Jumat, 30 Desember 2011

Refleksi Akhir Tahun. Subyektif atau Obyektif.

Beberapa tahun yang lalu seorang pastor muda, dalam kotbahnya, mengkritik sikap atau komentar miring seorang umat. Umat yang dikritik itu bersikap tidak baik atau berkomentar negatif terhadap umat lain yang mendermakan hartanya sangat banyak. Umat yang dikritik pastor itu menyangka umat yang dermawan itu memperoleh harta dari korupsi.

Komentar miring umat itu boleh jadi obyektif tapi mungkin juga subyektif. Subyektif dan obyektif inilah yang saya jadikan bahan refleksi akhir tahun ini karena banyak kebijakan, pendapat, komentar, atau postingan di sekeliling kita yang menuntut kita mencermatinya apakah subyektif atau obyektif.

Akhir tahun seperti ini banyak ekonom yang menargetkan berapa pertumbuhan PDB tahun depan. Demikian juga krisis hutang di sebagian negara Uni Eropa diatasi dengan penghematan pengeluaran pemerintah termasuk pengurangan pengeluaran untuk tunjangan sosial.  Apakah tindakan seperti ini sudah obyektif atau subyektif sesuai selera dan perasaan subyek yang belum tentu rasional. Kenapa krisis hutang atau krisis ekonomi diatasi dengan penghematan? Kenapa tidak diatasi dengan meningkatkan pemasukan publik atau mengurangi liabilitas publik? Demikian juga apa gunanya pertumbuhan PDB ditargetkan? 

Mungkin masih banyak hal lain yang perlu kita pertanyakan obyektivitasnya berkaitan dengan ekonomi publik atau makro dan kesejahteraan rakyat, namun contoh-contoh di atas seharusnya memicu kita untuk merefleksikannya akhir tahun ini agar tahun depan bisa melangkah lebih baik dan tercerahkan.

Obyektivitas menuntut verifikasi atau cross check pihak lain yang jujur, berintegritas, dan memiliki kompetensi, serta bersifat sebagai open society yang percaya pada kebebasan, akal, dan persaudaraan sejati. Mungkin tidak mudah tetapi bukan berarti tidak bisa. Salah satu sikap open society adalah kerendahhatiannya bahwa kita mungkin keliru tapi dengan suatu upaya mungkin kita bisa menemukan kebenaran.

Di tengah keraguan antara subyektif dan obyektif itu saya berpendapat bahwa teori ekonomi makro biososioekonomi menawarkan pengetahuan yang obyektif bagi pengelolaan makro ekonomi yang pro rakyat dan pro keseimbangan ekologis. Pendapat saya ini mungkin subyektif tapi bisa jadi juga obyektif. Tetapi seperti sering saya kemukakan sebagai teori ilmiah biososioekonomi terbuka terhadap cross check, kritik, dan perbaikan. Dalam merumuskannya saya sudah mendekatkan diri dengan kebenaran dengan mempertimbangkan hukum alam mengenai keseimbangan (akuntansi), hukum alam mengenai kelangkaan(ekonomi)  dan hukum II Termodinamika.

Kembali pada contoh-contoh di atas. Sikap pastor muda yang mengkritik umat di atas sudah tepat, pastor itu cukup sigap untuk mengkritik yang keliru. 
 
Menghemat pengeluaran pemerintah dalam mengatasi krisis sangat tidak tepat karena yang tepat adalah meningkatkan pemasukan publik dan mengurangi liabilitas publik. Investasi yang berjalan ratusan tahun atau bahkan ribuan tahun telah membuat liabilitas publik jauh lebih tinggi dari asetnya. Mengatasi krisis tanpa mengurangi liabilitas publik adalah omong kosong, sebuah tindakan yang sia-sia.

Postingan sederhana ini saya tempatkan sebagai bagian dari open society yang terbuka terhadap kritik dan koreksi untuk menghasilkan kebenaran obyektif. Selamat tahun baru 1 Januari 2012, semoga di tahun 2012 kita bisa lebih obyektif sehingga dekat dengan kebenaran dan turut berpartisipasi mewujudkan kesejahteraan publik, kesejahteraan bersama, kesejahteraan rakyat kebanyakan.

Minggu, 25 Desember 2011

Selamat Natal 25 Desember 2011

 Saya mengucapkan selamat Natal 25 Desember 2011. Semoga kehadiran TUHAN menguatkan kita untuk berbuat baik dan mengasihi sesama. GBU

Kamis, 22 Desember 2011

Refleksi Natal. Menerima Yesus Berarti Turut Mewujudkan Kesejahteraan Umum

Peristiwa kelahiran Kristus sekitar 2.000 tahun yang lalu menjadi bahan refleksi yang menarik bahwa di tengah kabar suka cita dari malaikat, kisah kelahiran itu juga diwarnai keprihatinan karena Kristus Sang Juru Selamat yang kedatangan-Nya adalah hadiah besar bagi seluruh umat manusia ternyata  tidak mendapatkan tempat di penginapan.

Bagi umat Kristiani kisah kelahiran Yesus Kristus sudah bukan hal asing lagi. Ia lahir di Betlehem ketika Yusuf dan bunda Maria pergi dari Nazaret ke kota asalnya di Betlehem, kota Raja Daud, untuk disensus mengikuti perintah Kaisar Agustus. Namun karena tidak mendapatkan tempat di penginapan Bayi Yesus pun lahir di kandang (Lukas 2:7 dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan). Kabar kelahiran Kristus itu sendiri diterima dari malaikat oleh para gembala penjaga ternak sebagaimana ditulis Lukas 2:10-12  Lalu kata malaikat itu kepada mereka: "Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa. Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan."). Malaikat itu tidak menyampaikan kabar bohong kepada para gembala karena terbukti para gembala bisa menemukan Bayi Yesus dalam palungan (Lukas 2:16).

Hari Raya Natal yang akan dirayakan sebentar lagi merupakan perayaan akan kelahiran itu. Sebelum Natal, umat Kristiani khususnya Katolik mempersiapkan diri dengan beribadah dan mendengarkan sabda Tuhan selama masa Adven yang berlangsung 4 minggu. Selama 4 minggu itu kaum rohaniwan mempersiapkan umat untuk menerima kedatangan Kristus.

Natal tahun ini berada di tengah kondisi perekonomian yang tidak menentu. Krisis hutang melanda negara-negara Eropa, AS juga belum pulih benar dari krisis 2008. Sementara itu kemiskinan dan pengangguran masih tinggi di berbagai negara. Apakah Natal di Eropa tahun ini akan menjadi Natal yang murung karena krisis dan PHK (pemutusan hubungan kerja) menimpa sebagian warga Eropa?
 
Kejadian sekitar 2.000 tahun lalu ketika Bayi Yesus tidak mendapat tempat di penginapan seperti terulang lagi kini dalam bentuk yang berbeda. Bagi saya, yang dipekerjakan Tuhan di divisi kesejahteraan umum, krisis hutang di Eropa mengindikasikan bahwa sebagian umat manusia tidak memberi tempat bagi Kristus.

Menerima Yesus berarti menerima ajaran-Nya. Saya dengan aneka pengalaman dan pergulatan menemukan bahwa sebagian dari kita tidak memberi tempat di hati kita bagi tumbuh dan bersemayamnya ajaran Kristus yang berkaitan dengan kesejahteraan umum.

Saya menemukan paling tidak ada tiga ajaran penting yang seharusnya mendapat tempat di hati umat manusia agar tercapai kesejahteraan umum dan keadilan sosial.

Yang pertama ajaran berbagi sebagaimana ditulis oleh Injil Lukas 12:33 "Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat." Dari ajaran ini nampak bahwa kalau kita berbagi harta itu harus mendekati 100% dari harta kita, bukan hanya 3% atau 10%. Kalau persentase harta yang harus dibagikan mendekati 100% bagaimanakah dampak ekonomi-moneternya? Yesus Kristus tidak memberi penjelasan karena mungkin Dia tahu umat manusia akan menemukan sendiri jawabannya melalui ilmu pengetahuan. Mungkin juga Tuhan tidak memberi penjelasan waktu itu karena pengetahuan manusia waktu itu terbatas. Teori ekonomi makro biososioekonomi mencoba memberi penjelasan ilmiah bagaimana harta tersebut harus didistribusikan beserta dampak moneternya. Ketika harta yang dibagikan itu sangat kecil maka lama-kelamaan liabilitas publik melonjak dan akhirnya menimbulkan krisis. Ajaran Yesus benar.

Yang kedua adalah penyalur derma. Yesus Kristus ternyata memberi kebebasan kepada penderma bahwa penderma bebas memilih lembaga mana yang harus mendistribusikan atau mengelola derma tersebut. Hal ini tidak hanya tercermin dalam Matius 19:21 tetapi juga dalam peristiwa lain. Dalam Matius 19:21 Yesus TIDAK mengatakan: bawalah ke mari supaya Saya bisa membagikannya kepada orang miskin. Kebebasan memilih penyalur sumbangan juga tercermin dari sikap Yesus yang tidak mau dijadikan Raja dalam pemahaman sebagian umat Yahudi seperti tertulis dalam Yohanes 6:15 "Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri". Yesus juga menolak godaan Iblis seperti tertulis dalam Matius 4:8-10.  Dengan menolak dijadikan raja dalam pemikiran sebagian manusia berarti Yesus juga memberi kebebasan penderma memilih saluran dermanya. Pada waktu itu menjadi raja berarti menerima pembayaran pajak. Sebagai gambaran penghasilan Raja Salomo per tahun adalah 666 talenta emas, jumlah itu kalau dirupiahkan lebih dari Rp 6,6 triliun. Di dalam negara demokrasi modern yang berorientasi kesejahteraan pajak  terdistribusi untuk kesejahteraan rakyat. Ini berbeda dengan kerajaan feodal. Jadi menyalurkan sumbangan sebagai pajak negara demokrasi modern bisa berarti menuruti kehendak Tuhan.

Yang ketiga Yesus meringankan beban banyak orang meski Ia sendiri menanggung beban berat. Yesus meminta murid-murid-Nya memberi makan sesama meski Ia menolak godaan Iblis untuk mengubah batu menjadi roti.

Maka menurut hemat saya, yang dipekerjakan Tuhan di divisi kesejahteraan umum, menerima Yesus berarti ikut berjuang mewujudkan kesejahteraan umum. Kalau Eropa dan AS dilanda krisis berarti sebagian umat manusia tidak sepenuhnya memahami atau menerima ajaran Yesus di atas. Bidang kesejahteraan umum menuntut partisipasi kita semua, termasuk untuk menerjemahkan artikel ini dan menyebarkan kepada orang lain. 

Semoga kehadiran Tuhan menguatkan kita untuk berbagi dan mewujudkan kesejahteraan umum dan semoga kesukaan Natal dirasakan semua orang termasuk yang paling miskin. Selamat Natal 25 Desember 2011. Semoga kita semua hidup dalam damai sejahtera dan dalam terang Tuhan.

Kamis, 15 Desember 2011

Chaos Finansial dan Hukum II Termodinamika

Dalam bukunya, Paul Ormerod mengatakan bahwa ilmu ekonomi sudah mati karena tidak bisa digunakan untuk memprediksi keadaan. Menurut hemat saya pernyataan itu kurang  tepat, yang terjadi bukan matinya ilmu ekonomi tetapi karena perekonomian mengalami chaos.

Menurut Hukum II Termodinamika Entropi sistem yang meningkat secara terus menerus akan menyebabkan chaos atau ketidakteraturan. Masuknya energi ke dalam sistem yang diikuti dengan pengeluaran energi dari dalam sistem, sehingga prosesnya reversibel, akan menyebabkan sistem stabil. Willem Hoogendijk ( Revolusi Ekonomi, Menuju Masa Depan  Berkelanjutan Melalui Pembebasan dari Pengejaran  Uang Semata, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1996, terj. dari  The Economics Revolution: Towards a Sustainable Future by Freeing Economy from Money-making. Uitgeveroh Jan an Ariel, 1991) pernah menggunakan model  ini untuk sistem ekonomi. Saya menggunakan hukum ini dalam buku saya "Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia" 

Berikut ini saya kutipkan dari buku saya halaman 18. "Kondisi chaos terjadi karena sistem ekonomi panas sebagai akibat tidak dikeluarkannya uang atau laba dari sistem ekonomi, kalau pun dikeluarkan jumlahnya hanya sedikit dan tidak sebanding dengan masuk atau dicetaknya uang atau laba di dalam sistem ekonomi." Tabel yang menggambarkan pembayaran hutang manusia terhadap alam seperti yang saya posting beberapa minggu [http://www.satriopiningitasli.com/2011/11/pajak-pajak-yang-anti-demokrasi-ekonomi.html] lalu memperlihatkan ketidakseimbangan tersebut karena pajak dan derma yang kecil dan terutama tidak adanya daur ulang kekayaan individu.

Saya menggunakan depresi besar 1930 sebagai contoh perekonomian yang mengalami chaos. Berikut ini kutipannya:"Sebelum tahun 1920-an, ekonomi AS mengalami kemakmuran: pekerjaan gampang diperoleh, pendapatan melonjak tajam, dan harga-harga stabil. Mulai tahun 1929 segalanya berbalik menjadi jelek. Pada tahun 1929 terdapat 2,5juta penganggur, tahun 1933 meningkat menjadi 13 juta dari 51 juta orang angkatan kerja. Produksi barang dan jasa baru merosot pada tahun 1933 menjadi US $ 55 milyar dari US $ 103 milyar pada tahun 1929. Harga saham Wall Street anjlok, milyaran kekayaan pribadi lenyap, bahkan pengangguran masih bertahan 14% sampai tahun 1940-an"

Peningkatan entropi dalam sistem ekonomi kapitalistik terjadi dengan pengejaran pertumbuhan PDB itu sendiri. Kapitalisme agregat yang mengejar pertumbuhan PDB itulah yang menyebabkan sistem tidak stabil. Tulisan kecil ini sekedar mengingatkan. Seperti dalam kasus depresi besar 1930 di atas, bagusnya data pertumbuhan ekonomi sebelum krisis tidak menjamin bahwa sistem akan bebas dari krisis.

Kita perlu mewaspadai pemicu krisis bergejolak. Pemicunya mungkin tidak diduga banyak orang. Harga property yang mengalami bubble price bisa pecah menjadi krisis bergejolak. Saya tidak memiliki data yang lengkap tetapi indikasi ke arah sana bukannya tidak ada. Saya pribadi tidak tahu pasti kapan menggelembung dan pecah apakah di Indonesia atau di luar negeri. Kita semua dituntut waspada.

Kamis, 08 Desember 2011

Krisis Global. Baca Dulu, Baru Kritik

Di tengah situasi krisis hutang di negara Uni Eropa, krisis ekonomi yang masih membayangi Amerika Serikat dan kemungkinan penjalaran krisis ke seluruh dunia yang menandai krisis kapitalisme agregat maka ada baiknya kalau setiap orang mulai memikirkan dan mengimplementasikan ekonomi jalan ketiga yang merupakan jalan tengah antara kapitalisme dan komunisme. Ekonomi jalan ketiga itu benar-benar ada.

Namun demikian bila ada orang yang ingin mengkritik ekonomi jalan ketiga, saya berharap agar membaca dulu buku saya yang berjudul "Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia" terbitan Wedatama Widya Sastra. Saya berharap pengkritik membacanya dari bab awal sampai kesimpulan. Banyak hal dalam buku itu yang tidak saya share di sini.

Berikut ini informasi dari penerbit mengenai buku itu selama bulan promosi.


Silakan klik link berikut untuk terhubung dengan web Wedatama Widya Sastra:
Wedatama Kebudayaan Nusantara Sosial Politik



Kamis, 01 Desember 2011

Pembicaraan Satrio Piningit Sekitar Tahun 1999




Pada mulanya sebagaimana sebagian Anda, saya juga tidak tahu arti satrio piningit itu apa. Bahkan awalnya saya menyangka bahwa satrio piningit adalah orang yang secara diam-diam disiapkan mantan penguasa orba untuk kembali menguasai Indonesia. Tetapi suatu hari sekitar bulan Juli atau Agustus 2001 salah seorang rekan kerja saya mengatakan bahwa satrio piningit itu orang yang akan membawa Indonesia keluar dari krisis. Kata-kata itu terngiang di telinga saya, kemudian secara kebetulan saya menemukan buku berjudul "Satrio Piningit" karya Kusumo Lelono terbitan GPU Jakarta di sebuah toko buku di Pondok Indah. Dalam "pengembaraan" selanjutnya saya juga menemukan buku-buku lain baik yang bertema satrio piningit atau Ratu Adil.

Jadi, perihal satrio piningit itu sudah dibicarakan orang sejak sekitar tahun 2000, bukan baru-baru ini saja atau baru tahun 2006. Berikut ini saya tampilkan dalam sebuah foto apa yang dibicarakan orang waktu itu.

Foto pertama adalah halaman judul dan daftar isi buku karya D. Soesetro & Zein al Arief cetakan pertama Januari 1999, Penerbit Media Presindo Yogyakarta.

Buku ini bersumber dari berbagai tulisan baik tulisan yang terbit tahun 1998 maupun sebelumnya. Foto kedua dan ketiga menunjukkan daftar pustaka yang di pakai D Soesetro dan Zein al Arief (selanjutnya disebut DSZA) tersebut.



Dari daftar pustaka buku tersebut, jelas istilah satrio piningit sudah ada paling tidak sejak tahun 1998, tahun reformasi. Pada bulan Mei 1998 mahasiswa dan rakyat berjuang mengakhiri rejim lama.

Salah satu hal yang menarik dari buku ini adalah bahwa buku  DSZA tersebut memuat sebuah pendapat bahwa satrio piningit tidak harus menduduki jabatan presiden halaman 67. Pendapat tersebut yang saya pegang teguh sehingga saya menulis dan tampil di blog ini. Berikut fotonya.

Pendapat lain yang menarik adalah bahwa satrio piningit berasal dari rakyat biasa, halaman 68. Berikut ini fotonya.

Pendapat umum dalam buku DSZA tersebut adalah bahwa satrio piningit diharapkan mengatasi krisis, seperti ditulis di halama 80.



Demikian yang dibicarakan orang waktu itu. Dari semua pembicaraan atau pendapat waktu itu, satu hal yang saya pegang teguh bahwa satrio piningit tidak harus menjadi presiden. Bukankah pengetahuan juga kekuatan? Satrio piningit tidak minta dipilih menjadi presiden atau jabatan struktural lainnya. Satrio piningit HANYA minta agar orang-orang meninggalkan paradigma ekonomi lama yang neolib dan menggantinya dengan paradigma biososioekonomi yang adalah ekonomi jalan ketiga yang pancasilais. Semoga dimengerti.

Kamis, 24 November 2011

Pajak-Pajak yang Anti Demokrasi Ekonomi


Demokrasi ekonomi dalam paradigma barunya yang berdasarkan biososioekonomi menuntut kita untuk terus-menerus mengawasi segala praktek atau kebijakan yang anti demokrasi ekonomi baik dalam penyelenggaraan negara maupun dalam kehidupan sosial masyarakat.

Salah satu kebijakan yang anti demokrasi ekonomi menurut hemat saya adalah kebijakan pajak konsumen. Memang, pajak adalah salah satu pendapatan publik, namun menyangkut pajak konsumen kita harus lebih bijak karena pada hakekatnya pajak jenis ini cenderung anti demokrasi ekonomi. Yang saya maksud pajak konsumen adalah segala macam pungutan resmi dari negara yang langsung ditanggung konsumen seperti cukai dan PPN (pajak pertambahan nilai).

Pada dasarnya demokrasi ekonomi dalam paradigma barunya, yang berdasarkan biososioekonomi, berpandangan bahwa laba (beserta akumulasinya yang menjadi kekayaan) berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Pandangan ini berasal dari rumusan dasar biososioekonomi bahwa "kelahiran adalah hutang yang harus dibayar dengan kematian". Rumusan dasar ini menghasilkan suatu neraca yang saya namakan neraca pembayaran hutang manusia pada alam, lihat gambar yang saya kutip dari buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia terbitan Wedatama Widya Sastra (WWS) Jakarta 2004 halaman 11.

Tanda bintang menunjukkan bahwa tidak semua pajak adalah pengembalian hutang yang pro demokrasi ekonomi. Namun penjelasan tanda bintang yang saya tulis di buku itu kurang memadai sehingga saya harus menjelesakan lebih lanjut. Pada dasarnya semua yang dikembalikan kepada konsumen (semua orang) adalah demokrasi ekonomi dan bisa membuat semua hutang terbayar. Neraca di atas adalah landasan berpikir teori ekonomi makro biososioekonomi selain neraca herucakra society yang merupakan neraca rekening T publik yang menggambarkan aset dan liabilitas publik.

Dengan mengurangi atau menghilangkan pajak atau pungutan pada konsumen akan membuat aneka produk dan jasa bisa murah atau terjangkau lebih banyak orang. Namun untuk itu kita harus meningkatkan pendapatan publik yang lain yaitu dari derma, pajak kekayaan individu (bukan pajak kekayaan perusahaan), pajak warisan, pajak penghasilan dan terutama daur ulang kekayaan individu. Kemampuan orang untuk mengembalikan laba beserta akumulasinya lebih besar dari kemampuan perusahaan karena orang juga bisa bertindak sebagai homo socius sementara perusahaan memiliki etos sosial yang rendah karena perusahaan adalah institusi bisnis. Sebagian pendapatan di atas berada dalam wewenang otoritas fiskal negara dan sebagian lain dalam "wewenang" civil  society di mana civil society adalah dua dari tiga keadaban publik yang bisa mengglobal. Memang perlu ada kerja sama antara pemerintah dan civil society.

Tantangan demokrasi ekonomi berasal dari kebiasaan lama. Kebiasaan lama itu adalah pewarisan kekayaan berlimpah, pembatasan derma hanya 2,5 atau 10% dari harta, dan pandangan neolib atas laba. Kalau setiap orang menyadari bahwa laba dan akumulasinya berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen maka demokrasi ekonomi akan lebih mudah diwujudkan. Berarti menghilangkan pajak yang anti demokrasi ekonomi juga bukan mustahil. 

Semoga postingan sederhana ini bisa lebih mengakrabkan banyak orang dengan cara berpikir  teori ekonomi makro baru biososioekonomi.

Kasih Terbesar Seorang Ayah

Kasih terbesar seorang ayah kepada anaknya bukan terjadi ketika ia mewariskan kekayaan berlimpah kepada anaknya atau ketika ia membuat pesta perkawinan super mewah bagi anaknya. Kasih terbesar seorang ayah terjadi ketika ia memperkenalkan Bapa Surgawi kepada anaknya karena dengan itu ia memperkenalkan jalan keselamatan. Ketika Bapa Surgawi menjatuhkan tulah dan hukuman ke bumi seperti pada jaman Mesir maka segala macam kekayaan dan kemewahan di atas tidak ada artinya. Good morning. May God bless us
(copy paste dari statusku di facebook hari ini)

Kamis, 17 November 2011

Ekonomi Jalan Ketiga dalam Bahasa Sederhana

Demonstrasi (ada yang menggunakan istilah pendudukan) terhadap bursa efek tidak hanya terjadi di Amerika Serikat tetapi juga di Indonesia baru-baru ini. Sementara itu pada waktu kampanye pilpres 2009 lalu ada yang mengkhawatirkan kelangsungan perdagangan saham bila ekonomi kerakyatan diterapkan.

Postingan sederhana ini ingin menjelaskan dengan bahasa yang sederhana mengenai ekonomi jalan ketiga agar mereka yang intelektuakitas atau pendidikannya terbatas bisa memahami dengan benar sehingga tidak mudah diombang-ambingkan oleh politisi atau kekuatan tidak bertanggung jawab lainnya. Tentu mereka yang pendidikan atau intelektualitasnya memadai bisa membaca tulisan saya (Hani Putranto) yang lebih lengkap yang berjudul "Tiga Alasan Mengapa Biososioekonomi Disebut Sebagai Ekonomi Jalan Ketiga"

Pada dasarnya ekonomi jalan ketiga tidak menolak bisnis pribadi, dalam arti tidak menolak laba. Kalau kita melakukan kegiatan produksi atau distribusi kita akan memperoleh laba. Kita menerima saja laba seperti itu, tidak perlu menolak laba dengan cara banting harga sehingga margin labanya nol rupiah. Dalam realitanya tindakan banting harga bisa dituduh sebagai tindakan dumping. Ekonomi jalan ketiga tidak menganjurkan banting harga untuk menolak laba. Yang perlu dilakukan adalah memperlakukan laba sebagai titipan yang bisa dibagikan kembali  dalam bentuk derma, pajak, dan daur ulang kekayaan pribadi sehingga laba,  yang terkumpul menjadi harta, bisa kembali kepada publik.

Jadi, kalau kita berbagi itu memang harus sampai menjual harta kita. Dalam beberapa situasi membagikan uang lebih praktis dari pada membagikan saham atau gedung milik kita. Hal ini juga berarti kalau ekonomi jalan ketiga dalam hal ini biososioekonomi diterapkan perdagangan saham tidak perlu dihentikan. Bill Gates menjual sahamnya di bursa untuk membiayai yayasan sosialnya. Jelas kan?

Yang perlu dijaga adalah bahwa persentase harta yang dibagikan tidak boleh dibatasi 2,5% atau 10%. Persentase harta yang harus dibagikan bisa mencapai 99% atau mendekati 100% tergantung kekayaan seseorang. Semakin kaya semakin besar pula persentasenya. Dalam hal ini yang diwajibkan berbagi harta sampai mendekati 100% adalah orang bukan perusahaan karena pada dasarnya orang harus lebih dermawan dari perusahaan. 

Semoga postingan sederhana ini mudah dipahami.

Pengumuman Blog
Blog Satrio Piningit Versi Cetak

Kamis, 10 November 2011

Sisi Lain 10 November

Setiap tanggal 10 November kita memperingati hari pahlawan untuk mengenang semua pahlawan yang telah berpulang yang pernah membela dan berjuang untuk NKRI. Tanggal 10 November dipilih karena pada tanggal itu tahun 1945 terjadi pertempuran di Surabaya akibat serangan sekutu.

Dalam masa damai, makna kepahlawanan berbeda. Namun postingan hari ini tidak menyinggung makna kepahlawanan karena saya pernah menulisnya di postingan lain misal dalam tulisan yang berjudul "Dharma Ksatria"

Tulisan kali ini menyinggung sisi lain dari peristiwa 10 November 1945 atau pertempuran Surabaya. Pertempuran itu terjadi karena serbuan sekutu yang diboncengi Belanda yang berniat menjajah kembali Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan sekitar dua bulan sebelumnya. Tidak sedikit jiwa pejuang yang gugur dalam pertempuran untuk mempertahankan NKRI itu. Korban lain juga berjatuhan.

Menurut cerita ayah saya, keluarga adik kakek ikut menjadi korban. Adik kakek saya Kirzin Yohanes mendapat cacat di kening karena kendaraan militer yang ditumpanginya terbalik, sementara anak bayi Kirzin Yohanes menjadi tuli karena sebuah ledakan dalam pertempuran Surabaya itu, dan karena menjadi tuli sejak bayi maka otomatis juga menjadi bisu.

Itulah sisi lain pertempuran Surabaya yang banyak memakan korban. Telah banyak korban untuk membela dan menegakkan NKRI. Akankah kita menyia-nyiakannya?

Sampai hari ini kita masih prihatin karena sebagian pejabat pemerintah tidak benar-benar layak menjadi pejabat publik. Ada yang anti Pancasila, ada yang korup, ada yang anti demokrasi ekonomi, bahkan mungkin ada yang berniat mendirikan negara baru yang bukan NKRI dengan Pancasilanya. Mungkin ada juga yang bersekongkol dengan orang-orang yang anti Pancasila demi meraih kedudukan. Itu semua merupakan pengkhianatan terhadap mereka yang menjadi korban berbagai pertempuran untuk mempertahankan NKRI. Semoga para pejabat itu sadar atau harus diganti sesuai konstitusi. Marilah kita menjadi negarawan yang baik.

Pengumumam Blog
Blog Satrio Piningit Versi Cetak

Kamis, 03 November 2011

Membuka Jendela Menghirup Udara Segar



Tinggal di dalam ruangan tertutup sering membuat kita sumpek dan pusing. Dalam situasi seperti itu tidak ada jeleknya kita membuka jendela agar udara segar masuk.

Melihat banyaknya ekonom yang terpaku pada ukuran pertumbuhan PDB menunjukkan adanya kesumpekan dalam benak para ekonom. Perlu membuka jendela wawasan agar paradigma baru yang segar masuk.

Bagi para penerbit yang mau berpartisipasi memasukkan udara segar dengan menerbitkan blog ini silakan. Mari. Lihat pengumuman blog di postingan tanggal 1 November 2011. Semoga TUHAN memberkati kita semua.

Selasa, 01 November 2011

Blog Satrio Piningit Versi Cetak

Sejak saya menulis di blog ini, tiga tahun yang lalu, saya tidak pernah lagi mengirimkan tulisan atau naskah untuk diterbitkan/dicetak. Perkenalan saya dengan blog khususnya Blogger membuat saya puas karena saya bisa menuangkan pikiran saya dengan orisinal dengan ruang tak terbatas.

Namun demikian apabila ada penerbit yang tertarik dan berniat bekerja sama untuk menerbitkan blog pribadi saya (Hani Putranto) ini, saya senang sekali. Silakan kirim surat ke alamat email saya r_hanijapar@yahoo.co.id atau haniputranto8@gmail.com

Blog ini ditulis atas itikad baik guna mewujudkan kesejahteraan publik secara damai konstitusional sesuai dengan kebenaran dan keadilan. Kita semua dituntut mewujudkan kesejahteraan publik sesuai kapasitas dan jabatan kita masing-masing namun demikian kesejahteraan publik tidak tergantung orang tapi tergantung TUHAN dengan segala kuasa-Nya.

Kamis, 27 Oktober 2011

Refleksi Sumpah Pemuda. Persatuan Bangsa dan Kesejahteraan Umum

Dalam refleksi peringatan Sumpah Pemuda tahun lalu di blog ini, saya tulis bahwa kaum muda yang menjadi harapan bangsa bisa berkarya di tiga pilar keadaban publik sesuai minatnya masing-masing. Tiga pilar itu adalah negara, society, dan pasar (bisnis).

Kaum muda dikenal semangat dan keterbukaannya. Kaum muda generasi 28 yang mencetuskan Sumpah Pemuda telah memenuhi panggilan sejarah dan memenuhi harapan bangsa untuk bebas dari belenggu penjajahan. Mereka generasi cerdas dan terpelajar yang memiliki visi di tengah sebagian bangsanya yang terbelenggu kemiskinan dan kebodohan.

Kini kita kaum muda juga dihadapkan pada kemiskinan dan kebodohan sebagian anak bangsa. Sementara itu sebagian pejabat pemerintah dan elite politik telah kehilangan roh proklamasi. Mereka menjajah bangsanya sendiri dengan sikapnya yang anti demokrasi ekonomi dan sikap buruk lainnya seperti mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, terlalu banyak trik dan rekayasa untuk meraih kedudukan serta bersikap tamak. Kondisi seperti itu membuat kita terpanggil untuk memperbaikinya.

Teori ekonomi makro biososioekonomi membawa paradigma baru ekonomi publik kerakyatan yang sesungguhnya harus kita wujudkan. Saya memaparkan teori tersebut di blog ini agar semua orang, terutama kaum muda, bisa berperan mewujudkan kesejahteraan publik. Sebagai teori ilmiah biososioekonomi terbuka terhadap kritik, silakan dikritik atau dikoreksi bila keliru. Namun kalau teori itu benar maka kita terpanggil untuk mengimplementasikan dan menyebarluaskan sesuai kapasitas dan jabatan kita masing-masing di mana kita berkarya di ranah state, society, atau bisnis sebagaimana saya jelaskan dalam refleksi tahun lalu.

Persatuan bangsa dan kesejahteraan umum harus menjadi perhatian kita bersama. Saya gembira dan bahagia ketika menyaksikan kaum muda atau siapa saja yang setelah belajar di blog ini menjadi negarawan yang baik, anggota masyarakat yang baik, menjadi lebih cerdas dan jujur, dan menjadi lebih berkomitmen dalam mewujudkan kesejahteraan publik dan persatuan bangsa. Sebagaimana sering saya jelaskan di blog ini dan dalam kesempatan lain, saya berpantang menduduki jabatan struktural publik seperti jabatan presiden, gubernur atau jabatan semacamnya. Suatu pekerjaan yang tidak menjadi pantangan bagi saya adalah pekerjaan non struktural seperti menulis dan mengajar teori ekonomi makro biososioekonomi tingkat dasar. Maka harapan saya adalah agar mereka yang telah tuntas belajar di blog ini bisa menjadi lebih baik dalam ikut mewujudkan kesejahteraan publik entah sebagai pejabat pemerintah atau berkarya di tempat lain.

Semoga kita semua bisa ikut menjaga persatuan bangsa dan mewujudkan kesejahteraan publik yang menjadi dambaan rakyat. Salam Indonesia. Merdeka!

Kamis, 20 Oktober 2011

Memperingatkan Sebagai Hamba Sembari Bekerja Sebagai Penggarap

Tak terasa sudah tiga tahun usia blog ini, sebuah blog yang memperjuangkan demokrasi ekonomi dan kesejahteraan publik dengan biososioekonomi yang merupakan ekonomi publik kerakyatan. Setahun yang lalu saya menulis di blog ini bagaimana blog ini membangun paradigma ekonomi publik kerakyatan. Membangun paradigma baru memang tidak bisa semalam jadi, oleh karena itu sampai saat ini saya masih hadir menulis di blog ini, dan perlu diketahui bahwa semua artikel yang diposting di sini adalah karya saya pribadi (Hani Putranto). 

Pernah seorang rekan menanyakan mengapa saya yang aktivitas  sehari-harinya sebagai pebisnis peduli pada pengentasan kemiskinan. Melalui postingan hari ini saya akan mencoba menjawabnya. Waktu itu saya tidak menjawabnya karena jawaban itu akan panjang dan menyentuh pengalaman rohani saya. 

Bagi saya tidak aneh kalau seorang pebisnis peduli pada isu pengentasan kemiskinan. Seorang pebisnis adalah juga manusia yang tidak hanya homo economicus tapi juga homo socius. Sesuatu yang tidak mungkin menjadi bersifat sosial adalah perusahaan. Jadi pertama-tama mohon dibedakan antara pebisnis yang notabene adalah manusia dengan perusahaan. 

Karena menyangkut pengalaman rohani maka dalam penjelasan saya ini kadang diperlukan kutipan ayat Kitab Suci. Dari TUHAN dan Sabda-Nya saya memperoleh kekuatan dan keberanian untuk memperjuangkan kesejahteraan publik (dan pengentasan kemiskinan) yang sering mendapat rintangan dan hambatan dari kelompok kepentingan. Tentu seperti sering saya jelaskan di blog ini atau di blog saya yang berbahasa Inggris (http://public-prosperity.blogspot.com), kalau saya mengutip Alkitab itu berkaitan dengan kesejahteraan umum bukan berkaitan dengan ritual ke surga karena saya dipekerjakan hanya  di  suatu bidang yang bolehlah disebut divisi yaitu divisi kesejahteraan umum. Divisi lain adalah urusan pihak lain supaya tidak tumpang tindih.

Dalam pengalaman rohani saya, seorang pebisnis bukan sosok yang terasing dari karya dan rencana TUHAN karena dalam pengalaman saya tersebut TUHAN tidak hanya jalan ke surga tetapi juga jalan kesejahteraan umum di bumi. Mungkin pernah di dalam sejarah, seorang pebisnis terpinggirkan atau terpariakan dari rencana TUHAN dalam mewujudkan kesejahteraan umum di bumi, tetapi itu tidak berarti TUHAN sengaja membuang mereka. Bukan TUHAN yang membuang mereka.

Mula-mula saya kehilangan pekerjaan Februari 1993. Kemudian karena mendapat sentuhan dan jamahan yang luar biasa dari TUHAN sebagai Bapa maka saya berjanji kalau kaya raya akan mengembalikan kekayaan itu kepada TUHAN pemilik talenta bukan mewariskannya kepada anak cucu. Ternyata janji dan komitmen saya itu adalah awal dari tugas besar yang dipercayakan TUHAN kepada saya (bdk Matius 25:23 Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.). Tanggal 4 Juli 2002 ketika saya berhasil membaca nama saya R Hani Japar tersandi dalam mimpi seseorang, (bdk Wahyu 2:17 Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa menang, kepadanya akan Kuberikan dari manna yang tersembunyi; dan Aku akan mengaruniakan kepadanya batu putih, yang di atasnya tertulis nama baru, yang tidak diketahui oleh siapapun, selain oleh yang menerimanya.") saya yakin bahwa saya dipilih TUHAN untuk memberi peringatan agar orang kaya mengembalikan kekayaan kepada TUHAN bukan mewariskannya kepada anak-cucu mereka.

Memberi peringatan dan menjelaskan teori ekonomi makro biososioekonomi sering membuat saya suntuk, apalagi jaman dulu sekitar tahun 2003 ketika belum marak media alternatif seperti blog, micro blog, dan jejaring sosial seperti fb. Berbagai macam penolakan, hambatan, dan penenggelaman sering saya alami. Dalam kondisi lelah seperti itu TUHAN memberi kekuatan agar saya melanjutkan peringatan yang saya sampaikan. Bagi saya tidaklah aneh ketika biososioekonomi dibuang atau ditolak sering terjadi sesuatu seperti gempa bumi (bdk Matius 21:42 Kata Yesus kepada mereka: "Belum pernahkah kamu baca dalam Kitab Suci: Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru: hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib di mata kita.).

Perumpamaan dalam Matius 21:33-45  tentang kebun anggur dan para penggarap itu begitu hidup dalam arti begitu dekat dan nyata dalam realitas kehidupan dan pengalaman saya. Dalam pengalaman rohani saya yang dimaksud para penggarap kebun anggur tidak hanya rohaniwan/ti atau imam tetapi juga pebisnis. Memberi peringatan kepada pebisnis atau orang kaya agar mengembalikan kekayaan kepada TUHAN bukan mewariskannya adalah suatu pekerjaan seorang hamba dalam perumpamaan tersebut di atas, dan sering kali pekerjaan seperti itu selain penuh resiko juga peringatan yang kita tulis tidak dimuat alias dibuang atau ditenggelamkan. Penenggelaman atau pembuangan tulisan kita itu sering membuat suntuk dan lelah seolah-olah apa yang kita lakukan sia-sia. Namun dengan merangkap kerja sebagai penggarap baru maka segala kesuntukan dan kelelahan seperti itu terobati, itulah salah satu pengalaman nyata saya. Bagi saya, seorang pebisnis yang berkomitmen seperti saya juga adalah seorang penggarap di kebun anggur TUHAN.  Sebagai catatan perlu juga diketahui ada istilah pekerja di kebun anggur TUHAN. Mohon dibedakan antara pekerja dan penggarap.

Krisis ekonomi dan krisis kapitalisme yang melanda negara-negara barat menunjukkan bahwa mereka benar-benar tidak tahu atau terasing dengan sabda TUHAN yang mengatakan:"juallah segala milikmu." Teori ekonomi makro biososioekonomi berusaha memberi penjelasan ilmiah bagaimana sabda itu diimplementasikan. 

Kesejahteraan publik menuntut kita semua untuk berpartisipasi secara nyata dan damai non kekerasan, selanjutnya TUHAN yang akan menyempurnakan usaha kita. Baik seorang hamba yang memberi peringatan atau penggarap baru yang berkomitmen seperti saya, punya andil dalam mewujudkan kesejahteraan publik. Semoga TUHAN memberkati kita semua.

Kamis, 13 Oktober 2011

Maka Murkalah Raja Itu

Krisis ekonomi global bukanlah persoalan yang sepele yang akan pulih dengan sendirinya dengan pembiaran tanpa tindakan konkret yang tepat. Teori ekonomi makro biososioekonomi memberikan pengetahuan yang obyektif kondisi makro ekonomi sesuai dengan hukum alam mengenai keseimbangan (akuntansi) dan hukum alam mengenai kelangkaan (ekonomi).

Menurut teori ekonomi makro biososioekonomi, krisis didefinisikan sebagai ketidakmampuan sistem membayar satu atau beberapa kewajibannya (laba, bunga, gaji, jaminan sosial seperti pendidikan, kesehatan, food stamps, dan pensiun). Jatuhnya laba sudah sering terjadi dalam sejarah, demikian juga pengangguran. Adanya pengangguran mengindikasikan bahwa sistem ekonomi yang sedang berjalan tidak mampu membayar gaji. Adanya orang yang hidup di bawah batas kebutuhan hidup layak (khl) mengindikasikan bahwa sistem ekonomi yang sedang berjalan tidak mampu membayar laba. Demikian juga kalau bunga tabungan menjadi nol atau minus bila dikoreksi dengan inflasi, berarti sistem tidak mampu membayar bunga. Kejadian-kejadian seperti itu sudah sering terjadi dan masih terjadi sampai saat ini.

Selama rekening T publik menunjukkan bahwa liabilitas publik lebih tinggi dari asetnya atau aset individu lebih tinggi dari aset publik maka krisis tetap terjadi dan akan berlanjut. Sistem ekonomi akan mampu membayar semua kewajiban tersebut di atas bila aset publik sama dengan liabilitsanya. Sistem ekonomi kapitalistik dalam hal ini kapitalisme agregat tidak menjamin bahwa sistem itu mampu membayar semua kewajibannya di atas. Biososioekonomi sebagai ekonomi jalan tengah atau jalan ketiga menawarkan solusi mendasar atas krisis.

Kearifan lokal bangsa Indonesia meramalkan akan datangnya jaman keemasan, jaman yang penuh dengan keadilan dan kemakmuran. Menurut hemat saya jaman keemasan itu bisa diperumpamakan seperti pesta atau perjamuan perkawinan di mana semua orang diundang, bahagia, dan tidak kelaparan. Perumpamaan itu sudah ditulis dalam Kitab Suci (Mat 22:1-14). Namun seperti halnya yang ditulis dalam
Kitab Suci demikian juga realitas hidup kita bahwa pesta perjamuan nikah itu ada yang menghalangi. Biososioekonomi pun ada yang menghalangi, ada orang yang acuh tak acuh pura-pura tidak tahu, ada yang sibuk dengan pikiran atau paradigmanya sendiri. Bahkan ada yang berusaha menindas atau menenggelamkan biososioekonomi.

Kita semua dituntut untuk berpartisipasi dalam hajatan besar untuk semua penduduk bumi ini dengan cara-cara damai non kekerasan. Jangan berkecil hati bila ditolak atau dihalang-halangi sampai suatu saat Tuhan Raja Semesta Alam menurunkan tentara surga-Nya untuk membantu kita mewujudkan pesta atau jaman keemasan ini (bdk Mat 22:7 Maka murkalah raja itu, lalu menyuruh pasukannya ke sana untuk membinasakan pembunuh-pembunuh itu dan membakar kota mereka).

Apa yang ingin disampaikan dalam postingan ini adalah kita semua diundang untuk berpartisipasi mewujudkan jaman keemasan ini melalui jalan damai non kekerasan. Tuhan sendiri yang akan menyempurnakan usaha kita. Dengan menyebarluaskan teori ekonomi makro biososioekonomi melalui sms, messenger, atau internet, Anda juga sudah ikut berpartisipasi. Tentu yang mampu berpartisipasi lebih dari itu juga dituntut lebih banyak. Semoga Tuhan meluputkan Anda dan keluarga Anda dari tulah dan hukuman TUHAN yang akan dijatuhkan ke bumi demi terwujudnya jaman keemasan.

Kamis, 06 Oktober 2011

Publik vs Pemilik Modal

Sering kita membaca tulisan di surat kabar konvensional baik berupa berita atau opini mengenai perekonomian makro tetapi sudut pandang yang diambilnya bukan kepentingan publik tetapi pemilik modal. Bagi kita yang memahami teori ekonomi makro biososioekonomi memang bisa mengenali sudut pandang yang diambilnya. Yang memprihatinkan kita tentu adalah bahwa tulisan-tulisan seperti itu tidak benar-benar membela kepentingan publik. Mungkin hal itu disengaja mungkin juga tidak karena ketidaktahuannya, tetapi yang jelas kepentingan publik tidak benar-benar ditegakkan atau diperjuangkan.

Negara Gagal
Ambil contoh misalnya istilah negara gagal, istilah ini sering dipakai. Menurut hemat saya istilah ini adalah istilah yang mengambil sudut pandang pemilik modal global. Seorang pemilik modal global atau manager investasinya akan berpikir ke mana mau menginvestasikan modalnya. Dia akan mempertimbangkan beberapa negara dan akan menilai apakah suatu negara termasuk kategori negara gagal atau tidak. Dia tidak akan menunggu pemerintahan baru untuk memperbaiki negara tersebut kalau kebutuhan untuk berinvestasinya adalah hari ini. Bagi kita yang peduli kepentingan publik dan tidak sedang memposisikan diri sebagai pemodal global lebih baik kalau menggunakan istilah pemerintahan gagal bukan negara gagal, karena kalau pemerintahan gagal bisa diganti sesuai konstitusi.

Peringkat Utang
Istilah ini juga sering dipakai. Menurut hemat saya istilah atau ukuran ini sering dipakai oleh pemilik modal global sebagai pedoman pembelian surat utang suatu negara. Seseorang yang bertanggung jawab pada perekonomian negara atau publik sebaiknya fokus pada upaya-upaya meningkatkan pendapatan publik melalui pajak, derma, dan daur ulang kekayaan pribadi.

Pertumbuhan Ekonomi
Demikian juga dengan istilah pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan PDB. Bagi pemodal global besarnya pertumbuhan PDB suatu negara menjadi salah satu bahan pertimbangan untuk berinvestasi di negara tersebut. Pihak yang paling diuntungkan dengan besarnya pertumbuhan PDB adalah pemilik modal bukan rakyat kebanyakan. Kelemahan konsep PDB dan pertumbuhan PDB sudah saya ulas di blog ini. Penjumlahan pendapatan individual menjadi PDB tidak membuat PDB otomatis menjadi pendapatan publik. PDB tidak identik dengan pendapatan publik sementara ukuran yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan publik atau makro adalah aset dan pendapatan publik.

Demikian beberapa istilah yang dipakai pemilik modal global sebagai bahan pertimbangan berinvestasi di suatu negara. Ekonomi berkaitan dengan kepentingan, jadi sebelum secara njlimet mengutip atau mengakomodasi teks book (yang sudah usang) sebaiknya seseorang secara jelas dan tegas menyatakan mewakili kepentingan siapa, publik atau pemilik modal? Pemasukan bagi publik adalah pengeluaran bagi pemilik modal. Jadi yang pertama-tama harus jelas adalah sudut pandang kepentingannya, publik atau pemilik modal.

Bagi yang baru pertama kali mengunjungi blog ini mungkin akan bertanya-tanya lantas apa yang harus dilakukan pemangku kepentingan publik. Yang harus dilakukan adalah meningkatkan pendapatan publik melalui derma, pajak, dan daur ulang kekayaan pribadi sesuai dengan ruang lingkup wewenangnya apakah di ranah state atau society agar aset publik sama dengan liabilitasnya.

Memang kepastian hukum diperlukan demikian juga infrastruktur dan keamanan yang baik. Namun hal ini bukan semata-mata untuk menarik investor. Kalau infrastruktur, keamanan, dan kepastian hukum baik rakyat juga akan menikmatinya.

Kamis, 29 September 2011

Akar Kesenjangan dan Ketidakadilan

Menurut hemat saya ada informasi mengenai ketidakadilan yang sering dimanipulasi atau dieksploitasi oleh gerakan radikal untuk membenarkan aksi terornya. Gerakan radikal itu menganggap bahwa sumber ketidakadilan adalah negara tertentu (AS). Serangan teror dan kekerasan pun ditujukan kepada orang atau lembaga yang dianggap berhubungan dengan AS dan sekutunya.

Anggapan bahwa sumber ketidakadilan adalah negara tertentu perlu dikoreksi karena hal itu tidak benar. Ketidakadilan antar negara terjadi karena adanya ketidakadilan dan kesenjangan antar individu. Sekarang AS sedang menghadapi krisis ekonomi, demikian juga Eropa. Menurut hemat saya sumber ketidakadilan dan kesenjangan antar individu adalah adanya pandangan atau ajaran keliru yang berkembang di tengah masyarakat di seluruh dunia. Pandangan atau ajaran yang saya maksud adalah suatu ajaran yang menganggap bahwa derma cukup 2,5% atau 10% dari harta. Ajaran seperti itu akan menghambat peningkatan pendapatan dan aset publik. Ketika pendapatan dan aset publik kurang maka tidak hanya kesenjangan saja yang terjadi tapi juga krisis ekonomi dan chaos finansial.

Di negara-negara pengekspor teror pun ada kesenjangan sosial antar individu. Sumber ketidakadilan dan kesenjangan bukan negara tertentu seperti sering diprovokasikan oleh gerakan radikal. Seseorang yang cerdas (memahami matematika), jujur, dan pemberani akan menolak ajaran keliru mengenai derma tadi siapa pun yang mengajarkannya.

Orang Jawa tidak membatasi derma hanya 2,5% atau 10%. Candi-candi besar seperti Borobudur dan Prambanan dapat dibangun karena jaman dulu orang Jawa kaya dan dermawan. Kalau sekarang sebagian orang
Jawa menjadi kikir karena pengaruh ajaran keliru yang membatasi derma hanya 10%. Demikian juga, hierarki Gereja Katolik tidak membatasi derma hanya 10%, tapi praktiknya tidak sedikit orang kaya Katolik yang puas dengan mendermakan hanya 10% hartanya.

Mungkin diperlukan krisis ekonomi yang lebih dahsyat secara global untuk memelekkan mata sebagian besar orang di seluruh dunia bahwa pandangan mengenai derma yang mereka pegang itu keliru. Bagi kita yang memahami teori ekonomi makro biososioekonomi, krisis itu tidak diperlukan karena kita sudah bisa melihat pandangan yang benar.

Adanya ketidakadilan dan kesenjangan sosial tidak boleh dijadikan dalih atas tindak kekerasan. Kita harus memperjuangkan
Keadilan sosial dan kesejahteraan publik dengan cara-cara damai non kekerasan seperti sering saya ingatkan melalui blog ini. Semoga Tuhan memberkati dan menyempurnakan usaha kita yang kita tekuni melalui jalan damai non kekerasan.

Kamis, 22 September 2011

Sembilan Tahun Biososioekonomi



Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada pengunjung blog ini, khususnya yang sering menantikan artikel biososioekonomi. Saya (Hani Putranto) melontarkan istilah biososioekonomi (bioekonomi) pertama kali pada tanggal 20 September 2002 di dalam sebuah naskah yang saya kirim ke harian nasional tapi tidak dimuat. Istilah biososioekonomi yang saya maksud berkaitan dengan ekonomi makro bukan berkaitan dengan ekonomi perikanan.

Setelah buku saya Herucakra Society terbit, saya mempresentasikan makalah bioekonomi pertama kali dalam seminar bulanan ke-22 yang diselenggarakan PUSTEP UGM 2 November 2004. Setelah itu sebagian besar tulisan biososioekonomi yang saya buat saya posting di blog ini. Sampai saat ini saya belum berniat membuat blog khusus biososioekonomi.

Kepada pihak-pihak yang telah ikut menerbitkan maupun menyebarluaskan teori ekonomi makro biososioekonomi, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Sementara itu saya berharap kepada siapa pun yang mengutip
sebagian atau seluruh artikel di blog ini dimohon untuk menyebut sumbernya.

Perlahan-lahan biososioekonomi semakin dikenal. Silakan belajar teori ekonomi makro biososioekonomi di blog ini. Biososioekonomi berguna bagi siapa pun juga baik bagi mereka yang bekerja di ranah state sebagai pejabat pemerintah, legislatif, bank sentral atau pun yang bekerja di ranah civil society. Saya berharap mereka yang mempelajari biososioekonomi dengan serius dan tekun bisa ikut mewujudkan kesejahteraan umum. Rakyat menantikan partisipasi kita semua dalam kapasitas dan jabatan kita masing-masing.

Kita yang memahami biososioekonomi dan yang mengunjungi dan membaca blog ini harus tetap jernih di lingkungan yang tidak jernih. Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Kamis, 15 September 2011

Berbanggakah Anda Menjadi Bangsa Indonesia?

Tidak sedikit wiraswastawan/ti yang berhasil mengembangkan usahanya dengan mulai dari usaha kecil dan memanfaatkan segala potensi yang mereka miliki bukan dengan meminjam uang besar-besaran. Ada seorang wiraswastawan yang memulai usaha dari garasi rumahnya. Seorang rekan yang sukses membuka agent property dulunya memulai usaha itu sebagai marketing associate dengan modal pas-pasan dengan pager tanpa handphone meskipun waktu itu, sekitar tahun 1997, handphone sudah umum dimiliki banyak orang. Keuletan dan ketekunan menunjang sukses mereka. Orang-orang itu bisa sukses bukan karena hebat tanpa cacat kekuarangan tetapi karena mereka memanfaatkan potensi mereka, fokus memaksimalkan potensi sehingga segala cacat kelemahan mereka teratasi. Begitu memperloleh penghasilan memadai rekan saya itu segera membeli handphone yang memang sangat berguna bagi marketing associate properti.

Demikian juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita masih ada cacat kekurangannya seperti merajalelanya korupsi dan penyalahgunaan wewenang serta terlalu banyaknya politisi (dalam arti politisi busuk dan petualang politik) serta minimnya negarawan. Namun  di tengah situasi seperti itu kita harus fokus memanfaatkan segala potensi yang kita miliki. Dan bagi saya biososioekonomi adalah salah satu potensi yang kita miliki yang perlu dimaksimalkan sehingga pelan-pelan cacat-kekurangan yang kita miliki akan terkikis  habis atau teratasi.

Tidak sedikit orang Indonesia yang tidak bangga sebagai bangsa Indonesia karena tidak mengenal potensi dirinya. Saya bangga sebagai bangsa Indonesia karena saya mengenal potensinya. Bagi saya biososioekonomi adalah kebanggaan bersama yang harus dimaksimalkan untuk mengatasi cacat kekurangan kita. Biososioekonomi dirumuskan di Indonesia oleh anak bangsa untuk kesejahteraan bersama secara global. Kalau ada orang yang tidak bangga dengan biososioekonomi, patut diragukan nasionalismenya, boleh jadi orang seperti itu adalah hamba atau budak bangsa lain. Apakah ada orang Indonesia yang tidak bangga dengan biososioekonomi? Lihat saja komentar di blog ini. Tentu, sebagai teori ilmiah biososioekonomi terbuka terhadap koreksi dan perbaikan.

Kita hidup di Indonesia mencari rejeki di Indonesia seharusnya memiliki kepribadian Indonesia bukan menjadi budak bangsa lain dengan menenggelamkan biososioekonomi.











Kamis, 08 September 2011

Kebebasan Memilih Penyalur Sumbangan

Seperti saya tulis beberapa waktu lalu, orangtua siswa (mahasiswa) sering tidak memiliki kebebasan menyumbang. Mereka sering berada pada posisi terjepit, sudah begitu transparansi dan kontrol terhadap pemakaian dana tidak ada. Dalam kejadian seperti itu orangtua siswa (mahasiswa) tidak memiliki kebebasan menyumbang sehingga bisa dikatakan bahwa orangtua siswa (mahasiswa) itu dalam kondisi tertindas.

Penyumbang atau penderma (termasuk mereka yang mau mendaur ulang kekayaan pribadinya) bisa dianggap sebagai konsumen sosial yang seharusnya memiliki kebebasan dalam memilih lembaga penyalur derma atau penyalur sumbangannya. Istilah konsumen sosial mohon tidak dirancukan dengan istilah konsumen (yang membeli dengan motif keuntungan/benefit pribadi). Penderma seharusnya memahami demokrasi ekonomi bahwa laba dan kekayaan berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen yaitu kepada semua orang, sehingga penderma mendermakan hartanya tanpa motif keuntungan pribadi/kelompok. Satu-satunya motif adalah mengembalikan laba dan kekayaan kepada konsumen/semua orang. Kepercayaan merupakan dasar bagi penderma untuk memilih lembaga penyalur yang dianggap kredibel yang akan menyalurkan dermanya. Penderma tidak boleh dipaksa menyalurkan dermanya melalui lembaga yang tidak kredibel. Kalau hal seperti itu dilakukan maka biasanya penderma akan menyumbang ala kadarnya sehingga pendapatan (income) publik yang memadai tidak akan tercapai, atau terjadi penindasan seperti dalam kasus institusi pendidikan di atas.

Kalau kita perhatikan sabda Yesus pun Dia memberi kebebasan kepada para penderma memilih lembaga penyalur (bdk Mat 19:21). Yesus TIDAK mengatakan juallah hartamu, kemudian bawalah kemari biar Saya yang membagikan kepada orang-orang miskin. Oleh karena itu menurut hemat saya umat Kristiani bisa menyalurkan derma dan sumbangannya ke mana saja tidak hanya kepada lembaga keagamaan (Kristiani), juga bisa dibayarkan sebagian sebagai pajak bagi negara (demokrasi modern).

Selain kebebasan memilih penyalur sumbangannya ada hal lain yang perlu diperhatikan agar income publik yang memadai tercapai yaitu perlunya orang atau institusi pengingat yang mengingatkan perlunya income publik yang memadai secara obyektif, dimana orang atau institusi pengingat itu sebaiknya tidak merangkap sebagai penerima dan penyalur derma karena sering terjadi perangkapan itu mengakibatkan fungsi pengingat tidak maksimal. Saya bisa begitu lantang menyerukan daur ulang kekayaan pribadi karena saya tidak merangkap pekerjaan menerima dan menyalurkan dana daur ulang itu. Bagi saya sangatlah tidak etis kalau saya menerima dan menyalurkan dana daur ulang. Tetapi mengingatkan pentingnya daur ulang adalah suatu tugas dan pekerjaan penting. Oleh karena itu saya sangat tidak setuju dengan beberapa komentator yang menulis komentar di blog ini bahwa apa yang saya lakukan di blog ini "cuma omong doang, no action."

Saya meyakini bahwa pekerjaan mengingatkan adalah pekerjaan pentinaag yang perlu dilakukan. Begitu pentingnya sehingga Tuhan sering mengutus hamba-Nya secara istimewa untuk mengingatkan para penggarap agar menyerahkan hasil garapannya yang menjadi hak Tuhan (bdk Mat 21:34). Fungsi pengingat semakin penting dengan adanya pandangan atau ajaran sesat yang mengatakan bahwa bederma cukup 2,5% atau 10% dari harta pribadi. Kalau kita memahami matematika dan biososioekonomi kita tahu bahwa persentase di atas tidak cukup, itulah sebabnya mengapa Tuhan bersabda:"Juallah segala milikmu...." (Luk 12:33). Jadi, mengingatkan para penggarap dengan sabda Tuhan atau dengan biososioekonomi adalah sebuah pekerjaan. Selain sebagai pengingat saya juga berbagi harta secara riil dari pekerjaan saya sebagai penggarap. Merangkap pekerjaan sebagai penggarap menurut saya masih etis karena saya sudah berkomitmen untuk menyerahkan hasil garapan yang menjadi hak Tuhan. Yang tidak etis adalah selain sebagai pengingat merangkap pekerjaan sebagai penerima dan penyalur dana sebagaimana saya tulis di atas.

Semoga tulisan sederhana ini bisa ikut memberi sumbangan berarti bagi tercapainya kesejahteraan publik-rakyat secara global. Selamat bekerja di ladang Tuhan khususnya di divisi kesejahteraan umum. Tuhan memberkati kita semua.

Kamis, 25 Agustus 2011

Yesus dan Amerika Serikat

Sikap Partai Republik di Amerika Serikat yang anti pajak mengingatkan saya pada suatu kisah di dalam Injil Matius yaitu Matius 17:24-27 ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kapernaum. Ketika itu datanglah pemungut bea bait Allah kepada Petrus dan menanyakan apakah gurunya tidak membayar bea. Dalam ayat 25 dikatakan "...Dan ketika Petrus masuk rumah, Yesus mendahuluinya dengan pertanyaan:'Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja di dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?' Jawab Petrus:'Dari orang asing!' Maka kata Yesus kepadnya:'Jadi bebaslah rakyatnya...."

Tentu maksud Yesus tidak berarti bahwa kita boleh membebankan pajak atau derma pada rakyat kecil. Bahkan di dalam suatu peristiwa mengenai persembahan janda miskin (Lukas 21:1-4), bukan berarti Yesus menyuruh orang miskin berbuat seperti itu. Dalam peristiwa itu Yesus mengapresiasi jerih payah orang kecil, tidak ada kata-kata sebelumnya (Lukas 20:45-47) bahwa Yesus menyuruh janda miskin berbuat seperti itu. Mengapresiasi jerih payah orang miskin sehingga orang miskin itu memperoleh kelegaan atau ringan bebannya secara psikologis, adalah pekerjaan yang memang seharusnya dilakukan Mesias, dan itu dilakukan Yesus. Maksud Yesus tentu agar orang-orang kaya membagikan harta dengan persentase yang lebih banyak lagi sehingga mereka yang miskin menjadi ringan bebannya. Keberanian Yesus mengingatkan atau mengkritik orang-orang kaya memang patut dipuji. Mungkin karena tersentuh dengan kotbah Yesus yang membela haknya sebagai janda, maka janda itu memberi persembahan yang besar secara persentase. Yesus pasti mengerti matematika bahwa yang menjadi ukuran adalah persentase bukan angka nominal.

Kritik Yesus dan sabda-Nya yang mengingatkan orang kaya, bertebaran dalam Injil. Bahkan orang yang dianggap paling kaya dalam sejarah Israel yang pendapatannya 666 talenta emas (lebih dari Rp 6,66 triliun) per tahun juga dikritik-Nya (bdk Lukas 12:27, menurut hemat saya pribadi, ayat Yohanes 10:8 secara tidak langsung juga mengkritik raja itu).

Suatu kesejahteraan publik tidak mungkin terselenggara tanpa pendapatan publik yang memadai yang berasal dari pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu. Di dalam negara feodal tradisional (kerajaan) pajak menjadi pendapatan kelompok bukan publik. Di dalam negara demokrasi modern, pendapatan pajak bisa dianggap pendapatan publik di suatu teritori kalau hal itu taat pada asas biososioekonomi. Krisis hutang di AS dan Eropa saat ini seharusnya menyadarkan orang bahwa Yesus benar dengan sabda-Nya:"Juallah hartamu...." Biososioekonomi memberikan penjelasan yang ilmiah tentang hal itu. Biososioekonomi membutuhkan profesi akuntan dan aktuaris untuk bisa diimplementasikan secara nyata, selain adanya orang atau institusi yang mengingatkan pentingya pendapatan publik.

Memang di dalam masyarakat Amerika ada orang seperti Bill Gates yang membagikan hartanya, namun pendapatan publik itu tidak akan menjadi aset publik kalau salah kelola karena tidak memperhatikan asas biososioekonomi di mana semua milik individu adalah liabilitas bagi publik secara makro.

Kita yang terpanggil untuk bekerja di ladang TUHAN di divisi kesejahteraan umum baik di ranah state atau society di seluruh dunia yang notabene hidup di abad masehi seharusnya menyadari tanggung jawab kita. Semoga TUHAN memberkati kita semua.

Artikel Terkait
Krisis Global. Jangan Menyerah pada Pemilik Modal Apalagi yang Termasuk Kategori Triple Six
Surat Terbuka untuk Presiden Obama (dan Amerika)
...Saya Berharap Barat Bertobat

Rabu, 17 Agustus 2011

Sebuah Refleksi Tentang Kemerdekaan Bersama

Setiap tanggal 17 Agustus kita merayakan hari kemerdekaan kita. Dalam perayaaan kali ini di tengah aneka ekspresi, tidak ada salahnya kita hening sejenak untuk merenung dan larut dalam suatu refleksi tentang suatu kemerdekaan bersama.

Di dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di alam kemerdekaan politik ini kadang kita temui saudara-saudara kita atau mungkin malah diri kita sendiri yang merasa belum merdeka. Kadang kita jumpai secara langsung atau kita lihat melalui berita media massa saudara-saudara kita yang anaknya tidak bisa sekolah karena kendala biaya, buruh migran di luar negeri yang tidak dilindungi, komunitas keagamaan yang tidak bisa menjalankan ibadahnya, dan sebagainya.

Di dalam hidup memang kemerdekaan atau kebebasan satu pihak atau satu entitas bisa menyebabkan ketertindasan pihak lain. Hal itu terjadi antara lain karena kodrat alam yang terbatas, salah satu tanda bahwa alam ini terbatas adalah kematian, kalau tidak ada kematian (sementara kelahiran tetap ada) maka pertumbuhan penduduk akan berjalan secara eksponensial. Memang kita tidak menutup mata adanya pihak tertentu yang berjiwa menindas atau sangat bernafsu menjadikan orang lain sebagai bawahannya atau sebagai subordinatnya. Suatu kemerdekaan bersama adalah dambaan semua orang karena dengan itu kita semua bebas merdeka.

Namun kemerdekaan bersama menuntut kita untuk memahaminya agar kita bisa berperan mewujudkannya atau memperjuangkannya, minimal tidak menyebabkan pihak lain tertindas. Penindasan kadang terjadi karena kesengajaan, kadang terjadi karena ketidak sengajaan. Ketidaksengajaan terjadi karena ketidaktahuan. Bahkan orang saleh pun karena ketidaktahuannya bisa menyebabkan pihak lain tertindas atau membiarkan penindasan sementara ia sendiri sebenarnya memiliki kuasa untuk memerdekaan orang lain itu. Untuk merdeka bersama kita memerlukan pengetahuan dan pencerahan.

Dalam beragama atau berkeyakinan, Pancasila adalah suatu contoh di mana umat beragama bisa merdeka bersama bebas beribadah atau berdoa menurut keyakinannya masing-masing. Oleh karena itu perlu diingat filosfi dan dasar negara kita Republik Indonesia yaitu Pancasila yang seharusnya menjadi rumah yang nyaman bagi kita bersama.

Sementara itu kita tidak bisa mengabaikan kehidupan sosial ekonomi setelah kita merdeka secara politis dari penjajahan asing. Bahkan kemerdekaan dalam bidang sosial ekonomi sangat penting, karena selain menyangkut hajat hidup orang banyak juga menyangkut kebutuhan mendasar seperti pangan, papan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Sayangya kadang seseorang tidak sadar kalau dirinya adalah penindas. Pengetahuan mengenai ekonomi publik kerakyatan sangatlah penting karena pengetahuan itu bisa menilai secara obyektif ada tidaknya penindasan. Dalam hal teori ekonomi makro biososioekonomi menawarkan pengetahuan yang obyektif. Kebebasan atau kemerdekaan berusaha/berbisnis dijamin oleh biososioekonomi, namun biososioekonomi tidak mentolerir rekening T publik yang pincang dimana liabilitas publik jauh lebih tinggi dari asetnya sebagai akibat kepemilikan pribadi yang tidak dikoreksi dengan derma, pajak, dan daur ulang kekayaan individu. Namun demikian biososioekonomi juga tidak setuju dengan penghapusan hak milik pribadi seperti dalam komunisme. Apabila jumlah aset publik sama dengan liabilitasnya atau dengan kata lain jumlah aset publik sama dengan jumlah aset individu itu sudah cukup memberi rasa merdeka bagi semuanya. Hal ini obyektif dan win-win solution.

Namun demikian dalam perjalanannya biososioekonomi sendiri yang notabene menawarkan win-win solution masih sering ditindas dan ditenggelamkan terutama oleh media konvensional (baik cetak atau tv) dan oleh cendekiawan penakut atau cendekiawan tidak jujur atau oleh mafia Berkeley.

Kalau biososioekonomi mengharuskan kekayaan pribadi diredistribusikan tanpa mengenal batas-batas negara maka teori politik seharusnya mengikuti pengetahuan itu demi memenuhi hajat hidup orang banyak. Penindasan terjadi kalau teori politik ngotot dan bersikap kaku bahwa kekayaan pribadi hanya boleh didistribusikan di dalam negara sendiri. Ekonom seharusnya membebaskan diri dari teori politik klasik seperti itu, tanpa itu ekonom bisa menjadi sebab tertindasnya orang lain.

Selain pengetahuan, pengalaman postif juga memperkaya kita tentang kemerdekaan bersama. Pengalaman saya menunjukkan bahwa kita merdeka bersama media alternatif seperti blog, media jejaring sosial dan micro blog. Sampai saat ini saya merasa tidak merdeka berhadapan dengan media konvensioanal. Fakta menunjukkan bahwa blog memang memberi akses yang paling luas terhadap biososioekonomi.

Juga tidak kalah menarik adalah pengalaman pribadi saya bahwa saya (mataram) merdeka bersama NKRI. Dalam pengalaman saya NKRI bukan penindas dan memang seharusnya tercatat bahwa NKRI bukan penindas Mataram. Suatu hal yang harus dimengerti dan diketahui. Bahwa memang ada pejabat pemerintah RI yang tidak baik seharusnya bisa diganti tanpa harus mendirikan negara atau kerajaan baru. Pengalaman ini memperkaya kemerdekaan bersama.

Selain itu yang tidak kalah penting adalah bahwa meskipun kesejahteraan umum terkait dengan rencana TUHAN namun kesejahteraan umum adalah suatu unit kerja tersendiri yang otonom di bawah TUHAN tetapi tidak di bawah unit kerja lain yang sebenarnya lebih tepat disebut divisi keagamaan/kerohanian. Divisi keagamaan dan divisi kesejahteraan umum sama-sama di bawah TUHAN, tidak boleh saling mensubordinasi. Hal ini akan memberikan kemerdekaan bersama.

Kita dalam kapasitas dan jabatan kita masing-masing harus menilai diri kita berdasarkan pengetahuan yang obyektif, apakah kita menindas orang lain atau tidak. Kemerdekaan yang kita bangun adalah kemerdekaan bersama yang win-win solution. Masih adanya penindasan bukan berarti saya menyetujui perjuangan dengan kekerasan. Kita merdeka bersama biosoioekonomi, bersama media alternatif, bersama NKRI dan merdeka di bawah TUHAN.

Tak lupa saya ucapkan:"Dirgahayu Indonesiaku, negri dan bangsaku yang kita sayangi" Semoga semakin sejahtera bagi semuanya. Merdeka!!

Kamis, 11 Agustus 2011

Krisis Global. Jangan Menyerah pada Pemilik Modal Apalagi yang Termasuk Kategori Triple Six

Harian Kompas 5 Agustus, melalui rubrik Fokus memuat tulisan mengenai hutang AS dan kemungkinan dampaknya bagi perekonomian global. Dalam tulisan itu dilaporkan bahwa akhirnya kongres AS sepakat menaikkan hutang Amerika Serikat sebesar 1,2 triliun dollar AS di atas pagu lama 14,3 triliun dollar AS. Kesepakatan itu juga menuntut pengurangan pengeluaran pemerintah sebesar 2,4 triliun dollar AS dalam 10 tahun ke depan. Kesepakatan itu memang menghindarkan AS untuk sementara dari status default atau gagal bayar namun tidak akan membuat perkenomian AS sehat dan membaik. Sebagai informasi empat tahun lagi rasio hutang AS akan menjadi 108% PDB dari 93% di tahun 2011.

Tuntutan pengurangan pengeluaran pemerintah itu adalah tuntutan Tea Party suatu kelompok radikal di Partai Republik. Sementara itu Partai Republik sendiri memang cenderung anti pajak. Bagi kita yang memahami teori ekonomi makro biososioekonomi kita bisa menilai bahwa cara AS mengatasi masalah hutang dan perekonomiannya tidaklah tepat. Peningkatan hutang akan berdampak buruk di masa depan, sementara pemotongan pengeluaran pemerintah akan berdampak pada lesunya perekonomian.

Ekonom AS sendiri mengkritik cara AS mengatasi krisis hutang dan masalah perekomiannya. Joseph Stiglitz mengingatkan bahwa pajak adalah sumber penerimaan Pemerintah AS tanpa harus berkutat melulu pada peran hutang. Data yang diperlihatkan Stiglitz menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir warga terkaya AS mengalami peningkatan pendapatan 18%. Dalam bagian terakhir rulisan di halaman 45 Kompas tersebut di atas, Simon Saragih menulis: "Pembahasan yang mencuat soal utang AS adalah potensi dampak negatif dari gejolak kurs dollar AS, pasar uang, dan pasar modal. Disimpulkan, volatilitas ekonomi global akan muncul, lambat atau cepat"

Kasus AS adalah contoh bagaimana kepentingan publik dikalahkan pemilik modal. Bagi kita yang memahami teori ekonomi makro biososioekonomi, kita mengetahui bahwa penerimaan publik berasal dari tiga sumber yaitu pajak, derma, dan daur ulang kekayaan pribadi. Ketika penerimaan pajak berkurang, hutang akan bertambah. Persoalannya memang di dalam kehidupan bersama (publik) masih ada orang-orang yang anti pajak. Dalam kasus AS orang-orang yang anti pajak itu masuk dalam partai dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Pesan mendasar yang ingin saya sampaikan di postingan ini adalah bahwa kita yang bekerja di ladang TUHAN (di divisi kesejahteraan umum) baik di ranah civil society maupun di ranah negara (state) baik di dalam negeri maupun di luar negri, tidak boleh menyerah pada pemilik modal apalagi yang termasuk kategori triple six. Teori ekonomi makro biososioekonomi menjadi pedoman bagi kita untuk meningkatkan pendapatan publik yang pada gilirannya akan membuat aset publik setara dengan liabilitasnya.

"Janganlah takut, hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu. Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat." (Lukas 12:32-33). TUHAN tidak akan mempercayakan ladang-Nya kepada orang-orang yang kalah yang berprinsip bahwa derma 1 atau 10% saja sudah cukup. Kita hidup di abad Masehi bukan di jaman Abraham.

TUHAN akan menyempurnakan usaha kita yang kita tekuni melalui jalan damai.

Artikel Terkait
Kepemimpinan Opini di Divisi Kesejahteraan Umum
Mencoba Memenuhi Panggilan
Prinsip-prinsip Biososioekonomi untuk Pejabat Pemerintah (1)
Surat Terbuka untuk Presiden Obama (dan Amerika)
Fundamental Makro dan Krisis Ekonomi
Krisis Ekonomi: Ketika Sistem Tidak Mampu Membayar
Catatan atas Fenomena Obama: Pergantian Presiden Saja Tidak Cukup

Kamis, 04 Agustus 2011

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa


Saya pribadi mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankannya. Semoga TUHAN memberkati kita semua.

Kamis, 28 Juli 2011

Go Green


Upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup dan mencegah pemanasan global adalah tanggung jawab kita bersama. Individu, pemerintah, civil society, perguruan tinggi,konsumen,pengusaha,politisi, dan ilmuwan dituntut partisipasi dan tanggung jawabnya. Kampanye go green dengan prinsip reduce, recycle, replace, dan reuse,merupakan salah satu upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan mencegah pemanasan global.

Berbagai tips dan cara-cara yang harus dilakukan untuk go green juga telah disebarkan melalui berbagai forum dan tulisan. Tips dan cara-cara itu antara lain adalah mengurangi pemakaian energi fosil, menghemat kertas dan packaging, menghemat pemakaian listirik, menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, mendaur ulang plastik dan ponsel, serta memakai kembali kantong plastik belanja dari minimarket.


Selain yang sudah disampaikan melalui berbagai forum dan kampanye itu, tentu perlu juga kita beraksi pada tataran makro. Biososioekonomi dengan prinsip recycle aset pribadi jelas mendukung go green. Dengan recycle aset pribadi itu, PDB (produk domestik bruto) tidak perlu tumbuh. Banyak hal dari aksi mikro yang dianjurkan go green akan sia-sia kalau tidak ada aksi pada tataran makro, kalau pada tataran makro kita masih berprinsip bahwa suatu kesejahteraan hanya bisa dicapai kalau PDB tumbuh. Menjaga pertumbuhan populasi penduduk 0% juga bisa ikut mengurangi beban ekologis yang harus ditanggung bumi.Secara ringkas dapat dikatakan menekan pertumbuhan PDB menekati 0% serta menjaga pertumbuhan populasi penduduk maksimal 0% seharusnya juga bagian dari GO GREEN. Semoga tulisan sederhana ini dipahami, ditindaklanjuti dan diimplementasikan.

Kamis, 21 Juli 2011

Sudahkah Para Pejabat Mengoreksi dan Memperbaiki Diri?

Kicauan M Nazarudin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, membuat banyak pihak tidak senang. Benar tidaknya kicauan M Nazaruddin memang harus dibuktikan akan tetapi kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah memang memprihatinkan. Pejabat itu digaji untuk menjaga kepentingan publik dan kesejahteraan publik namun justru merusak apa yang seharusnya dijaga.

Sudahkah pejabat pemerintah mengoreksi diri dan memperbaiki diri sebelum dikoreksi pihak lain? Koreksi oleh pihak lain akan terasa menyakitkan bagi yang dikoreksi. Dan koreksi dari TUHAN bisa lebih dahsyat. Negara ini adalah republik, pergantian pejabat pemerintah adalah hal yang biasa dalam suatu republik.

Dibutuhkan sikap negarawan, dibutuhkan sikap dewasa untuk memperbaiki diri dan keadaan. Dibutuhkan pula sikap mau belajar dari pihak lain. Kalau ada orang yang gajinya rendah tapi pekerjaan dan pengabdiannya luar biasa (seperti mbah Marijan alm misalnya) seharusnya menjadi cermin bagi pejabat untuk memperbaiki diri. Kalau ada orang berhasil tanpa rekayasa dan kecurangan, seharusnya juga bisa dijadikan cermin bagi pejabat untuk mawas diri.

Seorang pengusaha bisa bermanfaat bagi publik kalau membagikan hartanya melalui derma (termasuk daur ulang aset pribadi) dan membayar pajak. Sementara pejabat pemerintah bisa bermanfaat bagi publik kalau menjaga kepercayaan yang diberikan dengan benar-benar bekerja untuk kepentingan publik yaitu antara lain dengan mengelola pajak dengan baik dan jujur.

Marilah kita mawas diri dan memperbaiki diri sebelum dikoreksi oleh orang lain atau dikoreksi (dihukum) TUHAN yang bisa lebih dahsyat. Bertobat selagi sempat, karena esok mungkin terlambat.

Kamis, 14 Juli 2011

Anti Demokrasi(Ekonomi) dalam Penyelenggaraan Pendidikan

Demokrasi ekonomi dalam paradigma barunya yang mengakomodasi teori ekonomi makro baru biososioekonomi memiliki prinsip yang jelas dan accountable yaitu bahwa laba (dan akumulasinya) berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Dengan cara seperti itu akan diperoleh keseimbangan (baik keseimbangan alam maupun keseimbangan aset publik-privat), efisiensi ekologis, dan keadilan sosial. Sayangnya prinsip semacam itu belum dikenal luas dan diimplementasikan. Sebagai contoh adalah penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan.

Memasuki tahun ajaran baru seperti sekarang ini membuat banyak (maha)siswa ataupun orang tuanya cemas khawatir tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena ekonomi. Kecemasaan itu masuk akal karena banyak sekolah dan perguruan tinggi masih membebankan biaya penyelenggaraan pendidikannya kepada konsumen dalam hal ini adalah (maha)siswa atau orang tuanya. Bahkan penyelenggara pendidikan juga tidak transparan dalam mengelola keuangan sebagaimana diberitakan harian Kompas 13 Juli 2011 ("Sekolah Tertutup Soal Keuangan"). Selain tidak transparan, pungutan biaya pendidikan dari konsumen pendidikan itu juga cenderung anti demokrasi (umum) juga anti demokrasi ekonomi meskipun dengan dalih atau alasan subsidi silang sekalipun. Inilah salah satu bentuk otoriterianisme yang harus diwaspadai di era reformasi ini.

Salah satu indikasi tidak demokratisnya penyelenggaraan pendidikan adalah posisi komite sekolah. "Komite sekolah yang mestinya menjadi pengontrol keuangan sekolah justru berada di bawah subordinasi kepala sekolah untuk mengesahkan pengelolaan keuangan di sekolah" demikian saya kutip dari pemberitaan Kompas di atas. Dan karena khawatir anaknya mendapat intimidasi, banyak orangtua yang tidak meminta pertanggungjawaban lebih dalam mengenai penggunaan dana dari orangtua siswa.

Tidak demokratisnya penyelenggaraan pendidikan tidak hanya karena posisi komite sekolah tapi juga karena pungutan yang dibebankan kepada konsumen pendidikan itu. Salah satu cacat dalam kehidupan manusia adalah tidak bisa memilih orangtua yang harus melahirkannya. Dilahirkan sebagai anak orang miskin tentu bukan suatu pilihan. Setiap orang yang berkehendak baik harus ikut mengeliminir cacat itu. Subsidi silang antar siswa bukanlah solusi, subsidi silang itu juga bertentangan dengan demokrasi ekonomi dalam paradigma barunya, mengapa? Karena yang dipakai sebagai sumber dana untuk memberi subsidi berasal dari konsumen pendidikan yang dalam pada itu berada pada posisi terjepit khawatir tidak diterima kalau sumbangannya sedikit. Selain itu perbedaan ekonomi orangtua (maha)siswa relatif tidak besar sehingga tetap membebani konsumen. Orang yang sangat kaya boleh jadi anaknya sudah lulus kuliah atau kuliah di luar negeri, oleh karena itu subsidi silang semacam itu tidak jauh dari aroma penindasan. Orang yang sangat kaya itu kekayaannya berasal dari akumulasi laba yang belum dikembalikan kepada konsumen sesuai prinsip biososioekonomi-demokrasi ekonomi. Kalau mau subsidi harus dicarikan dana di luar konsumen pendidikan. Itulah yang diupayakan biososioekonomi.

Dalam paradigma biososioekonomi baik penyumbang maupun yang disumbang adalah sama-sama konsumen sosial. Penyumbang memiliki kebebasan, kepada lembaga apa dia akan menyumbang. Ini adalah masalah kepercayaan seperti halnya nasabah bank yang hanya memilih bank yang ia percayai untuk menjadi tempat menyimpan dananya. Sementara itu dalam kasus subsidi silang pendidikan, penyumbang tidak memiliki kebebasan semacam itu.

Cara pembiayaan pendidikan yang konvensional itu seharusnya diakhiri karena tidak sesuai dengan demokrasi umum maupun demokrasi ekonomi. Biososioekonomi menawarkan pembiayaan pendidikan yang berkeadilan sosial dan sesuai dengan prinsip demokrasi ekonomi. Dalam paradigma biosoioekonomi, semua anak baik pintar atau bodoh, kaya atau miskin seharusnya mendapat paket beasiswa sampai dengan S1. Kalau kemampuan intelektualnya hanya sampai SMP atau SMA ia bisa mengambil sisa paket beasiswanya sebagai tunjungan pensiun nantinya.

Kita membutuhkan organisasi konsumen sosial yang menuntut daur ulang kekayaan pribadi, menuntut dikembalikannya laba atau berjuang mendemokrasikan ekonomi sehingga pembiayaan pendidikan menjadi lebih demokratis dan berkeadilan sosial. Kita membutuhkan banyak pekerja di ladang Tuhan khususnya di divisi kesejahteraan umum ini. Semoga Tuhan menyempurnakan usaha kita yang kita tekuni melalui jalan damai.

Artikel Terkait
Revolusi Memang Belum Selesai, Revolusi Damai Dimungkinkan!
Demokrasi Ekonomi (Biososioekonomi) Lebih dari Sekedar Politik Etis Belanda

Kamis, 07 Juli 2011

Kepemimpinan Opini di Divisi Kesejahteraan Umum

Sebagaimana saya sampaikan dalam postingan di blog ini khususnya postingan Selasa lalu, saya meyakini bahwa Tuhan telah memilih saya untuk dipekerjakan di ladang-Nya yaitu di ladang yang berkaitan dengan kesejahteraan umum bukan di ladang moral-kerohanian atau ritual-kesucian-pengkudusan. Saya juga meyakini bahwa ladang di mana saya dipekerjakan merupakan divisi tersendiri di bawah TUHAN langsung bukan sub ordinat pihak lain yang sebenarnya juga sebuah divisi di bawah TUHAN langsung. Meskipun demikian saya tidak menganggap diri saya sebagai kepala divisi yang membawahi pekerja lain dengan garis komando yang rigid. Bahwa di ladang lain ada semacam kepala dengan garis-garis komando yang rigid itu bukan urusan saya.

Mungkin juga karena ladang di mana saya dipekerjakan relatif lebih eksak sehingga tidak memerlukan suatu kepala divisi atau pemimpin divisi dengan garis komando yang rigid. Orang yang terpanggil bekerja di ladang tempat saya dipekerjakan bisa bekerja sepenuh hati dan berpartisipsi dengan nyaman tanpa harus menjadi bawahan saya. Tuhan yang akan menjadi atasan mereka, bukan saya.

Karena relatif lebih eksak, ladang tempat saya dipekerjakan sebaiknya berjalan dan beroperasi dengan suatu kepemimpinan yang dinamakan kepemimpinan opini bukan kepemimpinan (oleh) orang. Artinya para pekerja bekerja dengan panduan suatu opini tentang kesejahteraan umum sesuai dengan hukum atau teori ekonomi makro biososioekonomi. Biososioekonomi memberi ukuran dan gambaran yang jelas bagaimana suatu kesejahteraan umum seharusnya diwujudkan.

Ukuran-ukuran itu adalah:

(1) Aset publik yang setara dengan liabilitasnya
sebagaimana ditunjukkan oleh neraca herucakra society dan neraca pemerintah. Aset ini diperoleh dari pendapatan publik yang berupa pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu bukan dari laba usaha, karena laba dikategorikan sebagai pendapatan privat atau kelompok yang membebani publik. Dengan kondisi ini dijamin sistem ekonomi mampu membayar kewajiban-kewajibannya yang berupa laba, bunga, gaji pegawai, dan jaminan sosial (pendidikan, kesehatan, food stamps-ketahanan pangan)

(2) Prosentase anak usia sekolah yang mendapat pembiayaan sekolah (beasiwa) dengan cara biososioekonomi mencapai 100%.

(3) PIT atau prosentase individu (keluarga) yang tumbuh semakin kaya besarnya medekati 100%. Artinya semua orang atau hampir semua orang semakin kaya. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa biososioekonomi menggunakan ukuran PIT ini bukan pertumbuhan PDB.

Dengan ukuran yang jelas ini seharusnya tidak ada pekerja yang mengklaim bekerja di ladang kesejahteraan umum ini tapi tindakannya melawan kesejahteraan umum, misalnya dengan menjadikan pertumbuhan PDB sebagai ukuran atau target yang harus dicapai. Pertumbuhan PDB tidak menggambarkan pertumbuhan kesejahteraan publik, secara akutansi pendapatan privat berkorelasi langsung dengan aset privat, dan semua aset privat adalah liabilitas bagi publik. Penjumlahan pendapatan privat (PDB) tidak otomatis membuatnya menjadi pendapatan publik. Dengan kepemimpinan opini ini kesejahteraan umum tidak tergantung saya, artinya kalau saya tiada penyelenggaraan kesejahteraan umum ini harus tetap berjalan.
Dengan kepemimpinan opini ini pula apa yang saya peroleh yaitu yang disebut sebagai wahyu keprabon tidak bisa diwariskan kepada anak keturunan saya.

Selain ukuran-ukuran di atas, tentu yang harus dijaga adalah agar bidang kesejahteraan umum tetap otonom di bawah TUHAN langsung bukan di bawah otoritas keagamaan-kerohanian karena kalau berada di bawah otoritas keagamaan-kerohanian maka kesejahteraan umum akan dikalahkan oleh dalih-dalih yang salah kaprah seperti pernah saya kemukakan dalam postingan saya yang lain.

Semoga tulisan ini bisa memperjelas keberadaan ladang kesejahteraan umum yang merupakan salah satu ladang TUHAN.

Artikel Terkait


Mencoba Memenuhi Panggilan

Kelemahan Konsep PDB dan Pertumbuhan PDB
Semua artikel yang berlabel Biososioekonomi

Selasa, 05 Juli 2011

Mencoba Memenuhi Panggilan

Tanggal 4 Juli 2002 adalah tanggal yang tak pernah saya lupakan dalam hidup saya karena tepat pada tanggal itulah saya berhasil menemukan diri saya secara utuh dengan membaca nama saya R Hani Japar tersandi dalam sebuah mimpi penduduk Bantul. Dan melalui blog ini saya mecoba memenuhi panggilan hidup saya mewujudkan kesejahteraan umum. Sekali lagi perlu saya tegaskan bahwa bidang panggilan yang menjadi perhatian saya adalah kesejahteraan umum.

Saya meyakni bahwa Tuhan telah memilih saya untuk bekerja di salah satu ladang-Nya yaitu kesejahteraan umum bukan ladang lain yang berkaitan dengan moral kerohanian (kenabian) atau ritual kesucian (imamat). Saya meyakini bahwa Tuhan juga mempunyai perhatian pada kesejahteraan umum sebagaimana saya ketahui melalui Alkitab. Maka kalau saya kadang-kadang mengutip Alkitab di blog ini, hal ini berkaitan dengan kesejahteraan umum bukan berkaitan dengan moral kerohanian atau ritual kesucian yang menjadi wewenang pihak lain.

Saya mengucapkan terima kasih kepada siapa saja yang ikut mempublikasikan dan menyebarluaskan teori ekonomi makro biososioekonomi ataupun url blog ini. Dengan cara itu Anda juga terlibat dalam mewujudkan kesejahteraan umum dan bekerja di salah satu ladang Tuhan. Sebagai teori ilmiah biososioekonomi terbuka terhadap kritik dan masih perlu dikembangkan.

Marilah kita sama-sama memperbaiki diri untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan tetap setia dengan cara-cara non kekerasan. Tuhan akan menyempurnakan usaha kita.

Artikel Terkait
Yesus dan Politik

Membongkar Penindasan (2)

Damarwulan, Lohgender, dan Realitas Hidup Kita

Di Antara Kali Progo dan Kali Opak

Menjawab Pertanyaan Di Sekolah Kehidupan

Wahyu Keprabon