Rabu, 24 Februari 2010

Data Lawan Data, Jangan Data Lawan Senjata

"DATA LAWAN DATA, JANGAN DATA LAWAN SENJATA" Demikian bunyi spanduk yang tertera di dinding tempat aktivis bendera mengadakan konferensi pers di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat berkaitan pemeriksaan mereka terkait perkara dugaan pencemaran nama baik terhadap beberapa orang (http://m.kompas.com/news/read/data/2010.02.19.17222625).

Kita prihatin dengan beberapa kasus yang menunjukkan sikap anti reformasi dengan penyerangan para aktivis dengan senjata atau pelarangan buku dengan kekuasaan. Sikap anti reformasi menunjukkan bahwa cara-cara lama masih dipakai dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Maka perlu kita ingatkan dan kita garis bawahi apa yang tertulis dalam spanduk di dinding tempat aktivis Bendera mengadakan konferensi pers itu. Benar tidaknya data yang disampaikan aktivis bendera hendaknya dilawan (di-cross check) dengan data bukan dilawan dengan senjata. Demikian juga dengan buku atau tulisan, hendaknya dilawan dengan tulisan sehingga akan diperoleh kebenaran, bukan dengan kekuasaan sehingga kebenaran tidak ditemukan.

Yang perlu dilarang adalah tulisan yang menganjurkan kekerasan apalagi kalau kekerasan itu sudah dipraktekkan. Untuk melakukan reformasi memang harus mau keluar dari zona nyaman. Semoga orang muda tidak mempraktekkan cara-cara lama.

Marilah menjadi warga negara dan anggota masyarakat yang baik dengan mewujudkan demokrasi yang bermartabat dan menyejahterakan rakyat melalui reformasi dan dengan kesediaan untuk ke luar dari zona nyaman.

Rabu, 17 Februari 2010

Kelahiran Adalah Hutang Yang Harus Dibayar dengan Kematian

Judul di atas sepertinya mengerikan. Namun di balik kesan yang mengerikan itu terkandung kebenaran yang dalam. Rutinitas seseorang yang mekanistis sering membuat orang tersebut tidak menyadari kesejatian hidup yang mendalam, bahkan cenderung mengabaikannya begitu saja meskipun muncul di depan mata hidungnya.

Saya mengambil judul di atas dari rumusan dasar teori ekonomi makro biososioekonomi. Kalau pertumbuhan penduduk lebih dari nol persen atau dengan kata lain jumlah kelahiran lebih besar dari jumlah kematian maka alam akan mengalami peningkatan beban. Kalau hal tersebut berlangsung terus menerus maka lama kelamaan beban itu tak tertanggung, terjadi over populasi penduduk bumi. Alam mengoreksinya dengan kematian massal oleh bencana kelaparan atau bencana lain. Koreksi semacam itu tentu kurang manusiawi. Koreksi yang manusiawi tanpa bencana/kekerasan adalah dengan pembatasan kelahiran baik dengan negative population growth atau zero population growth. Negative population growth (setiap keluarga maksimum mempunyai satu anak) akan mengurangi jumlah penduduk bumi secara manusiawi tanpa kematian masal. Sementara itu zero population growth akan memertahankan jumlah penduduk bumi tidak bertambah.

Dengan program zero population growth dan zero GDP (gross domestic product) growth sebagaimana disarankan teori ekonomi makro biososioekonomi maka alam akan terjaga keseimbangannya. Memang karena dinamika perkembangan teknologi akan sulit mengendalikan pertumbuhan GDP nol persen per tahun selama bertahun-tahun dalam jangka waktu panjang. Akan tetapi tetap harus diupayakan pertumbuhan GDP (dalam paradigma biososioekonomi pertumbuhan GDP nol persen bukan berarti krisis) itu mendekati nol persen agar keseimbangan terjaga.

Dari rumusan dasar teori ekonomi makro biososioekonomi itu muncullah daur ulang kekayaan individu untuk menjaga keseimbangan makro ekonomi. Prinsip daur ulang sebenarnya suatu keniscayaan dalam dunia yang terbatas. Kalau dunia ini tidak terbatas maka tidak ada kematian. Kematian adalah cara alam menjaga keseimbangannya. Prinsip daur ulang sebenarnya sudah diterapkan pada beberapa kasus seperti industri besi (logam) bahkan salah satu pabrikan telepon seluler melakukannya. Prinsip daur ulang bukan prinsip yang aneh, teori biososioekonomi merumuskannya dengan jelas. Dengan kematian dan pembusukan, tubuh manusia didaur ulang untuk menjadi pupuk dan diproses lagi menjadi bahan organik oleh tanaman dengan bantuan sinar matahari dan klorofil. Pembusukan tubuh manusia mungkin suatu fakta yang mengerikan, akan tetapi seperti itulah kebenaran dalam keterbatasan/kefanaan.

Yang paling penting dalam menghadapi kebenaran itu adalah cara manusiawi non bencana untuk menjaga keseimbangan alam tanpa kematian massal. Pembatasan kelahiran adalah adalah cara yang lebih manusiawi dari pada kematian massal. Itulah rekomendasi teori ekonomi makro biososioekonomi.

Gempa bumi Haiti 12 Januari 2010 satu bulan lalu patut dijadikan refleksi. Gempa yang menelan korban meninggal kurang lebih 200.000 orang itu seharusnya menyadarkan kita agar melakukan upaya serius mencegah over populasi penduduk bumi agar alam tidak menanggung beban yang terlalu berat sehingga alam tidak mengoreksinya dengan kematian massal. Memang pembatasan kelahiran pernah ditentang kaum agamawan, tetapi cara seperti itu tetap lebih manusiawi dari pada kematian massal akibat bencana.

Meskipun rumusan dasar biososioekonomi mirip atau sebangun dengan "rumusan" Alkitab seperti "upah dosa adalah maut" atau "tujuh ekor lembu kurus menelan tujuh ekor lembu gemuk" akan tetapi pengalaman saya dalam memperjuangkan biososioekonomi menununjukkan bahwa partisipasi dan perhatian rohaniwan, pejabat gerejawi, atau lembaga di lingkungan Gereja Katolik sangat kurang dalam menyebarluaskan teori ekonomi makro biososioekonomi itu. Partisipasi besar ditunjukkan orang Jawa. Semoga gempa Haiti yang antara lain menelan korban seorang uskup itu bisa membuka mata rohaniwan atau agamawan (agama apapun) untuk mau berdialog dengan ilmu pengetahuan.

Saya pribadi berpendapat bahwa di balik rumusan dasar teori ekonomi makro biososioekonomi yang tampak mengerikan itu terdapat titik temu antara yang rasional dengan yang spiritual. Saya berpendapat bahwa pembatasan kelahiran adalah cara yang lebih manusiawi dari pada kematian massal. Dan saya pribadi tetap berpendapat bahwa triple six yang akan mendapat hukuman Tuhan itu berkaitan dengan pewarisan kekayaan (atau kekuasaan) berlimpah. Pewarisan kekayaan berlimpah itulah yang ditentang teori ekonomi makro biososioekonomi. Semoga dimengerti.

Rabu, 10 Februari 2010

Enak di Lu, Gak Enak di Kita!! ( Sebuah Pelajaran Kecerdasan Finansial untuk Publik)

Sesuai janji saya beberapa waktu lalu maka postingan saya kali ini adalah suatu pelajaran mengenai kecerdasan finansial. Postingan ini saya maksudkan agar para pemangku dan pembela kepentingan publik (dan rakyat) menjadi memiliki kecerdasan finansial sehingga dalam kebijakan dan tindakannya tidak semakin merugikan atau membebani publik (rakyat kebanyakan) secara berkepanjangan.

Salah satu pelajaran yang menarik dari Robert T Kiyosaki adalah mengenai kecerdasan finansial (untuk individu). Pelajaran itu menyangkut suatu hukum atau "permainan" yang prinsipnya adalah: "siapa membayar hutangnya siapa" atau "siapa menanggung bebannya siapa" atau "siapa membayar liability-nya siapa" sedemikian sehingga individu/rumah tangga tidak dirugikan, asetnya terus meningkat.

Untuk memiliki kecerdasan finansial itu, kita perlu memahami hukum akuntansi. Postingan saya yang berjudul: "Cara Mudah Belajar Ekonomi (1)" yang saya posting beberapa bulan lalu bisa dipakai sebagai pedoman. Pada intinya kita perlu mengetahui suatu hukum bahwa pemasukan bagi pihak satu bisa berarti pengeluaran bagi pihak lain, efisiensi bagi pihak satu bisa berarti pemborosan bagi pihak lain demikian juga suatu aset bagi pihak satu bisa berarti liability bagi pihak lain.

Robert T Kiyosaki memulai pelajarannnya dengan menjelaskan definisi aset. Dia mendefinisikan kekayaan dengan tepat dan sangat bagus yaitu:"jumlah hari dimana Anda bisa bertahan hidup tanpa bekerja secara fisik (atau tanpa siapapun dalam keluarga Anda bekerja secara fisik) dan tetap mempertahankan kehidupan Anda." (Robert T Kiyosaki, 2001, hlm 48. The Cashflow Quadrant, Panduan Ayah Kaya Menuju Kebebasan Finansial, Gramedia Pustaka Utama ). Jadi, dengan kata lain kekayaan adalah sesuatu yang bisa "menghasilkan" waktu, bukan "memerlukan" waktu, bukan menghasilkan kewajiban. Misalnya kita memiliki tabungan pribadi sebesar Rp 15.000.000,- dan biaya hidup kita Rp 1.500.000,- per bulan berarti kekayaan kita 300 hari atau sepuluh bulan. Sementara itu seorang karyawan berusia 25 tahun yang baru saja menerima surat pengangkatan sebagai karyawan tetap, bukan berarti memiliki kekayaan 30 tahun, kalau peraturan usia pensiunnya 55 tahun. Surat pengangkatan itu bukan "menghasilkan" waktu tetapi menghasilkan kewajiban karena kalau karyawan tersebut tidak bekerja satu bulan saja pasti dipecat. Demikian juga kalau lima tahun setelah bekerja, karyawan tadi membeli rumah melalui KPR, maka rumah itu bukan aset karyawan tadi sepenuhnya tetapi 80% adalah aset bank pemberi KPR (kalau karyawan tadi baru membayar 20%).

Pelajaran kecerdasan finansial untuk individu/rumah tangga mengajarkan orang untuk memperbesar aset dan sebisa mungkin membebankan kewajibannya kepada pihak lain. Prinsip dasar akuntansi dengan memanfaatkan neraca aset-liabilitas atau rekening T yang dipakai Kiyosaki untuk menjelaskan kecerdasan finansial individu bisa juga dipakai untuk menjelaskan kecerdasan finansial publik, tentu dengan penyesuaian sesuai sudut pandang kepentingannya yaitu publik.

Seperti dijelaskan teori ekonomi makro biososioekonomi, semua milik individu adalah liability bagi publik. Deposito atau tabungan pribadi kita adalah memang aset pribadi kita, tetapi itu adalah liability bagi publik atau secara makro karena sistem harus membayar bunga atau laba bagi tabungan itu. Pemasukan besar bagi publik (pajak, derma, dan daur ulang kekayaan pribadi) tidak secara otomatis akan membuat aset publik menjadi besar dengan sendirinya(apalagi kalau pemasukan itu rendah). Aset publik akan anjlok drastis kalau pemasukan publik yang besar tadi langsung dibagi-bagikan pada orang per orang. Peristiwa seperti ini dalam paradigma biososioekonomi dikatakan sebagai pemasukan dengan "decomposition time nol" atau distribusi sesaat. Untuk menghasilkan aset bagi publik pemasukan publik yang besar tadi harus didistribusikan dengan decompositon time yang memadai (kurang lebih antara 30-40 tahun agar seimbang dengan accumulation time-nya). Jadi, dalam ranah publik pun aset adalah yang menghasilkan waktu yaitu decomposition time. Selama decomposition time itulah kekayaan daur ulang dipakai untuk membayar kewajiban sistem secara makro yaitu bunga, laba, dan jaminan sosial (pendidikan, kesehatan, dan foodstamps, dll).

Para pejabat publik dan pembela kepentingan publik harus bisa membaca arah, ke mana orang-orang kaya raya (terutama yang masuk kategori triple six atau kaya dari warisan) mau membebankan bebannya. Seringkali dalam berbagai krisis negara dan publik harus menanggung beban yang tidak semestinya ditanggung. Bahkan dilakukan dengan berhutang. Paradigma ini salah karena seharusnya yang menanggung krisis atau beban itu bukan publik (rakyat kebanyakan) atau negara tetapi mereka yang kekayaannya masuk kategori triple six (kekayaan melimpah dari warisan) sesuai dengan rumusan dasar teori ekonomi makro biososioekonomi:"kelahiran adalah hutang yang harus dibayar dengan kematian"

Pejabat dan pembela kepentingan publik yang memiliki kecerdasan yang cukup dan kejujuran yang baik seharusnya bisa memahami pelajaran kecerdasan finansial publik ini. Mereka bisa mencamkan dalam hati apa yang seharusnya dilakukan untuk publik antara lain dengan sikap tegas: "Enak di lu, gak enak di kita!" kepada triple six yang tidak membayar kewajibannya. Ekonomi publik itu sederhana sebenarnya, semua orang harus tahu itu.

Rabu, 03 Februari 2010

Keinginan Rakyat dan Kepemilikan Properti Kita oleh Asing

Bulan Mei 2010 Bali akan menjadi tempat berlangsungnya Kongres Dunia Federasi Real Estate International (Kongres FIABCI). Kongres itu akan membicarakan berbagai persoalan properti seperti kepemilikan asing.

Kepemilikan asing terhadap properti kita bukan sekedar persoalan sensitif yang berkaitan dengan sikap xenofobia tetapi sesuatu yang secara rasional memang perlu dipertimbangkan agar tidak menyesal di kemudian hari. Saya berharap pejabat publik benar-benar mau berpihak pada rakyat. Memang sebagian rakyat karena keterbatasan intelektualnya sering tidak bisa merumuskan aspirasinya. Mereka kadang tidak mengerti mengapa beban hidupnya setiap hari bertambah berat. Orang yang memiliki intelektual cukup dan memahami makroekonomi seharusnya bisa memberi pencerahan bukannya malah menjerumuskan rakyat.

Dalam postingan kali ini saya berusaha menyuarakan apa yang diinginkan rakyat itu meskipun hal itu mungkin bertentangan dengan kepentingan saya di mana sehari-hari saya mencari nafkah. Harus ada kejelasan pertanggungjawabannya. Kalau saya sebagai profesional property agent berhadapan dengan klien (baik vendor atau buyer), tentu saya bertanggungjawab pada mereka (dan Tuhan). Tetapi kalau saya hadir dan menulis di blog ini saya bertanggung jawab pada rakyat, publik, dan Tuhan bukan pada pemilik modal yang masuk kategori triple six (kekayaan berlimpah dari warisan).

Mengenai kepemilikan asing terhadap properti kita, ada dua hal mendasar yang harus dipertimbangkan. Pertama, kemungkinan melambung dan menggelembungnya harga properti sehingga rakyat sebagai end user tidak mampu membeli properti untuk tempat tinggal atau untuk usaha sendiri. Rakyat hanya akan mampu menyewa atau membeli dengan meminjam uang dari pemilik modal, di mana porsi pinjamannya melebihi 50% dari dana yang dibutuhkan untuk membeli properti itu. Masuk dan mengalirnya investasi asing untuk membeli dan memiliki properti, otomatis akan melambungkan harga properti. Untuk hal-hal yang merugikan rakyat seperti itu pejabat publik harus peka dan tegas memihak rakyat, bukan memihak investor asing.

Kedua, kemungkinan krisis yang ditimbulkan
oleh gelembung spekulasi properti. Harga properti yang menggelembung menjadi bubble kemudian pecah menjadi krisis sudah sering terjadi dalam sejarah entah di Thailand, Jepang, atau di AS. Sering dalam krisis seperti itu negara dipaksa menanggung beban krisis yang seharusnya tidak dia tanggung. Ujung-ujungnya rakyat ikut menanggung beban dengan pajak atau dengan kehilangan berbagai jaminan sosial dan melambungnya harga kebutuhan pokok.

Berikut ini saya kutipkan tulisan saya mengenai jatuhnya gelembung properti di Jepang sebagaimana saya tulis dalam karya tulis pengentasan kemiskinan tahun 2005. "Harga properti yang mengalami bubble price tadi bisa anjlok seperti pernah terjadi di Jepang (lihat tulisan Richard Susilo "Takut perekonomian Anjlok, Masyarakat Jepang (masih) Kaya tetapi 'Pelit' Kompas 11 Januari 2003)." Akibatnya properti yang dijaminkan ke perbankan juga jatuh harganya, bank menanggung kerugian dan minta tolong pemerintah, kemudian pemerintah membebankannya kepada rakyat pembayar pajak. Ini tentu tidak adil karena seharusnya yang menanggung kerugian akibat jatuhnya harga properti adalah ahli waris orang-orang kaya bukan rakyat kebanyakan yang untuk hidup juga pas-pasan. Permainan "siapa menanggung bebannya siapa" harus selalu diperhatikan agar rakyat kebanyakan tidak menanggung beban yang seharusnya tidak mereka tanggung." Demikian kutipan dari karya tulis yang saya tulis tahun 2005.

Demikian juga dengan krisis subprime mortgage di AS kira-kira dua tahun lalu. Awalnya kredit subprime itu ditujukan untuk menolong rakyat bawah AS agar bisa memiliki properti, sayangnya dilakukan dengan cara yang salah yang tidak memahami hukum akuntansi dan hukum kelangkaan sebagaimana dijelaskan teori ekonomi makro biososioekonomi. Apa yang dilakukan AS dengan paradigma non biososioekonomi itu hanya menguntungkan pemilik modal dan menyebabkan krisis. Dengan memakai paradigma biososioekonomi, rakyat bisa memiliki properti tanpa menghancurkan kondisi makro. Dalam paradigma biososioekonomi, selain harga properti terjangkau rakyat, juga karena daur ulang kekayaan individu akan membuat rakyat bisa menabung sejak usia dini atau usia sekolah dengan kondisi bunga tabungan yang lebih tinggi dari inflasi.

Mempertimbangkan kedua hal di atas maka sebenarnya rakyat menolak kepemilikan properti kita oleh asing. Perlu juga diingat bahwa banyak negara masih mengalami krisis. Paradigma biososioekonomi mengatakan bahwa semua milik individu adalah liability bagi publik. Mengalir ke manapun kekayaan itu selama ia milik individu ia adalah liability. Oleh karena itu kita berharap agar pengambil kebijakan publik tidak menambah beban dengan membolehkan kepemilikan properti oleh asing. Semmoga dipahami dan dijalankan yang sesuai keinginan rakyat.