Senin, 02 Desember 2013

Perekonomian 2014. Negara dan Beban Rakyat

                                                Oleh Hani Putranto

Akhir tahun lalu saya menulis artikel di blog ini dengan judul:"Kelemah Mendasar Perekonomian Kita yang Mengancam Hidup Rakyat ( http://satriopiningitasli.blogspot.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1) Dalam penulisan artikel tersebut saya tidak menggunakan paradigma konvensional melainkan biososioekonomi. Demikian juga setiap kali menulis artikel termasuk yang hari ini saya posting. Selain itu perlu saya tegaskan bahwa sudut pandang yang saya ambil adalah publik dan rakyat kebanyakan bukan pemilik modal.

Tahun 3013 akan segera berakhir dalam beberapa minggu. Banyak peristiwa terjadi di tahun ini seperti pelemahan rupiah dari Rp 9.680 tanggal 2 Januari 2013 menjadi Rp 11.631 per USD 20 November (Kontan 21/11 hlm 2). Bahkan terakhir menyentuh Rp 12.000 atau terdepresiasi 23%. Demikian juga IHSG telah turun 23% dari posisi 5.208 tanggal 22 Mei 2013 menjadi hanya 4.256 di tanggal 29 November 2013. Kejadian seperti itu memang membuat investor galau, tetapi fokus utama saya adalah publik dan rakyat kebanyakan bukan investor. Di dalam artikel ini ainvestor tidak akan menemukan mengenai investasi apa yang cocok tahun depan.

Dibandingkan tahun 2012 rakyat bertambah sengsara yang ditunjukkan dengan meningkatnya misery index atau indeks kesengsaraan dari 10,72% di tahun 2012 menjadi 15,04% ( http://m.antaranews.com/berita/407546/kualitas-pembangunan-2013-merosot-dibanding-2012). Misery index adalah penjumlahan tingkat pengangguran dan inflasi.

Kalau kita ingin mengantisipasi perekonomian 2014 ada empat hal yang harus diperhatikan yang akan berpengaruh pada perekonomian kita di tahun 2014 yaitu: Ekonomi Biaya Tinggi, Liabilitas Publik, Kemungkinan Bubble Property, dan Faktor Eksternal.


Ekonomi Biaya Tinggi

Ekonomi biaya tinggi sebagai aktivitas ekonomi ilegal bukan penyakit baru di Indonesia, sudah ada sejak jaman orde baru. Namun ekonomi biaya tinggi menjadi persoalan serius ketika menyangkut hajat hidup orang banyak seperti energi dan pangan yang merupakan kebutuhan semua orang termasuk rakyat kecil. Mafia minyak dan kartel pangan mulai disorot setelah rupiah mengalami depresiasi serius. Salah satu penyebab depresiasi rupiah adalah defisit neraca perdagangan dari impor migas (bdk http://mobile.kontan.co.id/news/duh-defisit-transaksi-migas-kian-besar). Keberadaan mafia migas mulai diungkapkan (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/05/17/15532765/Impor.Minyak.Langsung.Menghapus.Peran.Mafia) meski belum bisa dibongkar dan diberantas. Demikian juga adanya kartel impor pangan yang menekan rupiah meski sebenarnya impor pangan tidak diperlukan (bdk http://mobile.kontan.co.id/news/abraham-samad-impor-di-indonesia-permainan-kartel ).

Ekonomi biaya tinggi itu tidak saja menyebabkan inflasi yang menekan hidup rakyat kebanyakan sehingga menurunkan konsumsi mereka (bdk http://mobile.kontan.co.id/news/konsumsi-rumah-tangga-indonesia-mengecil) tetapi juga menyulitkan banyak perusahaan, petani produsen, dan bahkan mengancam APBN. Mafia dan kartel impor menyebabkan harga berbagai barang kebutuhan pokok menjadi mahal selain menyebabkan rupiah terdepresiasi terhadap USD.

Liabilitas Publik

Dalam paradigma konvensional muara kebijakan dan aksi pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi. Hal itu dilakukan dengan memperbanyak investasi. Sementara itu liabilitas publik sering diabaikan. Bahkan sering tidak disadari bahwa pertumbuhan ekonomi itu sendiri selalu berarti peningkatan liabilitas publik. Dalam paradigma biososioekonomi semua aset individu
adalah liabilitas bagi publik yang tidak bisa diabaikan.

Dalam artikel saya setahun lalu saya mengemukakan ada 4 hal yang menjadi kelemahan mendasar perekonomian kita yaitu: rendahnya tax ratio, pajak individu yang masih rendah dibanding pajak perusahaan, buruknya infrastruktur, dan kualitas aset bank sentral. Kelemahan mendasar ini kini belum teratasi. Beberapa kelemahan tersebut saling berkaitan. Porsi harta yang dibayarkan sebagai pajak terlalu kecil sebagaimana ditunjukkan oleh tax ratio yang hanya sekitar 12%. Kondisi tax ratio rendah itu berlangsung bertahun-tahun. Hal ini membuat liabilitas publik melonjak bahkan ketika pertumbuhan ekonomi terkoreksi di tahun ini. Liabilitas publik yang tinggi dalam artian aset private yang tinggi ini akan sangat mudah berubah menjadi hutang publik yang tinggi pula (bdk http://mobile.kontan.co.id/news/di-bri-80-ori010-mengalir-ke-nasabah-kaya). Tingginya liabilitas publik ini turut berkontribusi terhadap depresiasi rupiah.

Dalam paradigma konvensional baik di Indonesia maupun di luar negeri ada kebiasaan buruk yang selalu terjadi yaitu pencetakan uang. Bank sentral mencetak uang untuk membeli obligasi pemerintah. Obligasi pemerintah yang dibeli dengan cara mencetak uang ini tidak bisa dikatakan sebagai aset publik meski bank sentral menempatkan itu sebagai asetnya. Hal seperti ini juga akan berkontribusi terhadap depresiasi mata uang termasuk rupiah. Bunga tabungan yang rendah bila dikoreksi dengan inflasi akan turut berkontribusi menurunkan daya beli rakyat.

Tingginya hutang publik akan menekan alokasi anggaran pemerintah untuk jaminan sosial dan infrastruktur. Hal seperti ini akan membuat rakyat tetap sengsara dan akan membebani anggaran serta generasi mendatang. Secara keseluruhan tingginya liabilitas publik juga akan membuat makro ekonomi tidak stabil.

Kemungkinan Bubble Property

Melihat tingginya liabilitas publik, seharusnya aliran dana ke bursa efek juga tinggi. Tetapi justru kita melihat IHSG terkoreksi 23% dari posisi akhir Mei 2013. Ternyata kelebihan income atau aset private itu mengalir ke property. Dalam tulisan saya setahun yang lalu sudah saya singgung. Dari survei yang dilakukan BI memang ternyata sebanyak 42,5% dari 5000 responden lebih memilih investasi property dibandingkan reksadana, emas, deposito atau lainnya. Hal seperti itu membuat bubble property sebagai ancaman serius (http://mobile.kontan.co.id/news/bi-bubble-properti-mengancam-indonesia). Tidak sedikit nasabah bank yang mengambil KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) kedua sebagai investasi. Nasabah-nasabah tersebut memegang lebih dari satu KPR pada saat bersamaan. Ini adalah investasi rumah tangga yang dibiayai dengan hutang yang bisa menimbulkan masalah.

Kemungkinan bubble property tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara lain seperti Singapura, RRC dan Australia ( http://mobile.kontan.co.id/news/awas-bubble-properti-ancam-aussie ).

Faktor Eksternal

Masih ada satu hal yang perlu diperhatikan yaitu faktor eksternal seperti kemungkinan pemangkasan stimulus di Amerika Serikat. Pemangkasan ini akan memperkuat mata uang dolar Amerika terhadap mata uang dunia lainnya termasuk rupiah. Faktor yang akan berkontribusi mendepresiasi rupiah bertambah. Demikian pula membaiknya perekonomian negara maju seperti AS yang diukur berdasarkan ukuran konvensional (pertumbuhan PDB) akan membuat aliran modal kembali ke luar Indonesia. Selain juga akan terjadi repatriasi hasil investasi di Indonesia ke luar negeri.

Tentu kemungkinan meletusnya bubble property di luar negeri seperti saya sebutkan di atas juga termasuk faktor eksternal yang harus diwaspsdai.

Negara dan Beban Rakyat

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa permasalahan yang akan dihadapi tahun 2014 adalah adanya mafia impor dan liabilitas publik yang tinggi serta beberapa faktor eksternal. Negara dan pemerintah belum mengambil aksi yang tepat atas permasalahan tersebut. Dalam enam bulan terakhir, Indonesia sudah menaikkan BI rate sebesar 175 basis poin atau 1,75% tetapi nilai tukar rupiah masih tertekan. Hal seperti ini justru meningkatkan tekanan pada perusahaan, menurunkan pertumbuhan ekonomi, dan mengancam penyerapan tenaga kerja. Kesulitan perusahaan meningkat karena sumber pembiayaan usaha terbatas, sementara pasar modal sendiri kurang bergairah karena orang Indonesia lebih memilih berinvestasi di property. Tekanan di sektor riil ini masih ditambah dengan penurunan daya beli rakyat.

Aksi dan kebijakan yang diambil bank sentral tersebut masih didasarkan pada paradigma ekonomi konvensional di samping pemerintah dan aparat negara tidak berani menindak mafia impor. Sebagaimana disebutkan di atas, paradigma konvensional itu hanya sekadar bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi tidak peduli dengan membengkaknya liabilitas publik. Di dalam textbook ekonomi makro konvensional pun dikatakan: memperbaiki satu sisi bisa memperburuk sisi lain. Misalnya upaya menekan inflasi memang diperlukan tetapi upaya itu akan meningkatkan pengangguran seperti yang terjadi sekarang. Hal itu terjadi karena textbook ekonomi konvensional itu tidak menggunakan kaidah akuntansi. Textbook ekonomi konvensional itu tidak sadar bahwa peningkatan PDB berarti peningkatan liabilitas publik.

Sebenarnya kalau kita mau memperbaiki semua sisi secara serentak tidak ada cara apa pun selain memperhatikan hukum keseimbangan (akuntansi) serta hukum kelangkaan sebagaimana dilakukan teori ekonomi makro biososioekonomi. Dalam hal ini untuk memperbaiki ekonomi makro (dalam artian ekonomi publik) secara keseluruhan serta meringankan beban rakyat tidak ada jalan lain selain: meningkatkan income dan aset publik serta mengurangi liabilitas publik secara bersamaan sebagaimana disarankan teori ekonomi makro biososioekonomi.

Peningkatan income publik itu ditandai meningkatnya tax ratio terutama dari pajak progresif (pajak yang pro demokrasi ekonomi), peningkatan derma, dan dimulainya daur ulang aset private seperti harapan biososioekonomi. Dengan peningkatan income publik itu kita bisa membiayai berbagai jaminan sosial yang meluas dan mendalam, memperbaiki dan membangun infrastruktur yang baik, menyediakan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang memadai, serta menyediakan dana untuk keperluan kontraksi moneter.

Saya pernah menjelaskan secara sederhana bagaimana deposito besar dari warisan yang dihibahkan ahli warisnya bisa menyediakan DPK (dana pihak ketiga) murah bagi perbankan, menyediakan dana untuk kontraksi moneter melalui GWM (giro wajib minimum), menyediakan beasiswa bagi kalangan luas sehingga bisa menjaga atau meningkatkan tingkat konsumsi rakyat yang berarti menjaga atau meningkatkan pertumbuhan PDB, serta meningkatkan fee based income bagi perbankan ( http://satriopiningitasli.blogspot.com/2013/10/daripada-menjadi-hutang-publik-lebih.html?m=1)

Tingginya harga rumah harus diatasi dengan memperbanyak suplai rusunawa (rumah susun sederhana sewa) agar bisa meringankan beban rakyat. Rusunawa itu harus memenuhi standar konstruksi yang aman dan biaya sewa yang murah. Dalam kondisi seperti ini rusunami (rumah susun sederhana milik) tidak perlu diprioritaskan karena bisa diselewengkan untuk spekulasi.

Mengingat besarnya masalah yang akan kita hadapi perlu upaya serius pejabat pemerintah dan perlu bekerja sama dengan pusat pengaruh dalam civil society untuk meningkatkan kegotongroyongan dan kedermawanan serta memunculkan orang-orang seperti Warren Buffett yang berkomitmen menghibahkan sebagian besar hartanya. Tak lupa kita perlu bekerja keras untuk memberantas mafia migas dan kartel pangan.

Selain itu perlu memanfaatkan potensi pejabat daerah yang berprestsi karena pejabat daerah yang berprestsi itu sering mengenali potensi usaha dan kondisi mikro di daerahnya. Pejabat daerah yang berprestasi perlu ditampilkan untuk membagikan pengalamannya kepada pejabat daerah lain supaya keberhasilannya menular ke daerah lain. Sebagai contoh adalah Bupati Bantaeng Sulawesi Selatan, H.M. Nurdin Abdullah, berhasil mengubah postur anggaran daerahnya yang semula terkonsentrasi pada fasilitas dan belanja pegawai menjadi lebih bermanfaat bagi pengembangan potensi usaha daerah (budidaya talas untuk ekspor) serta meningkatkan pelayanan kesehatan serta menyediakan apartemen dinas untuk dokter. Demikian dengan walikota Surabaya, Tri Tismaharini, yang berhasil menyediakan tempat bagi PKL (pedagang kaki lima) serta berbagai prestasi lainnya.

Sudah saatnya pemerintah dan negara meninggalkan paradigma konvensionalnya yang neolib supaya beban rakyat tidak bertambah berat, supaya ada perbaikan di semua sisi secara serentak. Tak lupa untuk menindak mafia yang merugikan rakyat banyak.


Daftar Pustaka

http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul22.htm

http://mobile.kontan.co.id/news/barclays-pertumbuhan-ekonomi-china-akan-melambat

http://mobile.kontan.co.id/news/penjualan-rumah-di-singapura-anjlok-52

http://www.suarapembaruan.com/home/penangkapan-ketua-skk-migas-dan-hengki-pengki-bisnis-minyak/40001

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/04/antara-kebenaran-akuntansi-dan-kesadaran_4307.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/02/semoga-semakin-banyak-orang-kaya.html

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/07/percuma-memberi-pancingperihal-beasiswa.html

Sabtu, 23 November 2013

JAWA dan Jews. Sebuah Ilustrasi Bank Sentral

Berikut ini saya kutipkan salah satu status Facebook saya (haniputranto). Hal ini dimaksudkan agar pejabat publik tidak terbelenggu suatu sistem yang memiskinkan rakyat.


Saya mempunyai otoritas mencetak uang. Uang yang saya cetak itu bisa dipakai sebagai alat pembayaran yang sah. Dengan uang itu saya bisa membeli obligasi pemerintah (surat utang negara). Dalam neraca saya (Rekening T) obligasi yang saya beli itu saya tempatkan di kolom aset saya.
Saya mendapatkan pembayaran dari pemerintah yang membayar obligasinya. Pemerintah mampu membayarnya selama pemerintah memiliki penerimaan, baik dari pajak atau penerimaan lain.

Sementara sebagian besar uang yang saya cetak menjadi milik individu. Sebagian darinya saya tempatkan di kolom liabilitas karena saya harus membayar bunga. Itu beban bagi saya. Saya ingin agar bunga itu kecil kalau bisa nol persen.

Tetapi ternyata ada orang kritis bertanya dengan pertanyaan seperti ini:
"(1) Apakah Anda institusi publik atau privat (swasta)?

(2) Apakah Anda memperoleh laba dari kegiatan Anda di atas?

Kalau Anda institusi publik tentu seharusnya apa yang oleh pemerintah (institusi publik) dimasukkan sebagai liabilitas maka oleh Anda juga seharusnya dimasukkan sebagai liabilitas. Faktanya Anda  memasukkan obligasi pemerintah itu di kolom aset/aktiva di neraca Anda.

Kalau Anda memperoleh laba dari kegiatan Anda dan Anda adalah swasta (privat) maka itu berarti sebagian income publik (pajak dan penerimaan negara yang lain) masuk ke kantong Anda(privat). Enak dong."

Eh ternyata  orang kritis  itu mulai melempar pertanyaan kepada publik:
Apakah kita tahu hal-hal di atas? Kalau kita tidak tahu berarti kita mudah ditipu. Sebaiknya kita tanyakan dengan pertanyaan ini kepadanya.

"Terus karena pemerintah sering menerbitkan obligasi, kalau Rekening T pemerintah menjadi tidak imbang dalam artian liabilitasnya lebih tinggi dari asetnya bagaimana dong?"

Hahahahaha.....(egp)

"Terus kalau ada negara lain membeli obligasi pemerintah itu dan karena pemerintah itu bangkrut, harga obligasinya jatuh menjadi separuhnya gimana dong?"

Hahahaha.... (siapa suruh ikut-ikutan gw, modal gw kan cuma nyetak uang)

Tulisan di atas kurang lebih mengilustrasikan  praktek bank sentral konvensional di dunia (dengan variasi di beberapa negara). Dalam tulisan di atas kata bank sentral diganti dengan kata saya (gw). Kata-kata dalam kurung setelah "hahaha" adalah kata-kata di dalam hati yang tak terucap keluar.

Sebagian orang mungkin memang bisa ditipu. Tapi tidak semua. Mungkin sebagian dari kita setelah paham cara kerja bank sentral akan mengumpat "wahyudi" sialan atau inilah kelicikan "wahyudi"

Santai saja bro sist. Sebagian orang Jawa memang kurang cerdas atau kurang kritis tetapi JAWA pasti bisa mengalahkan Jews karena JAWA dan JHWH adalah tetragramaton yang sama. Rencana-Nya tidak gagal. Jangan dipikir bahwa TUHAN (JHWH) tidak mengerti akuntansi dan matematika. Jangan dipikir bahwa TUHAN tidak peduli kepada mereka yang lapar, miskin, dan tertindas.

Di luar itu yang penting bagi kita adalah koreksi diri, jangan selalu menyalahkan orang lain. Bagi pejabat publik dan pembela kepentingan publik (rakyat) belajarlah biar tidak tertipu atau tidak terjebak dalam sistem yang merugikan publik dan menghisap rakyat. Belajarlah matematika, akuntansi, dan khususnya teori ekonomi makro biososioekonomi karya anak bangsa.

Itulah kutipan status Facebook saya semoga bermanfaat bagi publik.

Selasa, 05 November 2013

Selamat Tahun Baru 1 Suro 1947 Saka Jawa

Saya ucapkan selamat Tahun Baru 1 Suro 1947 Saka Jawa dan 1 Muharram 1435 H bagi yang merayakannya.

Dan bagi orang-orang Jawa yang cenderung ingin kembali menggunakan penanggalan surya (pranatamangsa) saya ucapkan selamat berlibur.

Semoga TUHAN memberkati kita semua. Rahayu. Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN, berilah kiranya kemujuran!

Minggu, 27 Oktober 2013

Bertumpah Darah Satu, Indonesia

Tanggal 28 Oktober adalah peringatan sumpah pemuda, salah satu tonggak sejarah yang penting berdirinya Republik Indonesia. Salah satu butir sumpah pemuda adalah: bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.

Tulisan kali ini ingin menekankan pentingnya Indonesia yang terdiri dari laut dengan ribuan pulau sebagai tanah air bersama. Hal ini penting mengingat bahwa sejarah bangsa ini dulunya berupa kerajaan-kerajaan yang sebagian saling bersaing dan terlibat perang. Munculnya berbagai kalangan untuk menggali sejarah, kearifan, atau kejayaan masa lalu memang tidak salah karena hal itu bisa menumbuhkan rasa percaya diri dalam menghadapi globalisasi. Namun tanpa diimbangi sikap bijak bisa memicu disintegrasi.

Dalam hidup kedermawanan dan kegotongroyongan misalnya, kita saat ini kalah dibanding jaman Hindu-Budha. Sebelum rasio Gini kita meningkat menjadi 0,41 saya telah mengingatkan (http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/09/berbagi-dalam-peradaban-jawa.html)

Itu adalah sebagian keunggulan masa lalu yang kini merosot. Namun demikian masa lalu tidaklah sempurna. Masing-masing kerajaan di masa lalu punya kelebihan dan kelemahan sekaligus. Maka Sumpah Pemuda adalah salah satu tonggak sejarah yang penting. Tanah air kita adalah Indonesia dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika-nya bukan yang lain.

Tulisan sederhana ini sekadar mengingatkan. Marilah kita menjaganya.

Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/10/kaum-muda-pembaharuan-dan-persatuan.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/10/refleksi-sumpah-pemuda-persatuan-bangsa.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/05/mengapa-saya-menerima-nkri-dan.html?m=1

Selasa, 15 Oktober 2013

Daripada Menjadi Hutang Publik Lebih Bermanfaat Menjadi Beasiswa

Oleh Hani Putranto

Ada orang kaya dari warisan yang tergerak hatinya setelah ia memahami bahwa aset pribadinya adalah liabilitas bagi publik. Dan setelah membaca berita ini (http://mobile.kontan.co.id/news/di-bri-80-ori010-mengalir-ke-nasabah-kaya) semakin paham dan semakin tergerak hatinya bahwa liabilitas yang bisa berarti beban atau kewajiban (lawan kata aset) itu dalam sekejap berubah menjadi hutang publik dalam bentuk ORI atau obligasi pemerintah. Ia bisa memahami dan membayangkan bagaimana pemerintah nanti harus membayar utang dan bunganya. Dengan pajak memang, tapi tidak semua pajak berasal dari orang kaya. Karyawan baru yang gajinya cuma Rp 3,5 juta juga sudah kena pajak padahal karyawan baru ini juga tidak berasal dari keluarga kaya. Betapa berat beban yang akan ditanggung rakyat.

Maka orang kaya dari warisan ini mulai menata hidupnya. Dulu ia yang sering abai membayar pajak, kini mulai rajin membayar pajak sesuai peraturan. Tak ada yang disembunyikan. Dia sendiri sudah sangat mapan dengan income pribadinya yang tidak berasal dari warisan.

Oleh karena itu ia tidak ikut-ikutan membeli obligasi pemerintah dengan harta warisan orang tuanya. Ia justru memutuskan agar depositonya yang berasal dari warisan yang berjumlah puluhan milyar disumbangkan untuk beasiswa. Pertama-tama ia mengubah deposito menjadi tabungan. Ini bertujuan agar bank mendapat DPK (dana pihak ketiga) yang murah sehingga bank bisa survive (bunga tabungan lebih murah dari bunga deposito). Kemudian ia mulai memberikan beasiswa kepada ratusan pelajar TANPA sekat-sekat primordial-sektarian, TANPA SARA. Maka dari satu tabungan berkembang menjadi ratusan tabungan pelajar (orang tua pelajar) dan ia juga membayari biaya administrasi tabungan pelajar itu yang perbulannya sekitar Rp 10.000 per tabungan. Ini berarti meningkatkan fee based income bank karena jumlah account meningkat dari satu tabungan menjadi ratusan tabungan pelajar. Orang kaya dari warisan itu akan selalu menjaga agar tabungan dari warisan tidak dipakai membeli
obligasi, saham, atau instrumen investasi lain. Dalam beberapa puluh tahun tabungan itu memang akan habis didistribusikan untuk beasiswa. Kecuali sebesar 2,5%-5% dana yang memang disisakan (disediakan) untuk bank sentral atau likuiditas bank jika bank sentral menaikkan GWM (giro wajib minimum). Dana 2,5-5% ini dana untuk kontraksi moneter.

Dampak ekonomi:
Dari kegiatan itu akan tercipta dampak ekonomi. Tentu yang dimaksud adalah dampak ekonomi saat ini bukan dampak ekonomi nantinya yang akan dinikmati penerima beasiswa.

Selain terjadi kesadaran orang kaya untuk taat membayar pajak yang berarti tax ratio akan meningkat ada juga dampak ekonomi lain yaitu bagi bank dan sektor riil. Bagi bank jelas bank akan memperoleh DPK murah dan fee based income. Dalam situasi seperti ini proses ini bermanfaat bagi bank. Selain bagi bank ada juga dampaknya bagi sektor riil. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut:

Kategori keluarga penerima beasiswa terbagi dalam beberapa kategori:
(1) Keluarga kategori ini termasuk keluarga pas-pasandengan status gizi yang agak kurang tapi suami-isteri sangat sibuk bekerja banting tulang untuk mencukupi nafkah sehari-hari, tidak sempat memasak kecuali nasi, telur atau sambal. Sebelum menerima beasiswa mereka memang telah memiliki anggaran untuk sekolah anaknya. Setelah menerima beasiswa, anggaran untuk sekolah anaknya dialihkan untuk perbaikan gizi. Selain meningkatkan konsumsi telur juga dipakai membeli ayam goreng ala "fried chicken" yang dijual tetangganya yang masih bujangan. Dampak ekonominya jelas peningkatan konsumsi yang secara makro akan meningkatkan produksi telur, ayam pedaging, dan pakan ternak. Selain itu juga meningkatkan omset pedagang telur dan omset penjual "fried chicken" atau warteg (Warung Tegal).

(2) Keluarga kategori kedua ini meski status gizinya agak kurang tapi hanya suami yang bekerja, sementara isteri mengurus rumah tangga karena masih ada satu anaknya yang balita. Masih sempat memasak untuk keluarga. Sama seperti keluarga kategori pertama, sebelum menerima beasiswa mereka memang sudah mempunyai anggaran untuk sekolah anaknya. Setelah menerima beasiswa anggaran lama dipakai untuk peningkatan konsumsi/gizi. Dampak riilnya juga jelas yaitu peningkatan produksi telur, ayam pedaging, makanan bayi, dan ikan. Juga terjadi peningkatan omset pedagang telur, daging ayam mentah, dan ikan mentah.

(3) Keluarga kategori ketiga ini status gizinya cukup. Sebelumnya juga telah memiliki anggaran untuk sekolah anaknya. Setelah menerima beasiswa mereka berwisata kuliner bersama entah makan bersama di warung tenda yg menjual bebek goreng goreng, sea food, ayam taliwang, tongseng kambing, sate atau yang lain. Dampaknya di sektor riil juga nyata. Kalau ada peningkatan konsumsi, secara makro akan ada peningkatan produksi yaitu produksi ayam, ikan, dll.

(4) Keluarga kategori keempat ini mirip kategori ketiga hanya bedanya keluarga kategori keempat ini lebih suka menabung dan berinvestasi. Dampaknya di sektor riil tidak terlalu signifikan tapi tetap berkontribusi pada makro ekonomi. Paling tidak tetap bisa menjaga likuiditas perbankan. Selain itu nantinya bisa meningkatkan industri reksadana dan pasar modal kalau mereka berinvestasi di reksadana khususnya reksadana saham.

(5) Nah pemberian beasiswa kepada keluarga kategori kelima ini sebenarnya tidak berdampak pada sektor riil saat ini. Ini adalah keluarga miskin yang anaknya putus sekolah. Jadi berbeda dengan keempat kategori keluarga di atas. Keluarga kategori kelima ini sebelumnya memang tidak memiliki anggaran untuk sekolah anaknya. Kalau sebagian beasiswa dipakai untuk peningkatan gizi mungkin porsinya sangat kecil dan dampaknya di sektor riil juga kecil untuk saat ini. Dampak ekonominya baru terasa beberapa tahun lagi kalau penerima beasiswa dari keluarga kategori ini sudah lulus dan memperoleh pekerjaan.

Memang mungkin ada suara atau pertanyaan miring dari teman atau saudara orang kaya itu, misalnya: "Banyak sekali harta yang kau bagi-bagikan. Apakah keluargamu memperolehnya dari bisnis ilegal atau KKN!?" Tapi orang kaya itu menjawab dengan tenang: "Ini adalah balas budi keluarga kami pada konsumen. Kami sadar bahwa laba dan akumulasinya (aset) memang berasal dari konsumen. Kini kami mengembalikannya semua kepada konsumen (semua orang) dengan cara seperti ini"

Itulah dampak nyata dari redistribusi aset dengan pemberian beasiswa. Ide ini sederhana dalam artian tidak menunggu presiden baru untuk implementasinya.
Kisah di atas bukan kisah nyata tapi bisa menjadi nyata kalau ada orang kaya yang tergerak hatinya. Hal itu bisa terjadi kalau ide seperti ini di-share-kan. Ide ini didasarkan pada teori ekonomi makro baru, biososioekonomi/bioekonomi. Dari pada menjadi hutang publik lebih baik deposito dari warisan itu dibagikan dalam bentuk beasiswa. Hal itu akan memperbaiki makro ekonomi Indonesia. Mohon artikel ini di-share agak sampai kepada orang kaya.

Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/04/antara-kebenaran-akuntansi-dan-kesadaran_4307.html?m=1

http://satriopiningitasli.blogspot.com/2012/06/aset-pribadi-kita-membebani-publik.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/07/percuma-memberi-pancingperihal-beasiswa.html

http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul22.htm

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/06/demokrasi-ekonomi-biososioekonomi-lebih.html

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/09/berbagi-dalam-peradaban-jawa.html

Senin, 07 Oktober 2013

Menjaga Institusi Publik

Bulan September dan Oktober adalah bulan yang penting bagi teori ekonomi makro biososioekonomi. Pada tanggal 20 September 2002 saya mencetuskan istilah biososioekonomi, Oktober 2004 buku saya yang memuat teori ekonomi makro biososioekonomi/bioekonomi terbit (http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/12/krisis-global-baca-dulu-baru-kritik.html). Dan 22 Oktober 2008 Blog Satrio Piningit ini, yang banyak memuat artikel biososioekonomi, bisa diakses

Istilah biososioekonomi saya cetuskan setelah membaca artikel Prof. Dr. Mubyarto (alm) yang berjudul: "Ekonofisika atau Sosioekonomi, Mana yang Lebih Dibutuhkan Indonesia?" (Kompas 17 September 2002). Suku kata bio saya tambahkan untuk membedakannya dengan perusahaan. Kata bio itu mengacu pada manusia (bukan ikan atau ternak) sebagaimana biodata mengacu pada riwayat hidup seseorang. Dengan menambahkan suku kata bio maksud saya agar sosioekonomi dibedakan dengan ekonomi perusahaan karena yang bisa bersikap sosial sepenuhnya itu adalah manusia bukan perusahaan.

Waktu itu tulisan Mubyarto tersebut dihantam oleh tulisan Liek Wilardjo yang menganggap sosioekonomi dan Mubyarto melawan arus. Mungkin karena tulisan itu banyak ekonom tiarap. Ketika saya bertemu Pak Muby (panggilan akrab untuk Prof. Dr. Mubyarto) 2 November 2004 beliau mengaku "murtad" dalam artian keluar dari disiplin ilmu ekonomi. Pengakuan seperti itulah yang membuat saya berkesimpulan bahwa waktu itu banyak ekonom yang tiarap.

Baru setelah krisis keuangan di AS 2008, terjadi sebaliknya banyak ekonom yang sensitif disebut neolib dan menyangkal dirinya neolib padahal memang neolib. Sebenarnya sosioekonomi atau biososioekonomi bukanlah aneh atau kontroversial kalau orang mau back to basics yaitu pada akuntansi. Cobalah simak penjelasan sederhana di bawah ini.

Setiap aset yang dilepaskan kepemilikannya oleh individu entah dibayarkan sebagai pajak, derma, atau daur ulang (hibah) akan meningkatkan income dan aset publik. Peningkatan aset dan income publik ini juga bisa dikatakan peristiwa ekonomi dalam artian ekonomi publik. Apa yang oleh individu dianggap peristiwa sosial, secara publik adalah peristiwa ekonomi karena terjadi peningkatan income dan aset publik. Sebenarnya kalau orang memahami penjelasan ini tidak ada yang kontroversial atau melawan arus dalam istilah sosioekonomi yang menjadi judul artikel Mubyarto atau pun biososioekonomi yang saya cetuskan. Meski menggunakan istilah sosio bukan berarti keluar atau murtad dari disiplin ilmu ekonomi. Prinsip-prinsip akuntansi tetap harus dipakai untuk mengelola ekonomi publik tersebut.

Dalam tulisan-tulisan, saya biososioekonomi tidak anti ekonofisika sama sekali. Dalam salah satu penjelasannya mengenai chaos finansial, ( http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/12/chaos-finansial-dan-hukum-ii.html) biososioekonomi menggunakan Hukum II Termodinamika, suatu hal yang mungkin tidak dilakukan oleh Liek Wilardjo yang fisikawan itu. Ekonofisika di tangan seseorang yang memahami sosioekonomi bisa sangat bermanfaat bagi publik secara sosial.

Kini teori ekonomi makro biososioekonomi makin dikenal orang. Meski beberapa bulan terakhir saya hanya menulis satu artikel per bulan di blog ini tapi hampir setiap hari saya berdiskusi dengan teman di media sosial fb melalui account saya (haniputranto). Harapan saya adalah agar teori ekonomi makro biososioekonomi bisa menjadi pedoman yang obyektif dalam mengelola ekonomi publik. Selain itu juga menjadi pelita bagi setiap upaya untuk menjaga institusi-institusi publik yang sudah ada seperti negara atau bank sentral, dan merangsang munculnya institusi publik baru yaitu yayasan konsumen sosial yang akan mendistribusikan aset daur ulang ke seluruh dunia tanpa sekat-sekat negara dan tanpa sekat-sekat primordial sektarian. Tulisan-tulisan saya mengenai bank sentral bisa Anda baca di link ini http://satriopiningitasli.blogspot.com/search?q=bank+sentral&m=1 Bank sentral harus dijaga untuk tetap menjadi institusi publik.

Begitu pula kalau dalam tulisan di blog ini saya mengkritik pemerintah (misalnya http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1), hal itu bukan didasarkan pada sentimen "like or dislike" tetapi berdasarkan prinsip akuntansi yang obyektif yang mendasari teori ekonomi makro biososioekonomi untuk menjaga tegaknya kepentingan publik dan rakyat kebanyakan. Kritikan itu juga bukan suatu aktivitas politik praktis dalam artian untuk meraih kekuasaan tetapi suatu aktivitas yang ingin berpartisipasi dan bertanggung jawab untuk ikut serta menjaga institusi publik. Di tengah berbagai kasus yang menunjukkan banyaknya pejabat publik yang abai terhadap kepentingan publik, kita harus berpartisipasi menjaga institusi publik sesuai kapasitas dan jabatan kita masing-masing.

Semoga tulisan sederhana ini dipahami dan ditindaklanjuti.

Artikel Terkait

http://satriopiningitasli.blogspot.com/2010/09/bioekonomi-solusi-untuk-indonesia-dan.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/02/enak-di-lu-gak-enak-di-kita-sebuah.html

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/06/demokrasi-ekonomi-biososioekonomi-lebih.html

http://satriopiningitasli.blogspot.com/2010/10/dua-tahun-blog-satrio-piningit.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/05/media-konvensioanal-juga-berperan.html?m=1

Minggu, 15 September 2013

Pajak, Kaisar, dan Kesejahteraan Umum

Postingan hari ini adalah kutipan dari sebuah status facebook saya (haniputranto) yang berkaitan dengan kaisar, pajak, dan kekafiran. Tentu saja opini saya ini dari aspek kesejahteraan umum bukan dari aspek korahian. Kalau mengenai kerohanian atau hal-hal yang surgawi silakan bertanya atau belajar dari kaum biarawan bukan belajar dati saya. Berikut ini kutipan status saya.

Hanya karena membolehkan membayar pajak kepada kaisar, mungkin oleh orang luar, Yesus Kristus dan umat Kristiani dianggap  membiarkan ketidakadilan yang dilakukan kaisar apalagi kalau kaisar itu dianggap kafir (Matius 22:21  "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.")

Kemarin pagi dalam sebuah status teman fb yang menyinggung hal-hal di atas saya mencoba mengemukakan pendapat saya pribadi dengan mengomentari statusnya.

Inilah komentar saya:

"Benar Pak membayar pajak dan derma (berbagi harta) itu sama-sama perlu. Dua-duanya perlu dilakukan. Tapi rasanya tidak begitu maksud Yesus.

Yesus Kristus itu Real King bahkan The King of kings bahkan juga Mesias (imam, nabi, dan raja sekaligus). Tetapi Ia telah mengoreksi dan mereformasi sikap dan kebiasaan raja tradisional dalam keluarga-Nya (Daud) dan bangsa Yahudi sendiri dengan membayar dengan darah-Nya sendiri. Oleh karena itu Ia berharap raja-raja lain memperbaharui diri. Bagi Yesus dan murid-Nya diurapi menjadi raja bukan berarti menikmati privilege sebagaimana Saul, Daud dsb telah menikmatinya tetapi harus menjalani berbagai pantangan, hidup asketis dan terutama memperjuangkan dan melayani kesejahteraan rakyat (publik), serta siap menanggung resiko dari pekerjaannya.

Oleh karena itu sabda di atas harus juga dipahami bahwa kaisar (raja tradisional) pun harus berbagi harta sebagaimana dituntut juga terhadap orang lain yang bukan raja. Dan tentu saja raja tradisional seharusnya mereformasi diri/kerajaannya menjadi negara demokrasi modern yang egaliter karena TUHAN telah berbela rasa menjadi manusia dan juga bersikap egaliter. Meski tidak menerima pajak, Yesus Kristus itu Real King. Bagi-Nya berbagi harta itu harus sampai 100% (bdk Luk 12:33) tapi Yesus tidak berkata bawalah harta/uang itu kemari supaya Saya yg membagi-bagikannya kepada orang miskin itu. Bagi Yesus yg penting sumbangan itu sampai kepada yg disumbang (orang miskin/publik) meski tidak melalui Diri-Nya atau pengikut-Nya. Sebagian sumbangan itu berbentuk derma/hibah sebagian lagi berbentuk pajak bagi negara demokrasi modern yg harus dipakai untuk kepentingan dan kesejahteraan publik.

Mengenai orang atau raja kafir (dalam artian yg belum mengenal TUHAN/JHWH), rasanya kita perlu melihat sejarah pra inkarnasi (sebelum TUHAN berinkarnasi dalam Diri Yesus Kristus dari Nazaret) yaitu jaman Perjanjian Lama. Meski tidak mengenal TUHAN, bangsa Mesir diselamatkan dari bahaya kelaparan pada jaman Yusuf anak Yakub. Kalau kemudian bangsa Mesir dihukum TUHAN itu bukan karena kafir tapi karena durhaka (tidak tahu balas budi), menindas Bangsa Yahudi termasuk menghambat kebebasan beribadah.

Kemudian pada jaman Koresh, Koresh ini Raja Persia bukan orang Yahudi dan bukan keturunan Daud  otomatis dia tidak mengenal TUHAN tapi TUHAN mengurapinya (Yesaya 45:1-5).

Mengapa bangsa Yahudi menerima Koresh. Menurut pendapat saya karena di dalam tradisi bangsa Yahudi, seorang raja tidak merangkap sebagai imam. Koresh tidak menjadikan dirinya imam bagi bangsa Yahudi. Ia memberi kebebasan bagi bangsa Yahudi untuk beribadah (membangun kembali bait suci).

Dahulu sebelum jaman Koresh, dalam sejarah bangsa Yahudi sendiri, Raja Saul "koncatan wahyu keprabon" karena melakukan pekerjaan imam yang seharusnya dilakukan Samuel (bdk 1Sam 13: 9-14). Menurut pendapat saya, satu-satunya yg berhak merangkap raja dan imam itu adalah inkarnasi TUHAN yaitu Mesias (Yesus Kristus dr Nazaret). Menurut orang Yahudi dan orang Jawa tidak semua raja adalah inkarnasi TUHAN. Oleh karena itu orang Jawa juga bisa membedakan perbedaan antara Mesias dengan raja, antara raja dengan nabi, antara raja dengan imam. Memang dalam sejarah umat manusia fungsi-fungsi itu pernah disalahpahami. Di Inggris misalnya, raja/ratu mengepalai rohaniwan/uskup. Di daerah padang pasir seorang pemimpin politik merangkap imam, Daud dan Salomo disebut sebagai nabi. Praktek spt di Inggris dan padang pasir itu keliru atau paling tidak, bisa dikatakan sebagai tidak bijaksana. Berbahagialah orang Jawa yang membaca Alkitab karena ia tahu kebenaran dan bisa bersikap bijaksana. Selain itu tentunya orang Jawa yang memahami Alkitab akan bebas dari rasa minder karena akan menemukan bahwa JHWH dan JAWA adalah tetragramaton yang sama. Arti harfiah "orang Jawa" adalah orang JHWH atau umat TUHAN. Tidak salah kalau dikatakan Alkitab adalah kitab sucinya orang Jawa.

Sejarah Mesir (Yusuf), sejarah Raja Saul, dan Raja Koresh seharusnya diketahui publik karena itu tertulis dalam Alkitab yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Seorang pejabat publik seperti Lurah Susan, Lurah Lenteng Agung, memang tidak merangkap sebagai imam, sudah selayaknya tidak ditolak karena berbeda keyakinan.

Itulah pendapat saya silakan dikoreksi bila keliru.

Demikian tulisan saya di status fb saya beberapa waktu lalu.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Kepentingan Publik. Refleksi HUT RI Ke-68

Pada postingan Juli lalu saya menyinggung berita investigasi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tentang adanya sejumlah perusahaan tambang yang tidak membayar pajak dan royalti. Akhir-akhir ini publik dihebohkan berita penangkapan terhadap Kepala SSK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas) Rudi Rubiandini dalam kasus suap. Rudi ditangkap KPK dengan sejumlah barang bukti.

Kejadian tersebut sekadar contoh bahwa masih banyak hal di sekitar kita di mana kepentingan publik dirugikan dan ditenggelamkan oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Korupsi, suap, dan penyalahgunaan wewenang adalah tindakan kriminal yang merugikan publik. Kita hargai tindakan KPK yang sigap dan jeli untuk membongkar kasus suap tersebut yang mengindikasikan adanya mafia migas yang merugikan publik dan rakyat kebanyakan. Tax ratio kita rendah salah satu penyebabnya adalah adanya sejumlah perusahaan tambang yang tidak membayar pajak. Itu jelas merugikan publik.

Republik Indonesia didirikan untuk semua orang dalam kesetaraan, untuk publik, bukan untuk segelintir golongan atau dinasti (keluarga). Karena itu banyak yang mendukung berdirinya Republik Indonesia. Para founding fathers/mothers dan pejuang kemerdekaan RI telah berjuang dengan mengutamakan kepentingan publik dan mengabaikan kepentingan pribadi dan golongan. Bahkan tidak jarang mempertaruhkan nyawa. Itulah semangat proklamasi 17 Agustus 1945 yang semoga saja masih menjiwai hidup kita.

Namun kita masih juga melihat sebagian pejabat pemerintah yang bekerja dan bertindak bukan untuk kepentingan publik tetapi untuk kepentingan privat atau kelompok. Fasilitas demokrasi dipakai untuk kepentingan privat/kelompok.

Dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-68 ini perlulah kita mawas diri melakukan refleksi sejauh mana kita telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik. Kita harusnya malu pada founding fathers/mothers serta semua pejuang kemerdekaan RI yang mempertaruhkan nyawanya, bahkan ada yang kehilangan nyawanya demi kemerdekaan RI. Tegakah kita mengkhianati perjuangan mereka yang mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan diri dan kelompok?

Saya juga mengamati bahwa tidak semua calon presiden, menawarkan maju menjadi presiden demi menegakkan kepentingan publik sebagai pejabat publik tapi untuk memperoleh privilege atas jabatannya termasuk kekebalan hukum atas kasus hukum yang menimpanya di masa lalu. Ini sungguh terlalu. Marilah kita mawas diri. Maju menjadi calon presiden adalah hak warga negara, namun kalau hal itu justru mengganggu kepentingan publik sebaiknya tidak perlu maju mencalonkan diri. Banyak bidang bisa ditekuni dan diterjuni untuk suatu karya besar yang bermanfaat bagi sesama meski kita tidak memiliki kekuasaan secuil pun. Orang seperti Warrenn Buffett pun bisa bermakna bagi sesama. Semakin dewasa kita, semakin bisa mengutamakan kepentingan publik dan bertindak bijaksana.

Bagi saya pekerjaan menulis dan memberi penjelasan mengenai teori ekonomi makro biososioekonomi adalah suatu karya yang layak ditekuni untuk membela dan memperjuangkan kesejahteraan publik. Menduduki jabatan struktural seperti jabatan presiden, gubernur dll justru menjadi pantangan dalam hidup saya. Melihat ada orang-orang yang berhasil mewujudkan kesejahteraan publik setelah mempelajari teori ekonomi makro biososioekonomi merupakan kebahagiaan tersendiri bagi saya.

Kalau mengurusi partai bisa menghasilkan banyak eksekutif bagus seperti Joko Widodo atau Basuki Tjahaja Purnama (atau yang lain yang tidak saya sebut karena keterbatasan pengetahuan saya) mengapa harus maju menjadi calon presiden? Indonesia memerlukan lebih banyak orang-orang seperti Jokowi dan Ahok atau yang lebih baik dari mereka untuk menjadi pejabat publik di berbagai level entah gubernur, wali kota dll. Orang-orang yang mau bekerja nyata untuk kepentingan publik seperti itulah yang kita butuhkan.

Marilah kita memperbaiki diri untuk bisa lebih mengutamakan kepentingan publik dan kesejahteraan publik. Dirgahayu Indonesiaku, jaya dan sejahteralah selalu. Merdeka!!


Artikel Terkait

http://satriopiningitasli.blogspot.com/2011/10/publik-vs-pemilik-modal.html?m=1

http://satriopiningitasli.blogspot.com/2012/06/aset-pribadi-kita-membebani-publik.html?m=1

http://satriopiningitasli.blogspot.com/2010/10/dua-tahun-blog-satrio-piningit.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/05/mengapa-saya-menerima-nkri-dan.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/10/kaum-muda-pembaharuan-dan-persatuan.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/08/refleksi-kemerdekaan-tidak-boleh-gagal.html

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/02/berfungsi-kalau-dikenal-luas.html

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/04/antara-kebenaran-akuntansi-dan-kesadaran_4307.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/07/seharusnya-tidak-menambah-beban-rakyat.html?m=1

Kamis, 08 Agustus 2013

Selamat Idul Fitri 1434 H

Saya pribadi mengucapkan Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1434 H. Mohon maaf lahir dan batin.

Minggu, 14 Juli 2013

Seharusnya Tidak Menambah Beban Rakyat

Meski seorang ekonom tidak memahami teori ekonomi makro biososioekonomi tetapi selama ia memahami kaidah akuntansi maka ia juga seharusnya tahu bahwa kunci perbaikan atau penyelamatan ekonomi makro (dalam artian ekonomi publik) adalah dengan meningkatkan income dan aset publik. Utang tidak boleh dimasukkan sebagai income publik. Demikian juga PDB (Produk Domestik Bruto) tidak menggambarkan income publik.

Ukuran yang bisa menggambarkan bagus tidaknya income publik adalah tax ratio dan ratio penerimaan negara terhadap PDB. Kalau semua penerimaan negara berasal dari pajak maka besarnya tax ratio sama dengan ratio penerimaan negara terhadap PDB. Di Indonesia kontribusi pajak terhadap keseluruhan penerimaan negara cukup besar, meningkatkan tax ratio berarti meningkatkan income negara secara signifikan.

Sudah sejak 2009, melalui blog ini, saya mengingatkan perlunya peningkatan tax ratio kita http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/06/chatib-basri-tetap-neolib-tidak.html?m=1 Demikian juga setahun lalu telah mengingatkan dengan cukup tegas http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/03/terget-kerja-pemerintah-yang-harus-kita.html

Belakangan saya membaca berita bahwa ada 60% perusahaan pertambangan yang belum membayar pajak dan royalti http://mobile.kontan.co.id/news/60-perusahaan-tambang-tak-bayar-pajak-dan-royalti Selain itu saya juga membaca berita adanya piutang pajak sekitar Rp 93 triliun http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/06/23/1544411/Fitra.Seharusnya.Harga.BBM.Tidak.Perlu.Dinaikan

Tulisan sederhana ini mengingatkan kita semua termasuk pejabat pemerintah bahwa tax ratio seharusnya masih bisa meningkat oleh karena itu jangan membebani rakyat. Kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) telah memangkas daya beli rakyat secara signifikan yang berarti meningkatkan beban rakyat kebanyakan. Pemberian BLSM (bantuan langsung sementara) tidak akan mampu mengatasi beban rakyat, bagi yang memahami matematika dan akuntansi seharusnya tahu.

Pemerintah dituntut tanggung jawabnya atas keputusan dan kebijakan yang diambilnya. Jangan menggunakan fasilitas demokrasi untuk memiskinkan dan menambah beban rakyat.

Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/04/kenaikan-harga-bbm-tidak-bekerja.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/04/antara-kebenaran-akuntansi-dan-kesadaran_4307.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/03/tidak-tepat-waktu.html?m=1

Minggu, 30 Juni 2013

Yang Orisinal

Awalnya bermula dari kelalaian. Kelalaian memperpanjang domain www.satriopiningitasli.com Kelalaian itu terjadi karena saya mengelola dua domain untuk dua blog. Yang satu sudah diperpanjang bulan Februari.

Saya baru sadar kalau ternyata yang belum diperpanjang justru domain untuk blog ini di mana peringatan ada di email lain dan terselip di antara puluhan email "iklan" yang tidak secara personal ditujukan kepada saya. Saya minta maaf untuk kelalaian ini.

Dalam situasi seperti ini saya telah memutuskan untuk kembali menggunakan URL orisinal Blog Satrio Piningit ini yaitu www.satriopiningitasli.blogspot.com

Saya berpikir banyak hikmah yang bisa dipetik dari kejadian ini. Domain yang kita miliki itu tidak permanen, artinya kita harus memperpanjangnya setiap kurun waktu tertentu. Bagaimana nanti kalau kita meninggal? Bagi saya Blog Satrio Piningit ini sifatnya personal artinya saya tidak akan mewariskan passwordnya ke orang lain. Kalau suatu saat saya meninggal tidak akan ada postingan baru di blog ini. Orang lain hanya bisa menulis di ruang komentar yang sejak semula saya biarkan terbuka tanpa moderasi.

Untuk link yang yang saya buat di blog ini secara bertahap akan saya sesuaikan dengan URL aktual, namun sebelum terlaksana, pengunjung bisa menyesuaikan sendiri bila ingin mengklik link lama. Misalnya link seperti ini http://www.satriopiningitasli.com/2010/06/pancasila-untuk-persatuan-kesejahteraan.html?m=1

Untuk menuju ke artikel tersebut tidak bisa langsung di klik tapi dengan cara copy paste. Silakan copy URL artikel itu kemudian paste-kan ke browser di computer atau gadget Anda kemudian sisipkan blogspot dan dot di belakang kata satriopiningitasli dan dot sehingga menjadi http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/06/pancasila-untuk-persatuan-kesejahteraan.html?m=1 Baru kemudian tekan enter.

Atau bagi yang tidak terbiasa dengan copy paste bisa dengan cara lain yaitu dengan mengklik arsip di Blog Satrio Piningit ini. Artikel tersebut berarti diposting bulan 6 atau bulan Juni 2010. Judul artikelnya adalah "Pancasila untuk Persatuan...." Silakan lihat bagian kanan agak ke bawah di blog ini di situ ada Arsip dan tahunnya, silakan klik tahun 2010 dan cari bulan Juni, cari artikel bersangkutan kemudian silakan klik. Demikian mungkin sedikit repot bagi Anda.

Ke depannya saya akan tetap mempertahankan URL orisinal dan link yang saya buat akan berdasarkan URL orisinal di atas. Pemberitahuan kembali ke URL orisinal juga saya lakukan melalui facebook dan twitter saya (haniputranto). Ke depannya saya juga perlu memikirkan bagaimana seandainya terjadi penghapusan di Blogger atau Blogspot. Bagi saya tulisan di Blog ini memiliki nilai sejarah bahwa dulu saya pernah menyampaikan berbagai pendapat dan peringatan. Arsip sejarah seperti itu perlu diselamatkan agar tidak dibelokkan orang yang tidak bertanggung jawab.

Demikian pengumuman di Blog ini, terima kasih atas kunjungan dan pengertiannya. Sekali lagi saya minta maaf untuk ketidaknyamanan ini. Semoga TUHAN memberkati kita semua.

Jumat, 31 Mei 2013

Notonagoro, Soeharto, dan SP

Menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2014, suhu politik terasa meningkat. Berbagai aktivitas atau bahkan manuver entah langsung atau tidak langsung yang dilakukan oleh tokoh-tokoh politik maupun pendukungnya mengarah pada persiapan pilpres itu.

Sementara itu di bulan Mei sekitar tanggal 12-15, melalui media jejaring sosial, tampak beberapa aktivis sosial, cendekiawan, dan pembela HAM (hak asasi manusia) mengingatkan tragedi kemanusiaan yang terjadi 1998 saat sebelum lengsernya Presiden Soeharto.

Beberapa waktu sebelumnya melalui media jejaring sosial (fb) itu juga saya mendapat kabar adanya stiker yang menggambarkan mantan penguasa Orde Baru (Orba) itu tersenyum dengan dibubuhi tulisan yang kurang lebih berbunyi:"Piye kabare, isih enak jamanku to?" (Apa kabar, masih lebih enak hidup di jaman saya kan?). Sesuatu yang berbau propaganda atau provokasi.

Sebenarnya tidak sedikit cendekiawan yang menolak kembalinya paradigma Orba. Guru besar ekonomi UGM Prof. Dr. Mubyarto (alm) adalah salah satu yang menolak kembalinya paradigma ekonomi Orba yang mengandalkan utang dan investasi asing. Namun tidak semua rakyat mengenal dan memahami hasil pemikiran ilmuwan seperti Pak Muby (Prof. Dr. Mubyarto).

Kebanyakan rakyat hanya mengerti simbol, tidak memahami apa yang ada di balik simbol. Hanya melihat label tidak memiliki kemampuan untuk menguji apakah label atau simbol sudah sesuai isinya atau tidak. Celakanya sering rakyat percaya dengan simbol itu.

Dalam demokrasi langsung, calon presiden atau kepala daerah yang melakukan politik pencitraan bisa menang. Publik memperoleh pemimpin busuk karena antara citra atau label tidak sesuai dengan isi. Hal seperti ini jelas tidak sehat. Suatu simbol atau label seharusnya sesuai dengan isinya karena kalau tidak maka politik pencitraan bisa dianggap sebagai pembohongan atau bahkan penipuan.

Memang kadang simbol dan label memudahkan dan memberi kepraktisan. Suatu makanan olahan hasil laut misalnya, bisa diberi label "bebas logam berat" kalau memang faktanya demikian. Hal itu akan memudahkan konsumen karena tidak semua konsumen memiliki kemampuan untuk melakukan uji kimiawi terhadap produk tersebut. Diperlukan ahli atau lembaga yang kredibel dan memiliki kemampuan untuk menguji apakah suatu label atau simbol sudah sesuai isinya atau tidak.

Paradigma ekonomi Orba sudah banyak dikritik oleh berbagai cendekiawan, seperti saya singgung di atas. Demikian pula kehidupan politiknya yang membungkam kebebasan berpendapat. Buku saya di atas terbit tahun 2004 di jaman reformasi. Saya tidak yakin buku seperti itu bisa terbit di jaman Soeharto. Buku yang berisi teori ekonomi makro biososioekonomi yang mengkritik pewarisan kekayaan berlimpah pada keturunan sendiri seperti buku saya di atas, saya rasa tidak bisa terbit di jaman Soeharto. Ini harus diingat oleh kaum reformis. Tidak ada demokrasi ekonomi kalau masih ada pewarisan kekayaan berlimpah pada keturunan sendiri. Tanpa ada demokrasi ekonomi di samping demokrasi politik, rakyat tetap sengsara, tidak ada kemakmuran sejati yang merata.

Meskipun sebagian cendekiawan telah memberi penjelasan namun kita harus memaksimalkan upaya untuk mencegah kembalinya paradigma Soeharto itu. Media konvensional (cetak dan tv) yang masih banyak dikonsumsi rakyat harus berupaya lebih keras. Selama ini media konvensional itu masih kalah dibanding media internet dengan jejaring sosialnya seperti fb, twitter, dan blog.

Penjelasan ilmiah memang diperlukan namun untuk bisa dipahami rakyat secara meluas, penggunaan simbol sering tidak terhindarkan. Dengan demikian penjelasan itu tidak elitis. Apalagi kalau memang tersedia simbol yang teruji sesuai isinya.

Soeharto sering disimbolkan bagian dari ramalan "notonagoro" yang dikaitkan dengan jaman kemakmuran dan kesejahteraan. Saya tidak tahu persis apakah pada jaman Orla (Orde Lama) ramalan notonagoro itu sudah disebut-sebut atau belum. Kalau belum, mungkin pengkaitan ramalan itu dengan nama Soeharto adalah bagian dari cara-cara mempertahankan status quo. Notonagoro itu multi tafsir. Orang yang namanya memakai to itu sangat banyak, ada Sugiarto, Wiranto, Suprapto, Mubyarto atau bahkan Hani Putranto atau yang lain.

Simbol bahwa Soeharto bagian dari ramalan notonagoro masih dipercaya sebagian rakyat sehingga bisa mengganggu agenda reformasi dan demokrasi ekonomi maupun demokrasi politik. Namun itu bukan satu-satunya simbol yang tersedia di tengah hidup orang Jawa. Cobalah simak penjelasan berikut. Sebagai suatu simbol apakah soeharto lebih hebat dari r. hani japar? Silakan rakyat menilai. Berapa huruf dalam nama soeharto yang sesuai "notonagoro" hanya dua atau tiga huruf. Bandingkan dengan r. hani japar. Dari RA Parjinah menjadi R Hani Japar itu tidak membuang satu huruf pun, sepuluh huruf cocok semua. Bukankah hal seperti ini adalah kejadian langka? Dalam keyakinan sebagian orang Jawa, pulung kesejahteraan itu dikaitkan dengan perawan (bdk http://www.satriopiningitasli.com/2010/08/tuhan-memenuhi-harapan-juru-kunci-itu.html?m=1). Bukankah hanya RA Parjinah yang berkaitan dengan kesejahteraan? Secara ilmiah pun tidak salah karena hal itu berkaitan dengan teori
ekonomi makro baru biososioekonomi dan berkaitan dengan satrio piningit (sp).

Menurut pengalaman dan pendapat saya sp dan wahyu keprabon itu berkaitan dengan tugas besar seperti menentang pewarisan kekayaan berlimpah kepada keturunan sendiri. Hal semacam itu termasuk tugas besar. Saya sering geli melihat pengamat sp berpendapat bahwa sp adalah orang yang berhasil memberantas korupsi. Benar hahwa korupsi harus diberantas. Tapi hal itu adalah urusan kecil yang tidak memerlukan wahyu keprabon. Harusnya orang Indonesia bisa mengatasi sendiri masalah korupsi seperti di negara-negara lain.

Sebagai suatu simbol ra parjinah, r hani japar, sp, lebih mudah dipahami rakyat meskipun berkaitan dengan ilmu pengetahuan (biososioekonomi) yang kelihatannya rumit bagi rakyat. Maaf ini bukan self glorification, karena peringatan secara halus sudah pernah saya sampaikan dalam tulisan berikut http://www.satriopiningitasli.com/2011/05/media-konvensioanal-juga-berperan.html?m=1. Kalau kata-kata halus tidak dipahami maka dengan sangat terpaksa harus dijelaskan secara lugas, blak-blakan. Apakah simbol ini sesuai isinya? Karena berkaitan dengan biososioekonomi yang bersifat ilmiah maka lebih mudah diuji atau di-cross check pihak lain. Orang yang mengujinya harus memiliki empat kriteria berikut sekaligus: (1)cerdas (2)jujur (3)pemberani (4)menguasai matematika dan akuntansi dengan baik. Tanpa keempatnya pinilainnya terhadap biososioekonomi akan bias.

Ketika aset pribadi yang berjumlah besar seharusnya didaur ulang (dihibahkan) seperti harapan biososioekonomi yang sesuai kaidah akuntansi. Dan ketika aset daur ulang itu harus diredistribusikan ke seluruh dunia tanpa sekat-sekat negara dan tanpa sekat sektarian-primordial lainnya, saat itulah kita harus menata ulang negara sebagaimana saya paparkan dalam buku saya di atas. Mungkin itulah yang dimaksud ramalan notonagoro, menata (ulang) negara.

Artikel saya hari ini bukan untuk menghambat seseorang mencalonkan diri dalam pilpres. Juga bukan untuk meminta rakyat untuk memilih saya menjadi presiden atau gubernur. Tetapi untuk mengingatkan kita agar tidak kembali kepada suatu paradigma yang feodal yang anti demokrasi politik dan anti demokrasi ekonomi. Bulan Mei adalah peringatan bagi reformasi, kebangkitan nasional, dan pencerdasan (pendidikan nasional).

Saya sering mengingatkan di blog ini agar kita berubah pada kapasitas dan jabatan kita masing-masing untuk meninggalkan paradigma ekonomi neolib yang anti demokrasi ekonomi menuju paradigma biososioekonomi. Marilah kita memperbaiki diri.


Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.com/2013/04/antara-kebenaran-akuntansi-dan-kesadaran_4307.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/02/semoga-semakin-banyak-orang-kaya.html

http://www.satriopiningitasli.com/2012/02/be

Sabtu, 25 Mei 2013

Selamat Hari Raya Waisak 2557

Saya pribadi mengucapkan Selamat Hari Raya Waisak 2557 bagi yang merayakannya.

Semoga TUHAN memberkati kita semua.

Minggu, 12 Mei 2013

Peringkat Utang RI dan Harga BBM

Baru-baru ini S&P menurunkan outlook (prospek) peringkat utang RI dari positif menjadi stabil (Harian Kontan 6 Mei 2013, hlm 1). Sementara itu di Harian Kontan 7 Mei, tim redaksi yang terdiri dari Rika Theo, Herlina KD, Asep MZ, dan Anna Suci P melaporkan di halaman 1 bahwa "Moody's Ikut-ikutan Menggertak Indonesia"

Di awal tulisan tertanggal 7 Mei itu disebutkan:"Lembaga pemeringkat utang asing tak suka dengan pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM). Itu sebabnya, lembaga pemeringkat utang asing menggertak Indonesia yang lamban mencabut subsidi BBM."

Laporan atau berita itu juga memuat pendapat dua ekonom konvensional yaitu Faisal Basri dan ekonom BII Juniman.

Demikian ditulis: "Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, melihat, kesalahan utama pemerintah adalah lamban menaikkan harga BBM. 'Isu kenaikan harga BBM sudah ramai sejak tahun lalu tapi tidak dilaksanakan, akibatnya ekonomi kita di ujung tanduk,' kata Faisal, kemarin."

Sementara itu di bawahnya disebutkan:"Ekonom BII Juniman berharap pemerintah segera menindaklanjuti peringatan lembaga rating ini. Jika Moody's benar-benar menurunkan peringkat utang Indonesia yang saat ini sudah masuk ke investment grade, 'akan sulit bagi Indonesia untuk tumbuh di atas 6%' tegasnya."

Pemerintah bereaksi dengan mempercepat pencabutan subsidi BBM. Oleh tim redaksi tersebut berita itu diakhiri dengan kata-kata:"Pemerintah gampang nurut ya, jika asing menghardik. Sekalipun itu harus mencabut subsidi BBM.

Begitulah pemerintah dan ekonom konvensional menghadapi persoalan publik seperti subsidi BBM. Persoalan pokoknya bukan pemerintah lamban menaikkan harga BBM tetapi pemerintah tidak mengubah paradigma neolibnya dengan meningkatkan income publik, dengan meningkatkan tax ratio dari pajak progresif atau pajak yang pro demokrasi ekonomi. Dengan mengubah paradigma neolib seperti itu pemerintah baru bisa dikatakan benar-benar pro publik dan pro rakyat bukan pro pemilik modal. Tulisan saya sekitar dua tahun lalu sudah menyinggung agar pemangku kepentingan publik menempatkan diri pada kepentingan publik bukan pada pemilik modal http://www.satriopiningitasli.com/2011/10/publik-vs-pemilik-modal.html
Kemampuan pemerintah membayar utang akan tergantung pada tax ratio-nya bukan pada PDB-nya (bdk http://www.satriopiningitasli.com/2012/08/utang-besar-karena-income-kurang.html?m=1)

Kini sampai akhir kuartal I pertumbuhan PDB Indonesia melambat yaitu cuma tumbuh 6,02%. Bandingkan periode yang sama tahun 2012 yang tumbuh 6,29%. Pelambatan itu selain karena lambatnya penyerapan anggaran belanja negara, terbatasnya konsumsi rumah tangga, juga menyusutnya pembentukan modal tetap bruto (PMB) alias investasi.

Kompensasi kenaikan BBM dengan BLSM (bantuan langsung sementara) itu tidak akan menyelesaikan masalah. Peningkatan beban rakyat akibat kenaikan harga BBM tidak akan sebanding dengan besarnya BLSM yang hanya Rp 13 triliun. Sebenarnya daya beli rakyat bisa dijaga atau ditingkatkan secara signifikan dengan peningkatan tax ratio dan income publik dari daur ulang aset privat (seperti harapan teori ekonomi makro biososioekonomi) yang kemudian diredistribusikan besar-besaran sebagai beasiswa dan paket beasiswa. Hal itu juga akan meningkatkan PDB Indonesia dan memperbaiki penyerapan tenaga kerja. Memang semua kuncinya adalah peningkatan income publik (tax ratio, daur ulang aset privat, dan derma). Bahkan kalau tax ratio memadai,17% misalnya, pencabutan subsidi BBM tidak diperlukan. Harga keekonomian BBM hanya boleh diterapkan bila demokrasi ekonomi (biososioekonomi) sudah berjalan secara meluas dan mendalam, bila akumulasi laba sudah dikembalikan kepada publik.

Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.com/2013/04/kenaikan-harga-bbm-tidak-bekerja.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/07/kalau-semua-orang-lulus-s1.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/03/tidak-tepat-waktu.html?m=1

Senin, 29 April 2013

Kenaikan Harga BBM. Tidak Bekerja Maksimal

Bukan hanya sekali ini saya menulis artikel mengenai kenaikan harga BBM. Kalau Anda mengetikkan kata BBM di search engine blog ini akan keluar semua artikel yang berkaitan dengan BBM.

Tulisan saya kali ini bukan sekedar rangkuman dari semua artikel yang berkaitan dengan kenaikan harga BBM. Saya mengamati dan menilai bahwa rencana pemerintah menaikkan menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) adalah tanda bahwa pemerintah tidak bekerja maksimal untuk rakyat dan publik.

Penilaian saya ini didasarkan atas fakta sebagai berikut:

1. Nisbah pajak (tax ratio) kita masih rendah, hanya berkutat di sekitar 12%. Kalau nisbah pajak di atas 17% seharusnya tidak perlu mengurangi subsidi BBM. Pada saat menjelang pilpres 2009 saya sudah menyinggung perlunya menanyakan nisbah pajak yang ingin dicapai capres silakan baca artikel saya di link ini http://www.satriopiningitasli.com/2009/06/chatib-basri-tetap-neolib-tidak.html?m=1 Beberapa tulisan saya setahun lalu juga sudah mengingatkan lagi antara lain http://www.satriopiningitasli.com/2012/03/terget-kerja-pemerintah-yang-harus-kita.html?m=1 dan
http://www.satriopiningitasli.com/2012/03/kenaikan-harga-bbm-mengubah-paradigma.html

2. Tak tersedianya transportasi massal yang bisa dipakai menghemat dan menekan konsumsi BBM. Pemerintah menekan konsumsi BBM dengan cara menekan suplai BBM bersubsidi, sesuatu yang tidak bisa dibenarkan secara akal sehat. Seharusnya mensuplai transportasi massal yang hemat BBM atau mensuplai bahan bakar alternatif. Pemerintah bukan baru setahun bekerja. Selama ini apa yang dilakukan terhadap penyediaan transportasi massal? Moda transportasi yang menggunakan kendaraan pribadi itu hanya menghasilkan kemacetan dan pemborosan BBM. Banyak orang telah mengingatkan pemerintah, saya juga pernah menyinggungnya dalam tulisan berikut http://www.satriopiningitasli.com/2009/04/krisis-multidimensi-harus-diatasi.html?m=1

Apakah pemerintah mendapat tekanan untuk menaikkan harga BBM sesuai harga keekonomian agar sesuai iklim bisnis pom bensin asing? Kalau iya seharusnya pemerintah tidak tunduk pada tekanan seperti itu. Harga keekonomian hanya bisa diterima publik/rakyat bila demokrasi ekonomi sudah terwujud dalam artian akumulasi laba sudah dikembalikan kepada publik sesuai prinsip biososioekonomi. Pemilik modal seharusnya tidak menuntut harga keekonomian bila mereka sendiri tidak pro demokrasi ekonomi/biososioekonomi, lihat juga tulisan saya di link berikut http://www.satriopiningitasli.com/2012/03/harga-bbm-konsumen-dan-warga-negara.html

Bahkan kalau pun pemerintah memberikan kompensasi seperti BLT(bantuan langsung tunai) tak akan banyak membantu selama nisbah pajak tidak naik secara signifikan. Tentu yang saya maksud adalah peningkatan dari pajak progresif atau pajak yang pro demokrasi ekonomi.Bagi yang memahami akuntansi dan matematika seharusnya tahu http://www.satriopiningitasli.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1

Saya rasa penilaian saya ini cukup obyektif, tidak bekerja maksimal untuk rakyat dan publik. Mengubah paradigma neolib bisa membuatnya lebih maksimal.

Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/03/tidak-tepat-waktu.html?m=1

Selasa, 16 April 2013

Antara Kebenaran Akuntansi dan Kesadaran

Banyak orang memandang kapitalisme sebagai fenomena sosiologi. Hal itu kadang tidak bisa disalahkan karena pengaruh  dari karya Webber. Namun sejak awal saya mengkritik kapitalisme dan menawarkan jalan ketiga, saya memandang kapitalisme sebagai fenomena akuntansi. Kapitalisme dalam artian akumulasi modal dan aset sudah ada sejak lama sebelum orang mengenal etika protestan.

Oleh karena itu adalah bijaksana bila kita memandang kapitalisme sebagai fenomena akuntansi. Teori ekonomi makro biososioekonomi yang saya rumuskan telah memberi penjelasan panjang lebar. Rumusan dasarnya:"kelahiran adalah hutang yang harus dibayar dengan kematian" jelas menunjukkan bahwa biososioekonomi tunduk pada kaidah akuntansi.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa laba berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Atau dengan kata lain kalau laba yang diambil individu adalah 100 maka yang harus dikembalikan kepada publik adalah juga harus 100 bukan 50 apalagi 10 atau 3. Karena perusahaan atau institusi bisnis tidak bisa melakukan hal itu maka tanggung jawab mengembalikan laba itu sebagian besar harus dibebankan kepada orang bukan perusahaan. Orang bisa bersikap homo socius. Bagaimana aset privat yang dihibahkan kepada publik itu dikelola dan didistribusikan, sudah dijelaskan oleh teori ekonomi makro biososioekonomi.

Tanpa pengembalian laba kepada publik seperti itu maka akan terjadi krisis ekonomi moneter, kesenjangan kaya miskin, hutang publik yang besar setara atau melampaui PDB, bunga tabungan yang minus atau nol bila dikoreksi inflasi, kemiskinan, dan kelaparan. Itulah yang terjadi saat ini. Krisis keuangan AS 2008, krisis hutang zona Euro, adanya 10 negara yang hutangya setara atau melampaui PDB-nya, dan kenaikan Rasio Gini Indonesia menjadi 0,41.

Namun kebenaran akuntansi itu belum disadari banyak orang kaya. Warren Edward Buffett adalah sedikit orang kaya yang telah memiliki kesadaran untuk menghibahkan sebagian besar kekayaannya kepada orang lain (publik). Sementara itu setelah tumbangnya rezim orde lama di Indonesia, kita menghasilkan orang-orang kaya seperti tertulis dalam link berikut   http://mobile.kontan.co.id/news/aset-rahasia-9-keluarga-terkaya-indonesia atau versi Bahasa Inggrisnya ada di link berikut  http://www.icij.org/offshore/billionaires-among-thousands-indonesians-found-secret-offshore-documents Itulah salah satu berita aktual yang baru saja terekspos akhir-akhir ini.

Mereka berbeda dibanding Warren Buffett dan Bill Gates. Alih-alih menghibahkan kekayaannya kepada publik, mereka malah menyembunyikan aset mereka di negara-negara bebas pajak. Sementara tax ratio Indonesia TIDAK beranjak naik signifikan dari sekitar 12%.

Tulisan saya kali ini tetap mengingatkan bahwa kalau laba yang diambil individu 100 maka yang harus dikembalikan juga 100. Itu berlaku untuk bisnis legal. Kalau yang legal saja harus seperti itu apalagi terhadap harta hasil korupsi.Kalau suatu aset terbukti berasal dari hasil korupsi terhadap keuangan negara maka seharusnya disita negara.

Dari kebenaran akuntansi menjadi kesadaran memang memerlukan waktu. Tetapi standar itu (100%) tidak boleh dikurangi. Harus selalu sering diingatkan dalam berbagai tulisan, kotbah, pidato dan tindakan nyata. Pemerintah perlu meningkatkan tax ratio secara nyata yang saat ini masih rendah sekitar 12%, dalam hal ini tidak harus mencapai 100% tapi  harus meningkat di atas 17%. Tentu yang dimaksud adalah peningkatan pajak yang pro demokrasi ekonomi bukan pajak yang menekan wong cilik atau kelas menengah. Civil society harus selalu mengingatkan secara damai melalui tulisan, kotbah, penyadaran atau tekanan masyarakat konsumen.

Tereksposnya perilaku orang kaya Indonesia di atas juga mengingatkan kepada kita agar kita tidak kembali ke budaya rezim Orde Baru yang menghasilkan orang-orang kaya seperti itu. Buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia terbit Oktober 2004 di jaman reformasi  http://www.satriopiningitasli.com/2011/12/krisis-global-baca-dulu-baru-kritik.html.  Saya tidak yakin
buku seperti itu bisa terbit di jaman Orde Baru karena buku saya itu berisi teori biososioekonomi yang menentang pewarisan kekayaan berlimpah. Jangan mundur ke belakang.

Kita harus maju ke depan menghasilkan orang kaya seperti Warren Buffett. Benar bahwa tidak menunggu kaya untuk berbagi harta namun juga SANGAT salah kalau kita tidak pernah mengingatkan yang kaya untuk berbagi harta. Untuk itulah artikel ini ada. Artikel ini tidak ditujukan untuk menekan wong cilik atau kelas menengah agar berbagi harta. Biososioekonomi mulai dari yang paling kaya agar yang lebih miskin bebannya ringan. Namun kalau ada kelas menengah berbagi harta harus diapresiasi agar yang lebih kaya tergerak hatinya.

Demikian artikel saya hari ini. Kalau artikel dan blog ini bermanfaat mohon disebarluaskan supaya sampai kepada orang yang paling kaya. Semoga TUHAN memberkati Anda semua.

Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.com/2013/03/begini-jadinya-kalau-akuntansi-tunduk.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/11/tunduk-pada-akuntansi-sebuah-refleksi.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/08/utang-besar-karena-income-kurang.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/02/semoga-semakin-banyak-orang-kaya.html

http://www.satriopiningitasli.com/2012/10/ekonomi-jalan-tengah-ala-warren-buffet_14.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2012/03/terget-kerja-pemerintah-yang-harus-kita.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2011/05/media-konvensioanal-juga-berperan.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2009/04/orde-baru-dan-kesejahteraan-umum.html?m=1

Minggu, 31 Maret 2013

Selamat Paskah 2013

Selamat Paskah. Semoga kebangkitan Kristus menyemangati kita dalam berkarya mewujudkan kesejahteraan umum dan demokrasi ekonomi. Semakin beriman, semakin bersaudara, semakin berbela rasa.

Selasa, 12 Maret 2013

Begini Jadinya Kalau Akuntansi Tunduk Pada Politik

Sekitar dua minggu yang lalu saya membaca berita tentang kemungkinan Amerika Serikat terjerembab pada resesi setelah Presiden Obama menandatangani pengurangan anggaran sebesar 85 milyar dollar AS sesuai penerimaan negara apa adanya.
http://internasional.kompas.com/read/2013/03/04/08165522/Ekonomi.AS.Pasti.Jatuh

Berikut ini saya kutipkan sebagian isi berita tersebut: "Untuk itu, Obama dan Demokrat menginginkan perhatian kepada warga tak mampu sekaligus kenaikan pajak. Adapun Republiken hanya mau menaikkan sedikit pajak dan tidak mau kenaikan pajak massal. Hampir semua Republiken anti-kenaikan pajak. Mereka juga menentang program jaminan sosial yang dicanangkan Obama.

Hal ini membuat Obama meneken pengurangan anggaran sebagaimana adanya, sesuai kemampuan penerimaan negara.

Mantan kandidat presiden dari Partai Republik, Mitt Romney, mengatakan tidak melihat kesuksesan Obama terkait anggaran. Namun, kubu Demokrat menganggap bahwa semua itu akibat sikap Republiken yang selalu tak mau menaikkan pajak. Kenaikan pajak yang disepakati hanya terbatas walau menurut Demokrat dan Obama masih banyak celah pajak yang bisa dimanfaatkan."

Memang masih perlu waktu untuk melihat apakah ekonomi AS akan jatuh atau tidak karena pengurangan efektif baru mulai tanggal 27 Maret 2013. Namun hal yang perlu saya sampaikan di blog ini adalah bahwa kejadian di atas menunjukkan adanya suatu tindakan atau kebijakan obyektif sesuai kaidah akuntansi dimentahkan oleh keinginan subyektif yang mengatasnamakan demokrasi. Dalam komentar pendek di akun twitter saya, saya menulis "@kompascom Begini jadinya kalau akuntansi tunduk pada politik. Secara akuntansi kapitalisme agregat memang tidak bisa dipertanggungjawabkan. -- Hani Putranto (@haniputranto)"

Memang ekonomi AS bisa selamat dari resesi kalau masyarakat (civil society) AS memobilisasi dana filantrofi untuk membayari jaminan sosial (beasiswa, kesehatan dll). Dana filantrofi yang harus dimobilisasi tidak boleh kurang dari 85 miliar dolar AS, yaitu sebesar anggaran yang dipotong sesuai berita di atas. Akan tetapi suatu kebijakan obyektif yang sesuai kaidah akuntansi seharusnya tidak boleh ditundukkan oleh keinginan subyektif meskipun keinginan subyektif seperti ini mengatasnamakan demokrasi. Keinginan subyektif seharusnya tidak menggunakan fasilitas demokrasi. Kejadian serupa bisa juga terjadi di belahan dunia lain seperti Indonesia.

Di dalam buku saya "Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia" (http://www.satriopiningitasli.com/2011/12/krisis-global-baca-dulu-baru-kritik.html) saya menempatkan bab yang membahas bioekonomi (biososioekonomi) di bagian awal sebelum membahas teori tentang negara. Artinya saya menempatkan kebenaran obyektif_yang sesuai kaidah akuntansi_ di tempat tertinggi agar tidak terjadi kekeliruan. Oleh karena itu saya berpendapat kalau secara akuntansi/biososioekonomi, kekayaan daur ulang harus diredistribusikan ke seluruh dunia tanpa sekat negara maka teori politik (filsafat politik) harus mengikuti kebenaran obyektif tersebut. Inilah salah satu hal yang revolusioner dari buku saya.

Saya bukan anggota ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) akan tetapi saya melihat bahwa ilmu ekonomi ini seharusnya bisa menjadi ilmu yang tidak saja berwibawa tetapi juga bermanfaat bagi rakyat kebanyakan dan publik. Hal ini bisa terjadi kalau ilmu ekonomi itu back to basics yaitu akuntansi sebagaimana dilakukan oleh teori ekonomi makro biososioekonomi. Gambaran ekonomi makro sebagai pabrik raksasa seperti dipaparkan textbook ekonomi konvensional itu salah karena tidak sesuai kaidah akuntansi. Oleh karena itu dengan segala kemampuan saya, saya berjuang agar ilmu ekonomi ini selain bermanfaat bagi publik dan rakyat kebanyakan juga bisa menjadi ilmu yang berwibawa bukan dalam arti eksklusif atau sombong tetapi menjadi pedoman atau pelita yang obyektif bagi ilmu lain seperti ilmu politik dan pemerintahan. Semoga mereka yang mendalami ilmu ekonomi secara formal mengikuti jejak saya demi kebenaran dan demi hajat hidup orang banyak.

Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.com/2012/11/tunduk-pada-akuntansi-sebuah-refleksi.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2011/08/yesus-dan-amerika-serikat.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2011/08/krisis-global-jangan-menyerah-pada.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2010/11/surat-terbuka-untuk-presiden-obama-dan.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2008/11/catatan-atas-fenomena-obama-pergantian_16.html

Selamat Hari Raya Nyepi 1935 Saka

Secara pribadi saya mengucapkan selamat menjalankan brata panyepian bagi yang menjalankannya.

Sabtu, 02 Maret 2013

Harga Emas Memang Bisa Turun

Saya mengamati bahwa di tengah masyarakat ada sebagian orang yang menganggap bahwa harga emas tidak mungkin turun sehingga mereka menganggap bahwa investasi emas adalah investasi yang paling aman. Namun keyakinan bahwa harga emas tidak mungkin turun adalah mitos.

Saat artikel ini ditulis harga harian emas batangan turun 0,70% dari Rp 570.200 per gram menjadi Rp 566.200 per gram (sumber: Harian Kontan 2/3/2013 hlm 7). Sementara itu dari sumber yang sama kita ketahui bahwa harga harga emas berjangka turun dari US $ 1.578,1 menjadi 1.569,2 per ons troi atau turun 0,56%.

Tahun ini harga emas sudah anjlok 4,8% (sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/02/26/12240928/Ini.Prediksi.Goldman.soal.Harga.Emas). Penurunan seperti itu biasanya sering memakan korban investor yang berkeyakinan buta bahwa harga emas selalu naik. Selain itu mungkin memang ada perusahaan investasi bodong yang memang merugikan nasabah dengan iming-iming hasil investasi yang tidak masuk akal.

Memang beberapa kasus baru-baru ini bisa kita simak melalui pemberitaan media massa di internet seperti link berikut ini http://mobile.kontan.co.id/news/gtis-menyeret-nama-politikus/2013/03/01 atau http://mobile.kontan.co.id/news/nasabah-golden-traders-syariah-resah/2013/02/28 atau http://mobile.kontan.co.id/news/nasabah-gtis-saling-curhat-di-dunia-maya/2013/02/28. Kasus perusahaan investasi bodong bukan hal baru, link berikut ini memberi informasi yang cukup http://mobile.kontan.co.id/news/inilah-investasi-bodong-yang-sudah-memakan-korban/2013/03/01

Di blog ini tanggal 10 Februari 2009 saya pernah menulis artikel bahwa harga emas bisa turun http://www.satriopiningitasli.com/2009/02/apakah-harga-emas-tidak-bisa-jatuh.html?m=1

Kita memang harus cerdas dan berhati-hati dalam berinvestasi. Semua instrumen investasi bisa mengalami kenaikan ataupun penurunan harga termasuk emas dan properti. Kita perlu memikirkan jangka waktu investasi beserta sumber dananya, jangan sampai investasi jangka panjang didanai menggunakan dana jangka pendek. Selain itu tentu perlu menyiapkan exit strategy bila prediksi mleset. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.

Jumat, 08 Februari 2013

Dan Brown, Kemiskinan, dan Kolonialisme

Di awal tahun 2013 ini saya
telah memposting artikel berjudul "Pasca 2012 Pasca Kolonial" Harapan saya adalah agar kita meninggalkan paradigma dan sikap kolonialistis. Selain itu juga saya berharap agar TUHAN ikut campur tangan membebaskan kita dari kolonialisme. Dalam rangka itulah artikel saya hari ini saya posting.

Beberapa hari yang lalu saya menemukan artikel saya yang pernah diterbitkan oleh tabloid rohani populer Sabda no 80/Th IX Januari 2006. Seingat saya judul tulisan itu dalam naskah saya adalah "Kerajaan Allah dan Kemiskinan" tetapi oleh redaksi diubah menjadi "Irene, Lasiman, Dan Brown Versus Pengalaman Pribadi Saya" Mungkin pertimbangan redaksi adalah untuk menarik perhatian pembaca yang waktu itu banyak menanggapi tulisan atau ceramah ketiga orang tersebut. Dalam tulisan itu saya mengajak pembaca untuk lebih peduli pada pengentasan kemiskinan dengan menentang benih-benih "triple six" dalam diri masing-masing. Lebih peduli pada Kerajaan Allah dan pengentasan kemiskinan (demokrasi ekonomi) dari pada reaktif terhadap tulisan atau omongan orang lain_yang tidak seiman_ karena TUHAN sebagaimana saya kenal dari Alkitab dan pengalaman rohani saya juga peduli kepada mereka yang lapar, miskin, dan tertindas.

Kemiskinan menjadi masalah yang menuntut perhatian dan tindakan kita semua. Beberapa waktu yang lalu saya membaca berita di harian Kompas (2/2/2013, hlm 8) yang berjudul Pembangunan Global, Kemiskinan Ekstrem Melanda 1,5 Miliar Penduduk Bumi. Itu berita tentang kemiskinan dan MDGs. Menurut berita itu sebanyak 1,5 miliar penduduk bumi atau 1 dari 5 penduduk bumi berada di bawah kemiskinan ekstrem yang standar hidupnya satu dollar AS. Sekitar 170 juta anak balita menderita kekurangan gizi, 100 juta anak tidak menikmati pendidikan dasar. Banyak yang mati muda, angka kematian anak balita mencapai 26.000 per hari dan kematian ibu melahirkan 500.000 per tahun. Tidak kurang dari 824 juta orang mengalami kelangkaan pangan dan 500 juta orang terancam kelaparan dan kekurangan gizi.

Menurut pengamatan saya MDGs atau Tujuan Pembangunan Milenium berjalan berdasarkan paradigma ekonomi konvensional (neoklasik dan keynesian) yang kurang bisa diandalkan untuk mengentaskan kemiskinan.Ilmu Ekonomi seharusnya mengikuti matematika sederhana yaitu bila laba yang diambil individu adalah 100 maka yang dikembalikan kepada publik seharusnya juga 100 bukan 50 atau 10 apalagi 2,5 atau 1. Segala macam teori ekonomi atau teori pembangunan yang tidak tunduk pada akuntansi dan matematika sederhana itu dipastikan akan gagal mengentaskan kemiskinan. Teori ekonomi makro biososioekonomi yang notabene tunduk pada matematika sederhana di atas telah menjelaskan panjang lebar bagaimana aset pribadi harus diredistribusikan ke seluruh dunia tanpa sekat-sekat negara dan tanpa sekat primordial.

Namun pengalaman saya memperjuangkan biososioekonomi menunjukkan adanya hambatan dari kelompok kepentingan (triple six) dan kolonialisme atau kombinasi keduanya. Tabloid Sabda termasuk yang berani menerbitkan tulisan saya apa adanya. Selain itu hanya PUSTEP UGM yang memposting makalah saya di situs resminya. Setahu saya berita seminar itu pun hanya diekspose oleh harian Suara Merdeka Semarang. Lebih banyak media konvensional yang tidak menaruh perhatian pada teori ekonomi makro biososioekonomi dan perumusnya. Itulah kolonialisme dalam wujud sehari-harinya yang menenggelamkan teori ekonomi yang pro rakyat, pro keadilan, dan pro publik.

Kolonialisme sering menganggap hal-hal yang dari luar adalah baik dan pada saat yang sama menafikan kearifan lokal atau kebenaran yang ditemukan penduduk lokal. Saya mengamati bahwa tidak jarang kolonialisme mulai dari teks atau textbook dan mengabaikan kejadian, penemuan, atau suatu pengalaman dan kisah nyata yang belum banyak dikenal orang karena tidak diekspose media konvensional. Kalau mau lepas dari pandangan kolonialistis haruslah sejenak meninggalkan teks dan textbook kemudian mengamati berbagai peristiwa seperti krisis ekonomi, krisis utang, kelaparan, gempa bumi, tsunami, atau pun pengalaman seseorang dalam merumuskan dan memperjuangkan biososioekonomi (dan demokrasi ekonomi).

Dalam tulisan saya yang diterbitkan tabloid Sabda di atas, saya mulai dari pengalaman rohani atau pengalaman pribadi saya. Sebaliknya Dan Brown mulai dari teks khususnya teks Injil apokrif (tersembunyi) atau bahkan Injil palsu. Dengan mulai dari teks sadar atau tidak sadar Dan Brown cenderung kolonialistis.

Dengan mencari sensasi atau memojokkan iman Kristiani, Dan Brown sebenarnya sedang menenggelamkan keadilan distributif dan kebenaran. Betapa tidak, kalau ekonomi sesuai akuntansi atau matematika sederhana di atas dan telah dijelaskan panjang lebar oleh teori ekonomi makro biososioekonomi maka segala tindakan yang menghalanginya akan berarti menghalangi keadilan distributif itu sendiri. Dan Yesus Kristus, sebagaimana saya kenal dari Injil (kanonik), menyampaikan ajaran sosial yang sesuai akuntansi dan matematika sederhana di atas (bdk Luk 12:33 atau Mat 19:21). Yesus Kristus menentang pewarisan kekayaan berlimpah. Dia pro rakyat dan pro keadilan. Dia lahir ketika bangsa Yahudi berada dalam penjajahan Romawi, ikut merasakan derita rakyat akibat kolonialisme. Memang saat ini umat Kristiani tidak sepenuhnya mengikuti ajaran sosial Yesus Kristus di atas akan tetapi hal itu bisa dikoreksi tanpa perlu agama baru tanpa perlu mesias baru. Kesediaan tabloid Sabda
memuat tulisan saya berarti bahwa kekeliruan itu bisa dikoreksi. Apalagi dengan dirumuskannya teori ekonomi makro. Kesalahan itu bisa dikoreksi.

Kita akan mengalami kesulitan dalam mengentaskan kemiskinan kalau sikap dan paradigma kolonialistis masih merajalela di sekitar kita. Tidak sedikit orang yang sebenarnya baik dan saleh tapi kolonialistis hanya karena tidak tahu bahwa sikapnya itu kolonialistis. Untuk itulah artikel ini memberi tahu. Menenggelamkan biososioekonomi, ajaran sosial Yesus Kristus, atau menenggelamkan iman orang akan Yesus Kristus berarti bersikap kolonialistis seperti Dan Brown atau yang lain.

Untuk tidak kolonialistis kita harus tidak mulai dari teks dan textbook, tapi mulailah dengan mengamati berbagai kejadian dan pengalaman rohani yang telah saya share di blog ini di bawah label pengalaman spiritual, pengalaman, atau label spiritual. Saya telah menemukan teori ekonomi makro biososioekonomi, menemukan bahwa JHWH dan JAWA adalah tetragramaton yang sama, menentang triple six, lahir sebagai hasil perkawinan antara K Progo dan K Opak, membaca nama saya R Hani Japar tersandi dalam mimpi orang lain. Saya mengalami tertindas dan dibebaskan. Perhatikan pula bahwa saya lahir di awal musim semi (22Maret) di Merbau Mataram (nama yang mengkombinasikan nama pohon dan nama kerajaan) bandingkan dengan teks Injil kanonik (Luk 21:29-33). Itulah tanda segera akan tegaknya "Kindgom of JHWH/JAWA" atau "Kingdom of Heaven"

Jangan lagi bersikap
kolonialistis. Karena kolonialisme akan mendapat hukuman langsung dari TUHAN entah di bumi ini atau di neraka nanti.

Kolonialisme dan triple six menghambat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Semoga dimengerti.


Artikel Terkait

http://www.satriopiningitasli.com/2013/01/pasca-2012-pasca-kolonial.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2010/09/membongkar-penindasan-2.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2010/08/tuhan-memenuhi-harapan-juru-kunci-itu.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2010/08/pemerintahan-tuhan.html

http://www.satriopiningitasli.com/2010/06/demokrasi-ekonomi-biososioekonomi-lebih.html

http://www.satriopiningitasli.com/2010/04/tanda-tanda-itu-begitu-nyatameningkat.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.com/2010/03/perlu-pendekatan-mikro-sekaligus-makro.html