Kamis, 01 Januari 2015

Perekonomian 2015. Ketidakseimbangan Global, Negara, dan Beban Rakyat

Oleh : Hani Putranto

Artikel ini pertama kali diposting tanggal 31 Desember 2014. Namun karena kekeliruan teknis, link yang saya sertakan tidak bisa dibuka. Kemudian saya posting ulang tanggal 1 Januari 2015 dengan link yang bisa langsung di-klik supaya lebih nyaman. 


Tahun 2014 akan segera berlalu, tahun 2015 segera datang. Dengan presiden dan kabinet baru yang sudah bekerja kita segera memasuki tahun baru 2015. Pemerintahan baru mewarisi segudang permasalahan dari pemerintah lama yang tidak serius bekerja untuk publik dan rakyat. Beberapa kebijakan dan tindakan telah dilakukan pemerintahan baru seperti menenggelamkan kapal penangkap ikan asing, mengevaluasi Petral, dan menaikkan harga BBM.

Sebagaimana semua artikel saya yang mengambil sudut pandang kepentingan publik dan rakyat demikian juga artikel ini. Sudut pandang artikel ini bukan kepentingan investor dan privat.

Ketidakseimbangan Global

Ketika pemerintahan baru mulai bekerja, masih tampak bahwa paradigma berpikir bagi kebijakan ekonomi yang digunakan masih sangat konvensional yang mengutamakan investasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 7% ke atas, suatu tingkat pertumbuhan yang dijanjikan dalam kampanye pilpres. Sementara itu kondisi perekonomian global masih tidak bisa dikatakan baik.

Persoalan fundamental ekonomi makro global itu adalah ketidakseimbangan yaitu ketidakseimbangan aset publik dan privat (aset privat adalah liabilitas bagi publik). yang tidak terlalu disadari oleh para pejabat publik yang kemudian diatasi dengan cara konvensional seperti mencetak uang, mengucurkan stimulus yang dibiayai dengan hutang atau dibiayai dengan mencetak uang, mengurangi jaminan sosial seperti yang terjadi di Eropa dll. Tindakan itu sekedar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di mana pertumbuhan ekonomi dijadikan ukuran perbaikan makro ekonomi oleh paradigma ekonomi konvensional (neoliberalistik).
Sementara perbaikan yang mendasar yaitu meningkatkan income dan aset publik sekaligus mengurangi liabilitas publik dan meningkatkan jaminan sosial terutama beasiswa belum dilakukan secara serius. Secara akuntansi dan matematis dapat dikatakan bahwa tanpa adanya peningkatan income publik (seperti peningkatan tax ratio dari pajak progresif) pertumbuhan ekonomi hanya akan meningkatkan liabilitas publik atau meningkatkan aset privat yang berarti meningkatkan ketidakseimbangan.

Memang AS sudah menghentikan stimulus, mulai menarik pajak dari orang kaya dan ekonominya sudah tumbuh akan tetapi ketidakseimbangan belum hilang sama sekali, selain itu apabila nanti The Fed menaikkan bunga acuan akan timbul permasalahan baru baik bagi AS apalagi bagi perekonomian global. Sementara itu perlu diketahui bahwa perbankan konvensional tidak bisa dikatakan efisien manakala masih membayar bunga bagi DPK yang termasuk kategori triple six (dana besar dari warisan). Seharusnya aset pribadi besar itu tidak diwariskan kepada keturunannya sendiri tetapi didaur ulang seperti yang diharapkan teori ekonomi makro biososioekonomi (bdk http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/10/daripada-menjadi-hutang-publik-lebih.html?m=1)

Pertanyaan yang perlu diajukan apabila The Fed menaikkan suku bunga acuan adalah apakah sistem ekonomi yang sedang berjalan mampu membayar laba? Mungkin awalnya AS tidak akan merasakan dampaknya. Negara di luar AS yang akan merasakan pertama kali dampaknya. Kalau negara-negara di luar AS terkena dampak, maka hal itu juga tidak akan baik bagi perekonomian AS sendiri. Sistem ekonomi neoliberalistik itu tidak memberikan jaminan bahwa sistem itu mampu membayar semua kewajiban sistem (laba, gaji, bunga, dan jaminan sosial). Berbeda dengan sistem biososioekonomi, apabila sudah mapan diterapkan secara global, akan mampu membayar semua kewajiban sistem itu secara sekaligus (Bdk http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/09/krisis-ekonomi-ketika-sistem-tidak.html?m=1)

Ketidakseimbangan global itu bisa menimbulkan masalah serius seperti "kiamat" ekonomi/keuangan global yang bisa saja terjadi di masa depan entah di tahun 2015 atau beberapa tahun setelah itu. Sampai saat ini pola krisis masih bersifat regional dari Asia tahun 1997/1998 kemudian terjadi di AS 2008, kemudian berlanjut ke Zona Euro, dan sekarang terjadi perlambatan di beberapa negara. Cara mengatasi krisis yang masih konvensional menyebabkan ketidakseimbangan belum teratasi dan tetap bisa menimbulkan "kiamat" ekonomi/keuangan global, krisis ekonomi keuangan secara serentak bukan regional lagi. Namun apabila ketidakseimbangan global itu bisa segera diatasi, bisa saja "kiamat" ekonomi/keuangan global tidak akan terjadi. Menghentikan stimulus yang dibayari dengan hutang atau yang dibiayai dengan mencetak uang adalah salah satu hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki keseimbangan. Stimulus yang dibiayai dengan hutang atau dibiayai dengan mencetak uang itu
adalah bentuk stimulus yang tidak sehat. Stimulus yang sehat itu adalah yang didasarkan pada teori ekonomi makro biososioekonomi yaitu meningkatkan income publik yang kemudian didistribusikan dalam bentuk jaminan sosial terutama beasiswa besar-besaran secara meluas, dan idealnya secara mendalam pula dalam bentuk paket beasiswa (bdk http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul22.htm ) Hal seperti itu akan meningkatkan daya beli rakyat atau daya beli konsumen secara global sehingga ekonomi tetap bergairah. Apa yang diharapkan oleh teori ekonomi makro biososioekonomi itu malah lebih dari sekadar stimulus tetapi perbaikan permanen.

Negara dan Beban Rakyat

Gambaran ketidakseimbangan global itu akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Pada akhir tahun 2012 dan 2013 saya memposting artikel di blog ini. Inti dari artikel-artikel tulisan saya itu adalah mengingatkan kelemahan mendasar perekonomian Indonesia dan perlunya negara hadir meringankan beban rakyat dan memberantas mafia migas dan pangan. Dalam artikel saya itu ketidakseimbangan ekonomi Indonesia juga saya sebut.

Pemerintahan baru sudah mulai bekerja mengatasi beberapa kelemahan seperti memperbaiki infrastruktur dan merencanakan penyediaan tol laut serta mencoba memberantas mafia migas dan pangan. Itu adalah bidang di mana negara harus hadir.

Namun sayangnya pemerintah membuat suatu kebijakan yang masih membebani rakyat kebanyakan dengan menaikkan harga BBM. Beberapa hari sebelum keputusan itu diambil, saya melalui account Facebook saya (haniputranto) mengusulkan di wall saya agar pemerintah meminta masukan dari berbagai ahli dan ekonom dari spektrum pemikiran yang luas. Harapan saya tentu agar pemerintah tidak membebani rakyat.

Tapi pemerintah tetap menaikkan harga BBM. Kemudian saya menulis status di Facebook saya:

"Dengan mengalihkan dana subsidi sekitar Rp 100 triliun ke sektor produktif pemerintah merasa akan berhasil meringankan beban rakyat. Benarkah?

Apa yang akan saya sampaikan di bawah ini adalah hipotesis yang masih perlu dicermati kebenarannya akan tetapi mohon untuk disimak.

Dana pemerintah yang dialihkan itu hanya akan mampu meringankan beban rakyat dengan kekuatan sebesar Rp 115 triliun yaitu angka Rp 100 triliun dikalikan 15% ditambah Rp 100 triliun itu sendiri. Atau dengan kata lain, dalam satu tahun dana itu hanya akan tumbuh sekitar 15% yaitu 3 kali pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya sekitar 5% per tahun.

Sementara itu karena efek spiral, beban rakyat bisa meningkat sampai 5,67 kali lipat dari Rp 100 triliun atau Rp 567 triliun. Dalam hal ini beban rakyat neto bukannya berkurang tetapi akan bertambah sebesar Rp 567 triliun dikurangi Rp 115 triliun atau Rp 452 triliun.

Angka 5,67 kali lipat itu adalah perbandingan antara income pribadi dengan income publik yaitu 85 dibanding 15. Angka 15 ini adalah tax ratio Indonesia yang sekitar 12% ditambah rasio kedermawanan yang diasumsikan sekitar 3%. Sementara itu angka 85 adalah 100% dikurangi income publik yang sekitar 15% itu.

Nah akibat keputusan menaikkan harga BBM itu maka peningkatan beban rakyat neto sebesar Rp 452 triliun itu apabila dibagi rata kepada 250 juta penduduk Indonesia hasilnya adalah Rp 1.808.000,- per tahun per kapita atau Rp 150.667 per bulan per orang. Rumah tangga yang terdiri dari 4 anggota akan mengalami peningkatan beban sebesar Rp 602.667,- per bulan.

Saya sudah sering mengingatkan bahwa menggunakan pendekatan deduktif logis bisa mencegah jatuhnya korban di pihak rakyat." (Dicopy dari naskah status Facebook saya, naskah tersebut tersimpan dalam aplikasi color note dalam gadget android saya tanggal 18 November 2014. Saya copy dari naskah karena saya kesulitan meng-copy dari Facebook saya).

Menurut pendapat saya ketidakseimbangan pendapatan privat dan publik di Indonesia ikut menjadi faktor pengganda bagi peningkatan beban rakyat. Tax ratio Indonesia yang rendah selama bertahun-tahun mendorong ketidakseimbangan baik ketidakseimbangan income publik dan privat maupun ketidakseimbangan aset dan liabilitas publik.

Kenaikan harga BBM baru salah satu hal yang membebani rakyat. Kenaikan harga rumah selama beberapa tahun terakhir ini juga membebani rakyat seperti saya sampaikan dalam artikel saya akhir tahun lalu. Negara perlu hadir untuk meringankan beban rakyat.

Menghdapi, Permasalahan, Tantangan dan Ancaman

Permasalahan, tantangan, dan ancaman yang besar baik akibat dari kebijakan pemerintah lama mau pun pemerintah baru yang tergesa-gesa menaikkan harga BBM serta dari kondisi eksternal (ketidakseimbangan global) harus diatasi dan dijawab agar tidak membebani rakyat kebanyakan. Saran-saran sudah saya sampaikan dalam dua tulisan saya di akhir tahun 2012 dan 2013.

Dalam hal ketidakseimbangan global pemerintah dan negara (bank sentral) perlu menyadari bahwa krisis 1997/1998 agak berbeda dengan kemungkinan "kiamat" ekonomi/keuangan global di masa mendatang. Di masa lalu pelemahan rupiah tidak berdampak buruk bagi beberapa bidang usaha yang berorientasi ekspor seperti usaha tambak udang, perkebunan, pertambangan, industri mebel dll. Bidang-bidang usaha itu malah mendapatkan rejeki berlimpah. Hal itu terjadi karena tidak semua negara mengalami krisis. Tapi di masa mendatang bila tidak ada perbaikan keseimbangan global sehingga terjadi krisis global, pelemahan rupiah tidak banyak menolong.
Saya mengamati bahwa pemerintah mulai berusaha meningkatkan tax ratio. Suatu langkah awal yang baik. Tentu peningkatan itu harus berasal dari pajak progresif (pajak yang pro demokrasi ekonomi) bukan pajak dari rakyat kecil. Perlu diingat bahwa rasio gini Indonesia tinggi di atas 0,4 akibat salah urus pemerintah terdahulu. Tidaklah bijaksana membebankan pajak pada rakyat kecil. Membebankan pajak pada rakyat kecil akan berakibat memperlemah daya beli mereka.

Dalam hal jaminan sosial saya perlu menyampaikan catatan. Perlu diapresiasi kebijakan pemerintah untuk merealisasikan beberapa program jaminan sosial terutama beasiswa (Kartu Indonesia Pintar). Tentu saja program seperti itu perlu diperluas. Saya tidak setuju apabila penerima KIP dibatasi pada kriteria miskin dan hampir miskin bagi orang tuanya. Saya sudah pernah mengkritik hal seperti ini di blog saya ini yang berkaitan dengan BLT dan BLSM. Pertama-tama karena pemberian kriteria semacam itu secara administratif tidak sederhana sehingga bisa menimbulkan kekeliruan, penyimpangan atau kecurigaan/kecemburuan. Kedua status miskin atau hampir miskin itu sifatnya dinamis yang bisa berubah seiring berjalannya waktu. Ketiga orang yang sedikit di atas garis setengah miskin (misalnya Rp 15.000 per bulan) tidak berarti telah bebas dari ancaman kemiskinan sama sekali. Namun untuk sementara khusus bagi Kartu Indonesia Pintar bisa diterima dengan catatan harus ada
tindakan segera untuk memperluas penerima KIP. Perluasan itu tidak memerlukan suatu surat keterangan miskin, beberapa keluarga yang perlu mendapat prioritas adalah mereka yang bekerja sebagai karyawan atau guru baik di sekolah negeri maupun swasta, karyawan dan tenaga medis di puskesmas dan rumah sakit negeri maupun swasta, kru angkutan transportasi masal termasuk penjaga pintu kereta, pegawai negeri sipil dan TNI golongan tertentu. Selain itu perluasannya bisa ditambah dengan cara acak dengan sistem undian sampai akhirnya bisa menjangkau semua anak usia sekolah sesuai paradigma biososioekonomi. Yang jelas harus dihindari beasiswa ganda, misalnya ada siswa penerima KIP juga penerima KJP (Kartu Jakarta Pintar). Kalau terjadi seperti itu harus dialihkan ke siswa lain.

Mengenai KIS, Kartu Indonesia Sejahtera sebaiknya sasaran penerimanya bukan berdasarkan kriteria miskin dengan alasan yang sama seperti saya sebutkan di atas. Lebih baik kriterianya adalah usia lanjut, 65 tahun ke atas. Itu secara administratif lebih sederhana.

Pemerintah hasil pilpres 2014 sebenarnya memiliki legitimasi dan dukungan kuat serta luas untuk membuat Indonesia lebih baik, dengan tax ratio lebih baik misalnya, sayangnya belum memanfaatkannya secara optimal. Pemerintah bisa mengajak anggota masyarakat khususnya yang kaya untuk berpartisipasi dan bergotong-royong meningkatkan income dan aset publik baik dengan ketaatan membayar pajak maupun kegiatan filantropi. Tapi pemerintah juga perlu memperbaiki diri agar wajib pajak tergerak membayar pajak dengan membuat birokrasi yang bersih memberantas poligami di jajaran birokrasi dll. Pemerintah perlu bekerja sama dengan pusat pengaruh baik nasional maupun global untuk meningkatkan income dan aset publik, memperbanyak orang-orang kaya seperti Warren Buffett yang berkomitmen menghibahkan 80% hartanya. Sebaliknya pemerintah jangan terkesima dengan kegiatan seperti CSR perusahaan di mana rate kedermawanannya hanya sekitar 3% dari laba, jauh di bawah apa yang
dilakukan Warren Buffett dkk yang rate berbagi hartanya 50% ke atas. Kegiatan filantropi perusahaan dengan CSR itu tidak banyak memperbaiki keseimbangan global.

Tidak lupa kita perlu menjaga pemerintahan hasil pilpres 2014 ini secara konstitusi agar bisa selamat sampai agenda pilpres berikutnya tahun 2019. Semoga Indonesia semakin baik bagi semua.

Artikel Terkait

Ekonomi 2014
http://satriopiningitasli.blogspot.com/2013/12/perekonomian-2014-negara-dan-beban.html?m=1

Hutang Publik dan Beasiswa
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/10/daripada-menjadi-hutang-publik-lebih.html?m=1

Ekonomi 2013. http://satriopiningitasli.blogspot.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1

Hutang Besar Karena Income Kurang
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/08/utang-besar-karena-income-kurang.html?m=1

Paket Beasiswa, Bila semua orang sarjana
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/07/kalau-semua-orang-lulus-s1.html?m=1

Paket Beasiswa dan "Pancing"
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/07/percuma-memberi-pancingperihal-beasiswa.html?m=1

Target Kerja dan Tax Ratio
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/03/terget-kerja-pemerintah-yang-harus-kita.html

Info Buku Biososioekonomi
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/12/krisis-global-baca-dulu-baru-kritik.html

Demokrasi ekonomi
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/06/demokrasi-ekonomi-biososioekonomi-lebih.html

Bioekonomi utk RI dan Global
http://satriopiningitasli.blogspot.com/2010/09/bioekonomi-solusi-untuk-indonesia-dan.html?m=1

Prinsip-prinsip Biososioekonomi utk Pejabat Pemerintah (1)
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/10/prinsip-prinsip-biososioekonomi-untuk_05.html?m=1

Prinsip-prinsip Biososioekonomi utk Pejabat Pemerintah (2)
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/10/prinsip-prinsip-biososioekonomi-untuk_12.html?m=1


Ketika Sistem Tidak Mampu Membayar
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/09/krisis-ekonomi-ketika-sistem-tidak.html?m=1

Krisis Multidimensi
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/04/krisis-multidimensi-harus-diatasi.html?m=1

Makalah Seminar: Bioekonomi, Rekening T Publik, dan Paket Beasiswa
http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul22.htm

Rabu, 31 Desember 2014

Perekonomian 2015. Ketidakseimbangan Global, Negara, dan Beban Rakyat

Oleh: Hani Putranto

Tahun 2014 akan segera berlalu, tahun 2015 segera datang. Dengan presiden dan kabinet baru yang sudah bekerja kita segera memasuki tahun baru 2015. Pemerintahan baru mewarisi segudang permasalahan dari pemerintah lama yang tidak serius bekerja untuk publik dan rakyat. Beberapa kebijakan dan tindakan telah dilakukan pemerintahan baru seperti menenggelamkan kapal penangkap ikan asing, mengevaluasi Petral, dan menaikkan harga BBM.

Sebagaimana semua artikel saya yang mengambil sudut pandang kepentingan publik dan rakyat demikian juga artikel ini. Sudut pandang artikel ini bukan kepentingan investor dan privat.

Ketidakseimbangan Global

Ketika pemerintahan baru mulai bekerja, masih tampak bahwa paradigma berpikir bagi kebijakan ekonomi yang digunakan masih sangat konvensional yang mengutamakan investasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 7% ke atas, suatu tingkat pertumbuhan yang dijanjikan dalam kampanye pilpres. Sementara itu kondisi perekonomian global masih tidak bisa dikatakan baik.

Persoalan fundamental ekonomi makro global itu adalah ketidakseimbangan yaitu ketidakseimbangan aset publik dan privat (aset privat adalah liabilitas bagi publik). yang tidak terlalu disadari oleh para pejabat publik yang kemudian diatasi dengan cara konvensional seperti mencetak uang, mengucurkan stimulus yang dibiayai dengan hutang atau dibiayai dengan mencetak uang, mengurangi jaminan sosial seperti yang terjadi di Eropa dll. Tindakan itu sekedar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di mana pertumbuhan ekonomi dijadikan ukuran perbaikan makro ekonomi oleh paradigma ekonomi konvensional (neoliberalistik).
Sementara perbaikan yang mendasar yaitu meningkatkan income dan aset publik sekaligus mengurangi liabilitas publik dan meningkatkan jaminan sosial terutama beasiswa belum dilakukan secara serius. Secara akuntansi dan matematis dapat dikatakan bahwa tanpa adanya peningkatan income publik (seperti peningkatan tax ratio dari pajak progresif) pertumbuhan ekonomi hanya akan meningkatkan liabilitas publik atau meningkatkan aset privat yang berarti meningkatkan ketidakseimbangan.

Memang AS sudah menghentikan stimulus, mulai menarik pajak dari orang kaya dan ekonominya sudah tumbuh akan tetapi ketidakseimbangan belum hilang sama sekali, selain itu apabila nanti The Fed menaikkan bunga acuan akan timbul permasalahan baru baik bagi AS apalagi bagi perekonomian global. Sementara itu perlu diketahui bahwa perbankan konvensional tidak bisa dikatakan efisien manakala masih membayar bunga bagi DPK yang termasuk kategori triple six (dana besar dari warisan). Seharusnya aset pribadi besar itu tidak diwariskan kepada keturunannya sendiri tetapi didaur ulang seperti yang diharapkan teori ekonomi makro biososioekonomi (bdk http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/10/daripada-menjadi-hutang-publik-lebih.html?m=1)

Pertanyaan yang perlu diajukan apabila The Fed menaikkan suku bunga acuan adalah apakah sistem ekonomi yang sedang berjalan mampu membayar laba? Mungkin awalnya AS tidak akan merasakan dampaknya. Negara di luar AS yang akan merasakan pertama kali dampaknya. Kalau negara-negara di luar AS terkena dampak, maka hal itu juga tidak akan baik bagi perekonomian AS sendiri. Sistem ekonomi neoliberalistik itu tidak memberikan jaminan bahwa sistem itu mampu membayar semua kewajiban sistem (laba, gaji, bunga, dan jaminan sosial). Berbeda dengan sistem biososioekonomi, apabila sudah mapan diterapkan secara global, akan mampu membayar semua kewajiban sistem itu secara sekaligus (Bdk http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/09/krisis-ekonomi-ketika-sistem-tidak.html?m=1)

Ketidakseimbangan global itu bisa menimbulkan masalah serius seperti "kiamat" ekonomi/keuangan global yang bisa saja terjadi di masa depan entah di tahun 2015 atau beberapa tahun setelah itu. Sampai saat ini pola krisis masih bersifat regional dari Asia tahun 1997/1998 kemudian terjadi di AS 2008, kemudian berlanjut ke Zona Euro, dan sekarang terjadi perlambatan di beberapa negara. Cara mengatasi krisis yang masih konvensional menyebabkan ketidakseimbangan belum teratasi dan tetap bisa menimbulkan "kiamat" ekonomi/keuangan global, krisis ekonomi keuangan secara serentak bukan regional lagi. Namun apabila ketidakseimbangan global itu bisa segera diatasi, bisa saja "kiamat" ekonomi/keuangan global tidak akan terjadi. Menghentikan stimulus yang dibayari dengan hutang atau yang dibiayai dengan mencetak uang adalah salah satu hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki keseimbangan. Stimulus yang dibiayai dengan hutang atau dibiayai dengan mencetak uang itu adalah bentuk stimulus yang tidak sehat. Stimulus yang sehat itu adalah yang didasarkan pada teori ekonomi makro biososioekonomi yaitu meningkatkan income publik yang kemudian didistribusikan dalam bentuk jaminan sosial terutama beasiswa besar-besaran secara meluas, dan idealnya secara mendalam pula dalam bentuk paket beasiswa (bdk http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul22.htm ) Hal seperti itu akan meningkatkan daya beli rakyat atau daya beli konsumen secara global sehingga ekonomi tetap bergairah. Apa yang diharapkan oleh teori ekonomi makro biososioekonomi itu malah lebih dari sekadar stimulus tetapi perbaikan permanen.

Negara dan Beban Rakyat

Gambaran ketidakseimbangan global itu akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Pada akhir tahun 2012 dan 2013 saya memposting artikel di blog ini. Inti dari artikel-artikel tulisan saya itu adalah mengingatkan kelemahan mendasar perekonomian Indonesia dan perlunya negara hadir meringankan beban rakyat dan memberantas mafia migas dan pangan. Dalam artikel saya itu ketidakseimbangan ekonomi Indonesia juga saya sebut.

Pemerintahan baru sudah mulai bekerja mengatasi beberapa kelemahan seperti memperbaiki infrastruktur dan merencanakan penyediaan tol laut serta mencoba memberantas mafia migas dan pangan. Itu adalah bidang di mana negara harus hadir.

Namun sayangnya pemerintah membuat suatu kebijakan yang masih membebani rakyat kebanyakan dengan menaikkan harga BBM. Beberapa hari sebelum keputusan itu diambil, saya melalui account Facebook saya (haniputranto) mengusulkan di wall saya agar pemerintah meminta masukan dari berbagai ahli dan ekonom dari spektrum pemikiran yang luas. Harapan saya tentu agar pemerintah tidak membebani rakyat.

Tapi pemerintah tetap menaikkan harga BBM. Kemudian saya menulis status di Facebook saya:

"Dengan mengalihkan dana subsidi sekitar Rp 100 triliun ke sektor produktif pemerintah merasa akan berhasil meringankan beban rakyat. Benarkah?

Apa yang akan saya sampaikan di bawah ini adalah hipotesis yang masih perlu dicermati kebenarannya akan tetapi mohon untuk disimak.

Dana pemerintah yang dialihkan itu hanya akan mampu meringankan beban rakyat dengan kekuatan sebesar Rp 115 triliun yaitu angka Rp 100 triliun dikalikan 15% ditambah Rp 100 triliun itu sendiri. Atau dengan kata lain, dalam satu tahun dana itu hanya akan tumbuh sekitar 15% yaitu 3 kali pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya sekitar 5% per tahun.

Sementara itu karena efek spiral, beban rakyat bisa meningkat sampai 5,67 kali lipat dari Rp 100 triliun atau Rp 567 triliun. Dalam hal ini beban rakyat neto bukannya berkurang tetapi akan bertambah sebesar Rp 567 triliun dikurangi Rp 115 triliun atau Rp 452 triliun.

Angka 5,67 kali lipat itu adalah perbandingan antara income pribadi dengan income publik yaitu 85 dibanding 15. Angka 15 ini adalah tax ratio Indonesia yang sekitar 12% ditambah rasio kedermawanan yang diasumsikan sekitar 3%. Sementara itu angka 85 adalah 100% dikurangi income publik yang sekitar 15% itu.

Nah akibat keputusan menaikkan harga BBM itu maka peningkatan beban rakyat neto sebesar Rp 452 triliun itu apabila dibagi rata kepada 250 juta penduduk Indonesia hasilnya adalah Rp 1.808.000,- per tahun per kapita atau Rp 150.667 per bulan per orang. Rumah tangga yang terdiri dari 4 anggota akan mengalami peningkatan beban sebesar Rp 602.667,- per bulan.

Saya sudah sering mengingatkan bahwa menggunakan pendekatan deduktif logis bisa mencegah jatuhnya korban di pihak rakyat." (Dicopy dari naskah status Facebook saya, naskah tersebut tersimpan dalam aplikasi color note dalam gadget android saya tanggal 18 November 2014. Saya copy dari naskah karena saya kesulitan meng-copy dari Facebook saya).

Menurut pendapat saya ketidakseimbangan pendapatan privat dan publik di Indonesia ikut menjadi faktor pengganda bagi peningkatan beban rakyat. Tax ratio Indonesia yang rendah selama bertahun-tahun mendorong ketidakseimbangan baik ketidakseimbangan income publik dan privat maupun ketidakseimbangan aset dan liabilitas publik.

Kenaikan harga BBM baru salah satu hal yang membebani rakyat. Kenaikan harga rumah selama beberapa tahun terakhir ini juga membebani rakyat seperti saya sampaikan dalam artikel saya akhir tahun lalu. Negara perlu hadir untuk meringankan beban rakyat.

Menghadapi, Permasalahan, Tantangan dan Ancaman

Permasalahan, tantangan, dan ancaman yang besar baik akibat dari kebijakan pemerintah lama mau pun pemerintah baru yang tergesa-gesa menaikkan harga BBM serta dari kondisi eksternal (ketidakseimbangan global) harus diatasi dan dijawab agar tidak membebani rakyat kebanyakan. Saran-saran sudah saya sampaikan dalam dua tulisan saya di akhir tahun 2012 dan 2013.

Dalam hal ketidakseimbangan global pemerintah dan negara (bank sentral) perlu menyadari bahwa krisis 1997/1998 agak berbeda dengan kemungkinan "kiamat" ekonomi/keuangan global di masa mendatang. Di masa lalu pelemahan rupiah tidak berdampak buruk bagi beberapa bidang usaha yang berorientasi ekspor seperti usaha tambak udang, perkebunan, pertambangan, industri mebel dll. Bidang-bidang usaha itu malah mendapatkan rejeki berlimpah. Hal itu terjadi karena tidak semua negara mengalami krisis. Tapi di masa mendatang bila tidak ada perbaikan keseimbangan global sehingga terjadi krisis global, pelemahan rupiah tidak banyak menolong.
Saya mengamati bahwa pemerintah mulai berusaha meningkatkan tax ratio. Suatu langkah awal yang baik. Tentu peningkatan itu harus berasal dari pajak progresif (pajak yang pro demokrasi ekonomi) bukan pajak dari rakyat kecil. Perlu diingat bahwa rasio gini Indonesia tinggi di atas 0,4 akibat salah urus pemerintah terdahulu. Tidaklah bijaksana membebankan pajak pada rakyat kecil. Membebankan pajak pada rakyat kecil akan berakibat memperlemah daya beli mereka.

Dalam hal jaminan sosial saya perlu menyampaikan catatan. Perlu diapresiasi kebijakan pemerintah untuk merealisasikan beberapa program jaminan sosial terutama beasiswa (Kartu Indonesia Pintar). Tentu saja program seperti itu perlu diperluas. Saya tidak setuju apabila penerima KIP dibatasi pada kriteria miskin dan hampir miskin bagi orang tuanya. Saya sudah pernah mengkritik hal seperti ini di blog saya ini yang berkaitan dengan BLT dan BLSM. Pertama-tama karena pemberian kriteria semacam itu secara administratif tidak sederhana sehingga bisa menimbulkan kekeliruan, penyimpangan atau kecurigaan/kecemburuan. Kedua status miskin atau hampir miskin itu sifatnya dinamis yang bisa berubah seiring berjalannya waktu. Ketiga orang yang sedikit di atas garis setengah miskin (misalnya Rp 15.000 per bulan) tidak berarti telah bebas dari ancaman kemiskinan sama sekali. Namun untuk sementara khusus bagi Kartu Indonesia Pintar bisa diterima dengan catatan harus ada tindakan segera untuk memperluas penerima KIP. Perluasan itu tidak memerlukan suatu surat keterangan miskin, beberapa keluarga yang perlu mendapat prioritas adalah mereka yang bekerja sebagai karyawan atau guru baik di sekolah negeri maupun swasta, karyawan dan tenaga medis di puskesmas dan rumah sakit negeri maupun swasta, kru angkutan transportasi masal termasuk penjaga pintu kereta, pegawai negeri sipil dan TNI golongan tertentu. Selain itu perluasannya bisa ditambah dengan cara acak dengan sistem undian sampai akhirnya bisa menjangkau semua anak usia sekolah sesuai paradigma biososioekonomi. Yang jelas harus dihindari beasiswa ganda, misalnya ada siswa penerima KIP juga penerima KJP (Kartu Jakarta Pintar). Kalau terjadi seperti itu harus dialihkan ke siswa lain.

Mengenai KIS, Kartu Indonesia Sejahtera sebaiknya sasaran penerimanya bukan berdasarkan kriteria miskin dengan alasan yang sama seperti saya sebutkan di atas. Lebih baik kriterianya adalah usia lanjut, 65 tahun ke atas. Itu secara administratif lebih sederhana.

Pemerintah hasil pilpres 2014 sebenarnya memiliki legitimasi dan dukungan kuat serta luas untuk membuat Indonesia lebih baik, dengan tax ratio lebih baik misalnya, sayangnya belum memanfaatkannya secara optimal. Pemerintah bisa mengajak anggota masyarakat khususnya yang kaya untuk berpartisipasi dan bergotong-royong meningkatkan income dan aset publik baik dengan ketaatan membayar pajak maupun kegiatan filantropi. Tapi pemerintah juga perlu memperbaiki diri agar wajib pajak tergerak membayar pajak dengan membuat birokrasi yang bersih memberantas poligami di jajaran birokrasi dll. Pemerintah perlu bekerja sama dengan pusat pengaruh baik nasional maupun global untuk meningkatkan income dan aset publik, memperbanyak orang-orang kaya seperti Warren Buffett yang berkomitmen menghibahkan 80% hartanya. Sebaliknya pemerintah jangan terkesima dengan kegiatan seperti CSR perusahaan di mana rate kedermawanannya hanya sekitar 3% dari laba, jauh di bawah apa yang dilakukan Warren Buffett dkk yang rate berbagi hartanya 50% ke atas. Kegiatan filantropi perusahaan dengan CSR itu tidak banyak memperbaiki keseimbangan global.

Tidak lupa kita perlu menjaga pemerintahan hasil pilpres 2014 ini secara konstitusi agar bisa selamat sampai agenda pilpres berikutnya tahun 2019. Semoga Indonesia semakin baik bagi semua.

Artikel Terkait

Ekonomi 2014
http://satriopiningitasli.blogspot.com/2013/12/perekonomian-2014-negara-dan-beban.html?m=1

Hutang Publik dan Beasiswa
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/10/daripada-menjadi-hutang-publik-lebih.html?m=1

Ekonomi 2013. http://satriopiningitasli.blogspot.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1

Hutang Besar Karena Income Kurang
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/08/utang-besar-karena-income-kurang.html?m=1

Paket Beasiswa, Bila semua orang sarjana
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/07/kalau-semua-orang-lulus-s1.html?m=1

Paket Beasiswa dan "Pancing"
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/07/percuma-memberi-pancingperihal-beasiswa.html?m=1

Target Kerja dan Tax Ratio
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/03/terget-kerja-pemerintah-yang-harus-kita.html

Info Buku Biososioekonomi
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/12/krisis-global-baca-dulu-baru-kritik.html

Demokrasi ekonomi
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/06/demokrasi-ekonomi-biososioekonomi-lebih.html

Bioekonomi utk RI dan Global
http://satriopiningitasli.blogspot.com/2010/09/bioekonomi-solusi-untuk-indonesia-dan.html?m=1

Prinsip-prinsip Biososioekonomi utk Pejabat Pemerintah (1)
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/10/prinsip-prinsip-biososioekonomi-untuk_05.html?m=1

Prinsip-prinsip Biososioekonomi utk Pejabat Pemerintah (2)
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/10/prinsip-prinsip-biososioekonomi-untuk_12.html?m=1


Ketika Sistem Tidak Mampu Membayar
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/09/krisis-ekonomi-ketika-sistem-tidak.html?m=1

Krisis Multidimensi
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/04/krisis-multidimensi-harus-diatasi.html?m=1

Makalah Seminar: Bioekonomi, Rekening T Publik, dan Paket Beasiswa
http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul22.htm


Minggu, 29 Juni 2014

Demokrasi dan Kepentingan Publik Dalam Pilpres 2014



Di bulan Agustus 2013 seperti biasa di bulan kemerdekaan, saya memposting artikel di blog ini tentang refleksi kemerdekaan. Di tahun 2013 itu saya menulis artikel yang berjudul: " Kepentingan Publik. Refleksi HUT RI Ke-68" (http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/08/kepentingan-publik-refleksi-hut-ri-ke-68.html?m=1)

Dalam artikel tersebut saya menulis:
"Kalau mengurusi partai bisa menghasilkan banyak eksekutif bagus seperti Joko Widodo atau Basuki Tjahaja Purnama (atau yang lain yang tidak saya sebut karena keterbatasan pengetahuan saya) mengapa harus maju menjadi calon presiden? Indonesia memerlukan lebih banyak orang-orang seperti Jokowi dan Ahok atau yang lebih baik dari mereka untuk menjadi pejabat publik di berbagai level entah gubernur, wali kota dll. Orang-orang yang mau bekerja nyata untuk kepentingan publik seperti itulah yang kita butuhkan." Seperti kita ketahui akhirnya Megawati Soekarnoputri mencalonkan Ir. Joko Widodo sebagai calon presiden setelah mempertimbangkan aspirasi rakyat banyak. Mencalonkan kader terbaik merupakan hal baru dalam demokrasi di Indonesia setelah sistem pemilihan presiden langsung diberlakukan. Bukan saatnya ketua umum partai atau ketua dewan pembina harus mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi capres. Bagi yang telah mencalonkan kader terbaiknya layak disebut negarawan/negarawati yang telah mengalahkan nafsunya sendiri. Kita harus mengapresiasinya. Namun tidak semua mengikuti jejak Megawati untuk menjadi negarawan.

Saya bersikap netral bila kader-kader terbaik menjadi capres di pilpres 2014. Misalnya yang menjadi capres-cawapres adalah Jokowi-Risma dan Ganjar-Ahok atau Jokowi-Ahok dan Ganjar-Nurdin Abdullah atau Ahok-Nurdin Abdullah dan Jokowi-Ganjar Pranowo maka dalam situasi seperti ini saya netral. Akan tetapi kalau kontestannya seperti yang sekarang terjadi, saya lebih cenderung kepada yang sudah terbukti bisa bekerja dalam lingkungan demokrasi dan terpilih kedua kalinya dalam sistem demokrasi serta tidak dikelilingi oleh orang-orang bermasalah. Demokrasi dan kepentingan publik harus diutamakan dan ditegakkan. Hal seperti itu ada pada pasangan nomor dua. Bukan berarti pasangan itu sempurna tanpa cacat. Di dalam sistem demokrasi kita harus tetap mengawasi dan mengoreksinya bila kelak terpilih tetapi melakukan kekeliruan. Sebaliknya kalau sistem demokrasi itu sendiri dibuang karena ambisi pribadi atau kelompok kita akan kesulitan melakukan koreksi. Tidak ada pasangan yang sempurna, untuk itulah koreksi dan kontrol oleh kedaulatan rakyat tetap diperlukan. Pasangan yang sudah terbukti bisa bekerja dalam lingkungan demokrasi lebih bisa memberi harapan.

Demikian juga penilaian saya bisa saja keliru. Untuk itu saya juga akan mengoreksi atau mengkritiknya bila pilihan saya menang. Sebenarnya pasangan mana pun yang menang tetap akan menghadapi tantangan dan masalah yang berat seperti kegagalan sistem kapitalisme yang bisa menyengsarakan rakyat dan menyebabkan turbulensi keuangan. Tetapi dalam sistem demokrasi dan open society, kritik terhadap sistem kapitalisme dan usulan atas penggantinya bisa dipublikasikan dan didiskusikan. Sementara dalam sistem otoriter-fasis tidak akan ada kebebasan menyatakan pendapat.

Semoga damai sejahtera menaungi rakyat dan bangsa Indonesia. Semoga kita dijauhkan dari kolonialisme sebagaimana yang saya harapkan bahwa pasca 2012 adalah pasca kolonial, suatu masa tanpa penindasan. Semoga Tuhan memberkati kita semua.


Artikel Terkait

Pancasila dan krisis ekonomi
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/06/pancasila-dan-krisis-ekonomi.html?m=1

Refleksi Peringatan Sumpah Pemuda
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/10/kaum-muda-pembaharuan-dan-persatuan.html?m=1

Pasca 2012 Pasca Kolonial
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/01/pasca-2012-pasca-kolonial.html?m=1


Refleksi HUT RI Ke-68
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/08/kepentingan-publik-refleksi-hut-ri-ke-68.html?m=1

Tiga Alasan Mengapa Biososioekonomi adalah Ekonomi Jalan Ketiga
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/11/tiga-alasan-mengapa-biososioekonomi.html

Kelemahan Mendasar Perekonomian Kita
http://satriopiningitasli.blogspot.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1

Perekonomian 2014
http://satriopiningitasli.blogspot.com/2013/12/perekonomian-2014-negara-dan-beban.html?m=1

http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/06/29/269588944/Ikrar-Prabowo-Buka-Jalan-ke-Pemerintahan-Diktator



Minggu, 23 Maret 2014

Tetap Bekerja Meski PDB Tumbuh

Tahun 2013 telah berlalu dan tahun 2014 telah berjalan beberapa bulan dengan berbagai peristiwa ekonomi, politik, maupun bencana alam seperti banjir dan meletusnya Gunung Kelud. Penetapan Ir. Joko Widodo sebagai calon presiden oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri merupakan peristiwa politik penting di awal-awal tahun ini.

Seperti halnya saya sampaikan pada postingan terdahulu bahwa kondisi ekonomi tahun 2014 tidaklah ringan bagi rakyat dan negara. Tekanan, ancaman, serta tantangan ekonomi tetap ada baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Berbagai macam solusi entah yang diusahakan pemerintah Indonesia maupun oleh negara lain belum bisa meninggalkan sama sekali paradigma konvensional yang neoliberalistik. Ciri paradigma neoliberalistik itu bisa kita lihat ketika banyak pejabat pemerintah maupun ekonom berhenti berusaha ketika terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Mencetak uang, menerbitkan surat utang negara, membiayai stimulus dengan mencetak uang, mengiming-imingi pemodal besar dengan bunga tinggi adalah ciri lain kebijakan yang neoliberalistik. Penghentian stimulus bisa saja dilakukan tetapi seharusnya didahului dengan peningkatan income publik yang memadai yang kemudian didistribusikan pada berbagai jaminan sosial, infrastruktur, fasilitas umum dan pengetatan moneter. Pengetatan moneter dalam paradigma neoliberalistik berbeda dengan pengetatan moneter dalam paradigma biososioekonomi. Dalam paradigma neoliberalistik, pengetatan moneter dilakukan tanpa terjadinya peningkatan income
publik. Mengiming-imingi pemodal besar dengan bunga tinggi adalah cara yang kadang dilakukan oleh pejabat yang berparadigma neolib. Mencetak uang, hutang, dan semua solusi neoliberalistik itu bukan solusi yang permanen. Artinya itu hanya sementara saja ketika income publik belum membaik.

Oleh karena itu kita hargai siapa saja yang telah berusaha dan bekerja keras untuk meningkatkan income publik. Perancis dan Amerika Serikat sudah memulai meningkatkan pajak dari orang kaya. Kita juga hargai orang-orang kaya seperti Warren Buffett yang dengan kesadarannya sendiri berkomitmen menghibahkan sebagian besar hartanya kepada publik dan hanya sebagian kecil saja yang diwariskan kepada keturunannya sendiri. Kita hargai juga Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang berhasil meningkatkan penerimaan pajaknya di tengah terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi di tahun 2013. Ke depannya perlu disempurnakan agar peningkatan pajak berasal dari pajak yang pro demokrasi ekonomi atau pajak orang kaya bukan pajak dari rakyat kecil. Perlu diingat bahwa rasio gini Indonesia yang tinggi masih meningkat lebih tinggi lagi yang berarti kesenjangan meningkat. Pada tahun 2011-2012 rasio gini sudah tinggi yaitu 0,41 dan tahun 2013 naik menjadi 0,42.
Angka 0,41 itu meningkat dari 0,38 di tahun 2010 (Kompas Jumat 14/3 hlm 15 "Rezim Pertumbuhan Tinggi Gagal").

Di tengah tantangan dan ancaman yang nyata di tahun ini dan di tahun-tahun mendatang kita masih mempunyai harapan. Harapan itu ada karena adanya orang-orang yang pro perubahan dan perbaikan bukan pro status quo, adanya orang-orang yang tetap bekerja untuk publik tidak peduli apakah pertumbuhan ekonomi melambat atau semakin cepat. Pertumbuhan ekonomi (PDB) tinggi bukanlah ukuran kesehatan ekonomi publik.

Tak lupa kita ucapkan terima kasih kepada negarawati Megawati Soekarnoputri yang telah mengambil keputusan yang bijaksana yang mendengar aspirasi rakyat Indonesia. Semoga saja selain tetap berjalannya demokrasi politik juga terjadi demokrasi ekonomi untuk meningkatkan income dan aset publik. Marilah kita menjadi negarawan dan negarawati yang baik. Proses politik di Indonesia di tahun 2014 yang ditandai peristiwa pemilihan umum dan pemilihan presiden seharusnya memunculkan banyak negarawan dan negarawati yang baik. Rakyat juga diharapkan untuk memilih dengan cerdas demi kepentingan publik bukan kepentingan kelompok. Pajak diperoleh dari berbagai kelompok lintas SARA, pemanfaatannya pun juga harus lintas SARA.

Semoga Tuhan memberkati kita semua.


Artikel Terkait

Perekonomian 2014
http://satriopiningitasli.blogspot.com/2013/12/perekonomian-2014-negara-dan-beban.html?m=1

Refleksi HUT RI  17/8/2013
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/08/kepentingan-publik-refleksi-hut-ri-ke-68.html?m=1

Target Kerja Pemerintah
http://www.satriopiningitasli.com/2012/03/terget-kerja-pemerintah-yang-harus-kita.html?m=1

Utang Besar Karena Income Kurang
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/08/utang-besar-karena-income-kurang.html?m=1

Demokrasi Ekonomi
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/06/demokrasi-ekonomi-biososioekonomi-lebih.html

Semoga Semakin Banyak Orang Kaya Berbagi
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/02/semoga-semakin-banyak-orang-kaya.html

Senin, 02 Desember 2013

Perekonomian 2014. Negara dan Beban Rakyat

                                                Oleh Hani Putranto

Akhir tahun lalu saya menulis artikel di blog ini dengan judul:"Kelemah Mendasar Perekonomian Kita yang Mengancam Hidup Rakyat ( http://satriopiningitasli.blogspot.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1) Dalam penulisan artikel tersebut saya tidak menggunakan paradigma konvensional melainkan biososioekonomi. Demikian juga setiap kali menulis artikel termasuk yang hari ini saya posting. Selain itu perlu saya tegaskan bahwa sudut pandang yang saya ambil adalah publik dan rakyat kebanyakan bukan pemilik modal.

Tahun 3013 akan segera berakhir dalam beberapa minggu. Banyak peristiwa terjadi di tahun ini seperti pelemahan rupiah dari Rp 9.680 tanggal 2 Januari 2013 menjadi Rp 11.631 per USD 20 November (Kontan 21/11 hlm 2). Bahkan terakhir menyentuh Rp 12.000 atau terdepresiasi 23%. Demikian juga IHSG telah turun 23% dari posisi 5.208 tanggal 22 Mei 2013 menjadi hanya 4.256 di tanggal 29 November 2013. Kejadian seperti itu memang membuat investor galau, tetapi fokus utama saya adalah publik dan rakyat kebanyakan bukan investor. Di dalam artikel ini ainvestor tidak akan menemukan mengenai investasi apa yang cocok tahun depan.

Dibandingkan tahun 2012 rakyat bertambah sengsara yang ditunjukkan dengan meningkatnya misery index atau indeks kesengsaraan dari 10,72% di tahun 2012 menjadi 15,04% ( http://m.antaranews.com/berita/407546/kualitas-pembangunan-2013-merosot-dibanding-2012). Misery index adalah penjumlahan tingkat pengangguran dan inflasi.

Kalau kita ingin mengantisipasi perekonomian 2014 ada empat hal yang harus diperhatikan yang akan berpengaruh pada perekonomian kita di tahun 2014 yaitu: Ekonomi Biaya Tinggi, Liabilitas Publik, Kemungkinan Bubble Property, dan Faktor Eksternal.


Ekonomi Biaya Tinggi

Ekonomi biaya tinggi sebagai aktivitas ekonomi ilegal bukan penyakit baru di Indonesia, sudah ada sejak jaman orde baru. Namun ekonomi biaya tinggi menjadi persoalan serius ketika menyangkut hajat hidup orang banyak seperti energi dan pangan yang merupakan kebutuhan semua orang termasuk rakyat kecil. Mafia minyak dan kartel pangan mulai disorot setelah rupiah mengalami depresiasi serius. Salah satu penyebab depresiasi rupiah adalah defisit neraca perdagangan dari impor migas (bdk http://mobile.kontan.co.id/news/duh-defisit-transaksi-migas-kian-besar). Keberadaan mafia migas mulai diungkapkan (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/05/17/15532765/Impor.Minyak.Langsung.Menghapus.Peran.Mafia) meski belum bisa dibongkar dan diberantas. Demikian juga adanya kartel impor pangan yang menekan rupiah meski sebenarnya impor pangan tidak diperlukan (bdk http://mobile.kontan.co.id/news/abraham-samad-impor-di-indonesia-permainan-kartel ).

Ekonomi biaya tinggi itu tidak saja menyebabkan inflasi yang menekan hidup rakyat kebanyakan sehingga menurunkan konsumsi mereka (bdk http://mobile.kontan.co.id/news/konsumsi-rumah-tangga-indonesia-mengecil) tetapi juga menyulitkan banyak perusahaan, petani produsen, dan bahkan mengancam APBN. Mafia dan kartel impor menyebabkan harga berbagai barang kebutuhan pokok menjadi mahal selain menyebabkan rupiah terdepresiasi terhadap USD.

Liabilitas Publik

Dalam paradigma konvensional muara kebijakan dan aksi pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi. Hal itu dilakukan dengan memperbanyak investasi. Sementara itu liabilitas publik sering diabaikan. Bahkan sering tidak disadari bahwa pertumbuhan ekonomi itu sendiri selalu berarti peningkatan liabilitas publik. Dalam paradigma biososioekonomi semua aset individu
adalah liabilitas bagi publik yang tidak bisa diabaikan.

Dalam artikel saya setahun lalu saya mengemukakan ada 4 hal yang menjadi kelemahan mendasar perekonomian kita yaitu: rendahnya tax ratio, pajak individu yang masih rendah dibanding pajak perusahaan, buruknya infrastruktur, dan kualitas aset bank sentral. Kelemahan mendasar ini kini belum teratasi. Beberapa kelemahan tersebut saling berkaitan. Porsi harta yang dibayarkan sebagai pajak terlalu kecil sebagaimana ditunjukkan oleh tax ratio yang hanya sekitar 12%. Kondisi tax ratio rendah itu berlangsung bertahun-tahun. Hal ini membuat liabilitas publik melonjak bahkan ketika pertumbuhan ekonomi terkoreksi di tahun ini. Liabilitas publik yang tinggi dalam artian aset private yang tinggi ini akan sangat mudah berubah menjadi hutang publik yang tinggi pula (bdk http://mobile.kontan.co.id/news/di-bri-80-ori010-mengalir-ke-nasabah-kaya). Tingginya liabilitas publik ini turut berkontribusi terhadap depresiasi rupiah.

Dalam paradigma konvensional baik di Indonesia maupun di luar negeri ada kebiasaan buruk yang selalu terjadi yaitu pencetakan uang. Bank sentral mencetak uang untuk membeli obligasi pemerintah. Obligasi pemerintah yang dibeli dengan cara mencetak uang ini tidak bisa dikatakan sebagai aset publik meski bank sentral menempatkan itu sebagai asetnya. Hal seperti ini juga akan berkontribusi terhadap depresiasi mata uang termasuk rupiah. Bunga tabungan yang rendah bila dikoreksi dengan inflasi akan turut berkontribusi menurunkan daya beli rakyat.

Tingginya hutang publik akan menekan alokasi anggaran pemerintah untuk jaminan sosial dan infrastruktur. Hal seperti ini akan membuat rakyat tetap sengsara dan akan membebani anggaran serta generasi mendatang. Secara keseluruhan tingginya liabilitas publik juga akan membuat makro ekonomi tidak stabil.

Kemungkinan Bubble Property

Melihat tingginya liabilitas publik, seharusnya aliran dana ke bursa efek juga tinggi. Tetapi justru kita melihat IHSG terkoreksi 23% dari posisi akhir Mei 2013. Ternyata kelebihan income atau aset private itu mengalir ke property. Dalam tulisan saya setahun yang lalu sudah saya singgung. Dari survei yang dilakukan BI memang ternyata sebanyak 42,5% dari 5000 responden lebih memilih investasi property dibandingkan reksadana, emas, deposito atau lainnya. Hal seperti itu membuat bubble property sebagai ancaman serius (http://mobile.kontan.co.id/news/bi-bubble-properti-mengancam-indonesia). Tidak sedikit nasabah bank yang mengambil KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) kedua sebagai investasi. Nasabah-nasabah tersebut memegang lebih dari satu KPR pada saat bersamaan. Ini adalah investasi rumah tangga yang dibiayai dengan hutang yang bisa menimbulkan masalah.

Kemungkinan bubble property tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara lain seperti Singapura, RRC dan Australia ( http://mobile.kontan.co.id/news/awas-bubble-properti-ancam-aussie ).

Faktor Eksternal

Masih ada satu hal yang perlu diperhatikan yaitu faktor eksternal seperti kemungkinan pemangkasan stimulus di Amerika Serikat. Pemangkasan ini akan memperkuat mata uang dolar Amerika terhadap mata uang dunia lainnya termasuk rupiah. Faktor yang akan berkontribusi mendepresiasi rupiah bertambah. Demikian pula membaiknya perekonomian negara maju seperti AS yang diukur berdasarkan ukuran konvensional (pertumbuhan PDB) akan membuat aliran modal kembali ke luar Indonesia. Selain juga akan terjadi repatriasi hasil investasi di Indonesia ke luar negeri.

Tentu kemungkinan meletusnya bubble property di luar negeri seperti saya sebutkan di atas juga termasuk faktor eksternal yang harus diwaspsdai.

Negara dan Beban Rakyat

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa permasalahan yang akan dihadapi tahun 2014 adalah adanya mafia impor dan liabilitas publik yang tinggi serta beberapa faktor eksternal. Negara dan pemerintah belum mengambil aksi yang tepat atas permasalahan tersebut. Dalam enam bulan terakhir, Indonesia sudah menaikkan BI rate sebesar 175 basis poin atau 1,75% tetapi nilai tukar rupiah masih tertekan. Hal seperti ini justru meningkatkan tekanan pada perusahaan, menurunkan pertumbuhan ekonomi, dan mengancam penyerapan tenaga kerja. Kesulitan perusahaan meningkat karena sumber pembiayaan usaha terbatas, sementara pasar modal sendiri kurang bergairah karena orang Indonesia lebih memilih berinvestasi di property. Tekanan di sektor riil ini masih ditambah dengan penurunan daya beli rakyat.

Aksi dan kebijakan yang diambil bank sentral tersebut masih didasarkan pada paradigma ekonomi konvensional di samping pemerintah dan aparat negara tidak berani menindak mafia impor. Sebagaimana disebutkan di atas, paradigma konvensional itu hanya sekadar bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi tidak peduli dengan membengkaknya liabilitas publik. Di dalam textbook ekonomi makro konvensional pun dikatakan: memperbaiki satu sisi bisa memperburuk sisi lain. Misalnya upaya menekan inflasi memang diperlukan tetapi upaya itu akan meningkatkan pengangguran seperti yang terjadi sekarang. Hal itu terjadi karena textbook ekonomi konvensional itu tidak menggunakan kaidah akuntansi. Textbook ekonomi konvensional itu tidak sadar bahwa peningkatan PDB berarti peningkatan liabilitas publik.

Sebenarnya kalau kita mau memperbaiki semua sisi secara serentak tidak ada cara apa pun selain memperhatikan hukum keseimbangan (akuntansi) serta hukum kelangkaan sebagaimana dilakukan teori ekonomi makro biososioekonomi. Dalam hal ini untuk memperbaiki ekonomi makro (dalam artian ekonomi publik) secara keseluruhan serta meringankan beban rakyat tidak ada jalan lain selain: meningkatkan income dan aset publik serta mengurangi liabilitas publik secara bersamaan sebagaimana disarankan teori ekonomi makro biososioekonomi.

Peningkatan income publik itu ditandai meningkatnya tax ratio terutama dari pajak progresif (pajak yang pro demokrasi ekonomi), peningkatan derma, dan dimulainya daur ulang aset private seperti harapan biososioekonomi. Dengan peningkatan income publik itu kita bisa membiayai berbagai jaminan sosial yang meluas dan mendalam, memperbaiki dan membangun infrastruktur yang baik, menyediakan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang memadai, serta menyediakan dana untuk keperluan kontraksi moneter.

Saya pernah menjelaskan secara sederhana bagaimana deposito besar dari warisan yang dihibahkan ahli warisnya bisa menyediakan DPK (dana pihak ketiga) murah bagi perbankan, menyediakan dana untuk kontraksi moneter melalui GWM (giro wajib minimum), menyediakan beasiswa bagi kalangan luas sehingga bisa menjaga atau meningkatkan tingkat konsumsi rakyat yang berarti menjaga atau meningkatkan pertumbuhan PDB, serta meningkatkan fee based income bagi perbankan ( http://satriopiningitasli.blogspot.com/2013/10/daripada-menjadi-hutang-publik-lebih.html?m=1)

Tingginya harga rumah harus diatasi dengan memperbanyak suplai rusunawa (rumah susun sederhana sewa) agar bisa meringankan beban rakyat. Rusunawa itu harus memenuhi standar konstruksi yang aman dan biaya sewa yang murah. Dalam kondisi seperti ini rusunami (rumah susun sederhana milik) tidak perlu diprioritaskan karena bisa diselewengkan untuk spekulasi.

Mengingat besarnya masalah yang akan kita hadapi perlu upaya serius pejabat pemerintah dan perlu bekerja sama dengan pusat pengaruh dalam civil society untuk meningkatkan kegotongroyongan dan kedermawanan serta memunculkan orang-orang seperti Warren Buffett yang berkomitmen menghibahkan sebagian besar hartanya. Tak lupa kita perlu bekerja keras untuk memberantas mafia migas dan kartel pangan.

Selain itu perlu memanfaatkan potensi pejabat daerah yang berprestsi karena pejabat daerah yang berprestsi itu sering mengenali potensi usaha dan kondisi mikro di daerahnya. Pejabat daerah yang berprestasi perlu ditampilkan untuk membagikan pengalamannya kepada pejabat daerah lain supaya keberhasilannya menular ke daerah lain. Sebagai contoh adalah Bupati Bantaeng Sulawesi Selatan, H.M. Nurdin Abdullah, berhasil mengubah postur anggaran daerahnya yang semula terkonsentrasi pada fasilitas dan belanja pegawai menjadi lebih bermanfaat bagi pengembangan potensi usaha daerah (budidaya talas untuk ekspor) serta meningkatkan pelayanan kesehatan serta menyediakan apartemen dinas untuk dokter. Demikian dengan walikota Surabaya, Tri Tismaharini, yang berhasil menyediakan tempat bagi PKL (pedagang kaki lima) serta berbagai prestasi lainnya.

Sudah saatnya pemerintah dan negara meninggalkan paradigma konvensionalnya yang neolib supaya beban rakyat tidak bertambah berat, supaya ada perbaikan di semua sisi secara serentak. Tak lupa untuk menindak mafia yang merugikan rakyat banyak.


Daftar Pustaka

http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul22.htm

http://mobile.kontan.co.id/news/barclays-pertumbuhan-ekonomi-china-akan-melambat

http://mobile.kontan.co.id/news/penjualan-rumah-di-singapura-anjlok-52

http://www.suarapembaruan.com/home/penangkapan-ketua-skk-migas-dan-hengki-pengki-bisnis-minyak/40001

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/04/antara-kebenaran-akuntansi-dan-kesadaran_4307.html?m=1

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/02/semoga-semakin-banyak-orang-kaya.html

http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/07/percuma-memberi-pancingperihal-beasiswa.html

Sabtu, 23 November 2013

JAWA dan Jews. Sebuah Ilustrasi Bank Sentral

Berikut ini saya kutipkan salah satu status Facebook saya (haniputranto). Hal ini dimaksudkan agar pejabat publik tidak terbelenggu suatu sistem yang memiskinkan rakyat.


Saya mempunyai otoritas mencetak uang. Uang yang saya cetak itu bisa dipakai sebagai alat pembayaran yang sah. Dengan uang itu saya bisa membeli obligasi pemerintah (surat utang negara). Dalam neraca saya (Rekening T) obligasi yang saya beli itu saya tempatkan di kolom aset saya.
Saya mendapatkan pembayaran dari pemerintah yang membayar obligasinya. Pemerintah mampu membayarnya selama pemerintah memiliki penerimaan, baik dari pajak atau penerimaan lain.

Sementara sebagian besar uang yang saya cetak menjadi milik individu. Sebagian darinya saya tempatkan di kolom liabilitas karena saya harus membayar bunga. Itu beban bagi saya. Saya ingin agar bunga itu kecil kalau bisa nol persen.

Tetapi ternyata ada orang kritis bertanya dengan pertanyaan seperti ini:
"(1) Apakah Anda institusi publik atau privat (swasta)?

(2) Apakah Anda memperoleh laba dari kegiatan Anda di atas?

Kalau Anda institusi publik tentu seharusnya apa yang oleh pemerintah (institusi publik) dimasukkan sebagai liabilitas maka oleh Anda juga seharusnya dimasukkan sebagai liabilitas. Faktanya Anda  memasukkan obligasi pemerintah itu di kolom aset/aktiva di neraca Anda.

Kalau Anda memperoleh laba dari kegiatan Anda dan Anda adalah swasta (privat) maka itu berarti sebagian income publik (pajak dan penerimaan negara yang lain) masuk ke kantong Anda(privat). Enak dong."

Eh ternyata  orang kritis  itu mulai melempar pertanyaan kepada publik:
Apakah kita tahu hal-hal di atas? Kalau kita tidak tahu berarti kita mudah ditipu. Sebaiknya kita tanyakan dengan pertanyaan ini kepadanya.

"Terus karena pemerintah sering menerbitkan obligasi, kalau Rekening T pemerintah menjadi tidak imbang dalam artian liabilitasnya lebih tinggi dari asetnya bagaimana dong?"

Hahahahaha.....(egp)

"Terus kalau ada negara lain membeli obligasi pemerintah itu dan karena pemerintah itu bangkrut, harga obligasinya jatuh menjadi separuhnya gimana dong?"

Hahahaha.... (siapa suruh ikut-ikutan gw, modal gw kan cuma nyetak uang)

Tulisan di atas kurang lebih mengilustrasikan  praktek bank sentral konvensional di dunia (dengan variasi di beberapa negara). Dalam tulisan di atas kata bank sentral diganti dengan kata saya (gw). Kata-kata dalam kurung setelah "hahaha" adalah kata-kata di dalam hati yang tak terucap keluar.

Sebagian orang mungkin memang bisa ditipu. Tapi tidak semua. Mungkin sebagian dari kita setelah paham cara kerja bank sentral akan mengumpat "wahyudi" sialan atau inilah kelicikan "wahyudi"

Santai saja bro sist. Sebagian orang Jawa memang kurang cerdas atau kurang kritis tetapi JAWA pasti bisa mengalahkan Jews karena JAWA dan JHWH adalah tetragramaton yang sama. Rencana-Nya tidak gagal. Jangan dipikir bahwa TUHAN (JHWH) tidak mengerti akuntansi dan matematika. Jangan dipikir bahwa TUHAN tidak peduli kepada mereka yang lapar, miskin, dan tertindas.

Di luar itu yang penting bagi kita adalah koreksi diri, jangan selalu menyalahkan orang lain. Bagi pejabat publik dan pembela kepentingan publik (rakyat) belajarlah biar tidak tertipu atau tidak terjebak dalam sistem yang merugikan publik dan menghisap rakyat. Belajarlah matematika, akuntansi, dan khususnya teori ekonomi makro biososioekonomi karya anak bangsa.

Itulah kutipan status Facebook saya semoga bermanfaat bagi publik.

Selasa, 05 November 2013

Selamat Tahun Baru 1 Suro 1947 Saka Jawa

Saya ucapkan selamat Tahun Baru 1 Suro 1947 Saka Jawa dan 1 Muharram 1435 H bagi yang merayakannya.

Dan bagi orang-orang Jawa yang cenderung ingin kembali menggunakan penanggalan surya (pranatamangsa) saya ucapkan selamat berlibur.

Semoga TUHAN memberkati kita semua. Rahayu. Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN, berilah kiranya kemujuran!