Minggu, 28 Juni 2009

Foto Sudut Desaku

Sebuah Pemandangan di Merbau Mataram Lampung Selatan

Jumat, 26 Juni 2009

Mewujudkan Indonesia 2025, Visi dan Strategi

Siapapun yang terpilih sebagai Presiden RI periode 2009-2014 akan menghadapi tantangan dan ancaman berat. Oleh karena itu padanya dituntut suatu kearifan untuk tidak tenggelam pada paradigmanya sendiri tetapi terbuka pada paradigma baru yang pro rakyat dan lingkungan hidup Berikut ini saya kutipkan karya tulis saya yang saya sampaikan dalam Lomba "Karya Tulis 2025" yang diadakan Bank Indonesia tahun 2006.

Dari uraian di atas kita melihat bahwa biososioekonomi sebagai hukum alam memang sebaiknya tidak dilawan. Perlawanan hanya akan menghasilkan berbagai kesulitan dengan merosotnya pendapatan pemerintah dan masyarakat yang pada gilirannya memerosotkan aset-aset pemerintah atau masyarakat. Biososioekonomi adalah teori atau sistem ekonomi jalan ketiga antara kapitalisme dan komunisme. Penulis agak keberatan kalau teori biosoioekonomi disebut sebagai teori ekonomi Pancasila. Pancasila merupakan dasar suatu negara. Penamaan sebuah teori mestinya lebih dikaitkan dengan hakekat dari teori itu. Namun demikian penulis tidak berkeberatan bila teori biososioekonomi disebut sebagai teori ekonomi yang pancasilais.

Indonesia 2025 akan menghadapi banyak tantangan dari dampak biososioekonomi sebagai hukum alam. Pelaksanaan paradigma baru demokrasi ekonomi dan aplikasi biososioekonomi akan menyelesaikan banyak persoalan termasuk persoalan politik dan keamanan. Paradigma baru demokrasi ekonomi atau redistribusi kekayaan individu melalui biososioekonomi seharusnya lebih diutamakan daripada desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah. Dengan redistribusi kekayaan itu banyak permasalahan rakyat di daerah teratasi.

Para bapa bangsa pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebenarnya telah menyadari pentingnya demokrasi ekonomi. Indonesia yang didirikan adalah negara yang bukan komunis tetapi juga bukan kapitalis. Suatu negara yang adil makmur, dari semua untuk semua. Untuk semua orang NKRI didirikan. Revolusi telah menghasilkan dan menyepakati berdirinya NKRI yang berdasar hukum_bukan berdasar kekuasaan_dan berdasar Pancasila dengan pluralismenya. Impian para pendiri bangsa belum sepenuhnya terwujud.

Dalam karya tulis ini diusulkan Visi Indonesia 2025 yang tidak jauh berbeda dengan visi para bapa bangsa, yaitu:

Indonesia 2025 adalah Indonesia yang tetap negara hukum berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang mempertahankan demokrasi politik namun pada saat bersamaan secara paralel juga mewujudkan demokrasi ekonomi dalam paradigma barunya dengan memperhatikan teori dan hukum biososioekonomi melalui kerjasama dengan masyarakat (society) baik lokal maupun global demi terwujudnya kesejahteraan bagi semua orang yang berkelanjutan dan selaras serta seimbang dengan alam (lingkungan hidup).

Untuk mewujudkan Visi Indonesia 2025 itu maka di dalam karya tulis ini juga diusulkan strategi untuk mencapainya baik bagi pemerintah maupun bank sentral. Pemerintah (negara) adalah satu dari tiga keadaban publik: pemerintah, masyarakat, dan pasar. Suatu ide mengenai pemerintahan global mungkin akan banyak menimbulkan gesekan dan benturan. Akan tetapi global society tidak banyak menimbulkan gesekan dan kerumitan dibanding pemerintahan global. Biososioekonomi memang bersifat global, akan tetapi bukan berarti Indonesia menjadi pasif menunggu redistribusi kekayaan individu dari luar negeri. Justru Indonesia harus proaktif. Kerja sama antara pemerintah dan masyarakat diperlukan. Sementara itu di dalam paradigma biososioekonomi, bank sentral merupakan pertemuan (link) antara pemerintah dan masyarakat sehingga memiliki peran strategis penting.

A. Strategi Pemerintah

Budaya: (1)Meningkatkan kedermawanan melalui penggalian budaya kegotongroyongan di masa lalu dengan memberi bentuk modern (2)Pemerintah perlu mengingatkan warganegaranya bahwa kegotongroyongan bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik (3)Tidak melupakan keanekaragaman budaya (4)Menumbuhkan budaya yang menghargai kerja keras dan prestasi bukan budaya feodal yang tergantung kekayaan warisan.

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: (1)Mengembangkan dan melakukan pengkajian lebih lanjut terhadap teori biososioekonomi melalui berbagai pusat riset, perguruan tinggi, dan lembaga ilmu pengetahuan (LIPI) (2)Mengembangkan dan mencari sumber energi yang bisa diperbarui atau energi tak terbarukan tetapi masa habisnya sangat panjang seperti energi matahari.

Pendidikan: Mencerdaskan dan memandirikan peserta didik sehingga menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab tidak tergantung pada kekayaan orang tuanya.

Infrastruktur: Dengan memperhatikan hukum biososioekonomi berupya menyediakan sarana dan infrastruktur yang memadai seperti menyediakan lahan untuk pasar tradisional, lahan untuk pedagang kaki lima, lahan untuk sekolah, untuk rumah susun sederhana, untuk rumah susun sewa dan redistribusi lahan untuk petani bila diperlukan. Menyediakan perumahan bagi pegawai negeri, TNI, dan guru. Menyediakan infrastruktur untuk sistem transportasi cepat massal yang hemat energi.

Perundang-undangan: (1)Mengakomodasi kegiatan filantropi masyarakat (termasuk melalui mekanisme daur ulang kekayaan individu) dengan undang-undang (2)Melindungi konsumen sosial dari kepentingan sektarian primordial (3)Tetap menjamin hak-hak asasi manusia

Kependudukan: (1)Mengendalikan pertumbuhan penduduk menjadi nol persen atau lebih kecil dari itu bila diperlukan (2)Meningkatkan pelayanan administrasi kependudukan termasuk pencatatannya agar memudahkan dan melancarkan transfer beasiswa dari kekayaan daur ulang dalam sistem biososioekonomi.

Kelembagaan: Bekerja sama dengan bank sentral dan masyarakat untuk terbentuknya organisasi konsumen sosial yang bertujuan mensejahterakan rakyat tanpa sekat-sekat sektarian primordial dan paralel dengan organisasi warga negara (politik).

Politik: Tetap mempertahankan kehidupan politik yang demokratis dan menjaga kebebasan berserikat dan berpendapat dengan tertib.


B. Strategi Bank Sentral

Kedermawanan: (1)Bekerjasama dengan komponen masyarakat untuk meningkatkan nisbah kedermawanan sehingga meningkatkan pemasukan masyarakat dan bank sentral yang pada gilirannya meningkatkan aset masyarakat pada neraca HCS (herucakra society) sehingga fundamental moneter dan makro ekonomi menjadi kokoh. (2)Mengkomunikasikan dengan baik masalah kedermawanan agar tidak disalahpahami masyarakat dan publik.

Undang-undang Filantropi: Mengakomodasi minat masyarakat yang akan menghibahkan atau meminjamkan tanpa bunga dana individunya kepada bank sentral untuk tujuan pengetatan moneter.

Distribusi: Mempertahankan industri perbankan yang memiliki akses sampai ke pedesaan seperti BRI dan BTN (yang bekerja sama dengan Pos Indonesia) untuk memudahkan bantuan beasiswa atau bantuan tunai lainnya.

Kelembagaan dan Kerjasama Internasional: (1)Bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat guna terbentuknya organisasi konsumen sosial seperti tersebut di atas sebagai wujud paradigma baru demokrasi ekonomi (2)Berinisiatif untuk menggalang kerjasama internasional dengan global civil society guna mewujudkan paradigma baru demokrasi ekonomi.

Itulah visi dan strategi yang bisa diusulkan dalam karya tulis ini. Bank sentral dan pemerintah perlu memahami posisi dan perannya masing-masing dalam suatu paradigma baru yang berbeda dari perekonomian konvensional (neoliberal maupun keynesian).

Demikian kutipan saya agaknya memang diperlukan Presiden-Wakil Presiden yang berani menggunakan paradigma baru dan supel bekerjasama dengan pusat-pusat pengaruh dalam civil society.

Kamis, 25 Juni 2009

Langsung Bermanfaat Bagi Rakyat

Sebelum debat cawapres 23/06/2009, seorang teman di facebook mengatakan pemerintahan bersih hanya akan menguntungkan pemilik modal. Benar, menurut hemat saya yang langsung memperoleh keuntungan dari pemerintahan bersih adalah pemilik modal, rakyat mendapat remah-remahnya. Kalau mau langsung ada manfaatnya bagi rakyat harus berani melakukan demokrasi ekonomi yang substansial yaitu redistribusi kekayaan pribadi sebagaimana dirumuskan teori ekonomi makro biososioekonomi.

Pemerintahan bersih seperti dikemukakan salah satu cawapres (Kompas Mobile 23/06/2006 diakses pkl 20:35) memang baik tetapi tidak akan langsung bermanfaat bagi rakyat. Program BLT adalah remah-remah. Pandangan neolib atas laba harus dikoreksi. Pandangan neolib itu mengatakan bahwa laba adalah pengembalian yang sah atas modal, titik. Pandangan saya dan biososioekonomi mengenai laba telah saya posting di blog ini bulan Oktober 2008 pada artikel yang berjudul "Misteri Laba dan Kesengsaraan Rakyat"

Cawapres yang mengusung ekonomi pro rakyat atau ekonomi mandiri pun belum tentu bermanfaat langsung pada rakyat kalau mereka juga terjebak pada jebakan paradigma neolib. Jebakan paradigma neolib itu adalah memulai tindakannya dengan investasi. Jebakan itu sering tidak disadari karena terselubung oleh semangat nasionalisme yang kurang tepat. Apa yang dimaksud dengan kekayaan dalam program pengelolaan kekayaan alam oleh cawapres itu tidak benar-benar berupa aset sebagaimana dimaksud teori biososioekonomi. Kekayaan alam itu masih merupakan sesuatu yang "mentah" karena untuk bisa bermanfaat masih dibutuhkan waktu, modal, dan teknologi. Kalau mau bermanfaat langsung bagi rakyat mulailah dengan berbagi (redistribusi) kekayaan pribadi yang sudah "matang" yang berupa deposito, saham, properti, dan lain-lain.

Isu pemerintahan bersih sudah menjadi arus utama sejak reformasi 11 tahun lalu. Bahkan lima tahun lalu ada anggapan kalau korupsi tidak diberantas Indonesia akan masuk jurang. Isu pemberantasan korupsi menjadi arus utama karena pendukungnya adalah elite, antara lain rohaniwan Katolik dan pemilik media massa. Rohaniwan itu tidak benar-benar memahami kebutuhan rakyat. Pada waktu itu ada pandangan yang kurang populer seperti diusung Mubyarto:" Tanpa Revolusi Cara Berpikir Indonesia akan Masuk jurang"(Kompas 14/10/2003).

Dengan krisis ekonomi global tampak nyata bahwa akar krisis adalah paradigma neoliberal. Negara-negara yang dilanda krisis termasuk negara yang bersih bebas korupsi dibanding Indonesia. Dibanding lima atau sepuluh tahun lalu sekarang perhatian yang diberikan rohaniwan Katolik pada isu berbagi kekayaan jauh lebih baik. Dulu ada anggapan yang tidak pernah diajarkan Yesus Kristus tetapi dimunculkan atau dikotbahkan. Anggapan itu kira-kira berbunyi: berantaslah dahulu korupsi maka yang lain akan ditambahkan kepadamu. Alamak..!! Berbagi gitu loh!!!!

Dengan berbagi (redistribusi) kekayaaan pribadi seperti diusulkan teori biososioekonomi maka tidak hanya manfaat langsung yang akan dinikmati rakyat tetapi juga 80% persoalan rakyat akan teratasi. Ini berbeda dengan paradigma neolib.

Sabtu, 20 Juni 2009

Satrio Piningit Sebagai Pengalaman Sejati: Gunung Kidul dan Wahyu Keprabon

Tim sukses kampanye capres dan cawapres mulai menggelar laku spiritual dengan berziarah ke makam leluhur Mataram yaitu ke makam Ki Ageng Giring di Paliyan dan Ki Ageng Wonokusumo di Karang Mojo Gunung Kidul. Tujuannya adalah agar jalan menuju RI I dan RI II terwujud bagi pasangan calon yang dijagokan. Kegiatan itu berlangsung sejak 2004 (Kompas Mobile 19/06/2009, pkl 04:00).

Suka atau tidak suka Gunung Kidul merupakan daerah yang dipercaya tempat turunnya wahyu keprabon Mataram. Dalam buku:Bayang-bayang Ratu Adil karya Sindhunata (Gramedia Pustaka Utama, 1999) disebutkan di Petilasan Kembang Lampir , di Dusun Giri Sekar, Panggang, menurut dongeng adalah tempat turunnya dua wahyu Kerajaan Mataram yakni Gagak Emprit untuk Ki Ageng Pemanahan dan Panca Purba untuk Senapati (hlm39).

Sebelum membaca buku tersebut tahun 2002 saya tidak pernah mengenal apalagi mengunjungi wilayah itu. Sebagai orang (Jawa)yang dibesarkan dalam keluarga modern (wartawan) saya hampir tidak pernah mengunjungi tempat keramat khusus untuk tujuan spiritual. Satu-satunya tempat yang keramat (kalau boleh dikatakan demikian) yang saya kunjungi hanyalah Dusun Mangir (Bantul). Itupun karena seorang leluhur saya berasal dari sana.

Namun demikian Gunung Kidul merupakan tempat bersejarah bagi saya karena dari tempat itulah suatu inspirasi muncul yang kemudian melahirkan teori bioekonomi (biososioekonomi). Waktu itu Oktober 2001 saya bersama rombongan rekan muda saya berziarah ke Goa Maria Tritis. Dalam bus, Frater (calon Pastor), menyebut Gunung Kidul daerah minus. Saya terus merenungkan kata minus itu. Termasuk ketika telah kembali dari ziarah. Permenungan saya akhirnya berujung bahwa dunia secara keseluruhan memang minus dimana pangan hanya bisa cukup bila manusia bersedia (terpaksa) mati dan tubuhnya didaur ulang menjadi pupuk. Demikian juga dengan kekayaan, kekayaan hanya cukup untuk kesejahteraan bersama bila didaur ulang tidak diwariskan kepafa anak cucu. Dari sini muncul rumusan dasar biososioekonomi: "kelahiran adalah hutang yang harus dibyar dengan kematian."

Hikmah yang bisa dipetik dari kunjungan ke Gunung Kidul adalah kesejahteraan bersama bisa terwujud bila biososioekonomi diimplementasikan. Senapati boleh jadi memang memperoleh wahyu keprabon. Tim sukses capres cawapres yang mengunjungi makam Ki Ageng Giring boleh jadi akan memuluskan jagoannya menduduki RI I dan RI II. Tetapi kesejahteraan publik sejati belum tentu terwujud tanpa implementasi biososioekonomi. Bahkan sejarah mencatat bahwa ketika Senapati berkuasa di bumi Mataram, penjajah Belanda datang ke P Jawa. Yang jelas, saya tidak percaya wahyu itu masih berada pada Senapati setelah ia membunuh Ki Ageng Mangir suami Pambayun. Pengalaman saya memperjuangkan biosoioekonomi adalah seringnya terjadi bencana ketika biososioekonomi dihambat.

Dari perspektif rasional, biososioekonomi adalah pedoman teori ekonomi makro bagi pelaksanaaan demokrasi ekonomi. Ketika di samping demokrasi politik tidak ada demokrasi ekonomi, rakyat tetap terjajah (Bung Hatta). Kalau rakyat mau merdeka juga dari segi ekonomi perlu berjalan bersama-sama dengan biososioekonomi.

Senin, 15 Juni 2009

Indonesia Harus Bebas Hutang

"Belum Ada Capres-Cawapres Bernyali Stop Utang" demikian saya baca di Kompas Mobile yang saya akses 14/06/09 pukul 17:00. Dalam tulisan itu dikatakan:" hingga Akhir Januari 2009 utang pemerintah mencapai Rp 1.667 triliun yang terdiri dari Rp 747 triliun berasal dari pinjaman luar negeri, dan Rp 920 triliun dalam bentuk surat berharga negara, yang mayoritas dibeli investor asing"

Sementara itu dalam tulisan lain yang berjudul: "Tak Ada Negara Besar Karena Utang" dikatakan: "Pada tahun 2009, misalnya pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp 162 triliun untuk membayar utang. Angka ini jauh melampaui anggaran Departemen Kesehatan sebesar Rp 20 triliun, anggaran Kementerian Lingkungan Hidup Rp 376 miliar, dan Departemen Pertahanan Rp 33,6 triliun."

Meskipun rasio hutang terhadap PDB turun dari 57 % pada tahun 2004 menjadi 32% pada 2009 ("Menkeu: Isu Utang ada di Semua Negara" Kompas Mobile diakses 15/6/09 pkl 04:15) akan tetapi itu tidak berkorelasi langsung dengan kesejahteraan rakyat, mengapa? Pertama besaran PDB tidak otomatis menunjukkan pemerataan oleh karena itu penurunan rasio hutang tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kedua, hilangnya kesempatan untuk menyejahterakan rakyat yang tidak tergantikan. Hilangnya kesempatan itu karena penerimaan pajak dipakai untuk membayar hutang. Di sini menunjukkan bahwa pengambil kebijakan publik tidak memahami nilai waktu dari uang. Tentu saja yang dimaksud waktu di sini adalah waktu milik publik bukan orang per orang pemilik modal.

Ukuran rasio hutang terhadap PDB itu dipakai oleh kreditur untuk mempertimbangkan pemberian pinjaman berikutnya, tidak ada korelasinya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu upaya untuk menghapus hutang atau paling tidak menguranginya secara signifikan harus dilakukan. Untuk itu selain diperlukan political will pemerintah juga perlu suatu paradigma baru. Menurut saya nyali untuk menghapus hutang itu banyak tergantung pada suatu paradigma. Berikut ini saya kutipkan makalah saya yang berjudul: "Mengentaskan Kemiskinan dengan Paradigma Baru Demokrasi Ekonomi" yang masuk 10 besar lomba karya tulis LP3ES tahun 2005.

Salah satu permasalahan ekonomi yang dihadapi Indonesia adalah hutang. Hutang luar negeri Indonesia mencapai 130 miliar dollar AS, pada tahun 2004 membayar hutang pokok sebesar Rp 46 triliun dan bunganya Rp 24,375 trilun (lihat tulisan M Fadjroel Rachman, Kompas 23 April 2005 hlm4). Mengenai hutang ini ada beberapa pendapat. Pendapat pertama berasal dari sebagian pejabat pemerintah yang menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu meminta penghapusan atau keringanan hutang. Kedua, karena sebagian hutang dikorupasi oleh pejabat pemrintah maka Indonesia perlu meminta penghapusan sebagian hutang (Jeffrrey A Winters "Utang Kriminal" dalam Membongkar Bank Dunia, JR Pincus & JA Winters, penyunting, 2004, Penerbit Djambatan, Jakarta, hlm 178 ). Ketiga, penghapusan hutang adalah keharusan dan perlu diperjuangkan.

Beberapa orang yang menuntut penghapusan hutang ini di antaranya adalah Ivan A Hadar seorang aktivis LSM. Dalam bukunya yang berjudul Utang, Kemiskinan, dan Globalisasi, Pencarian Solusi Alternatif, Hadar menulis:"Dampak buruk yang ditimbulkan oleh (krisis) utang luar negeri hanya bisa diperbaiki lewat pengurangan atau penghapusan utang" (Ivan A Hadar, 2004, hlm 13). Selain Hadar ada Peter Rosler Garcia dengan tulisannya: "Membayar Utang Merampas Masa Depan" (Kompas 6/04/2005 hlm 4). Membayar semua hutang luar negeri adalah perbuatan jahat terhadap generasi muda, demikian dikatakan Garcia.

Tulisan-tulisan tentang penghapusan hutang di atas memang terkesan emosional dan provokatif. Namun dengan dirumuskannya teori bioekonomi dan neraca HCS maka tuntutan penghapusan hutang negara adalah sesuatu yang rasional dan ilmiah sesuai logika akuntansi yang sehat. Suatu pernyataan bahwa tidak ada negara yang paling maju sekalipun yang bisa hidup tanpa hutang adalah suatu pernyataan yang didasarkan pada pemikiran atau teori ekonomi konvensional (neoliberal maupun keynesian-pen). Seperti dikatakan di atas bahwa ilmu ekonomi negara adalah ilmu ekonomi yang tergolong ilmu ekonomi kelompok. Menurut ilmu ekonomi ini investasi dan produksi tidak dianggap beban, apalagi kalu produksi itu ditujukan untuk ekspor. Dengan teori ini peningkatan GDP adalah suatu kegiatan "ritual" yang harus dilakukan. Investasi juga bukan beban apalagi dengan investasi itu dihasilkan laba dan pajak.

Menurut teori bioekonomi baik produksi, investasi, dan konsumsi adalah suatu beban dari sudut pandang alam atau masyarakat, dimana beban itu hanya bisa dikurangi dengan meningkatkan derma individu, pajak individu, atau melakukan daur ulang kekayaan individu (Hani Putranto, 2004, Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia). Tanpa aktivitas-aktivitas yang terakhir ini, neraca aset-liabilitas baik pada perekonomian negara atau masyarakat akan menghasilakan angka minus yang tinggi. Suatu institusi yang neraca aset-liabilitasnya tidak bisa atau tidak diperkenankan menghasilkan nilai bersih yang surplus, seharusnya diktegorikan institusi non bisnis atau non profit dan pinjaman yang diberikan kepada institusi seperti ini mestinya tidak dikenai bunga. Oleh karen itu dalam kasus tuntutan penghapusan hutang maka yang perlu diprioritaskan adalah penghapusan bunga hutang negara. Hanya individu (sebagai homo economicus) dan perusahaan saja yang neraca aset-liabilitasnya bisa menghasilkan nilai bersih surplus yang boleh dikenai bunga atas pinjaman yang diambil. Menarik bunga atas pinjaman yang diberikan kepada institusi non bisnis tidak bisa dipertanggungjawabkan secara moral.

Sementara itu tuntutan terhadap penghapusan hutang pokok masih cukup rasional untuk dituntut dengan memperhatikan sumber pinjamannya. Peter Rosler Garcia (Kompas 6/04/2005,hlm4) dalam tulisannya mengemukakan bahwa Argentina bisa mendapatkan penghapusan hutang. Sementara Indonesia tidak bisa dengan mudah mengikuti jejak Argentina karena sumber hutangnya berasal dari pinjaman pemerintah luar negeri, lembaga atau bank multinasional. Jumlah ini seperti dikemukakan Garcia mencapai 94%. Menurut Garcia Indonesia masih bisa berunding dengan para pemberi pinjaman. Perundingan ini menurut hemat saya sangat terbuka bila kita juga mau memahami, mau peduli, dan mau berempati pada kondisi pemberi pinjaman. Kalau perangkat bioekonomi dipakai untuk menganalisis perekonomian negara dan masyarakat pemberi pinjaman sebenarnya mereka juga berada pada kesulitan atau beban ekonomi yang tinggi. Bahkan kalau ukuran-ukuran ekonomi konvensional dipakai pun AS, Jerman, dan Jepang juga berada dalam kesulitan (lihat Kompas 18 Maret 2006 hlm 2 dalam berita yang berjudul "Jerman, Raksasa yang Lunglai" atau tulisan Tonny A Prasetiantono, Kompas 5 Februari 2002 yang berjudul:"Utang, Suatu 'Hororm Global" dimana hutang pemerintah Jepang sangat besar yaitu 140% dari PDB-nya). Sekali lagi perlu diingatkan bahwa kita tidak bisa menilai mereka dari GDP-nya. Kalau hutang-hutang individu kepada alam bisa dikembalikan atau dengan kata lain kekayaan individu bisa didaur ulang seperti harapan teori bioekonomi, negara asing pemberi pinjaman akan mengalami perbaikan ekonomi baik pada perekonomian negara atau masyarakatnya yang bisa kita pakai untuk menuntut penghapusan hutang Indonesia. Tentu saja tuntutan penghapusan pinjamn ini juga harus berada pada paradigma baru demokrasi ekonomi, dari konsumen, oleh konsumen, untuk konsumen. Dengan paradigma baru ini penghapusan pinjaman tidak memerlukan syarat apapun dari Indonesia baik syarat politik, ekonomi, atau lainnya.

Demikian kutipan tulisan saya, penghapusan hutang selain memerlukan political will pemerintah, perundingan, juga memerlukan paradigma baru. Semoga dimengerti.

Sabtu, 13 Juni 2009

Chatib Basri Tetap Neolib, Tidak Mengerti Konsep PDB

Perubahan besar terjadi bila masing-masing orang mengubah paradigmanya dari paradigma lama menuju paradigma baru yang akomodatif terhadap biososioekonomi. Namun agaknya hal ini belum terjadi. Terbukti dengan pernyataan timnas pasangan capres-cawapres SBY-Boediono, Chatib Basri yang masih mengandalkan utang dan investasi (ekonomi) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (publik). Chatib Basri tetap neolib dan tidak mengerti konsep PDB.

Penilaian saya ini saya lakukan setelah membaca berita yang berjudul "Mungkinkah Pertumbuhan Ekonomi Dua Digit?" di Kompas Mobile 11-06-2009 (pkl 4:49). Memang debat neolib-kerakyatan dalam kampanye pilpres kurang bermutu karena tidak menyentuh substansi dasarnya. Kita memang tidak bisa berharap banyak dari debat seperti itu. Akan tetapi paradigma neolib yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat sudah seharusnya ditinggalkan oleh siapapun.

Dalam berita tersebut Chatib Basri menyatakan: Logikanya jika hendak mencapai pertumbuhan ekonomi dua digit, kata Basri, Indonesia harus menganggarkan dana investasi sebesar 40 persen dari PDB. Mungkinkah? "Jika demikian, Indonesia harus mencari pinjaman luar negeri untuk mencukupi 15 persen sisanya. Mencari pinjaman luar negri berarti harus terbuka terhadap investor asing" ujar Basri.
Atau alternatif lainnya, pemerintah harus memotong konsumsi negara dan masyarakat sehingga dapat berinvestasi lebih banyak. Pinjaman dana asing bisa terhambat karena Mega-Pro menjanjikan penjadwalan kembali utang asing Indonesia, Padahal, jenis utang Indonesia saat ini bukan lagi bersifat multilateral.

Kesejahteraan rakyat (publik) sebenarnya tidak tergantung langsung pada investasi ekonomi. Hasil investasi ekonomi adalah laba bagi pemilik modal. Kalau dalam investasi menghasilkan lapangan kerja itu hanya efek samping. Kesejahteraan rakyat berbanding langsung pada pemasukan bagi pemerintah dan masyarakat. Yang dimaksud masyarakat di sini adalah secara makro bukan orang per orang. Pemasukan itu berupa pajak dan derma (termasuk daur ulang kekayaan pribadi seperti dalam biososioekonomi). Meningkatkan nisbah pajak dan "nisbah kedermawanan" merupakan syarat utama mencapai kesejahteraan publik atau kesejahteraan makro. Peningkatan itu bisa dilakukan kalau fokus pada orang bukan pada institusi bisnis. Manusia memiliki etos sosial tinggi sementara perusahaan tidak.

Saya berharap semua pihak ingat bahwa PDB adalah pendapatan individual tahunan. Kalau nisbah pajak hanya 16% dari PDB itu kecil sekali dibanding total aset individual. Pemasukan bagi publik (pemerintah dan masyarakat) masih bisa ditingkatkan. Keterpakuan pada angka pertumbuhan PDB harus ditinggalkan, debat pertumbuhan PDB menjadi tidak bermutu.

Kalau mau tidak neolib, yang harus ditanyakan pada capres-cawapres adalah nisbah pajak setinggi apa yang ingin dicapai dan kerjasama seperti apa yang akan dilakukan dengan civil society untuk meningkatkan kedermawanan anggota masyarakat dan memulai daur ulang kekayaan?

Kamis, 11 Juni 2009

Desakralisasi Jabatan Presiden

Berikut ini saya tampilkan tulisan saya yang saya tulis 7 Februari 2004 dan saya kirimkan ke sebuah koran nasional tetapi tidak dimuat.

Menurut filsafat politik, sebuah negara demokrasi moderen tidak memerlukan seorang presiden yang mendapat legitimasi wahyu. Seorang presiden hanya perlu legitimasi demokratis. Berbagai upaya untuk mendesakralisasi jabatan presiden telah dilakukan oleh berbagai pihak.

Namun demikian sebagian anggota masyarakat masih menganggap presiden RI harus memiliki wahyu atau merupakan figur sakral. Lihat saja komentar Djuanda di majalah Fokus edisi 9-23 Januari 2004 bahwa capres yang punya kans tak jauh dari figur-figur "kerajaan" atau orang berpangkat, juga komentar Suhardiman majalah dan edisi yang sama yang mengkaitkan satrio piningit dengan presiden RI.

Akan halnya anggapan jabatan presiden yang sakral memang sudah ada sejak RI merdeka. Kita tidak memungkiri bahwa berkat karisma Soekarno pula rakyat di Nusantara bisa digerakkan dan berjuang bersama-sama memerdekakan RI. Namun anggapan jabatan presiden RI adalah sakral tentu sangat mengganggu proses pelembagaan demokrasi di negara kita.

Menurut Karl R Ropper masyarakat terbuka adalah masyarakat yang percaya pada, akal, kebebasan, dan persaudaraan antar seluruh umat manusia (Popper, Karl R 2001, hlm 228. Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Terj dari The Open Society and Its Enemies, Princeton University Press, New Jersey, 1950). Bersikap rasional kritis terhadap hal-hal yang mistis seperti wahyu juga merupakan bagian dari ciri masyarakat terbuka. Maka upaya untuk mendesakralisasi jabatan presiden juga perlu melibatkan sikap rasional kritis terhadap wahyu. Rasional kritis dibedakan dengan rasional buta dimana sikap rasional buta menolak mentah-mentah terhadap semua hal yang mistis termasuk agama.

"The Lost Mataram"

Yang perlu dicermati dan dikritisi tentang sakralnya jabatan presiden adalah pengaruh sejarah dan budaya Jawa. Kita akan mengalami kesulitan yang serius dalam mendesakralisasi jabatan presiden manakala kita tidak mau mengkritisi apa yang terjadi dan apa yang dipercayai oleh masyarakat Jawa. Runtuhya Majapahit kemudian disusul kekacauan politik sepanjang abad 16 dan kemudian masuknya penjajah Belanda telah membuat masyarakat Jawa rindu akan suatu jaman yang penuh dengan keadilan, kedamaian, dan kemakmuran yang dipimpin oleh seseorang yang dipercaya memperoleh wahyu kedaton. Yang kemudian terjadi adalah sosok itu dianggap atau diwujudkan sebagai sosok presiden RI. Padahal belum tentu demikian.

Dengan mengembalikan kepercayaan masyarakat Jawa akan wahyu kedaton ke dalam budaya asalnya (Jawa) dan tidak mengkaitkannya dengan presiden RI akan membuat kita memiliki peluang besar untuk membantu mendesakralisasi jabatan presiden. Hal ini bukan suatu hal yang mustahil kalau kita mencermati sejarah Jawa dan membuka suatu wacana tentang Mataram yang hilang atau the lost Mataram.

Menurut sejarah yang umum dikenal, Mataram (Kotagede) ditaklukkan oleh Trenggana dari Demak (Dr. R. Soekmono, 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan, jilid III, Penerbit Kanisius, Yogyakarta). Kemudian karena Demak jatuh tangan Pajang, Mataram pun menjadi bawahan Pajang. Oleh penguasa Pajang, Hadiwijaya, Mataram diberikan kepada Pamanahan karena jasanya membantu Hadiwijaya menaklukkan Aria Panangsang. Senapati anak Pamanahan kemudian mendirikan apa yang disebut Kerajaan Mataram atau sering juga disebut Mataram Baru Mataram II yang sebelumnya bersitegang dengan Hadiwijya.

Yang perlu dicermati di sini tentu bukan asal-usul Pamanahan yang dianggap rendah tetapi Pamanahan sendiri bukan orang Mataram. Menurut Babad Tanah Jawi, leluhur Pamanahan adalah orang Sela, suatu daerah sekitar Purwodadi Jawa Tengah Bagian Utara. Sejarawan Belanda HJ De Graaf agak kesulitan menelusuri asal-usul Pamanahan dan untuk mudahnya menganggapnya dari Sela (De Graaf HJ, 2OO1, hlm 27. Awal Kebangkitan Mataram, masa Pemerintahan Senapati, cetakan III, Penerbit Pustaka Utama Grafiti-KITLV, Jakarta. Terj Dari De Regering van Panembahan Senapati Ingalaga, KITLV, Leiden, 1954).De Graaf agak meragukan peran Pamanahan dalam membantu Hadiwijaya menaklukkan Aria Panangsang. Dengan mempertimbangkan sumber tertulis orang Belanda yang mengutip sumber Jawa Barat De Graaf memiliki keyakinan sbb: "Berita-berita tua dan agak meyakinkan mengenai penaklukan dengan kekerasan atas Mataram kiranya lebih dapat diterima"(hlm 63). Pendapat De Graaf mungkin masih bisa didebat karena yang ditaklukkan oleh orang-orang Sela itu bukan Mataram (Kotagede) tetapi wilayah yang kurang lebih 20 km di sebelah baratdayanya yang disebut Perdikan Mangir (sekarang Kab. Bantul). Berita tertulis mengenai Perdikan Mangir memang langka, berdasarkan cerita tutur masyarakat Jawa memang perdikan itu ditaklukkan dengan kekerasan dan kelicikan oleh Senapati.

Dari berita-berita yang agak simpang siur itu jelaslah bahwa Mataram sebenarnya sudah hilang. Lenyapnya Mataram makin sempurna manakala Perdikan Mangir yang nota bene masih berada dalam wilayah mistis atau wilayah spiritual Kerajaan Mataram karena letaknya berada di sebelah timur K Progo dan barat K Opak ditaklukkan dengan kekerasan. Apa yang disebut pemerintahan Senapati mestinya lebih tepat disebut pemerintahan pendudukan. Tanpa menyinggung Mangir De Graaf menulis sbb: "Jadi, jika dibersihkan dari segala tulisan rekaan, maka tinggallah sisa catatan yang mengisahkan bahwa di daerah Mataram ada juga keluarga-keluarga tua yang memandang Kiai Gede Pamanahan dan kaumnya sebagai penyusup dan perampas hak-hak lama" (hlm68).

Misteri Wahyu Kedaton dan Desakralisasi Jabatan Presiden

Mengkaitkan wahyu kedaton dengan presiden RI tentunya adalah suatu tindakan yang tidak rasional kritis dan tentu merupakan hal yang tabu, lain halnya kalau dikaitkan dengan raja. Akan halnya Senapati bisa berhasil menjadi raja menurut keyakinan orang Jawa karena mendapat wahyu kedaton. Dari Babad Tanah Djawi kita mengetahui bahwa menurut ramalan Sunan Giri di Mataram akan dilahirkan seorang raja besar seperti Hadiwijaya (Graaf hlm 58). Juga diramalkan bahwa keturunan Pamanahan akan menjadi raja (Graaf hlm 82). Namun demikian bahwa yang dimaksud Mataram dalam ramalan Sunan Giri adalah Mataram Senapati tetap merupakan misteri karena janinnya Pambayun-Ki Ageng Mangir_yang menurut sumber sejarah yang bisa dipercaya tidak diketahui keberadaannya_mestinya keturunan Pamanahan juga. Menurut keyakinan orang Jawa, Mataram akan makmur bila terjadi perkawinan antara K Progo dan K Opak (Sindhunata, Bayang-bayang Ratu Adil hlm 356). Saya tidak tahu sejak jaman apa ramalan ini ada yang jelas ramalan ini telah dimonumenkan menjadi Selokan Mataram pada abad ke-20 dan hanya ada satu wahyu untuk wilayah itu (hlm 361). Karena masyarakat mengalami keterpurukan ekonomi dan ketidakjelasan (bagi sebagian orang-pen)wahyu itu berada di mana maka wahyu itu menjadi ganjalan dalam keyakinan dan pikiran orang Jawa sampai hari ini. Karena masalah wahyu ini adalah masalah orang Jawa maka masalah ini harus dikembalikan kepada masyarakat Jawa dan tidak perlu dikait-kaitkan dengan jabatan presiden RI. Kalau toh nanti nuncul Raja Mataram kembar tentunya tidak perlu dipermasalahkan. Di Cirebon baru-baru ini ada Sultan kembar yang tidak mengganggu kehidupan nasional. Lagipula nama Mataram telah dipakai oleh berbagai daerah di Indonesia seperti di NTB dan di Lampung.

Rekonsiliasi dan Mencerdaskan Bangsa

Yang lebih penting dari wahyu kedaton itu adalah makna mataram sendiri. Terjemahan bebas kata mataram adalah pengetahuan yang direstui atau pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak (bdk Sindhunata, hlm 359). Dari sini kita bisa mengambil makna bahwa spirit mataram itu adalah mencerdaskan kehidupan bangsa seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Proses pembodohan yang terjadi selama rezim Orba mestinya bukan merupakan spirit dan budaya Mataram Soeharto tidak mewakili keluarga tua Mataram dan hanya mengikut Mataram Senapati tanpa kritis. Mataram sudah hilang lebih dari 400 tahun lalu tanpa dimengerti Soeharto. Tanpa pencerdasan bangsa upaya untuk mendorong kontestan pemilu berorientasi pada program hanyalah ilusi, rakyat hanya mengerti simbol.

Selain itu makna dari ramalan Jawa tentang perkawinan kedua sungai itu adalah cinta dan rekonsiliasi. Keadilan dan kemakmuran mestinya terjadi karena cinta dan rekonsiliasi bukan kekerasan dan kelicikan.

Minggu, 07 Juni 2009

Pengalaman Saya dengan Pemenang Pilpres 2004 dan Harapan Saya terhadap Pemenang Pilpres 2009

Tiga pasangan capres dan cawapres telah ditetapkan KPU (Komisi Pemilihan Umum), serta kampanye Pilpres 2009 telah dimulai. Sebagai salah seorang anak bangsa, saya perlu menyampaikan pendapat dan pengalaman saya. Ini bukan berkaitan dengan dukung-mendukung. Perjuangan mewujudkan demokrasi ekonomi dengan biososioekonomi sebagai pedoman teoritisnya tidak tergantung pilpres dan siapa presidennya. Namun demikian ada hal-hal yang perlu saya sampaikan melalui blog saya ini.

Pada saat buku saya, Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia terbit, telah terjadi peralihan kekuasaan dari pemerintah lama kepada pemenang pilpres 2004. Seminar pertama saya sampaikan tanggal 2 Nopember 2004 dalam seminar bulanan di PUSTEP UGM. Beberapa pejabat tinggi pemerintah pemenang pilpres 2004 saya kirimi buku saya. Namun tidak ada respon dari pemerintah. Tidak ada perhatian sama sekali atas inisiatif dan karya anak bangsa. Kalau pemerintah ragu-ragu dengan teori ekonomi makro rumusan saya, seharusnya pemerintah membentuk tim ahli untuk mengkajinya. Hal ini tidak dilakukan. Inilah salah satu tanda bahwa pemerintah tidak benar-benar pro rakyat.

Kini mereka berpisah dan masing-masing mengajukan diri sebagai calon presiden dalam pilpres 2009 ini. Saya tidak tahu pasti siapa yang harus bertanggung jawab dalam kaitannya dengan teori ekonomi makro baru rumusan saya. Teori ekonomi saya itu benar-benar jalan ketiga atau jalan tengah yang pro rakyat.

Seorang capres yang mengklaim pro rakyat belum tentu bisa memenuhi janjinya. Sementara seorang capres yang nyata-nyata tidak peduli dengan teori ekonomi rumusan saya mungkin masih bisa berubah, mungkin juga tidak.

Menjadi golput mungkin merupakan salah satu pilihan bagi sebagian orang. Akan tetapi, menurut hemat saya, dengan ikut memilih kita bisa lebih memiliki keberanian moral untuk menuntut pertanggungjawaban. Bila pilihan kita memenangi pilpres 2009, kita tetap harus mengontrolnya agar tetap pro rakyat dan tidak menyimpang dari konstitusi. Demikian juga bila pilihan kita tidak memenangi pilpres 2009, kita tetap harus mengontrol pemenang pilpres 2009.

Seperti saya kemukakan di atas, perjuangan mewujudkan demokrasi ekonomi dengan biososioekonomi sebagai pedoman teoritisnya, tidak tergantung pilpres dan pemenang pilpres 2009. Akan tetapi ada baiknya kalau kita bisa mendapatkan presiden yang selain menghormati konstitusi dan konsensus nasional juga sekaligus pro rakyat dan berani berpartisipasi mewujudkan demokrasi ekonomi. Sebagai anak bangsa harapan saya pribadi bisa mendapatkan presiden yang selain seperti saya kemukakan di atas juga seorang presiden yang supel bergaul dengan tokoh-tokoh masyarakat atau pusat-pusat pengaruh dalam civil society. Dengan memiliki presiden yang supel saya lebih yakin bisa mewujudkan demokrasi ekonomi dengan mendorong memaksimalkan etos sosial atau kedermawanan sosial anggota masyarakat. Semoga.

Rabu, 03 Juni 2009

Kelemahan Konsep PDB dan Pertumbuhan PDB

Berikut ini saya kutipkan pendapat saya dari makalah yang saya sampaikan dalam Karya Tulis 2025, lomba karya tulis yang diadakan Bank Indonesia tahun 2006.

Pengkajian terhadap masalah ekonomi dan politik sering tidak mempermasalahkan konsep PDB. Padahal konsep ini mengandung kelemahan yang membahayakan lingkungan hidup dan hubungan antar negara. Kita harus mencermati konsep PDB ini dengan baik. Konsep PDB dianggap sebagai ukuran kesejahteraan suatu bangsa. Sementara pertumbuhan PDB dianggap sebagai pertumbuhan ekonomi dan dianggap sebagai pertumbuhan kesejahteraan. Benarkah demikian?

Konsep PDB atau GDB adalah sebagai berikut: "GDP adalah nilai pasar keluaran total sebuah negara. Itu adalah nilai pasar semua barang jadi dan jasa akhir yang diproduksi selama periode tertentu oleh faktor-faktor produksi yang berlokasi di sebuah negara" (Case & Fair, 2002, hlm 23). Ada dua pendekatan yang bisa dipakai untuk menghitung PDB yaitu atas dasar pengeluaran dan pendapatan. Pengeluaran pihak yang satu merupakan pendapatan bagi pihak lain, sehingga penghitungan dengan dua pendekatan itu akan menghasilkan angka yang sama. Dalam penghitungan dengan menggunakan pendekatan pendapatan itu memasukkan beberapa hal antara lain pendapatan karyawan, laba perusahaan PT, laba perusahaan perorangan, bunga netto (bunga yang dibayar perusahaan) dan pendapatan sewa.

Ada beberapa hal yang perlu dicatat dan diperhatikan mengenai konsep PDB ini. Pertama, kalau PDB suatu negara, pada tahun 2004 misalnya adalah 3.000 triliun rupiah, itu berarti meliputi beberapa pendapatan termasuk laba PT dan gaji karyawan seperti diperinci di atas. Kalau pada 2005 PDB negara tadi tumbuh menjadi 3.150 triliun rupiah maka secara total ada peningkatan. Tetapi harap diingat bahwa hal ini hanya merupakan gambaran total. Bahwa di negara tadi ada yang pendapatannya turun atau tetap tidak terlihat pada angka PDB.

Kedua, PDB hanya mencatat pendapatan dalam satu periode, umumnya satu tahun. PDB tidak mencatat akumulasi kekayaan individu (rumah tangga) dalam waktu bertahun-tahun, mulai seseorang produktif sampai sampai pensiun atau meninggal. PDB juga tidak mencatat akumulasi kekayaan individu karena warisan. Akumulasi kekayaan individu itu antara lain masuk ke dalam sistem perbankan sebagai tabungan (deposito). Kemudian oleh bank dipinjamkan kepada pihak lain, dan yang dicatat oleh PDB hanya bunga yang dibayarkan oleh perusahaan.

Ketiga, ada kelompok individu (rumah tangga) yang pendaptannya kurang atau pas-pasan habis dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan pokok tanpa mampu mengakumulasikan modal dalam hidupnya. Sementara ada kelompok lain yang pendapatannya begitu besar jauh di atas kebutuhan minimum sehingga mampu mengakumulasikan modal dalam jumlah besar. Hal ini tidak terlihat pada angka PDB atau pertumbuhan PDB.

Keempat, apabila pertumbuhan PDB nol persen bukan berarti tidak ada pendapatan atau tidak ada laba yang diciptakan. Individu-individu tertentu yang pendapatannya berlebihan tetap saja bisa mengakumulasikan kelebihan pendapatannya. Pertumbuhan PDB nol persen tidak berarti pertumbuhan kekayaan seseorang juga nol persen.

Dari uraian tentang konsep PDB dalam teori ekonomi konvensional (neoklasik maupun keynesian-pen) dan catatan yang penulis berikan maka jelaslah bahwa konsep PDB maupun pertumbuhan PDB merupakan konsep yang tidak bisa mengungkap kesejahteraan rakyat secara jelas. Konsep PDB dalam teori ekonomi konvensional menurut hemat penulis adalah konsep ekonomi yang semi politik. Dikatakan semi politik karena di dalamnya memasukkan unsur negara. PDB adalah nilai pasar keluaran total sebuah negara.

Kelihatan bahwa di sini teori ekonomi telah menjadi sub ordinat teori politik. Ukuran kesejahteraan seharusnya tidak disekat oleh batas-batas negara. Negara adalah perkembangan historis kultural suatu masyarakat. Sementara masalah ekonomi adalah masalah kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan hidup yang telah ada sejak manusia ada sebelum mengenal konsep politik dan sebelum mengenal negara.

Demikian kutipan saya. Seomga menjadi bahan pemikiran yang serius.