Jumat, 28 Agustus 2009

Mencari Hikmah dan Menjaga Kesepakatan Damai Sunan Giri



Jalan damai tidak hanya diupayakan orang pada jaman ini tetapi oleh orang di jaman dulu. Di tengah beberapa tindak kekerasan di beberapa sudut dunia akan sangat bagus kalau kita juga mengetahui suatu jalan damai yang pernah dilakukan orang-orang jaman dulu yakni oleh Sunan Giri, seorang wali yang dihormati raja dan pangeran di jaman itu. Hal seperti ini perlu, apalagi kalau jalan damai itu masih relevan hingga saat ini.

Menurut Babad Tanah Djawi, ketika Pasukan Senopati telah tiba di Japan (Mojokerto) ketika akan menyerang Surabaya, Sunan Giri ikut berperan mencegah pertumpahan darah. Berikut ini saya kutipkan dari karya de Graaf (hlm 136): Tetapi, di Japan juga tiba utusan dari Giri yang mengumpulkan para pemimpin dan priyayi itu di kubunya. Kepada Senapati dan Pangeran Surabaya, yaitu anak didik Sunan Giri, oleh utusan itu dibacakan surat Sunan Giri yang berisi larangan berperang guna mencegah pertumpahan darah dan menyelamatkan rakyat kecil. Kemudian disampaikan sebuah teka-teki:"Pilihlah...sekarang: Isinya atau kulitnya." Pangeran Surabaya memilih isinya dan Senapati memperoleh kulitnya.

Sunan Giri menyatakan kepada utusannya yang baru kembali:"...kulit itu...adalah tanahnya, isinya...orang-orangnya. Apabila orang-orang itu tidak patuh pada pemilik tanah, maka mereka itu diusir" Senapati memang memilih yang terbaik.

Demikian kutipan saya dari karya de Graaf. Memang menjadi pertanyaan bagi kita di masa kini, apakah benar Senapati memilih yang terbaik. Ukuran yang dipakai de Graaf agak berbeda dengan orang Jawa. Tetapi inti postingan ini bukan itu. Intinya adalah dalam peristiwa itu Sunan Giri telah mencegah pertumpahan darah. Kedua, Senapoti tidak menguasai isinya.

Kini kita yang hidup di jaman ini bisa mencari hikmah dari jalan damai yang diprakarsai Sunan Giri. Istilah kulit dan isi mungkin tidak hanya berlaku bagi Jawa Timur. Pengalaman saya mengatakan bahwa, hal seperti itu berlaku juga bagi wilayah yang membentang antara Kali Progo dan Kali Opak di mana di situ Senopati adalah pendatang dan orang asing (fakta sejarah yang sering dilupakan orang). Dalam kasus Jawa Timur karena isinya telah dipilih Pangeran Surabaya maka kulitnya jatuh kepada Senopati. Fakta sejarah memang mencatat bahwa dinasti Senopati berusia panjang. Dalam kasus wilayah yang membentang antara Kali Progo dan Kali Opak Senopati memang menguasai kulitnya. Tetapi apakah Senopati memahami dan menguasai "isi" mataram?

Rasa-rasanya tidak. Dan pengalaman saya pun mengatakan demikian. Hakekat mataram telah disembunyikan Tuhan dari Senopati, sampai akhirnya saya temukan. Menurut hemat saya berkat mataram bisa berpindah ke mana penduduk mataram berpindah sebagaimana saya alami. Berkat mataram tidak terikat pada wilayah yang membentang antara Kali Progo dan Kali Opak. Arti dari kata mataram menurut hemat saya adalah:"pengetahuan yang direstui atau pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak" seperti pernah saya sampaikan dalam postingan "Wahyu Keprabon" dan berkaitan dengan teori ekonomi makro biososioekonomi. Hakekat mataram seperti itu jelas tidak terikat pada wilayah maupun simbol-simbol negara/kerajaan duniawi seperti wilayah, tentara, istana, selir, hukum positif dll.

Kalau Pangeran Surabaya memilih isinya karena dia memang ada niat dan keinginan. Sementara saya memperoleh "isi" atau hakekat mataram karena kulitnya telah jatuh ke tangan orang lain dan karena saya lahir belakangan di abad ke-20 di luar wilayah itu karena kakek-nenek dan orang tua saya telah meninggalkan wilayah istimewa itu (DIY) dan hidup dalam wilayah hukum NKRI non istimewa, sebuah negara demokrasi modern berdasar hukum dan Pancasila dengan bhinneka tunggal ika-nya.

Hikmah yang bisa kita petik adalah Tuhan bersama NKRI berperan bagaikan Sunan Giri di abad 20 yang telah membuat saya lahir tidak di wilayah yang membentang antara Kali Progo dan Opak. Hakekat mataram tidak terikat pada simbol-simbol duniawi di atas. Perjalanan spiritual saya akhirnya juga menemukan ketentuan perdamaian yang ditetapkan Tuhan bahwa saya (mataram) tidak lagi belajar perang sebagaimana yang saya baca dalam Kitab Suci:"...maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang" (Yesaya 2:4).

Di tempat di mana saya dilahirkan (Merbau Mataram) adalah suatu tempat yang dibangun oleh para veteran kemerdekaan RI yang "mengubah" alat-alat perang menjadi alat pertanian. Menjadi ksatria luhur seperti saya jelaskan dalam postingan sebelumnya:"Dharma Ksatria: Antara Satrio Piningit dan Ksatria Luhur" berarti menjadi atlet yang tidak lagi belajar perang. Bagi saya, tidak belajar perang juga berarti pantang menduduki jabatan presiden atau raja dalam pengertian teritorial dan struktural. Satu-satunya tanda duniawi yang masih boleh saya kenakan hanya gelar R(raden). Ini bukan cermin feodalitas, tetapi sekedar tanda kecil. Di samping itu perlu diketahui juga bahwa gelar R sebenarnya termasuk gelar yang sopan, sopan di hadapan Tuhan dan sopan di hadapan rohaniwan. Dibandingkan gelar Lord atau Gusti gelar raden lebih sopan karena gelar yang terkahir ini hanya dipakai ksatria tidak pernah dipakai Tuhan atau rohaniwan (pendeta) yang lebih luhur dari ksatria. NKRI sebagai negara demokrasi modern berdasarkan Pancasila dan hukum serta mengahrgai pluralitas (bhinneka tunggal ika), serta menjamin hak-hak asasi manusia adalah sesuatu yang sudah final dan merupakan kesepakatan damai dan rumah bersama bagi anak bangsa yang tinggal di Nusantara dengan keanekaragaman budaya, agama, bahasa, dan latar belakang sejarah di mana antar kelompok dahulu pernah bertikai.

Melalui postingan ini saya mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya, mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan. Sebagai manusia biasa, saya juga mungkin melakukan kekhilafan.



Selasa, 25 Agustus 2009

Kalau Meminta Bukti Berarti Meminta Korban....Mengapa Bukti itu Diminta?

Pemenang Pilpres 2009 telah ditetapkan, secara pribadi saya mengucapkan selamat kepada pasangan SBY-Boediono. Siapapun yang menjadi presiden, tantangan Indonesia tetap berat. Dalam permasalahan ekonomi, saya berharap agar semua pihak, baik pemerintah atau civil society tidak hanya terpaku pada pendekatan empiris. Postingan kali ini adalah tulisan saya yang saya tulis 12 Februari 2007 yang merupakan suatu pendahuluan dari naskah buku saya "Wahyu untuk Rakyat" edisi kedua. Naskah tersebut tidak banyak beredar, oleh karena itu saya mempostingnya di blog ini agar banyak orang terbuka pada pendekatan deduktif logis serta mengetahui hambatan yang saya alami dalam memperjuangkan biososioekonomi. Berikut ini kutipan selengkapnya.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan, surat pembaca, maupun otobiografi perjalanan spiritual penulis dalam menemukan dan memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Melalui tulisan-tulisan yang pernah dikirim ke berbagai media massa dan forum itu, penulis yang bukan siapa-siapa dan yang belum dikenal orang dalam dunia pemikiran ekonomi dan demokrasi berusaha dan berjuang sendirian memperkenalkan keadilan sosial dan teori baru penemuannya, bioekonomi. Perjuangan itu tidak selalu mudah seperti terekam dalam buku ini. Bahkan ketika buku Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia yang memuat teori bioekonomi diterbitkan Oktober 2004 dan seminar diadakan_dalam seminar bulanan ke-22 yang diselenggarakan Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM 2 November 2004_perjuangan itu tetap saja berat. Tanpa memiliki bekal spiritual yang cukup tentu penulis sudah mundur dari medan yang berat itu.

Dari berbagai pengalaman memperjuangkan bioekonomi itu memang bisa diambil pelajaran. Sebagian hambatan mungkin memang adanya interes pribadi. Sedangkan hal lain yang menghambat adalah: kecenderungan manusia (Indonesia) untuk bersikap empirisistis, pengabaian potensi individu dalam menyejahterakan rakyat, dan egoisme sektoral yang terkotak-kotak.

Dengan pendekatan deduktif-logis seperti yang penulis lakukan dengan teori bioekonomi selama ini, sebenarnya kita bisa mengetahui bahwa pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) tidak bisa mengentaskan kemiskinan. Dengan mengkaji konsep PDB dan pertumbuhan PDB secara komprehensif tanpa melihat fakta empiris pun kita bisa tahu bahwa peran pertumbuhan PDB untuk mengatasi kemiskinan itu kecil. Pendekatan empiris-induktif seperti dilakukan New Economics Foundation (NEF) menghasilkan kesimpulan yang sama bahwa kaum papa hanya mendapat sedikit manfaat dari pertumbuhan PDB (Kompas, 26 Januari 2007:"Kaum Papa Hanya Mendapat Sedikit Manfaat dari Pertumbuhan") Bagi lembaga yang memiliki kemampuan finansial dan teknis memadai maka sah-sah saja melakukan pendekatan empiris-induktif yang memang membutuhkan dana besar. Tetapi bagi individu sepperti penulis, pendekatan empiris-induktif itu tentu memberatkan.

Dalam kehidupan sehari-hari kecenderungan empirisistis yang eksklusif dengan mengabaikan pendekatan deduktif-matemtis sering berbahaya bagi diri sendiri. Beberapa kegiatan investasi money game yang berkedok MLM atau berkedok investasi valas sering memakan nasabah sebagai korbannya. Para korban biasanya diberi informasi (pendekatan empiris) bahwa saudara atau kenalannya telah berinvestasi dan memperoleh bonus atau laba yang besar. Meskipun secara empiris hal itu benar, bukan berarti nasabah berikutnya akan memperoleh keuntungan sebesar itu. Padahal dengan pendekatan deduktif-matematis kita bisa tahu apakah program investasi atau marketing plan perusahaan money game yang berkedok MLM itu bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Bonus atau laba adalah beban bagi sistem. Sejauh mana suatu sistem mampu menanggung/membayar laba sebenarnya bisa didekati secara matematis.

Demikian juga dengan sistem perekonomian. Mestinya dengan pendekatan deduktif-logis kita bisa mengetahui apakah sistem perekonomian masih mampu membayar laba, bunga, gaji pegawai, dan jaminan sosial atau tidak. Tidak perlu menunggu jatuhnya korban dari pengalaman suatu krisis moneter atau turbulensi keuangan. Kecenderungan empirisistis itu sebenarnya sangat menjengkelkan bagi rakyat kebanyakan yang paling menderita akibat kebijakan publik.

Kebiasaan elite masyarakat dan pemerintah untuk mengabaikan potensi individu dalam menyejahterakan rakyat juga ikut menghambat gerak bioekonomi. Berbagai pihak termasuk media massa masih menganggap yang bisa menyejahterakan rakyat adalah pemerintah dan perusahaan. Perusahaan memberikan lapangan kerja dan sedikit derma (biasanya di bawah 3% dari laba perusahaan) untuk kegiatan filantropi. Sementara itu pemrintah dianggap bisa memberi jaminan sosial.

Bagi mereka yang terbiasa berpikir deduktif-logis pasti tidak percaya bahwa institusi pemerintah dan perusahaan mampu menyejahterakan rakyat. Justru individulah yang memiliki potensi menyejahterakan rakyat. Sebagai perbandingan, dari fakta empiris disebutkan bahwa sumbangan individu asing jauh lebih besar dari pada bantuan resmi yang dijanjikan pemerintahan asing dalam membantu korban tsunami Aceh Desember 2004 (Kompas, 24 Januari 2005, hlm 15:"Hibah Individu Asing Lebih Besar"). Penelitian PIRAC seperti dikutip majalah Swasembada no 07/XXII/6-19 April 2006 halaman 29 mengemukakakan bahwa pada tahun 2002 terhimpun dana filantropi sebesar 115,3 miliar dari 80 perusahaan dan Rp 1 triliun dari perorangan.

Oleh karena itu penulis tetap berpendapat bahwa upaya untuk menyejahterakan rakyat harus fokus pada potensi individu sebagai sumber dana karena individu juga bersifat homo socius. Tulisan dalam buku ini merupakan upaya tersebut yang sering dilupakan oleh media massa dan para pemangku kepentingan publik baik pemerintah maupun tokoh masyarakat dan LSM.

Egoisme sektoral dan terkotak-kotak juga menghambat gerak bioekonomi. Orang tidak peduli lingkungan rusak dan hancur demi mengejar pertumbuhan PDB. Juga perbaikan satu sektor misalnya meneter sudah dianggap cukup meskipun sektor riil terpuruk. Padahal bioekonomi menawarkan perbaikan yang menyeluruh dan serentak bukan sektoral. Perbaikan menyeluruh itu termasuk bidang kependudukan, serta lingkunga hidup yang sering diabaikan ekonom arus utama.

Meskipun buku ini merekam sikap dan pemikiran penulis dari waktu ke waktu namun tidak berarti buku ini menjadi semacam buku harian. Ada tulisan yang tidak ditampilkan karena tulisan tersebut ditujukan untuk komunitas tertentu atau terlalu mirip dengan yang sudah ditampilkan dalam buku ini sehingga dipilih salah satu saja yang ditampilkan. Karena alasan tertentu tulisan yang dikirim penulis kepada salah satu media di Yogyakrta tanggal 14 Maret 2006 atau dua bulan 13 hari sebelum gempa Yogya dan Klaten, tidak ditampilkan secara penuh di sini meskipun nilai kesejarahannya termasuk yang penting. Demikian pula tulisan yang ditolak media massa 21 Desember 2004 atau 5 hari sebelum tsunami Asia, tidak ditampilkan karena mirip dengan yang ditampilkan dalam buku ini.

Dari buku ini bisa dilihat perkembangan penulis yang sangat malu dengan kata mataram yang mengalami konotasi jelek di masyarakat. Kalau penulis tidak dilahirkan di tempat yang memakai nama mataram tentu sudah melupakan dan membuang mataram jauh-jauh. Namun setelah mencermati sejarah Mataram, ternyata Mataram sudah hilang 400-an tahun yang lalu.

Penulis sering terganggu membaca buku kumpulan tulisan yang tidak mencantumkan kapan masing-masing judul ditulis atau diterbitkan. Oleh karena itu di dalam buku ini setiap judul tulisan diberi keterangan mengenai kapan ditulis supaya situasi yang melingkupi saat tulisan itu ditulis bisa dibayangkan. Kata pengantar, Pendahuluan dan Penutup ditulis dalam kurun waktu yang relatif bersamaan yaitu 12 Februari 2007. Sebagian besar tulisan dalam buku ini diurutkan sesuai waktu penulisannya kecuali Bagian Kedua, Kata Pengantar, dan Pendahuluan.

Masyarakat Indonesia sebenarnya bisa berperan lebih besar dalam tatanan dunia baru yang lebih adil, demokratis, dan damai. Persoalannya mau atau tidak. Semoga buku ini bermnfaat bagi siapa saja.

Demikian saya tulis sebagai pendahuluan dalam naskah buku saya "Wahyu untuk Rakyat." Kalau meminta bukti berarti meminta korban mengapa bukti seperti itu diminta? Dengan pendekatan deduktif-logis jatuhnya korban akibat krisis ekonomi bisa diminimalisir. Krisis akan tetap terjadi hanya saja bentuknya berubah-ubah. Tetapi apapun bentuk krisis seharusnya rakyat tidak menanggung bebannya. Dibutuhkan Kecerdasan dan keterbukaan untuk mau menggunakan pendekatan deduktif. Marilah kita menjadi negarawan dan anggota masyarakat yang baik.

Rabu, 19 Agustus 2009

Dharma Ksatria: Antara Satrio Piningit dan Ksatria Luhur

Banyak orang yang tidak bisa memahami bagaimana mungkin seorang pebisnis peduli terhadap pengentasan kemiskinan, bagaimana mungkin seorang pebisnis juga memperjuangkan ekonomi kerakyatan. Kelihatannya paradoks. Bahkan tidak jarang pebisnis yang peduli pada masalah kemiskinan malah dicurigai.

Padahal pebisnis adalah juga manusia biasa yang mempunyai perasaan, ia tidak hanya homo economicus tetapi juga homo socius Harus dibedakan antara individu manusia dengan institusi bisnis. Institusi bisnis jelas tidak mungkin menjadi homo socius, tetapi individu seharusnya bisa. Sikap curiga pada pebisnis yang peduli pengentasan kemiskinan menurut hemat saya akibat dari pengaruh praktek Kekristenan Eropa sebelum munculnya etika Protestan. Dalam praktek Kekristenan Eropa memang ada sikap kurang ramah pada profesi pebisnis, yang dianggap sebagai tukang nyari laba. Karena anggapan seperti itu maka profesi pebisnis dipariakan. Kemudian terjadi keterasingan antara orang-orang yang berprofesi sebagai pekerja sosial dan pebisnis bahkan terjadi pertentangan kelas. Komunisme lahir dari kondisi sosiologis seperti itu.

Kalau pengentasan kemiskinan hanya diperjuangkan dan diteriakkan oleh aktivis sosial dan aktivis politik alangkah seram dan mengerikan. Kondisi seperti itu bisa-bisa hanya akan mengulang kegagalan Eropa (Barat dan Timur) termasuk mengulang sejarah kelamnya yang ternoda oleh kekerasan dan pertentangan antar kelas serta tidak menemukan jalan ketiga yang damai dan terang benderang. Karena itulah saya menawarkan suatu perjuangan damai yang menginklusi pelaku bisnis untuk ikut mengentaskan kemiskinan. Kalau ada pebisnis yang secara sadar, tulus, dan sepenuh hati mau ikut mengentaskan kemiskinan maka harus disambut dan disyukuri karena hal itu akan mencairkan ketegangan antar kelas dan suatu tindakan otokritik yang baik.

Selain gerakan konsumen sosial yang menuntut daur ulang kekayaan seperti saya singgung dalam refleksi 64 tahun Indonesia merdeka dalam postingan lalu, gerakan damai bisa juga dilakukan dengan menumbuhkan tanggung jawab dan sikap sosial di kalangan pebisnis sendiri. Saya menamakan pebisnis yang secara sadar mencari laba bukan untuk dirinya dan keturunannya, serta secara sadar mendaur ulang (menghibahkan) kekayaan pribadinya seperti diharapkan teori makro biososioekonomi sebagai para ksatria utama atau ksatria luhur.

Berikut ini saya kutipkan sebagian tulisan saya yang berjudul "Untukmu Indonesiaku" yang saya tulis tanggal 15 Oktober 2002 dalam kumpulan naskah buku:"Wahyu untuk Rakyat".
Sebenarnya saya tidak menginginkan terpilih menjadi Satrio Piningit, saya lebih senang menjadi apa yang saya namakan ksatria utama atau ksatria luhur. Istilah ksatria tidak menunjuk pada arti pejabat pemerintah, tentara atau kasta ksatria seperti yang dipikirkan hampir semua orang. Istilah ksatria itu berarti atlet. Ksatria luhur adalah mereka yang mencari uang (pebisnis) secara halal yang kemudian mendaur ulang kekayaannya pada saat meninggal bukan mewariskan kepada keturunannya. Sementara Satrio Piningit adalah orang yang pertama kali mengetahui konsep daur ulang kekayaan dan harus menjelaskannya kepada orang lain. Menjadi ksatria luhur lebih tenang tanpa hingar-bingar publikasi. Ketika pada tahun 1995 pertama kali saya memperoleh pencerahan bahwa kekayaan mestinya didaur ulang, saya diam memendamnya di dalam hati. Semula saya berharap daur ulang itu diterapkan pada saya terlebih dahulu baru saya akan bicara. Karena saya bukan anak orang kaya maka hal itu baru akan terjadi setelah 30 atau 40 tahun yang akan datang setelah saya mengumpulkan kekayaan. Tetapi karena penderitaan masyarakat maka saya terpaksa harus memaparkan dan menampilkan diri seperti ini.

Demikianlah kutipan saya. Jadi, yang banyak dibutuhkan adalah ksatria luhur. Selain perjuangan melalui organisasi konsumen sosial (yang menuntut daur ulang kekayaan pribadi), menjadi ksatria luhur adalah alternatif perjuangan damai untuk kesejahteraan publik dan demokrasi ekonomi. Perlu juga saya tambahkan bahwa seorang ksatria harus tahu diri dan rendah hati bahwa meskipun ia mendermakan 100% kekayaannya, apa yang dilakukan itu bukanlah yang paling luhur dan paling mulia. Seorang ksatria masih kalah mulia dengan pendeta (rohaniwan) yang menjalani asketisme lebih berat.

Jaman dahulu, pada masa Jawa Kuno, tidak ada tradisi pendeta menyembah raja. Raja Kertajaya (1190-1205M) ditolak permintaannya oleh para pendeta yang diminta untuk menyembahnya. Kasta ksatria bukan kasta tertinggi. Budhisme meskipun tidak mengenal kasta-kasta tetap menempatkan pendeta atau bhiku pada posisi terhormat. Kisah Pangeran Sidharta, yang meninggalkan istana untuk menjalani asketisme, telah dikenal masyarakat Jawa saat Borobudur dibangun. Kalau kemudian raja Jawa bergelar panatagama, itu karena kecelakaan sejarah.

Melalui postingan ini saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua yang telah membantu menyebarluaskan blog ini sehingga keberadaan teori ekonomi makro biososioekonomi, maupun cara-cara damai memperjuangkan kesejahteraan umum dikenal banyak orang. Namun patut disayangkan bahwa ada yang meng-copy paste tulisan di blog ini tanpa menyebutkan sumbernya. Saya berharap plagiator seperti itu segera sadar akan kesalahannya.

Keberadaan ksatria luhur akan mencairkan ketegangan antar kelas dan akan menjadi teladan perjuangan damai dan teladan kesabaran menjalani proses. Hal ini pernah saya alami, ketika semuanya kelihatan buntu toh saya masih bisa sabar karena komitmen awal saya adalah kelak apabila saya kaya-raya maka saya akan mendaur ulang kekayaan pribadi saya. Jadi, ketika saya merasa gagal memperkenalkan biososioekonomi kepada publik, saya masih memiliki kegiatan yang bermanfaat. Mencari kekayaan bukan untuk diri sendiri atau anak cucu saya. Hal seperti itu saya jalani sebagai dharma ksatria. Dan karena penderitaan rakyat maka saya harus menjelaskan semuanya ini sekarang bukan nanti 30 tahun lagi dengan tujuan agar penderitaan rakyat segera teratasi bukan bermaksud pamer. Menjelaskan semua itu di sini juga termasuk dharma ksatria.

Sabtu, 15 Agustus 2009

Refleksi HUT RI ke-64: Makna Kemerdekaan dan Perjuangannya

Tahun ini genap delapan windu usia negara kita tercinta Republik Indonesia. Pada saat-saat peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI berbagai acara digelar dari pesta rakyat dengan berbagai lomba berhadiah sampai upacara bendera. Kegembiraan menyelimuti seluruh bangsa. Namun di balik kegembiraan itu tak sedikit yang merasa belum merdeka. Suatu perasaan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Penderitaan yang menimpa rakyat masih sering terjadi. Beberapa peristiwa itu antara lain adalah TKW yang meninggal di kolong jembatan atau mengalami siksaan fisik lainnya, rakyat miskin perkotaan yang tergusur tempat tinggalnya atau sarana pencari nafkahnya, korban lumpur Lapindo yang tidak mendapat ganti rugi yang memadai, anak usia sekolah yang tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena kemiskinan orang tuanya, perusakan rumah ibadat oleh sekelompok orang, serta merosotnya daya beli rakyat akibat kebijakan neolib yang pro pemilik modal dengan mengejar pertumbuhan PDB.

Pesta HUT RI memang suatu pesta rakyat yang sejenak bisa melupakan segala derita dan realitas hidup sehari-hari yang dihadapi rakyat. Namun merdeka sepenuhnya (baik politik maupun ekonomi) masih harus diperjuangkan. Hal ini menuntut perhatian semua pihak, warga negara dan warga masyarakat.

Kemerdekaan politik telah kita peroleh dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu negara demokrasi modern yang berdasar hukum dan Pancasila yang menghargai pluralitas (Bhinneka Tunggal Ika) dan menjamin hak-hak asasi manusia. Kemerdekaan dan demokrasi politik yang telah susah payah kita capai harus kita pertahankan. Kita menghargai para pahlawan baik yang berjuang mengangkat senjata maupun melalui jalur diplomasi dan intelektual demi tercapainya kemerdekaan politik dari penjajah asing baik Barat maupun Timur. Perjuangan itu telah mengorbankan harta, benda, kekuasaan raja-raja Nusantara, jiwa dan raga sehingga kita wajib untuk menjaga dan mempertahankn NKRI yang adalah rumah bersama untuk semua golongan. Demokrasi memerlukan checks and balances sehingga kita berharap agar Pasangan SBY-Boediono yang memenangi Pilpres 2009 bisa memahami hal itu dan tidak perlu tersinggung bila dikritik. Kritik merupakan bagian dari kehidupan demokrasi yang memerlukan checks and balances tersebut.

Realitas masa lalu menjelang kemerdekaan RI tentu berbeda dengan saat ini. Kemerdekaan politik yang telah kita capai harus diikuti pula dengan kemerdekaan ekonomi. Bila di samping demokrasi politik tidak ada demokrasi ekonomi itu berarti rakyat belum merdeka sepenuhya demkian dikatakan Bung Hatta. Demokrasi ekonomi tidak sekedar kebebasan berusaha atau mencari nafkah tetapi juga adanya redistribusi aset pribadi sebagaimana disarankan teori ekonomi makro biososioekonomi. Tanpa implementasi teori ekonomi makro biososioekonomi jangan katakan telah ada demokrasi ekonomi. Memang tidak banyak yang berani secara lugas berbicara atau berdiskusi mengenai biososioekonomi karena biososioekonomi menentang pewarisan kekayaan berlimpah ruah pada keturunan pemilik kekayaan itu. Pewarisan kekayaan itu sudah menjadi tradisi. Namun demikian patut pula diingat berdirinya negara demokrasi modern seperti RI juga membatasi atau mengorbankan kekuasaan raja-raja Nusantara yang waktu itu juga menjadi tradisi. Demokrasi politik membatasi kekuasaan dengan konstitusi dan mengatur pergantian kekuasaan secara periodik.

Oleh karenanya diskusi ilmiah menentang pewarisan kekayaan berlimpah seharusnya bukan sesuatu yang tabu. Itu bagian dari demokrasi ekonomi. Kini tidak semua raja-raja Nusantara itu kaya-raya, mungkin hanya segelintir saja yang kaya-raya. Kini kekayaan ada di kantong raja-raja bisnis. Dalam perjuangan damai saya, saya tidak menyarankan hukum positif negara untuk melarang pewarisan kekayaan (Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia), selain kesadaran masing-masing individu saya menawarkan suatu kontrol oleh masyrakat konsumen (sosial).

"Dari konsumen, oleh konsumen, untuk konsumen." Kekayaan berasal dari konsumen, organisasi konsumen sosial bisa berperan menuntut daur ulang (redistribusi) aset pribadi, dan hasilnya untuk konsumen sosial (semua orang) dan dieklola dengan memperhatikan prinsip-prinsip biososioekonomi dalam sektor moneter dan riil tanpa sekat-sekat primordial-sektarian dan tanpa sekat teritorial. Semua orang adalah konsumen, karena tanpa makan, orang pasti akan mati. Perjuangan konsumen sosial adalah perjuangan damai, melawan dengan tidak menggunakan kekerasan, melawan dengan tidak membeli produk atau jasa tertentu yang pemilik perusahaannya memperoleh kekayaan berlimpah dari warisan.

Perjuangan konsumen sosial seperti inilah yang tepat untuk mewujudkan kemerdekaan sepenuhnya yaitu merdeka secara ekonomi pula. Kita menghargai para pahlawan yang mengorbankan jiwa-raganya untuk Indonesia merdeka di masa lalu. Namun demikian realitas kini menuntut kita menggunakan cara damai melalui organisasi konsumen sosial. Kalau perjuangan damai itu menemui jalan buntu biar Tuhan sendiri yang akan turun tangan menjatuhkan tulah dan hukuman ke bumi.Tuhan Maha Kuasa.

Dirgahayu Republik Indonesia, damai sejahtera beserta kita semua. Merdeka!!

Minggu, 09 Agustus 2009

Minus

Menyangkal bahwa saat ini penindasan tidak ada adalah suatu tindakan yang tidak bijaksana. Penyangkalan seperti itu akan menyakiti orang-orang yang tertindas. Mengakui adanya penindasan bukan berarti menyetujui tindakan kekerasan yang dilakukan teroris yang menyerang warga sipil (Barat ataupun Timur). Postingan kali ini adalah tulisan yang saya tulis tanggal 26 Oktober 2002 dan dikirimkan ke harian umum nasional tetapi tidak dimuat. Selain artikel "Dialog Antar Kebenaran" yang saya posting beberapa waktu lalu postingan ini adalah suatu bagian dari upaya-upaya damai menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Sebagai orang tertindas, saya tetap mempercayai perjuangan damai dan kuasa Tuhan untuk menjatuhkan hukuman ke bumi. Berikut ini kutipan selengkapnya.

Inilah judul yang saya buat untuk tulisan ini. Supaya jelas, tegas, dan mudah diingat maka saya buat sependek mungkin. Setelah umat manusia menemukan kenyataan bumi ini bulat, bukan datar, maka kini tiba saatnya mata manusia terbuka bahwa bumi ini minus bukan netral. Anggapan bahwa bumi adalah ruang netral telah terbukti menimbulkan kesalahan dalam pengelolaan kekayaan dan perekonomian sehingga menimbulkan kesengsaraan manusia termasuk peperangan, bencana finansial, depresiasi permanen mata uang dan sebagainya.

Saya tidak akan lelah mengatakan bahwa bumi ini memang minus, karena hal ini merupakan bagian dari panggilan hidup saya, seperti yang dicatat dengan sangat baik oleh Kusumo Lelono dalam bukunya Satrio Piningit (Gramedia Pustaka Utama, 1999). Kusumo Lelono mencatatnya dengan kata-kata: "Keluar dari istana meraih kemuliaan menerangkan tegaknya buwana yang sesungguhnya kosong hanya Allah yang memiliki" (hlm 29-30). Memang tantangan ini berat bagi saya karena saya pasti akan berhadapan dengan kekuasaan para redaktur yang bisa menolak naskah ini.

Permasalahan yang dihadapi umat manusia dewasa ini adalah ketidaktahuannya bahwa dunia ini minus. Di dalam ruang minus, alam akan memandang kelahiran individu manusia sebagai hutang terhadap alam. Apapun yang diambil manusia dari alam ini harus dihitung sebagai hutang, bahkan makanan yang sangat vital bagi kelangsungan hidupnya pun harus dihitung hutang. Kematian adalah cara untuk menghentikan dan membayar sebagian hutang manusia. Melalui kematian dan pembusukan itulah tubuh manusia didaur ulang untuk diproses kembali menjadi gandum, padi, kedelai, dll.

Kalau umat manusia menginginkan pembangunan yang berkelanjutan maka pertama kali yang harus diperhatikan dan dilakukan semestinya adalah daur ulang kekayaan individu. Ilmu ekonomi yang berhubungan dengan ini adalah ilmu ekonomi yang saya temukan dan kemudian saya beri nama bioekonomi. Dengan bioekonomi inilah chaos_finansial yang mungkin juga melebar menjadi chaos sosial_bisa dihindari, karena masuknya materi dan energi dari alam bebas ke dalam sistem ekonomi yang kemudian diikuti dengan pencetakan uang diimbangi dengan pengeluaran uang dari sistem ekonomi sehingga terjadi proses reversibel. Menurut hukum II Termodinamika proses reversibel inilah yang menyebabkan sistem stabil tidak mengalami chaos. Chaos dalam sistem ekonomi sudah sering memunculkan diri dalam bentuk depresi besar, resesi berkepanjangan, kebangkrutan masal, hiperinflasi dll. Semua itu terjadi karena ilmu ekonomi yang sekarang diterapkan merupakan produk dari asumsi bahwa dunia ini netral. Ketika asumsi ini salah maka seharusnya ilmu ekonomi lama tidak bisa dipakai lagi.

Penemuan bumi sebagai ruang minus adalah suatu penemuan dahsyat yang jauh lebih dahsyat dari penemuan bumi sebagai benda yang berbentuk bulat. Memang, sebenarnya ini bukan suatu penemuan yang baru. Paling tidak, sepanjang yang saya tahu suatu kitab bangsa Yahudi yang disebut Genesis yang ditulis kira-kira 3.000 tahun yang lalu telah mencatatnya dengan kata-kata:"Terkutuklah tanah karena engkau (Adam)...." Entah karena apa umat manusia saat ini termasuk bangsa Yahudi sendiri beranggapan bahwa bumi ini netral. Hanya bangsa besar dan terpilihlah yang sanggup menemukan kembali bumi sebagai ruang minus. Oleh karena itu kita harus bersyukur dan bersatu di tengah-tengah konflik di panggung peradaban dunia yang dikatakan oleh "Tajuk Rencana" Kompas, setahun lalu setelah penyerbuan AS ke Afghanistan, sebagai absurd. Memang menurut saya hal itu adalah absurd, karena baik kubu kapitalis maupun yang anti kapitalis sama-sama tidak menyadari bahwa bumi ini adalah minus bukan netral.

Kita memang harus menjaga keamanan agar terhindar dari serangan teroris, dan itu adalah tugas negara. Tetapi kita tidak boleh terseret pada konflik-konflik atau tarik menarik kepentingan yang tidak bermutu sehingga mengganggu pemulihan ekonomi. Sebagai bangsa yang besar kita justru terpanggil untuk mengingatkan masing-masing peradaban umat manusia dan mendorong mereka untuk melihat ke dalam diri mereka sendiri sehingga mereka melakukan otokritik. Yaitu sejauh mana kontribusi mereka masing-masing dalam kekeliruan peradaban manusia yaitu pandangan bahwa bumi ini netral. Seberapa jauh masing-masing peradaban umat manusia melakukan kekeliruan dengan mengukuhkan adat-istiadat ciptaan manusia yang saya namakan linierisme individu (sistem pewarisan kekayaan) menjadi hukum Tuhan yang tidak bisa dikritik.

Tidak akan ada kemakmuran dan keadilan sosial apabila linierisme individu masih merajalela. Linierisme individu itulah yang mestinya disebut ilalang atau benih-benih ilalang yang menyebabkan gagal panen. Saya percaya bahwa kemakmuran dan keadilan sosial melalui daur ulang kekayaan individu itu bisa diwujudkan dengan damai, legal, dan demokratis. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati yang saya miliki saya berpesan agar jangan melakukan kekerasan, jangan mengambil dan merampas milik orang lain. Sayapun, orang yang pertama kali terpilih menemukan kenyataan dunia ini minus, tidaklah diberi wewenang Tuhan untuk membakar ilalang-ilalang itu. Tuhan tidak memerlukan tangan manusia untuk mengeksekusinya.

Sebenarnya saya enggan mengemukakan ini semua. Hal ini saya kemukakan dengan berat hati untuk memenuhi kerinduan hati bangsa Indonesia terutama orang Jawa yang telah merindukan perkawinan antara Kali Progo dan Kali Opak. Memang adalah suatu hal yang kebetulan kalau saya adalah hasil perkawinan antara Kali Progo dan Kali Opak yaitu antara orang Mangir dan Mataram (kota Yogyakrta) yang diharapkan bisa mengalirkan kemakmuran dan keadilan.

Jakarta, 26 Oktober 2002

Demikian waktu itu saya tulis. Saat ini kapitalisme banyak dikritik, jauh lebih banyak dikritik ketimbang awal 2000-an setelah krismon 1997-1998. Berbagai kejadian telah terjadi dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir. Saya tetap berkeyakinan bahwa perjuangan damai dalam mewujudkan kesejahteraan publik melalui demokrasi ekonomi dan biososioekonomi adalah keharusan. Hanya Tuhan yang boleh membunuh (dan menghentikan waktu bertobat) seseorang. Ketika biososioekonomi terkepung atau dibuang, sering terjadi bencana atau gempa di mana-mana seperti yang telah saya ceritakan dalam blog ini. Salah satu gempa (dan tsunami) telah merenggut puluhan wartawan surat kabar lokal. Hal semacam itu menambah keyakinan saya pada jalan damai. Biar Tuhan sendiri yang menghukum kalau ada yang menghambat biososioekonomi.

Kamis, 06 Agustus 2009

Apa Pun Namanya Cara Nge-Mix-nya Harus Jelas!!!

Mau diberi nama ekonomi Pancasila, ekonomi jalan tengah, atau ekonomi kerakyatan yang penting cara nge-mix-nya harus jelas. Banyak yang mempercayai bahwa perekonomian yang ekstrim kiri maupun kanan tidak memberi kebaikan pada publik (rakyat kebanyakan). Namun demikian ekonomi jalan tengah pun belum tentu menjadi solusi kalau jalan tengah yang dimaksud sekedar kehendak angin-anginan kadang-kadang negara melakukan intervensi terhadap pasar kadang-kadang tidak. Jalan tengah bukan sekedar antara intervensi atau tidak. Juga bukan berarti hanya mengandalkan kekuasaan negara, karena kekuasaan negara terbatas di negara itu, sementara pasar atau bisnis sudah mengglobal.

Ada tiga pilar keadaban publik yang perlu diketahui dan dipertimbangkan yaitu pasar, negara (pemerintah), dan masyarakat (civil society). Pemerintahan tidak bisa berjalan global karena pasti terjadi benturan antara negara yang satu dengan negara lain baik karena latar belakang sejarahnya atau pertentangan kepentingan. Hanya ada dua yang bisa mengglobal yaitu bisnis dan masyarakat dengan catatan komponen masyarakat yang mengglobal tidak membawa kepentingan negara asalnya. Civil society bukan subordinat pemerintah. Jalan tengah yang menjadi solusi seharusnya tidak mengabaikan peran civil society untuk mengimbangi pasar. Pemerintah dituntut bekerja sama dengan civil society sebagai mitra yang setara.

Menanggapi hasil Kongres Ke-17 Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) yang mengusulkan kembali ke Ekonomi Pancasila (Koran Kompas 2/08/2009, hlm 2:"Darmin Ketua Umum ISEI") postingan ini mengingatkan kepada semua pihak akan perlunya suatu kejelasan dan kelugasan ekonomi jalan tengah atau ekonomi jalan ketiga. Kongres ISEI bukanlah kampanye pilpres dimana dalam kampanye pilpres sebagian kandidat berbicara normatif. Berbicara lugas dianggap kasar dan tidak mendapat simpati rakyat. Dalam forum seperti kongres ISEI itu sarjana atau ilmuwan dituntut berbicara lugas.

Dalam kampanye pilpres ada kandidat yang memakai ekonomi jalan tengah sebagai jargon. Seolah-olah ekonomi jalan tengah adalah bentuk tengah antara ekonomi kerakyatan dan neolib. Padahal jalan tengah antara ekonomi kerakyatan dan neolib tetap neolib. Istilah ekonomi Pancasila memang kurang terdengar beberapa tahun terakhir. Sepanjang yang saya tahu hal itu terjadi bukan karena Prof Dr Mubyarto sudah wafat atau karena ekonomi Pancasila sudah ditinggalkan orang, tetapi karena Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM berganti nama menjadi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan. Saya tidak yakin yang dimaksud ekonomi kerakyatan sama dengan ekonomi sosialis atau komunis.

Tetapi apa pun namanya jalan tengah atau ekonomi campuran itu harus jelas. Ketidakjelasan akan dianggap sebagai sekedar suatu penghalusan istilah atau suatu upaya mengaburkan permasalahan untuk tetap dianggap santun. Biososioekonomi sebagaimana saya rumuskan adalah ekonomi campuran atau ekonomi jalan ketiga, tetapi cara nge-mix-nya benar-benar jelas dan lugas. Saya menggunakan suatu model seperti yin-yang untuk membantu menjelaskan biososioekonomi (Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia, hlm 16-17 ). Biososioekonomi bukan suatu sistem yang tidak jelas. Mengambil kekayaan orang kaya berusia 35 tahun untuk diberikan kepada orang miskin berusia 37 tahun bukan cara yang disetujui biososioekonomi.

Kejelasan biososioekonomi karena kelugasannya menentang pewarisan kekayaan berlimpah di samping karena rumusan dasarnya ("kelahiran adalah hutang yang harus dibayar dengan kematian") serta neraca T (neraca herucakra society) yang disusunnya. Kekayaan individu yang tidak didermakan kepada publik akan membebani sistem ekonomi karena sistem ekonomi harus membayar bunga dan laba atas kekayaan seperti itu. Jatuhnya laba sudah sering terjadi dalam sejarah dan sudah diramalkan Marx. Sementara jatuhnya bunga (dimana suku bunga riil bila dipotong tingkat inflasi adalah nol atau minus) juga bagian dari jatuhnya "laba" bagi penabung. Kedua kejadian itu merupakan indikator nyata bahwa sistem ekonomi menanggung beban berat dan tidak mampu lagi membayar bunga dan laba itu. Ujung-ujungnya pengangguran meluas, defisit anggaran pemerintah membengkak, hutang pemerintah meningkat, atau anggaran untuk jaminan sosial terpangkas atau kombinasi dari beberapa akibat tadi. Dengan biososioekonomi persoalan ekonomi publik atau hajat hidup orang banyak menjadi gamblang, dan terang benderang.

Memang karena kelugasan itu biososioekonomi dituduh radikal oleh sebagian orang. Padahal biososioekonomi tidak radikal dalam pengertian tidak anti bisnis privat, tidak anti akumulasi kekayaan pribadi selama diperoleh dengan cara-cara bermoral, legal, dan fair. Memperoleh kekayaan berlimpah karena warisan termasuk yang dianggap tidak fair oleh biososioekonomi. Saya tidak mengusulkan hukum positif negara untuk melarang pewarisan kekayaan berlimpah (kategori triple six) sebagaimana saya jelaskan dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia. Pemerintah perlu bekerja sama dengan civil society yang bisa mengglobal mengimbangi pasar.

Usulan konggres ISEI untuk kembali ke ekonomi Pancasila perlu disambut baik kalau benar-benar berasal dari itikad baik untuk mewujudkan kesejahteraan publik (hajat hidup orang banyak). Tetapi harus ditolak kalau itu merupakan penghalusan istilah untuk mengaburkan persoalan. Yang penting cara nge-mix-nya harus jelas dan lugas. Godaan ekonomi jalan tengah adalah kaburnya persoalan. Tanpa kejelasan dan kelugasan, tidak akan banyak bermanfaat bagi rakyat kebanyakan.

Senin, 03 Agustus 2009

Mewaspadai Pelacuran Intelektual

Segenap aktivis sosial dan politik serta siapapun yang peduli pada masa depan yang lebih adil, sejahtera, dan damai, perlu mewaspadai jenis pelacuran seperti ini. Pelakunya bisa siapa saja, bahkan boleh jadi orang-orang di sekeliling kita yang kelihatannya terhormat.

Pelacur intelektual menggadaikan dan menenggelamkan kebenaran. Ia sebenarnya mengetahui apa yang benar, tetapi ia justru berbuat agar yang benar itu tidak muncul demi memperoleh bayaran (keuntungan pribadi) dan demi menyenangkan pihak-pihak tertentu.

Memang suatu kebenaran sering pahit untuk diterima dan perjuangan untuk mengatakan dan menegakkan kebenaran sering menakutkan. Bagi yang tidak berani mengatakan dan menegakkan kebenaran ada baiknya diam dari pada melacur. Meskipun dengan diam itu ia akan tetap dinilai rendah, tetapi itu lebih tinggi dari pada melacur.

Perjuangan dan pengalaman saya memperkenalkan dan menegakkan biososioekonomi sering berhadapan dengan berbagai macam orang. Dari pengalaman itu saya bisa menilai apakah orang yang saya hadapi selevel dari segi intelektual atau tidak. Saya juga menemukan segelintir cendekiawan yang berani. Salah satunya adalah Pak Muby (alm Prof. Dr. Mubyarto). Mubyarto adalah contoh ilmuwan yang rendah hati dan jujur. Ia langsung membaca buku saya (Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia) sampai tuntas begitu ia menerima kiriman saya dan mengaguminya serta mempersilakan saya mempresentasikan makalah saya. Orang yang tidak rendah hati tidak akan serta merta mau meluangkan waktu membaca tulisan orang yang cuma lulusan S1 dan tidak terkenal pula. Orang takut gengsinya jatuh. Yang jelas Pak Muby tidak melacur karena ia memberi akses publik bagi biososioekonomi.

Seorang pelacur intelektual mungkin akan berkata seperti ini:"Tuan, teori biososioekonomi ini berbahaya bagi status quo tuan, berilah saya uang untuk menenggelamkannya." Saya meyakini pelacur seperti itu ada, entah dimana. Dalam komunikasi publik pelacur itu membuat suatu opini atau argumen yang seolah-olah logis supaya mendapat banyak dukungan dan bayaran.

Saya bukan berlatar belakang formal sarjana ekonomi. Akan tetapi di tangan saya ilmu ekonomi menjadi terang benderang, berwibawa, dan tidak menjadi subordinat teori politik. Kalau biososioekonomi mengatakan kekayaan berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang) dan didistribusikan tanpa sekat-sekat negara dan primordial maka teori politik harus menyesuaikan diri agar redistribusi aset individu antar negara merupakan keniscayaan. Melawan hukum biososioekonomi hanya akan menghasilkan kesengsaraan rakyat, meskipun mungkin menguntungkan pelacur intelektual.

Di tengah hajatan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia 2009 ada baiknya ekonom mawas diri dan berefleksi demi kesejahteraan publik. Kalau tidak rakyat akan muak dan jijik melihat ekonom konvensional. Tidak semua ekonom adalah ekonom konvensional memang. Sebagian terbuka pada koreksi.