengan cara meningkatkan income publik khususnya dari individu karena individu juga bersifat homo socius di mana kemampuannya untuk berbagi (membayar pajak, derma, daur ulang kekayaan) jauh melampaui perusahaan. Tentu saja khusus untuk pajak harus dibebankan kepada orang kaya bukan dengan cara membebani rakyat kecil.

Teori politik klasik tidak memungkinkan income publik didistribusikan ke negara lain. Distribusi income publik ke luar negeri dianggap bertentangan dengan kepentingan nasional. Anggapan ini kurang tepat karena ada income publik lain selain pajak yaitu derma dan daur ulang kekayaan individu yang berada pada ranah society bukan state. Distribusi income publik (derma dan daur ulang kekayaan individu) ke negara lain otomatis akan meningkatkan PDB di negara berkembang yang pada gilirannya meningkatkan daya beli konsumen di negara berkembang. Kalau paradigma biososioekonomi diterapkan AS seharusnya tidak mengatasi defisit perdagangannya dengan mencetak uang dollar.

Meskipun mengalir ke negara lain, sepanjang ia adalah income publik maka akan bisa menjadi solusi bagi krisis. Secara makro global akan memperkuat fundamental ekonomi publik. Tentu saja income publik itu juga perlu dikelola sesuai teori ekonomi makro biososioekonomi agar income publik juga bisa menjadi aset publik bukan berubah menjadi liabilitas publik (aset individu).

Peradaban umat manusia dewasa ini perlu mengubah paradigma. Dari pada menimbulkan persoalan kependudukan dengan banyaknya imigran lebih baik mendistribusikan kekayaan individu ke luar negara sehingga mencari rejeki juga mudah di negara masing-masing. Seseorang tidak perlu meninggalkan anak atau suami untuk mencari rejeki ke negara lain. Banyak hal yang bisa diatasi kalau teori ekonomi makro biososioekonomi diterapkan. Pemerintah perlu bekerja sama dengan civil society.

Jumat, 19 November 2010

Fransiskus Asisi dan Ramawijaya, Dua Orang Muda yang Merdeka dan Bersahaja

Seperti saya janjikan beberapa waktu lalu maka mulai hari ini saya posting beberapa tulisan saya yang terkumpul dalm naskah:"Suara Alam: Menemukan Jalan ke Tanah Terjanji, Menuju Kapitalisme Tanpa Darwinisme." Tulisan-tulisan tersebut saya buat pada akhir Desember 2001 (Kata Pengantar-nya tertulis 1 Januari 2002 setelah semua tulisan selesai saya ketik). Total ada 17 tulisan lepas dibuat dalam kurun waktu kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan. Perlu diketahui pada masa itu saya belum banyak membaca buku-buku referensi seperti Open Society-nya Popper, Third Way-nya Anthony Giddens atau yang lain. Tulisan dibuat berdasarkan refleksi, membaca surat kabar, apa yang teringat di otak dan tentunya dari penglaman hidup saya setelah jobless akhir Februari 1993. Tulisan-tulisan itu dibuat dengan bahasa sederhana tanpa pengutipan dari buku teks. Tahun 2002 ternyata menjadi tahun yang istimewa bagi saya, meskipun naskah saya tidak ada yang menerbitkan tetapi pada tahun itu khusunya pada tanggal 4 Juli 2002 dimana pada tanggal itu saya menemukan jati diri saya dan meyakini memperoleh wahyu keprabon dengan berhasil membaca sandi RA Parjinah itu sebagai R Hani Japar.

Inilah salah satu tulisan saya, saya posting dengan cara mengetikkannya kembali huruf demi huruf. Selamat membaca.


Ada dua orang tokoh yaitu Fransiskus Assisi dan Ramawijaya yang memiliki kemiripan namun juga perbedaan. Perbedaan yang jelas antara keduanya adalah bahwa yang satu adalah tokoh nyata yang pernah hidup di bumi ini sedangkan yang lainnya hanya ada dalam dongeng yaitu dalam epik Ramayana karya Walmiki. Perbedaan yang lain adalah bahwa yang satu dari Eropa dan yang lain dari Asia.

Fransiskus Assisi adalah anak seorang pedagang kaya dari kota Assisi Italia yang hidup pada abad ke-12-13. Sewaktu masih muda, seperti halnya anak muda lain apalagi anak orang kaya, Fransiskus suka berpesta pora dan berfoya-foya. Namun suatu peristiwa telah mengubah jalan hidupnya. Dia tinggalkan semua kemewahan dan kenikmatan duniawi untuk hidup membiara. Ordo Fransiskan yang didirikannya memiliki ciri khas semangat kemiskinan yang luar biasa dan mengagumkan.

Di dalam Ramayana diceriterakan bahwa Ramawijaya sebagai pengantin baru bersedia membuang diri ke hutan dan tidak berambisi untuk mewarisi (menduduki-pen) tahta Ayodya. Demikianlah Rama dan Sinta hidup sederhana dan menjadi orang biasa di hutan yang hanya ditemani oleh Laksamana, adik Rama. Mereka hidup di hutan dengan segala kesederhanaan, kesunyian, kegelapan, marabahaya, dan segala resikonya. Ketika Sinta diculik oleh Rahwana dan dilarikan ke Alengka memang seolah-olah dunia seperti runtuh. Namun pantang bagi Rama untuk berputus asa atau kembali ke istana meminta bantuan bala tentara Ayodya, warisan ayahnya.

Dengan segala ketekunan, keuletan, dan kerja keras akhirnya Rama berhasil menghimpun the winning team-nya yang terdiri dari Hanoman, Sugriwa dengan hulubalang dan bala tentaranya, Jembawan serta Wibisana. Semuanya merupakan hasil kerja keras Rama tanpa warisan orang tuanya. Satu-satunya yang merupakan "warisan" dari orang tuanya hanyalah Laksamana yang masih tetap setia mengikuti Rama. Kerja keras tim tersebut akhirnya mampu membebaskan Sinta dan menaklukkan Alengka.

Kedua anak muda tersebut Fransiskus Assisi dan Ramawijaya merupakan contoh anak muda yang berjiwa merdeka dan bersahaja yang tidak banyak tergantung pada warisan atau nama besar orang tua mereka. Meskipun keduanya memilih jalan hidup yang berbeda, Fransiskus sebagai biarawan dan Rama hidup berkeluarga sebagai ksatria, tetapi semangat untuk mandiri sangat dihargai dan dikagumi.

Di Eropa orang muda seperti Fransiskus Assisi sangatlah banyak jumlahnya. Beberapa di antaranya tercatat sebagai santa atau santo dalam tradisi Katolik, sementara tidak terhitung yang menjadi biarawan atau biarawati yang biasa-biasa saja. Dilahirkan sebagai anak orang kaya bukan suatu halangan untuk memenuhi panggilan hidup membiara.

Sikap hidup seperti yang diperlihatkan oleh Fransiskus Assisi dan Ramawijaya adalah suatu sikap yang diperlukan oleh umat manusia jaman ini untuk mengoreksi pengelolaan kekayaan secara total yaitu dengan memenuhi panggilan dan kehendak Tuhan untuk mengembalikan talenta beserta pengembangannya kepada Tuhan. Kemudian didaur ulang dan diredistribusikan kepada yang berhak yaitu semua anak-anak, orang yang kalah dalam persaingan, orang yang terkena musibah, serta orang yang menekuni profesi non bisnis. Dengan demikian Injil benar-benar menjadi Kabar Gembira bagi semua orang baik yang percaya atau tidak. Mukjizat penebusan benar-benar membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan sosial maupun kemiskinan yang diwariskan turun-temurun.

Jakarta, akhir Desember 2001

Demikian salah satu tulisan saya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Semoga bermanfaat.

Selasa, 16 November 2010

Prinsip-prinsip Biososioekonomi untuk Pejabat Pemerintah (4):Penyediaan Energi dan Pengendalian Pertumbuhan Populasi Penduduk

Setelah tertunda beberapa minggu, akhirnya tulisan keempat "Prinsip-prinsip Biososioekonomi untuk Pejabat Pemerintah" ini bisa diposting hari ini.

Berbeda dengan teori ekonomi konvensional (neoklasik maupun keynesian) yang hanya menggunakan kurva penawaran-permintaan, biososioekonomi selain menggunakan kurva penawaran-permintaan juga menggunakan prinsip daur ulang untuk menjelaskan dan mengelola kelangkaan. Kelemahan kurva penawaran-permintaan adalah tidak memasukkan variabel waktu. Kurva tersebut bukan merupakan fungsi waktu. Kalau variabel waktu mau dimasukkan maka bentuk kurvanya menjadi tidak sederhana sehingga kurang nyaman atau kurang tepat dipakai menjelaskan dan mengelola kelangkaan. Selain itu kurva tersebut berjangka pendek. Untuk menjelaskan dan mengelola kelangkaan yang berjangka panjang perlu memperhatikan prinsip daur ulang.

Prinsip daur ulang ada di alam. Tubuh manusia setelah meninggal juga akan terdaur ulang. Bahan-bahan organik tubuh manusia akan terurai menjadi bahan anorganik seperti CO2, H2O (air), nitrogen, dan lain-lain yang kemudian oleh tanaman dengan klorofilnya dan bantuan sinar matahari akan tersintesa kembali menjadi bahan organik seperti pati, gula, minyak, dan protein. Daur ulang adalah salah satu faktor yang akan membuat penawaran dan permintaan berada pada titik keseimbangan yang sama sepanjang waktu. Dengan daur ulang, kelangkaan bisa teratasi atau paling tidak dapat diminimalisir.

Berdasarkan prinsip daur ulang tersebut dan berdasarkan rumusan dasar teori ekonomi makro biososioekonomi ("kelahiran adalah hutang yang harus dibayar dengan kematian") maka pertumbuhan populasi penduduk harus dipertahankan maksimum nol persen per tahun. Angka nol adalah angka yang netral. Pertumbuhan populasi penduduk kurang atau lebih dari nol persen akan menggeser titik keseimbangan kurva penawaran-permintaan. Pertumbuhan populasi penduduk lebih dari nol persen akan meningkatkan beban alam (ekologi). Dalam kondisi over populasi, cara yang manusiawi untuk mengurangi populasi penduduk adalah pertumbuhan negatif melalui pengurangan kelahiran, di mana setiap keluarga tidak boleh mempunyai anak lebih dari satu. Ini adalah cara yang manusiawi dibandingkan peperangan, bencana alam, pembiaran kemiskinan-kelaparan dan cara destruktif lain yang meningkatkan kematian. Pengurangan kelahiran adalah cara yang paling manusiawi di alam yang memang terbatas ini. Untuk mempertahankan pertumbuhan penduduk nol persen maka setiap keluarga harus mempunyai dua orang anak.

Dengan memperhatikan prinsip daur ulang itulah penyediaan energi serta kebijakan terkait mengenai energi dibuat. Diperlukan energi alternatif yang bisa diperbaharui seperti energi dari minyak nabati ataupun energi alternatif lain. Energi surya memang tidak bisa diperbaharui karena proses pembentukannya bersifat ireversibel artinya matahari tidak bisa menyerap dan memproses kembali energi yang telah dipancarkan ke alam raya. Akan tetapi karena matahari masih berumur panjang maka energi matahari bisa dipakai sebagai energi alternatif bagi penduduk bumi. Apalagi Indonesia adalah negara yang berada di jalur katulistiwa. Kebijakan mengenai energi tidak hanya terkait dengan suplai energi tetapi juga penghematan energi. Penghematan energi bisa dilakukan dengan kebijakan sistem transportasi masal serta pengendalaian pertumbuhan populasi penduduk maksimum nol persen per tahun.

Demikian tulisan singkat ini, pada dasarnya prinsip daur ulang dan rumusan dasar biososioekonomi dapat dipakai sebagai pedoman untuk menjelaskan dan mengelola kelangkaan yang berjangka panjang tidak hanya sesaat. Prinsip ini tidak hanya bisa digunakan untuk mengelola penyediaan energi tetapi juga kelangkaan lain. Dalam tulisan ini, energi saya bahas karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Semoga bermanfaat.

Jumat, 12 November 2010

Mengenang dan Menghargai Jasa Pahlawan

Setiap tanggal 10 November kita memperingati hari pahlawan. Dalam momentum seperti itu tidak ada jeleknya hening sejenak dari segala hiruk-pikuk dan rutinitas untuk mengenang para pahlawan bangsa yang dikenal, diangkat resmi sebagai pahlawan maupun yang tidak dikenal.

Mengahargai dan mengapresiasi jasa pahlawan merupakan tindakan yang luhur mulia. Pahlawan sejati adalah orang-orang yang telah mengubur kepentingan dan kenikmatannya sendiri serta berjuang menghadapi tantangan dan marabahaya untuk sesuatu yang lebih besar di luar dirinya. Entah demi kepentingan umum atau kepentingan orang lain. Para pahlawan kita kenang dan kita apresiasi untuk kita ambil hal-hal baik yang ada padanya sebagai inspirasi hidup kita apakah kita sudah mengutamakan kepentingan umum atau belum.

Jiwa-jiwa mereka, para pahlawan itu, sangatlah berharga untuk dikenang. Juga pahlawan lain yang masih segar peristiwanya yang tidak bisa saya sebut satu-persatu. Relawan PMI yang mau memaksa mbah Marijan meninggalkan dusunnya pada saat letusan Merapi 26 Oktober 2010 juga layak disebut pahlawan. Hidup mereka punya arti. Semoga hidup kita juga punya arti bagi sesama.

Selasa, 09 November 2010

Surat Terbuka untuk Presiden Obama (dan Amerika)


Dear Mr President Obama
Pertama-tama saya ucapkan selamat datang ke Indonesia, suatu negeri kepulauan yang telah ber-revolusi menjadi negara demokrasi modern berbentuk republik dari asal-usulnya yang terdiri dari berbagai kerajaan di wilayah Nusantara. Semoga kunjungan dan perjalanan Anda ke Indonesia aman dan nyaman.

Ketika Anda terpilih menjadi presiden, November 2008, saya memposting tulisan di blog ini November 2008 bahwa pergantian presiden saja tidak cukup. Tema seperti itulah yang ingin saya sampaikan kali ini dalam surat terbuka untuk Anda (dan Amerika).

Sebelumnya saya perlu mohon maaf kalau pendapat yang saya sampaikan (dalam bahasa Indonesia) ini berbeda dengan pendapat umum yang sudah Anda kenal. Saya memerlukan banyak waktu dan tenaga kalau harus menulis surat ini dalam bahasa Inggris. Selain itu saya mohon maaf kalau saya menyampaikan pendapat saya ini dengan bahasa yang lugas.

Krisis ekonomi global hanya bisa diatasi secara global. Celakanya negara terlalu kecil untuk mengurusi hal-hal besar dan terlalu besar untuk mengurusi hal-hal kecil. Selain diperlukan kerja sama antara negara dengan civil society juga diperlukan perubahan paradigma dari ekonomi yang bercorak kapitalistik-neoliberalistik mengarah kepada ekonomi jalan ketiga atau jalan tengah. Untuk itu diperlukan grand theory ekonomi baru sebagai pedomannya. Saya memberanikan diri untuk merumuskan grand theory itu dan menyebutnya sebagai teori ekonomi makro biososioekonomi (bioekonomi) yang selain bisa dibaca di blog ini, juga bisa dibaca dalam buku saya "Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia" (2004), atau di web site-nya Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM). Meskipun masih bersifat embrional, sebagai kerangka dasar berpikir biososioekonomi sudah cukup memadai, karena biososioekonomi jelas dan tidak rancu.

Secara khusus saya memposting tulisan di blog ini yang menjelaskan mengapa bioekonomi (biososioekonomi) disebut sebagai ekonomi jalan ketiga. Tulisan itu saya posting 2 Nopember 2010. Saya berharap agar semua pihak di seluruh dunia bisa berpartisipasi mengaplikasikan dan mewujudkan paradigma ekonomi jalan ketiga yang pro publik, pro rakyat dan pro ekologi (kelestarian lingkungan hidup).

Untuk bisa memahami biososioekonomi, orang harus membedakan antara individu dan perusahaan dimana individu selain berlaku sebagai homo economicus seharusnya juga berlaku sebagai homo socius. Sementara perusahaan atau institusi bisnis tidak bisa berubah menjadi institusi sosial. Tidak membedakan individu dengan institusi bisnis itulah kelemahan utama teori ekonomi makro keynesian.

Teori ekonomi makro biososioekonomi berusaha meningkatkan income publik melalui pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu serta mengelolanya dengan baik agar terjadi keseimbangan antara aset individu
(yang notabene adalah liability bagi publik) dengan aset publik. Kalau liability publik lebih tinggi dari asetnya, krisis tetap terjadi delam beberapa bentuk seperti kemiskinan dan rendahnya daya beli rakyat.

Kekayaan daur ulang adalah kekayaan melimpah milik individu atau perorangan bukan perusahaan yang tidak diwariskan kepada anak keturunannya sendiri tetapi dihibahkan untuk publik. Secara praktis dan sederhana bisa dikatakan bawa biososioekonomi menentang pewarisan kekayaan berlimpah dan pro demokrasi ekonomi. Jalan damai untuk mewujudkan itu sudah saya usulkan dalam buku saya hlm 73 dan sering saya ulang dalam blog ini khususnya dalam artikel yang berlabel "herucakra society." Mungkin bagi kebanyakan orang di Indonesia biososioekonomi itu tidak mudah dijalankan karena menentang pewarisan kekayaan berlimpah Beberapa orang yang saya beri buku saya, di kemudian hari juga kelihatan takut-takut berbicara biososioekonomi.

Namun demikian saya tidak gentar karena saya menaruh harapan pada TUHAN semesta alam. Saya memiliki keyakinan pribadi bahwa triple six yang akan dihancurkan TUHAN itu berkaitan dengan pewarisan kekayaan dan (atau) kekuasaan berlimpah. Saya memiliki keyakinan itu setelah pada tahun 2005, saya menemukan suatu ayat dalam Alkitab (Holy Bible) bahwa di masa lalu ada seorang raja yang income per tahunnya adalah 666 talenta emas (1Raj10:14 atau 2 Taw 9:13). Semua orang tahu raja itu terlahir sebagai anak raja.

Mengenai orang-orang yang lahir sebelum Kristus, Tuhan kita Yesus Kristus telah membuat suatu kebijaksanaan yang luar biasa sebagaimana dicatat Injil Yohanes 10:7-9 yang berbunyi: "..Aku berkata kepadamu, akulah pintu ke domba-domba itu. Semua orang yang datang sebelum Aku, adalah pencuri dan perampok, dan domba-domba itu tidak mendengarkan mereka; barang siapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput."

Umat kristiani boleh tidak sependapat dengan saya, tetapi saya pribadi meyakini bahwa triple six yang akan dihancurkan TUHAN dan para penghuni Surga itu berkaitan dengan pewarisan kekayaan berlimpah dan (atau) pewarisan kekuasaan berlimpah. Saya tidak percaya akan pandangan sebagian orang bahwa TUHAN akan menghancurkan negara demokrasi modern dan menggantinya dengan negara teokratis. Yang saya percayai adalah bahwa TUHAN dan penghuni Surga akan menghancurkan triple six. Untuk itu saya terpanggil untuk menyampaikan peringatan itu kepada semua orang melalui blog ini. Sekali lagi mohon maaf kalau kata-kata ini lugas dan keras. Maklum hidup rakyat kebanyakan juga susah.

Demikian surat ini saya tulis, banyak hal di antaranya juga sudah saya tulis di blog ini. Semoga Anda dan bangsa Amerika terhindar dari murka TUHAN. TUHAN memberkati.

Jumat, 05 November 2010

Ampunilah Ya TUHAN....

Ampunilah ya TUHAN atas kekuranganku dan ketidaksempurnaanku dalam melayani-Mu dalam menjalankan tugas yang Engkau percayakan kepadaku di Divisi Kesejahteraan Umum ini.

Ampunilah juga mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Semoga tidak ada lagi yang menghalangi apa yang seharusnya muncul demi kesejahteraan umum dan orang banyak.

Semoga Gunung Merapi tenang kembali, demikian juga alam semesta yang bergejolak semoga segera tenang kembali.

Segala kuasa dan kemulian hanya ada pada-Mu. Segalanya ada di tangan-Mu seturut rencana dan kehendak-Mu.

Kami hanya manusia biasa yang hanya bisa berdoa:"Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN, berilah kiranya kemujuran! "

Selasa, 02 November 2010

Tiga Alasan Mengapa Biososioekonomi adalah Ekonomi Jalan Ketiga

Hari Selasa tanggal 2 Nopember 2004 adalah hari dan tanggal bersejarah bagi teori ekonomi makro biososioekonomi. Untuk pertama kalinya biososioekonomi (bioekonomi) dipresentasikan dalam seminar. Seminar itu adalah seminar bulanan ke-22 yang diselanggarakan Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gadjah Mada (PUSTEP-UGM) Yogyakarta. PUSTEP sekarang berganti nama menjadi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan. Jadwal postingan hari ini bersamaan dengan hari dan tanggal bersejarah itu. Postingan hari ini saya buat khusus untuk mengenang hari dan tanggal bersejarah itu.

Dulunya ekonomi jalan ketiga atau ekonomi jalan tengah atau ekonomi Pancasila dianggap sebagai sistem ekonomi yang tidak jelas karena hanya sekedar bukan ini bukan itu. Karena bukan ini atau bukan itu maka dianggap sebagai bukan apa-apa atau tidak ada. Anggapan seperti itu kemudian digemakan oleh media massa konvensional baik cetak maupun televisi melalui narasumber-narasumber yang ditampilkannya yang rata-rata berpendidikan formal ilmu ekonomi. Tindakan media massa konvensional itu membutakan mata banyak orang mengenai keberadaan ekonomi jalan ketiga. Bahkan ketika bioekonomi (biososioekonomi) dipublikasikan pada triwulan keempat tahun 2004 pun mata dan pikiran banyak orang masih tertutup. Tidak mudahnya menyadarkan publik akan adanya ekonomi Pancasila atau ekonomi jalan ketiga ini, rekan-rekan di PUSTEP UGM sering berkomentar: gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak. Saya sendiri lebih senang memlesetkan menjadi: Borobudur di pelupuk mata tidak tampak, gubuk reyot di seberang lautan tampak. Setahu saya hanya harian Suara Merdeka Semarang yang memberitakan seminar bioekonomi di PUSTEP itu.

Inilah tiga argumen mengapa teori ekonomi makro biososioekonomi dikatakan sebagai ekonomi jalan ketiga:


(1) Pandangannya Mengenai Laba

Seperti pernah saya tulis di blog ini khususnya pada postingan tanggal 1 Juni 2010 saat peringatan hari lahirnya Pancasila bahwa biososioekonomi mempunyai pandangan yang jelas berbeda dengan ekonomi jalan pertama (kapitalis) dan ekonomi jalan kedua (komunis-sosialis). Dalam pandangan kapitalis laba adalah pengembalian yang sah atas modal, titik. Pandangan komunis mengatakan laba adalah hasil eksploitasi buruh yang diambil alih oleh kaum kapitalis. Sementara pandangan biososioekonomi mengatakan bahwa laba berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Perbedaan ini nyata benar. Jadi ekonomi jalan tengah atau jalan ketiga itu nyata.


(2) Biososioekonomi Tidak Menuntut Rekening T Publik Bernilai Plus

Inilah argumen utama bahwa biososioekonomi adalah ekonomi jalan ketiga. Rekening T atau neraca herucakra society (global civil society yang terbuka dan adil) dan rekening T pemerintah setiap negara tidak dituntut menghasilkan nilai plus. Sudah cukup bila aset publik sama dengan liabilitasnya atau dengan kata lain nilainya nol. Angka nol adalah angka netral yang merupakan jalan tengah. Dalam kondisi seperti itu jumlah aset publik sama dengan jumlah aset individu_sebagai catatan menurut biosoioekonomi semua aset individu adalah liabilitas bagi publik. Ini jelas berbeda dengan kapitalisme yang membiarkan jumlah aset individu jauh melampaui jumlah aset publik sampai berlipat ganda, dan jelas berbeda dengan komunisme yang menuntut penghapusan hak milik individu. Dalam kondisi di mana jumlah aset publik sama dengan jumlah liabilitas publik itu, sistem ekonomi sudah mampu membayar kewajibannya yaitu: laba, bunga, gaji pegawai, dan jaminan sosial (food stamps/ketahanan pangan, pendidikan, kesehatan, tunjangan pensiunan atau orang lanjut usia). Meskipun nilai rekening T publik adalah nol, secara mikro tetap ada dinamika sirkulasi kepemilikan.


(3)Tidak menuntut pertumbuhan PDB tetapi juga tidak melarang individu meningkatkan aset pribadinya.
Perekonomian yang menuntut pertumbuhan PDB atau pertumbuhan agregat adalah perekonomian yang kapitalistik yang melawan alam. Efek buruk pertumbuhan PDB sama dengan pertumbuhan populasi penduduk. Dalam paradigma biososioekonomi, tanpa pertumbuhan PDB pun aset setiap orang (rumah tangga) bisa meningkat. Ukuran yang dipakai teori ekonomi makro biososioekonomi bukan pertumbuhan PDB tetapi PIT (persentase individu yang tumbuh). Biososioekonomi menginginkan angka PIT-nya 100% atau mendekati itu. Hal ini memang mirip dengan perikanan. Kalau kita menebarkan benih lele misalnya berapa persen yang berhasil tumbuh dan tidak mati. Dengan PIT ini biososioekonomi jelas bukan komunis tetapi juga bukan kapitalis karena tidak menuntut pertumbuhan PDB.


Semoga postingan ini bisa memberi penjelasan.