Selasa, 25 Januari 2011

Merasakan Beban Rakyat

Seorang pejabat publik yang gajinya jauh di atas KHL (kebutuhan hidup layak yang di DKI sebesar Rp 1.401.829 per bulan) seharusnya tidak memikirkan lagi naik atau tidak gajinya hanya dengan alasan inflasi. Pejabat publik itu perlu berempati dan merasakan bebab hidup rakyat. Dia harus memahami dan menghayati beban yang ditanggung rakyat. Meskipun namanya pejabat publik tetapi semua milik pribadinya yang berupa deposito, saham, properti adalah liabilitas bagi publik secara makro. Seharusnya dengan gaji yang begitu besar ia menolak setiap upaya untuk menaikkan gajinya.

Beban hidup rakyat sangat berat. Jangan salah menginterpretasikan angka pertumbuhan PDB sebagai ukuran peningkatan kesejahteraan rakyat. Berikut ini saya sampaikan "potret" hidup rakyat dengan beban dan suka dukanya. Sejak kenaikan harga BBM beberapa tahun lalu tidak sedikit unit-unit ekonomi individu atau rumah tangga yang melakukan efisiensi dengan menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasinya. Di satu sisi memang meningkatkan penjualan sepeda motor tetapi di sisi lain membuat sepi penumpang angkutan umum. Di sebuah trayek metro mini Blok M-Pondok Labu sudah menjadi pemandangan yang biasa metro mini tanpa kondektur atau mempekerjakan anak-anak atau perempuan untuk membantu sopir sekedar memungut ongkos angkutan demi efisiensi. Ini berbeda dengan beberapa tahun lalu sebelum kenaikan harga BBM yang lebih dari 100% itu. Gambaran besarnya beban hidup rakyat tidak hanya itu. Penumpang metro mini yang sedikit itu harus berbagi rejeki dengan pengamen. Saya pernah menjumpai bahwa dalam perjalanan dari Jl Panglima Polim sampai dengan perempatan Fatmawati-TB Simatupang ada 6 kelompok pengamen yang setiap kelompok terdiri paling tidak 2 orang. Artinya paling tidak ada 12 orang yang mengais rejeki dengan cara itu. Dalam perjalanan yang kurang lebih memakan waktu 40 menit itu berarti setiap 7 menit ada kelompok pengamen yang manggung.

Itu sekedar gambaran betapa berat beban yang ditanggung rakyat kecil yang penghasilannya pas-pasan. Sementara itu rakyat kecil juga tidak lepas dari ancaman tindak kriminal. Kemarin hari Senin saya mendengar berita langsung dari korban, seorang penjual makanan di salah satu sudut di Kebayoran Baru yang membuka warungnya di dekat sekolah negeri dan sekolah swasta Islam bahwa warungnya dibobol pencuri. Tentu itu semua sekedar cuplikan dari apa yang saya lihat atau saya dengar, banyak kejadian dan kesengsaraan rakyat yang tidak saya lihat atau tidak saya laporkan di blog ini.

Besarnya beban yang harus ditanggung rakyat seharusnya menjadi bahan renungan dan mawas diri bagi pejabat publik. Pejabat publik harus mengubah sikap dan paradigmanya. Mereka harus memahami dan ikut merasakan beban rakyat, salah satu caranya adalah dengan mempelajari teori ekonomi makro biososioekonomi di mana menurut biosoioekonomi semua milik individu _baik individu yang bekerja di swasta atau pegawai negeri_ adalah liabilitas bagi publik. Janganlah menambah beban publik dan rakyat dengan sikap dan paradigma yang tidak baik.

Jumat, 21 Januari 2011

Berubah Pada Kapasitas dan Jabatannya Masing-masing.

Seperti sering saya sampaikan di blog ini bahwa jaman baru, jaman keemasan menuntut kita untuk berubah sesuai dengan kapasitas dan jabatan kita masing-masing. Sayangnya perubahan seperti ini belum terlihat pada pejabat pemerintah yang saat ini sedang diberi mandat oleh rakyat. Setelah pertemuan dengan tokoh lintas agama, Presiden menginstruksikan kepada para menterinya untuk memberi penjelasan kepada publik program kerja dan pencapaian pemerintah. Tindakan seperti itu jelas menunjukkan tidak adanya perubahan.

Di luar pejabat pemerintah perubahan juga dituntut pada kita semua. Setelah kritik tokoh-tokoh lintas agama, sekarang seharusnya giliran para akedemisi, ilmuwan, dan cendekiawan yang jujur menolak penggunaan peningkatan PDB(GDP), GNP, dan garis kemiskinan sebagai ukuran yang mau mencoba menggambarkan kesejahteraan rakyat. Apakah orang yang tingkat konsumsi atau pendaptannya 1 atau 10 sen di atas garis kemiskinan berarti sudah terbebas dari kemiskinan? Tidak bukan? Mengenai kelemahan konsep PDB sudah saya tulis di blog ini. Demikian juga penggunaan istilah pertumbuhan ekonomi untuk menunjuk pertumbuhan PDB ataupun GNP harus diakhiri. Istilah pertumbuhan ekonomi itu menyesatkan dan membutakan mata banyak orang. Sebut saja pertumbuhan PDB/GDP atau pertumbuhan GNP.

Kita memang harus menyelesaikan kasus korupsi, mafia atau penyelewengan pajak namun demikian masalah yang paling pokok yaitu demokrasi ekonomi jangan malah dilupakan. Kalau demokrasi ekonomi/biososioekonomi berjalan saya rasa kasus penyelewengan atau korupsi juga bisa diminimalisir, demikian juga banyak persoalan bisa diatasi. Dalam sistem yang menjalankan demokrasi ekonomi (biososioekonomi) mencari rejeki menjadi mudah, orang tak perlu mengkhawatirkan masa depan karena secara makro sistem stabil dan dijamin mampu membayar semua kewajibannya
.
Perubahan ke arah itu menuntut kita berubah pada kapasitas dan jabatan kita masing-masing.

Selasa, 18 Januari 2011

Mengawal Kepentingan Publik dan Jalannya Pemerintahan

Patut disayangkan bahwa rapat atau dialog antara pemerintah dengan tokoh-tokoh lintas agama Senin malam (17/1/2011) tidak (belum) menghasilkan sesuatu yang konkret (http://m.kompas.com/news/read/data/2011.01.18.03483538). Sebelumnya tokoh-tokoh lintas agama dan perwakilan pemuda menyampaikan kritik kepada pemerintah dengan bahasa yang lugas. Terminologi yang digunakan adalah sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru. Beberapa pihak menyayangkan reaksi negatif pemerintah atas kritik tersebut. Kemudian digelar rapat atau dialog dengan tokoh-tokoh lintas agama itu selama lima jam.

Kita prihatin dengan kondisi sosial masyarakat, kondisi berbangsa-bernegara, dan cara-cara pemerintah menanganinya. Keprihatinan itu pula yang disuarakan para tokoh-tokoh lintas agama. Dalam hal kesejahteraan rakyat atau kesejahteraan publik, pemerintah masih saja menggunakan paradigma lama yang neolib dan tidak pro rakyat (pro publik). Lebih memprihatinkan lagi kalau pemerintah bereaksi negatif terhadap kritik tokoh-tokoh lintas agama. Justru seharusnya pemerintah terbuka terhadap pusat pengaruh di dalam civil society.
Tokoh-tokoh lintas agama adalah salah satu pusat pengaruh dalam civil society yang bisa diajak bekerjasma meningkatakan pendapatan publik yang berupa derma dan daur ulang kekayaan individu. Seperti sering saya jelaskan di dalam blog ini
bahwa kesejahteraan rakyat dan publik yang memadai sangat tergantung langsung pada pendapatan publik (pajak, derma, daur ulang kekayaam individu) yang dikelola sedemikian rupa sehingga aset publik sama dengan liabilitasnya. Sayang kalau kesempatan dialog itu tidak dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah untuk bekerja sama dengan civil society. Besarnya tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dan publik menuntut pemerintah untuk bekerja sama dengan civil society bukan bekerja sendiri, apalagi bekerja sendiri seadanya dengan lebih mengutamakan pencitraan dan pelanggengan kekuasaan.

Selepas rapat atau dialog itu kita semua tetap harus mengawal kepentingan publik dan jalannya pemerintahan dan mendesak pemerintah melakukan tindakan konkret. Jangan berhenti dan puas dengan janji-janji baru.



Selasa, 11 Januari 2011

Sekedar Mengingatkan

Postingan sederhana ini sekedar mengingatkan di awal tahun saat kita harus bekerja lebih cerdas dan lebih keras. Seperti biasanya menjelang akhir tahun, prospek dan proyeksi ekonomi Indonesia tahun 2011 banyak dipaparkan media massa. Pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan PDB masih menjadi ukuran untuk mencapai kondisi ekonomi yang lebih baik.

Postingan ini sekedar mengingatkan bahwa pertumbuhan PDB di negara berkembang seperti Indonesia memang masih memungkinkan namun semua itu harus melalui proses yang sehat menurut ukuran ekonomi publik kerakyatan. Pertumbuhan PDB negara berkembang yang sehat terjadi karena terjadinya peningkatan pendapatan publik (pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu) yang kemudian dikelola berdasarkan prinsip-prinsip biososioekonomi. Secara teoritis bisa dikatakan bahwa di negara berkembang yang PDB-nya masih rendah peningkatan pendapatan publik yang dikelola sesuai prinsip-prinsip biososioekonomi otomatis akan meningkatkan pendapatan individual total (PDB). Itulah peningkatan PDB yang sehat.

Sementara itu peningkatan PDB yang terjadi karena masuknya investor asing (baik portofolio atau foreign direct investment/FDI), maupun karena hutang publik (pemerintah) adalah peningkatan PDB yang tidak sehat. Peningkatan investor asing portofolio bisa menimbulkan masalah kalau terjadi pembalikan sehingga menimbulkan gejolak kurs valas atau meningkatnya beban yang harus ditanggung bank sentral untuk melakukan intervensi (stabilisasi). Sementara itu yang namanya FDI sekalipun tidak bermanfaat langsung bagi ekonomi publik kerakyatan karena porsi keuntungan terbesar akan jatuh pada pemilik modal, sementara rakyat dan ekonomi publik hanya mendapat remah-remahnya.

Hutang pemerintah adalah tanda bahwa suatu unit ekonomi tidak dikelola dengan baik karena hutang itu menunjukkan bahwa unit ekonomi itu pendapatannya kurang. Peningkatan PDB yang dibiayai dengan hutang pemerintah tidak banyak bermanfaat bagi ekonomi publik kerakyatan karena publik harus membayar bunganya sementara sebagian hutang itu dipakai membayar gaji pegawai yang komponennya meliputi dana untuk membeli rumah pribadi sehingga tetap membuat liabilitas publik lebih tinggi dari asetnya.

Meskipun pertumbuhan PDB Indonesia sangat baik tetapi tidak berada pada jalur yang sehat menurut ukuran ekonomi publik kerakyatan. Peningkatan PDB akan bekorelasi langsung dengan peningkatan aset individual di mana aset individual adalah liabilitas bagi publik. Liabilitas publik yang lebih tinggi dari aset publik adalah akar masalah krisis yang sebanarnya, baik krisis yang disertai gejolak moneter-keuangan atau silent crisis. Krisis yang disertai gejolak moneter-keuangan masih tetap berpotensi terjadi di masa mendatang di Indonesia, entah kapan waktunya. Sementara silent crisis sudah terjadi ketika bunga bank nol atau minus bila dikoreksi dengan inflasi. Silent crisis membunuh rakyat secara perlahan-lahan karena menggerus daya belinya secara perlahan tapi pasti.

Semoga postingan sederhana ini dimengerti pemangku kepentingan publik.

Sabtu, 08 Januari 2011

"Saya ini Ksatria..."

Di dalam ilmu marketing, guna memudahkan penetrasi pasar dibuatlah kategori konsumen berdasarkan pengeluarannya menjadi kelas A, B, C, D, dan E. Kelas A paling tinggi pengeluarannya sehingga sering disebut kelas premium. Demikian dalam ilmu marketing. Pengkategorian seperti itu wajar kalau hanya digunakan dalam lingkup terbatas di kalangan profesi marketer. Akan sangat berbahaya kalau pengkategorian seperti itu terbawa sampai dalam pergaulan sosial sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara. Jauh lebih berbahaya dari sistem kasta. Mengapa?

Pengkategorian konsumen di atas berdasarkan pengeluarannya yang berkorelasi juga dengan besarnya kekayaan atau pendapatannya. Sementara sistem kasta tidak berdasarkan kekayaan. Kasta tertinggi brahmana tidak otomatis paling kaya. Kasta ksatria meskipun bisa memegang jabatan pemerintahan sebagai raja tidak ditempatkan di atas kasta brahmana (maka jaman dulu di P Jawa tidak ada tradisi pendeta menyembah raja). Seorang pedagang atau saudagar bisa lebih kaya dari kasta ksatria tetapi tidak di tempatkan di atas kasta ksatria. Maka pengkategorian kelas berdasarkan kekayaan seperti kadang dipraktekkan oleh sebagian orang dalam bermasyarakat dan bernegara sangatlah berbahaya karena akan menjadikan uang/harta sebagai penguasa yang sulit dikontrol. Mungkin kelakuan seperti ini yang terjadi pada kasus penyelewengan pajak Gayus.

Seorang pejabat publik seharusnya berdiri tegak di hadapan para pemilik modal yang jauh lebih kaya dari padanya bukan karena pejabat tadi adalah kasta ksatria tetapi karena ia pejabat publik yang bertanggung jawab pada kepentingan publik. Kita patut prihatin melihat pejabat publik yang tidak bisa berdiri tegak di hadapan pemilik modal. Kita prihatin melihat pejabat publik yang menghamba pada pemilik modal.

Di dalam pilpres 2009 ada seorang calon presiden yang karena merasa dirinya dikroyok kemudian mengatakan:"Saya ini ksatria...."
Kini rakyat sedang menunggu janji-janji kampanye termasuk keberaniannya untuk berdiri tegak di hadapan pemilik modal yang membandel tidak mau membayar pajak atau berusaha menurunkan kewajibannya membayar pajak. Kalau tidak rakyat akan sinis. Ksatria kok menghamba pada pemilik modal.

Selasa, 04 Januari 2011

Menyambut Jaman Baru dengan Sama-sama Belajar

Ketika kalender menunjukkan tanggal 1 Januari 2011 kita memasuki tahun baru. Suatu pergantian tahun yang sangat jelas bagi semua orang. Berbeda dengan tahun baru, jaman baru tidak mudah dikenali atau ditentukan. Memang baik kearifan lokal maupun Kitab Suci memberi petunjuk akan adanya peralihan jaman. Tanda-tanda yang menyertai peralihan jaman itu adalah gunung meletus, gempa bumi, tsunami, hujan es, hujan-angin salah musim, kelaparan dan sebagainya. Meskipun demikian tidak sedikit yang mengabaikan atau tidak mempercayai hal-hal seperti itu, yang terjadi selama 10 tahun terakhir dan terutama sepanjang tahun 2010 ini, sebagi tanda-tanda peralihan jaman. Memang kita tidak bisa memastikan apakah segala kejadian itu adalah puncaknya atau masih akan ada yang lebih dahsyat lagi. Tetapi dibanding jaman baru, tahun baru lebih mudah dikenali atau ditentukan.

Tahun baru disambut dengan pesta kembang api dan hura-hura. Tetapi mengyambut jaman baru? Banyak orang yang belum memiliki sikap dan tindakan menyambut jaman baru. Tidak sedikit orang yang menganggap biasa saja, business as usual. Pesta kembang api tahun baru adalah pesta rutin menyambut tahun baru. Kemudian orang kembali pada rutinitas, business as usual.

Beberapa orang memang peka terhadap tanda-tanda jaman dan siap menyambut jaman baru dengan partisipasi aktif. Jaman baru memang menuntut partisipasi semua orang tetapi tidak tergantung pada orang karena kuasa Tuhan bisa datang ke bumi memberi penghukuman demi tegaknya jaman baru yang dipenuhi kedamaian, kesejahteraan bagi semua orang dan suka cita.

Jaman baru menuntut kita meninggalkan pradigma ekonomi lama yang tidak pro rakyat dan tidak pro ekologi. Semua itu menuntut kita meninggalkan textbook lama yang bagi kebanyakan orang sudah tertanam di otak. Bagi kebanyakan orang tidak mudah mempelajari hal-hal baru apalagi pola belajar sebagian orang adalah mendengar penuturan guru/dosen di kelas dan kemudian menghapalnya tanpa pemahaman. Dan yang sering kali terjadi adalah orang berhenti belajar stelah lulus. Textbook yang sudah usang atau salah itu juga masih tertanam di kepala dan tercermin dalam sikap dan tindakan sehari-hari. Penemuan besar tidak dihasilkan oleh orang-orang yang pola belajarnya adalah menghapal tanpa pemahaman.

Saya berani membuat prosedur analisa sendiri sewaktu menghadapi tugas skripsi S1 karena saya telah meninggalkan cara belajar menghapal. Demikian juga saya berani merumuskan teori ekonomi makro biososioekonomi karena pola belajar saya tidak menghapal tetapi membaca dan memahami. Dan setelah saya lulus S1 saya tidak berhenti belajar. Beruntung ketika duduk di bangku SMA (SMA I BOPKRI Yogyakrta) saya bertemu dengan guru bahasa Indonesia (Bp. Drs. Soetrisno Martoatmodjo) yang mengajari saya membaca dengan memahami isinya bukan dengan menghapal. Setelah itu banyak pelajaran yang bisa saya pahami dan saya cerna dengan belajar dan membaca sendiri berbagai buku. Saya kadang prihatin kalau melihat atau bertemu dengan orang yang bergelar doktor tetapi pola belajarnya adalah mengapal dan tidak berani keluar dari textbook yang salah.

Jaman baru menuntut kita untuk belajar terus menerus setelah kita lulus sekolah. Justru ketika kita lulus sekolah, kita memiliki kesempatan emas untuk belajar dengan cara memahami pelajaran bukan menghapal. Marilah kita sama-sama belajar untuk menyambut jaman baru yang tidak mungkin dihindari. Seorang doktor seharusnya tidak perlu malu kalau harus belajar lagi. Saya juga akan tetap belajar. Banyak hal yang harus saya pelajari, computer, internet dan teknologi informasi misalnya. Marilah sama-sama belajar dengan benar-benar memahami isi pelajaran yang kita pelajari.

Selamat Tahun Baru 1 Januari 2011, selamat menyongsong jaman baru. Semoga sukses dan tidak digilas jaman baru yang segera datang.