Minggu, 15 September 2013

Pajak, Kaisar, dan Kesejahteraan Umum

Postingan hari ini adalah kutipan dari sebuah status facebook saya (haniputranto) yang berkaitan dengan kaisar, pajak, dan kekafiran. Tentu saja opini saya ini dari aspek kesejahteraan umum bukan dari aspek korahian. Kalau mengenai kerohanian atau hal-hal yang surgawi silakan bertanya atau belajar dari kaum biarawan bukan belajar dati saya. Berikut ini kutipan status saya.

Hanya karena membolehkan membayar pajak kepada kaisar, mungkin oleh orang luar, Yesus Kristus dan umat Kristiani dianggap  membiarkan ketidakadilan yang dilakukan kaisar apalagi kalau kaisar itu dianggap kafir (Matius 22:21  "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.")

Kemarin pagi dalam sebuah status teman fb yang menyinggung hal-hal di atas saya mencoba mengemukakan pendapat saya pribadi dengan mengomentari statusnya.

Inilah komentar saya:

"Benar Pak membayar pajak dan derma (berbagi harta) itu sama-sama perlu. Dua-duanya perlu dilakukan. Tapi rasanya tidak begitu maksud Yesus.

Yesus Kristus itu Real King bahkan The King of kings bahkan juga Mesias (imam, nabi, dan raja sekaligus). Tetapi Ia telah mengoreksi dan mereformasi sikap dan kebiasaan raja tradisional dalam keluarga-Nya (Daud) dan bangsa Yahudi sendiri dengan membayar dengan darah-Nya sendiri. Oleh karena itu Ia berharap raja-raja lain memperbaharui diri. Bagi Yesus dan murid-Nya diurapi menjadi raja bukan berarti menikmati privilege sebagaimana Saul, Daud dsb telah menikmatinya tetapi harus menjalani berbagai pantangan, hidup asketis dan terutama memperjuangkan dan melayani kesejahteraan rakyat (publik), serta siap menanggung resiko dari pekerjaannya.

Oleh karena itu sabda di atas harus juga dipahami bahwa kaisar (raja tradisional) pun harus berbagi harta sebagaimana dituntut juga terhadap orang lain yang bukan raja. Dan tentu saja raja tradisional seharusnya mereformasi diri/kerajaannya menjadi negara demokrasi modern yang egaliter karena TUHAN telah berbela rasa menjadi manusia dan juga bersikap egaliter. Meski tidak menerima pajak, Yesus Kristus itu Real King. Bagi-Nya berbagi harta itu harus sampai 100% (bdk Luk 12:33) tapi Yesus tidak berkata bawalah harta/uang itu kemari supaya Saya yg membagi-bagikannya kepada orang miskin itu. Bagi Yesus yg penting sumbangan itu sampai kepada yg disumbang (orang miskin/publik) meski tidak melalui Diri-Nya atau pengikut-Nya. Sebagian sumbangan itu berbentuk derma/hibah sebagian lagi berbentuk pajak bagi negara demokrasi modern yg harus dipakai untuk kepentingan dan kesejahteraan publik.

Mengenai orang atau raja kafir (dalam artian yg belum mengenal TUHAN/JHWH), rasanya kita perlu melihat sejarah pra inkarnasi (sebelum TUHAN berinkarnasi dalam Diri Yesus Kristus dari Nazaret) yaitu jaman Perjanjian Lama. Meski tidak mengenal TUHAN, bangsa Mesir diselamatkan dari bahaya kelaparan pada jaman Yusuf anak Yakub. Kalau kemudian bangsa Mesir dihukum TUHAN itu bukan karena kafir tapi karena durhaka (tidak tahu balas budi), menindas Bangsa Yahudi termasuk menghambat kebebasan beribadah.

Kemudian pada jaman Koresh, Koresh ini Raja Persia bukan orang Yahudi dan bukan keturunan Daud  otomatis dia tidak mengenal TUHAN tapi TUHAN mengurapinya (Yesaya 45:1-5).

Mengapa bangsa Yahudi menerima Koresh. Menurut pendapat saya karena di dalam tradisi bangsa Yahudi, seorang raja tidak merangkap sebagai imam. Koresh tidak menjadikan dirinya imam bagi bangsa Yahudi. Ia memberi kebebasan bagi bangsa Yahudi untuk beribadah (membangun kembali bait suci).

Dahulu sebelum jaman Koresh, dalam sejarah bangsa Yahudi sendiri, Raja Saul "koncatan wahyu keprabon" karena melakukan pekerjaan imam yang seharusnya dilakukan Samuel (bdk 1Sam 13: 9-14). Menurut pendapat saya, satu-satunya yg berhak merangkap raja dan imam itu adalah inkarnasi TUHAN yaitu Mesias (Yesus Kristus dr Nazaret). Menurut orang Yahudi dan orang Jawa tidak semua raja adalah inkarnasi TUHAN. Oleh karena itu orang Jawa juga bisa membedakan perbedaan antara Mesias dengan raja, antara raja dengan nabi, antara raja dengan imam. Memang dalam sejarah umat manusia fungsi-fungsi itu pernah disalahpahami. Di Inggris misalnya, raja/ratu mengepalai rohaniwan/uskup. Di daerah padang pasir seorang pemimpin politik merangkap imam, Daud dan Salomo disebut sebagai nabi. Praktek spt di Inggris dan padang pasir itu keliru atau paling tidak, bisa dikatakan sebagai tidak bijaksana. Berbahagialah orang Jawa yang membaca Alkitab karena ia tahu kebenaran dan bisa bersikap bijaksana. Selain itu tentunya orang Jawa yang memahami Alkitab akan bebas dari rasa minder karena akan menemukan bahwa JHWH dan JAWA adalah tetragramaton yang sama. Arti harfiah "orang Jawa" adalah orang JHWH atau umat TUHAN. Tidak salah kalau dikatakan Alkitab adalah kitab sucinya orang Jawa.

Sejarah Mesir (Yusuf), sejarah Raja Saul, dan Raja Koresh seharusnya diketahui publik karena itu tertulis dalam Alkitab yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Seorang pejabat publik seperti Lurah Susan, Lurah Lenteng Agung, memang tidak merangkap sebagai imam, sudah selayaknya tidak ditolak karena berbeda keyakinan.

Itulah pendapat saya silakan dikoreksi bila keliru.

Demikian tulisan saya di status fb saya beberapa waktu lalu.