Kamis, 24 September 2009

"Sihir" di Balik Kata-kata "Pertumbuhan Ekonomi"

Banyak pejabat atau ekonom yang menilai pemulihan ekonomi didasarkan pada angka pertumbuhan ekonomi semata seperti tercermin dalam beberapa pemberitaan akhir-akhir ini. Dalam Kompas Mobile 22/09/2009, 16:25 WIB (http://m.kompas.com/news/read/data/2009.09.22.16254238) disebutkan (sebagai judul): "Perekonomian Asia ternyata Lebih Tahan Krisis." Sementara itu untuk berita yang sama, Detik Mobile menyajikannya dengan judul "ADB Naikkan Pertumbuhan Ekonomi Asia jadi 3,9%" (http://m.detik.com/read/2009/09/22/173020/1207857/4/adb-naikkan-pertumbuhan-ekonomi-asia-jadi-39). Detik mengutip Chief Economist ADB Jong-Wha Lee: "Meski kondisi ekonomi global masih kurang baik, negara berkembang di Asia justru memimpin pemulihan dari perlambatan ekonomi dunia."

Sementara itu dalam berita lain disebutkan: "Nilai saham AS di Wall Street naik ke angka tertinggi baru pada 2009, di tengah pulihnya optimisme pemulihan ekonomi dan prospek pendapatan perusahaan. Hal itu berlangsung karena pembuat kebijakan Federal Reserve, bertemu untuk meninjau langkah-langkah yang ditujukan guna memulihkan pertumbuhan ekonomi" (http://m.kompas.com/news/read/data/2009.09.23.07180028).

Patut disayangkan kalau banyak orang "tersihir" oleh kata-kata "pertumbuhan ekonomi" termasuk kata-kata "pertumbuhan ekonomi berkelanjutan" sehingga kehilangan daya kritis atau akal sehat. Dalam Kompas Cetak 28/02/2008 hlm 8 disebutkan dana perusak perekonomian besarnya mencapai 516 triliun dollar AS, sementara total PDB global 48 triliun dollar AS. Bagi banyak orang sering kaget dengan data seperti itu, mengapa PDB global begitu kecil di hadapan dana perusak. Akan tetapi bagi yang memahami biososioekonomi atau paling tidak memahami dan menguasai konsep PDB, statistik, matematik dan akuntansi seharusnya tidak kaget membaca data seperti itu. Konsep PDB dan pertumbuhannya sudah saya bahas dalam blog ini. Sementara dalam postingan kali ini saya ringkaskan bahwa PDB atau GNP sekalipun adalah total pendapatan individual tahunan. Maka di dalam suatu populasi ada sekelompok orang yang pendapatannya kurang atau pas-pasan sehingga habis dikonsumsi sementara ada kelompok lain yang pendapatan tahunannya berlebihan sehingga terakumulasi menjadi aset dan modal. Hal ini tidak tercermin dalam angka PDB. Maka sebenarnya pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan PDB itu tidak akan otomatis memperbaiki ekonomi publik dan ekonomi rakyat kebanyakan.

Dalam kondisi seperti itu turbulensi ekonomi, keuangan, atau berlanjutnya kesengsaraan (beban) rakyat masih akan terjadi. Oleh karena itu saya berharap kepada semua pihak agar jangan sampai terkena "sihir" kata-kata pertumbuhan ekonomi bahkan yang diberi tambahan "berkelanjutan" sekalipun. Ada suatu hal yang harus diperhatikan seperti saya nyatakan dalam postingan terdahulu, pastikan bahwa sistem mampu membayar kewajibannya. Melalui postingan ini saya berharap agar kita semua menjadi anggota masyarakat dan negarawan yang baik yang peduli pada kepentingan publik. Saya akan tetap menjalankan dharma ksatria seperti saya jelaskan dalam postingan yang berjudul:"Dharma Ksatria: Antara Satrio Piningit dan Ksatria Luhur. "




Jumat, 18 September 2009

Krisis Ekonomi: Ketika Sistem Tidak Mampu Membayar

IMF memperingatkan bahwa krisis ekonomi belum akan berakhir dalam waktu dekat kendati sudah ada tanda positif dari sejumlah negara yang memiliki perekonomian terbesar di kawasan Eropa. Demikian diungkapkan Managing Direktur IMF Dominique Straus Kahn menjelang pertemuan G20 yang akan digelar di Pittsburg AS 24-25 September. "Dia menambahkan, tidak banyak yang bisa diharapkan dari adanya pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara Eropa. 'Krisis ekonomi global akan terus berlangsung meskipun faktanya Jerman dan Perancis berhasil mencetak angka pertumbuhan ekonomi yang positif pada kuartal terakhir,' katanya. Hanya saja Sttauss menyayangkan, kondisi itu tak membuat lapangan kerja baru di kedua negara tersebut akan terbuka lebar. Ia malah memperkirakan angka pengangguran akan terus meningkat, setidaknya selama satu tahun ke depan." (Sumber http://m.kompas.com/news/read/data/2009.09.15.15370914)

Sementara itu jumlah orang yang kelaparan akan melampaui angka 1 miliar pada tahun ini. "Bantuan pangan dunia mencapai tingkat terendah dalam 20 tahun terakhir. Di sisi lain, jumlah orang yang menghadapi kelaparan parah meningkat tahun ini. Jumlah warga kelaparan untuk pertama kali akan melampaui angka 1 miliar orang pada tahun 2009. " Demikian dikatakan dalam berita di koran Kompas (cetak) 18 September 2009.

Pertumbuhan PDB, yang sering disebut pertumbuhan ekonomi, bukan suatu tanda bahwa krisis ekonomi atau kesengsaraan rakyat akan segera berakhir. Orang yang memahami konsep PDB dan pertumbuhan PDB serta biososioekonomi pasti tahu bahwa peningkatan PDB bisa berarti peningkatan liabiltas publik (makro) yang berarti peningkatan masalah. Demikian juga kalau ekonom konvensioanal (neo liberal atau keynesian) mengatakan indikator makro membaik atau stabil itu sebenarnya bukan jaminan bawa kondisi makro tidak ada masalah (menurut biososioekonomi). Lantas bagaimana mengetahui kondisi makro sehat atau tidak kalau teori ekonomi konvensional sudah tidak relevan?

Perekonomian bisa dipandang sebagai suatu sistem dengan input atau output yang jelas dan tunduk pada hukum alam mengenai akuntansi (keseimbangan) dan ekonomi (kelangkaan), oleh karenanya bisa didekati dengan cara deduktif matematis. Hal itu mirip dengan sistem pemabayaran bonus (marketing plan) pada usaha multi level marketing (MLM) yang sehat dan benar, bukan MLM palsu. Perancang
Marketing plan MLM harus menguasai matematika dengan baik. Adanya perusahaan MLM yang sehat menunjukkan bahwa otak manusia mampu merancang sistem yang baik pula, karena merancang sistem pemberian bonus pada MLM jauh lebih rumit dari pada single level marketing. Tetapi mengapa hal itu belum menginspirasi ekonom lain untuk merancang sistem ekonomi yang sehat?

Perancang marketing plan MLM harus tahu berapa margin laba riil setiap produk. Bonus yang dijanjikan akan dibagikan kepada jaringan (seperti tertulis dalam marketing plan) tidak boleh melebihi laba riil. Oleh karena itu sampai level tertentu harus dipotong (cut). Apabila bonus yang dijanjikan melebihi margin laba setiap produk maka sistem tidak akan mampu membayar bonus atau tidak mampu memenuhi janjinya dan perusahaan bangkrut. Dalam MLM palsu laba riil tidak ada, bonus yang dibayarkan diambil dari iuran atau investasi anggota yang bergabung belakangan sehingga bebannya semakin berat dan tidak sanggup membayar bonus atau "hasil investasi" yang dijanjikan.

Demikian juga dengan sistem ekonomi. Kita harus merinci apa saja yang harus dibayar sistem ekonomi. Inilah yang harus dibayar sistem ekonomi:
(1) Laba
(2) Bunga
(3) Gaji pegawai negeri dan swasta
(4) Jaminan sosial untuk pendidikan, kesehatan, dan pangan (food stamp atau untuk kebijakan ketahanan pangan)

Memang yang menggaji pegawai swasta adalah perusahaan atau yayasan akan tetapi secara makro bisa dipandang yang membayar adalah sistem. Banyaknya pengangguran menunjukkan bahwa sistem tidak mampu membayar gaji. Demikian juga dengan jatuhnya laba, kejadian ini juga merupakan indikasi bahwa sistem tidak lagi mampu membayar laba. Suku bunga rendah belum tentu merupakan indikasi sehatnya keadaan makro ekonomi. Suku bunga (riil) deposito atau tabungan nol atau minus bila dikoreksi dengan inflasi menunjukkan bahwa sistem tidak mampu membayar bunga. Demikian juga dengan tingginya angka putus sekolah karena ketidakmampuan orang tua siswa, juga menjadi indikasi bahwa sistem tidak mampu membayar jaminan sosial. Begitu pula dengan kelaparan yang menimpa 1 miliar orang di seluruh dunia.

Krisis ekonomi bisa dipandang sebagai ketidakmampuan sistem membayar beberapa atau semua kewajiban yang seharusnya dibayar sistem seperti dirinci di atas. Berulangya krisis ekonomi atau gejolak moneter jatuhnya laba yang terjadi berulang-ulang menunjukkan bahwa perekonomian konvensional yang didasarkan pada teori ekonomi neo klasik (neo liberal) atau keynesian itu tidak mampu membayar kewajiban yang seharusnya dibayar sistem seperti dirinci di atas. Dalam perekonomian konvevsional itu, konsumen (rakyat kebanyakan) dan lingkungan hidup mendapat tekanan dan menanggung beban yang amat berat.

Sebagaimana dalam MLM ada pemotongan demikian juga dalam biososioekonomi ada pemotongan untuk menjamin bahwa sistem mampu membayar kewajibannya. Itulah yang disebut daur ulang kekayaan pribadi Dengan kekayaan daur ulang itu, sistem mampu membayar kewajibannya sesuai dengan hukum akuntansi dan kelangkaan serta hukum II termodinamika. Pendekatan deduktif matematis bisa meminimalkan jumlah korban akibat krisis ekonomi.

Marilah kita menjadi negarawan dan anggota masyarakat yang baik Marilah menjalankan dharma ksatria seperti yang saya jelaskan dalam postingan terdahulu:"Dharma Ksatria: Antara Satrio Piningit dan Ksatria Luhur." Hindari jatuhnya korban akibat krisis ekonomi. Pastikan bahwa sitem mampu membayar.

Minggu, 13 September 2009

Apakah Anda Akan Membuang Biososioekonomi Juga?

Saya tidak khawatir popularitas blog ini merosot. Tetapi saya was-was karena biasanya kalau biososioekonomi dibuang sering terjadi sesuatu seperti gempa bumi. Demikian pula hari Senin tanggal 7 September 2009, pagi-pagi saya melihat mesin penghitung kunjungan di blog ini, yang seperti gambar matahari, mencatat angka 4.226 yang berarti hanya meningkat 16 klik. Padahal biasanya di atas 20 klik per hari, bahkan pernah mencapai di atas 50 klik.

Hari itu di tengah rasa was-was, saya menyempatkan diri menonton film "Merah Putih" di Blok M Square yang berarti saya harus berada di lantai tinggi (5) di ruang gelap selama kurang lebih dua jam. Setelah pertunjukan selesai dan menginjak tanah saya bersyukur tidak terjadi apa-apa. Pulang nonton sebelum tidur saya meng-update status facebook saya dengan
doa rutin: Good night....."Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN, berilah kiranya kemujuran!" Demikian tercatat di status facebook saya jam 9:53pm.

Pagi hari saya membaca berita memang ada gempa di Wonosari DIY (http://m.kompas.com/news/read/data/200909.08.00310831) yang terjadi hari Senin 7 September jam 23:12 WIB. Hari Selasa pagi 8 September saya melihat mesin penghitung mencatat angka 4.244 yang berarti masih di bawah 20 klik. Rabu dini hari tanggal 9 memang ada gempa di Sulawesi Tengah (http://m.kompas.com/news/read/data/2009.09.09.04482662) dengan 6,0 skala Richter.

Saya meyakini bahwa aplikasi atau implementasi biososioekonomi akan membawa kepada kesejahteraan publik dan keseimbangan alam serta kelestarian lingkungan hidup. Kalau perjuangan damai mewujudkan biososioekonomi dalam aplikasi praktis berbangsa dan bermasyarakat menemui jalan buntu, saya menyerahkannya pada TUHAN apa yang akan terjadi. Sementara itu secara pribadi saya tetap pada komitmen saya untuk menjalankan dharma ksatria seperti yang saya jelaskan dalam postingan terdahulu:"Dharma Ksatria: Antara Satrio Piningit dan Ksatria Luhur."

Hal seperti ini pernah saya tulis dalam naskah buku saya "Wahyu untuk Rakyat" edisi kedua di bagian penutup. Saya tulis tanggal 12 Februari 2007. Karena "Wahyu untuk Rakyat" edisi kedua tidak banyak beredar maka saya posting selengkapnya di blog ini. Berikut ini kutipan selengkapnya.

Salah satu ciri perekonomian konvensional (neo klasik atau keynesian-pen) yang harus diwaspadai oleh para pemangku kepentingan publik adalah harga komoditas atau instrumen investasi yang bisa melambung tinggi di atas nilai fundamentalnya. Properti mengalami bubble price kemudian jatuh menjadi krisis ekonomi. Demikian juga dengan saham dan mata uang suatu negara. Itu semua terjadi karena investasi besar-besaran dan terus menerus yang tidak diimbangi dengan pengeluaran laba dari sistem ekonomi dalam jumlah yang memadai. Ketika minyak mentah dijadikan instrumen investasi atau spekulasi, nasibnya sama dengan saham atau properti. Ketika harga minyak mentah melambung tinggi maka hal ini akan memberikan dampak bagi hajat hidup orang banyak, yakni menyengsarakan konsumen yang notabene adalah rakyat kebanyakan.

Dalam kondisi seperti itu seharusnya keseimbangan yang ditawarkan oleh teori biososioekonomi mendapat tempat yang semestinya sehingga bisa menyejahterakan semua orang tanpa gejolak harga minyak, properti, valas, ataupun siklus bisnis yang bergelombang tajam sehingga pernah menimbulkan depresi besar seperti terjadi di AS tahun 1930-an. Meskipun pemerintah dan Bank Indonesia mempunyai peran strategis untuk menyejahterakan rakyat, namun beban itu tidak bisa sepenuhnya ditimpakan kepada pemerintah siapapun presidennya Kita akan selalu mengalami kesulitan dalam menyejahterakan rakyat manakala hukum biososioekonomi diabaikan. Sebaliknya dari pihak pemerintah_apalagi kalau pernah berjanji menyejahterakan rakyat_perlu lebih peduli dengan mereka yang lapar dan miskin dengan bekerja sama dengan society.

Teori ekonomi konvensional tidak bisa menyelesaikan semua persoalan secara serentak. Pada saat inflasi teratasi, sektor riil terpuruk, kemiskinan dan pengangguran merajalela. Pada saat perekonomian dikatakan membaik, lingkungan hidup hancur bencana datang silih berganti. Dengan diterapkannya biososioekonomi pemasukan bagi pemerintah-masyarakat juga meningkat, yang pada gilirannya akan meningkatkan asetnya. Kesejahteraan dan kelestarian lingkungan hidup bisa berjalan bersamaan. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi dengan perekonomian konvensional.

Prof. Dr. Mubyarto (alm) mengatakan bahwa Ekonomi Pancasila memang tidak mudah diterapkan. Demikian juga saya mengakui bahwa biososioekonomi memang tidak mudah diterapkan. Dari perkenalannya dengan beliau, saya mendapatkan berbagai buku tentang ekonomi antara lain Gagasan Besar Ekonomi dan Kemajuan Kemanusiaan: Antara Ilmuwan dan Seniman Ekonomi. Dari buku itu saya mengetahui perjuangan para pemikir ekonomi memang sangat berat bahkan dicemooh dan diremehkan. Dengan memberi buku itu seolah-olah beliau mengatakan kepada saya: "Perjuangan Anda akan berat, tetapi jangan berkecil hati. " Buku itu memberi manfaat bagi saya.

Saya tidak gentar untuk menghadapi rintangan, terlebih-lebih ketika bekal spiritual telah saya peroleh dengan memadai, terutama sejak 4 Juli 2002 ketika saya akhirnya mengenal diri saya secara penah seperti yang saya ceritakan pada bagian depan buku ini. Benar bahwa sebagai sebuah teori ilmiah, biososioekonomi terbuka terhadap kritik, koreksi, maupun perbaikan. Bekal spiritual hanya digunakan bila biososioekonomi dihambat dipublikasikan atau dihambat diaplikasikan. Bekal spiritual tidak digunakan untuk mengintimidasi pihak pengkritik.

Bekal spiritual itu bisa menghindari tindak kekerasan dan anarki. Revolusi sosial ala komunis, revolusi Perancis, atau perampasan ala Robin Hood harus dikubur dalam-dalam karena tidak relevan lagi. Gusti ora sare, Tuhan tidak tidur. Dia tetap peduli kepada mereka yang lapar, miskin, dan tertindas. Oleh karena itu seperti ditulis oleh Kusumo Lelono dalam bukunya Satrio Piningit (hlm 40-41) rakyat harus tetap sabar menunggu anugerah kasih sayang Tuhan yang sebenarnya.

Aplikasi biososioekonomi itu memang tidak menggunakan hukum positif negara untuk melarang pewarisan kekayaan, tetapi dengan empat cara seperti yang telah saya kemukakan dalam buku ini yaitu: 1)kesadaran masing-masing individu 2)tekanan institusi agama pada umatnya masing-masing 3)norma atau etika sosial 4)kontrol oleh masyarakat konsumen. Itulah cara-cara nonviolence agar biososioekonomi bisa siterapkan. Dengan cara-cara itu semua orang apapun latar belakang kebangsaan, agama, atau budayanya bisa ikut berpartisipasi menyejahterakan rakyat melalui biososioekonomi tanpa takut dituduh genit. Bahkan orang yang cenderung ateis pun bisa berpartisipasi. Namun apabila belum banyak pihak yang bergabung menyejahterakan rakyat melalui biososioekonomi saya tetap tidak berkecil hati.

Sebelum tulisan ini saya tutup ijinkanlah saya membagikan pengalaman saya dalam memperjuangkan biososioekonomi, dimana saya merasakan dukungan Tuhan yang nyata dalam perjuangan saya. Pada tanggal 21 November 2003 setelah lelah memperjuangkan publikasi biososioekonomi, saya menulis suatu surat keprihatinan. Dalam surat itu saya katakan bahwa apabila keempat cara-cara nonviolence di atas gagal maka kemungkinan besar Tuhan marah dan menjatuhkan tulah-Nya ke bumi secara kasat mata.

Ada beberapa kelompok kategori orang yang akan terkena tulah Tuhan. Sebelumnya saya mohon maaf, kategori ini terpaksa saya sebut dalam sharing ini bukan untuk meresahkan publik, tetapi dengan maksud agar mereka berubah tidak melakukan hal-hal yang membuat Tuhan marah. Kategori itu adalah 1) mereka yang menerima atau mewariskan kekayaan berjumlah besar 2)pemimpin agama dari agama manapun yang tidak mencegah pewarisan kekayaan berjumlah besar 3) mereka yang menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan pemerintahan Tuhan 4)media massa yang mengabaikan biososioekonomi 5)mereka yang mengkorupsi kekayaan daur ulang (pejelasan: mengenai kategori 5 ini sudah saya perjelas dan saya perbarui serta dapat dilihat dalam postingan "Peringatan dan Pesan untuk Orang Jawa..." di blog ini). Satu bulan 5 hari setelah saya menulis surat keprihatinan yang saya kirim ke suatu media komunitas itu, pada tanggal 26 Desember 2003 gempa besar terjadi di Iran dengan korban meninggal lebih dari 30.000 orang. Persis satu tahun kemudian tsunami menimpa Asia, beberapa korban di antaranya adalah puluhan wartawan media cetak.

Sesaat setelah tsunami Aceh ada yang meramalkan bahwa Yogya akan terkena bencana. Namun saya tidak mempercayainya karena menurut saya belum ada alasan Yogya terkena "pukulan." Baru setelah situs PUSTEP-UGM yang memuat tulisan saya default, saya memberi peringatan pada dua orang adik saya
Dan seorang teman asal Yogyakarta. Pada tanggal 14 Maret 2006 saya mengirim sebuah artikel ke salah satu media di Yogyakarta. Dalam bagian terakhir artikel saya itu saya mengatakan:

"Inilah catatan kecil atas GSB (Gerakan Sosial Baru) dan GSC (Global Civil Society). Dunia lain yang lebih baik memang sangat mungkin. Tetapi rasa-rasanya tidak mungkin tanpa daur ulang kekayaan dan paradigma baru demokrasi ekonomi. Demokrasi politik saja tidak cukup. Lihatlah Indonesia dan Filipina yang demokrasi politiknya berjalan (paling tidak demokrasi politik prosedural) tetapi rakyatnya sengsara. Memberhentikan presiden sebelum akhir masa jabatannya tidak akan mengubah nasib rakyat secara nyata. Bagi rakyat yang dibutuhkan adalah daur ulang kekayaan. Kasus rakyat Indonesia dan Filipina yang sengsara adalah batu ujian bagi GSB dan GCS. Apakah pelaku GSB dan GCS mau terbuka dan mau mengakomodasi daur ulang kekayaan individu dan bioekonomi yang notabene adalah ilmu ekonomi masyarakat atau tetap pada habitus lama yang sekedar memberi remah-remah kepada rakyat Indonesia dan Filipina? Remah-remah itu bernama derma atau pajak yang paling-paling besarnya hanya 20%. Itupun masih dipotong untuk membayar utang negara."

Kata "batu ujian" sengaja saya tulis dengan kesadaran agar menjadi peringatan kepada semua pihak supaya tidak main-main dengan biososioekonomi. Orang-orang bijak ribuan tahun yang lalu telah memperingatkan bahwa batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru, hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib di mata kita. Siapa yang tertimpa akan hancur dan yang tersandung akan jatuh. Dan saya yakin dewan redaksi yang sedang menghakimi tulisan saya itu mengenal peringatan itu dengan baik.

Pada tanggal 2 Oktober 2006 saya membuat surat keprihatinan lagi, kali ini saya sebarkan kepada wartawan dari berbagai media termasuk majalah berbahasa Jawa. Dalam surat keprihatinan dan peringatan kedua ini saya mengingatkan sekali lagi apabila teori biososioekonomi dianiyaya_publikasi atau aplikasinya dihambat_Tuhan akan marah. Mereka yang memperoleh warisan atau mewariskan kekayaan berjumlah besar akan terkena kemarahan Tuhan yang dijatuhkan ke bumi sehingga terlihat mata.

Dalam surat keprihatinan itu pula saya sebutkan tempat-tempat yang kemungkinan akan terjadi sesuatu antara lain Taipei. Setelah surat keprihatinan itu saya sebarkan, beberapa kejadian memang menjadi kenyataan, antara lain yang patut dicatat adalah gempa Taiwan 26 Desember 2006. Gempa itu memang tidak menelan korban sedahsyat tsunami 26 Desember 2004, tetapi membuat jaringan internet terganggu.

Dari pengalaman dan tanda-tanda itulah saya yakin bahwa Tuhan akan marah. Hanya saja hari H yang dahsyat yang akan menjadi titik balik menuju jaman baru yaitu jaman keemasan tidak akan terduga sebelumnya. Menurut hemat saya hari H yang dahsyat itu tidak terlalu selektif sehingga mereka yang tidak pantas dihukum pun mungkin akan kecipratan getahnya. Bagi kita yang tidak melakukan kelima hal yang membuat Tuhan marah seperti saya tulis di atas, tetap juga perli berjaga-jaga. Suatu harapan dan doa yang telah ditulis ribuan tahun yang lalu bisa dijadikan pegangan untuk didaraskan: "Ya Tuhan, berilah kiranya keselamatan! Ya Tuhan, berilah kiranya kemujuran!"

Benar tidaknya apa yang saya katakan ini waktu yang akan membuktikannya dan itu akan terlihat di bumi. Kita sedang berbicara jaman keemasan di bumi yang tampak oleh mata, bukan berbicara mengenai akhirat yang tak tampak oleh mata sebelum kita sendiri mati. Kalau masih ada yang ingin membuang teori biososioekonomi, silakan saja. Kita lihat siapa yang akan hancur.

Jakarta 12 Februari 2007

Demikian tulisan saya pada bagian penutup naskah buku "Wahyu untuk Rakyat." Saya merumuskan teori ekonomi makro biososioekonomi dengan tujuan agar diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat sehingga tercapai masyarakat yang adil dan sejahtera. Kalau saya mepublikasikannya juga dengan maksud itu, bukan dengan maksud agar TUHAN menjatuhkan hukuman ke bumi. Kalau cara-cara damai di atas gagal, semuanya saya serahkan kepada TUHAN apa yang akan terjadi. Sementara saya tetap pada komitmen saya untuk menjalani dharma ksatria seperti saya tulis di bagian pengantar postingan ini. Apakah Anda akan membuang biososioekonomi juga?

Kamis, 10 September 2009

Gempur Soeharto

Bagi orang yang tidak mengerti bahasa Indonesia dan tidak memahami budaya Jawa bagaimana orang Jawa memberi nama pada anaknya, akan menyangka bahwa seseorang yang bernama Gempur Soeharto adalah anaknya Soeharto. Sementara bagi orang yang mengerti bahasa Indonesia tetapi tidak memahami budaya Jawa akan merasa aneh dengan nama Gempur Soeharto. Tetapi bagi orang yang mengerti bahasa Indonesia dan memahami budaya Jawa tidak merasa aneh dengan nama itu, meskipun nama itu terasa keras. Nama Gempur Soeharto sudah sesuai dengan kaidah pemberian nama anak bagi orang Jawa.

Gempur Soeharto adalah nama yang diberikan aktivis mahsiswa Heri Akhmadi kepada anaknya sebagai protes terhdap Presiden Soeharto waktu itu. Dalam budaya Jawa tidak ada tradisi menempelkan nama orang tua di belakang nama anaknya sebagai nama keluarga. Jadi seseorang yang bernama Gempur Soeharto sudah pasti bukan anaknya Soeharto.

Nama yang diberikan orang tua Jawa kepada anaknya biasa disebut nama kecil. Setelah seseorang menjadi dewasa bisa saja memakai nama tua atau nama sepuh sesuai dengan pencapaian intelektual atau spiritual termasuk perkawinan. Tetapi saat ini jarang orang Jawa yang memakai nama tua.

Memang tidak semua orang Jawa memahami budaya atau tradisi pemberian nama ini. Ada orang yang namanya Soemarwoto, oleh teman-temannya sering ditegur (dan diledek): orang kok hanya punya nama keluarga. Maka ia menambahkan nama Otto sehingga menjadi Otto Soemarwoto, padahal nama Soemarwoto adalah nama kecil bukan nama keluarga. Orang Jawa tidak mempunyai tradisi menempelkan nama keluarga.

Nama anak (orang) dalam tradisi dan budaya Jawa bisa berarti doa atau permohonan atau tetenger (tanda) suatu peristiwa bersejarah. Guru bahasa Indonesia SMA saya bernama Lindhu Supardjo, mungkin karena waktu lahir pas ada lindhu (gempa). Suatu nama memang sebaiknya harus "bunyi" atau ada artinya. Adik saya meskipun memakai nama Dwi tidak berarti anak nomor dua. Kata dwi (dalam Dwi Puji Astuti Rahayu) dipakai untuk menunjukkan adanya dua permohonan keselamatan bagi adik saya yang lahir itu dan bagi kakaknya yang sedang di-opname di rumah sakit.

Kalaupun orang Jawa mau menempelkan namanya di belakang nama anaknya biasanya harus ditata sedemikian rupa sehingga halus tidak kaku. Contoh orang Jawa yang menempelkan namanya di belakang nama anaknya adalah Presiden Soekarno. Nama itu ditata sehingga terdengar luwes kalau diucapkan seperti Guruh Soekrnoputra atau Dyah Permata Megawati Soekarnoputri. Kalau dalam pewayangan misalnya Arimbiatmaja (putera Arimbi) atau Bayusuta (putera Bayu).

Di kalangan keraton pun seperti itu tidak ada kebiasaan menempelkan nama seseorang pada nama anaknya. Sultan HB X, misalnya, nama kecilnya adalah Herdjuno Darpito, dimana Darpito bukan nama keluarga.

Saya tidak tahu persis mengapa orang Jawa tidak memiliki tradisi menempelkan namanya di belakang nama anak sebagai nama keluarga. Mungkin orang Jawa memiliki pandangan bahwa seorang anak adalah pribadi unik yang akan menajalani ruang dan waktu kehidupan dan kelak diharapkan menjadi orang yang berarti (berguna), dewasa, dan mandiri. Kalau demikian halnya hal ini adalah suatu kearifan yang luar biasa agar setiap anak bisa tumbuh dewasa, berarti (berguna) dan mandiri tidak tergantung kekayaan atau nama besar orang tuanya. Mungkin karena budaya dan kearifan seperti itulah mengapa teori ekonomi makro biososioekonomi ditemukan atau dirumuskan orang Jawa.

Minggu, 06 September 2009

Berbagi dalam Peradaban Jawa

Nisbah pajak dan kedermawanan kita saat ini sangat rendah. Nisbah pajak kita hanya sekitar 13%. Sementara nisbah kedermawanan kita memang belum pernah dihitung, tetapi menurut perkiraan saya tidak sampai 10%. Itu semua adalah persentase dari PDB (produk domestik bruto) suatu ukuran yang menggambarkan total pendapatan individual tahunan. Kalau dasar perhitungannya adalah persentase dari total aset individu dalam suatu populasi maka mungkin persentasenya akan lebih kecil lagi. Dalam kondisi seperti itu maka masuk akal kalau kesengsaraan rakyat berlanjut. Apalagi sebagian pajak dipakai untuk membayar hutang.

Teori ekonomi neolib sering menyesatkan publik dengan angka-angka yang kelihatannya besar tetapi tidak relevan dengan kesejahteraan rakyat. Bagi yang memahami atau menguasai matematika, statistik, dan akutansi seharusnya tidak terkecoh atau dibodohi kaum neolib yang pro pemilik modal.

Kesejahteraan publik bisa tercapai dimulai dengan berbagi bukan dimulai dengan investasi, demikian menurut pandangan biososioekonomi. Mengapa? Pertama, akibat nisbah pajak dan kedermawanan yang rendah yang telah berlangsung berpuluh-puluh tahun atau bahkan ratusan tahun maka terjadi kesenjangan yang parah. Kedua, kekayaan yang tidak didermakan atau dibayarkan sebagai pajak akan membebani sistem perekonomian karena sistem harus membayar laba dan bunga untuk aset individu seperti itu, dimana salah satu akibatnya adalah untuk membeli rumah yng adalah kebutuhan pokok rakyat kebanyakan rakyat harus meminjam uang dari pemilik modal melalui bank sebesar 80% dari kebutuhan dana pembelian rumah. Kesejahteraan publik tanpa berbagi kekayaan pribadi adalah omong kosong.

Dalam sejarah peradaban Jawa kuno pun, masyarakat Jawa pada waktu itu memahami pentingnya berbagi. Berikut ini saya kutipkan tulisan arkeolog UI Supratikno Rahardjo dalam bukunya "Peradaban Jawa."
"Data prasasti dari masa Jawa Tengah mengindikasikan bahwa sumber awal pengakuan masyarakat terhadap seorang pemimpin adalah prestasi pribadinya dalam salah satu atau kombinasi dari tiga kemungkinan ini: kemampuannya dalam membagi kekayaan dan meningkatkan kesejahteraan; prestasi di bidang kemiliteran; atau prestasi di bidang keagamaan." (hlm 83).

Kemudian di halaman 84 ditulis:

"Gagasan-gagasan Sanna untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya tercermin dalam sumber-sumber prasasti yang berkaitan dengan pemberian anugerah sima (perdikan-pen). Pemberian anugerah sima oleh raja seringkali diikuti oleh pembukaan tanah lama yang kurang produktif (ladang, pekarangan, kebun) menjadi lahan baru yang lebih produktif, yakni sawah. Pranata sima sebagai sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan tampak sangat dominan pada masa itu. Dalam daftar prasasti tentang sima yang berasal dari masa Jawa Kuno, periode Jawa Tengah mengeluarkan 104 buah. Jumlah ini jauh melebihi periode-periode sesudahnya. Masa Tamwlang-Kahuripan hanya 26 prasasti; Masa Janggala-Kadiri lebih sedikt lagi, yakni 22; sedangkan masa Singhasari dan Majapahit secara bersama-sama hanya menghasilkan sembilan buah (Suhadi 1993:365-78). Kecenderungan untuk memperluas tanah sawah pada periode ini terutama tampak pada akhir abad ke-9, khususnya pada masa pemerintahan Kayuwangi."

"Di tingkat desa kualitas kepemimpinan tampaknya juga dinilai dari segi kemampuannya dalam membagi kekayaan. Hal ini tercermin dalam sumber-sumber prasasti, terutama yang memuat upacara penetapan suatu daerah menjadi sima. Pada bagian awal dari rangkaian upacara ini digambarkan bagaimana pemimpin desa, yang mendapat anugerah sima dari raja, membagi-bagikan kekayaannya kepada anggota masyarakat yang berasal dari berbagai lapisan sosial"

Kedermawanan dan kegotongroyongan agaknya sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Jawa Kuno. Dan menurut hemat saya persentase kekayaan yang dibagi-bagikan tidak dibatasi hanya 10%. Hal ini saya simpulkan dari kutipan berikut:"Dalam kajiannya tentang sima berdasarkan prasasti-prasasti Jawa Kuno yang dikeluarkan pada abad ke-9 hingga abad ke-10 (termasuk periode awal masa Jawa Timur), Darmosutopo (1997:181-2) menegaskan bahwa biaya upacara penetapan sima terhitung besar bila dibandingkan dengan pendapatan sima setiap tahunnya" (Supratikno Rahardjo, 2002 hlm 85).

Memang saat ini dibutuhkan suara vokal untuk meningkatkan kedermawanan anggota masyarakat. Kalau pada masa Rakai Kayuwangi (memerintah 855-885M) kekayaan yang dibagi berasal dari kerajaan, kini kekayaan itu berada di kantong pribadi anggota masyarakat (pengusaha). Diperlukan nyali besar untuk meredistribusikan kekayaan pribadi yang melebihi apa yang dilakukan Rakai Kayuwangi.

Kamis, 03 September 2009

Gempa, Facebook, dan Doa Raja Daud

Pengalaman gempa bumi 02/09/2009 termasuk pengalaman yang agak menegangkan bagi saya. Saat itu saya berada di kantor di lantai tiga sendirian, saat yang lain berada di lantai dua dan satu. Saya sedang terlibat negosiasi serius melalui fasilitas paging dengan rekan di lantai dua. Di tengah pembicaraan itu terucap dari mulut saya: "hish...hish..hish..." Dalam pikiran saya ini gempa, sementara rekan saya belum sadar. Pembicaraan berlanjut beberapa detik lagi sampai selesai. Setelah itu saya turun sambil berdoa:"Ya TUHAN, berilah kiranya keselamtan! Ya TUHAN, berilah kiranya kemujuran!"

Hari itu tanggal 02/09/2009 ada sesuatu yang penting yang perlu saya tulis di status facebook-ku di pagi hari. Hujan yang terjadi di pagi itu menginspirasi untuk menulis sesuatu yang penting itu. Hal itu merupakan kelanjutan dari apa yang saya tulis di status facebook-ku pagi hari sebelumnya. Inilah yang tertulis di statusku sebelumnya (01/09/2009): "Mencorong tetapi tidak sombong, menyisakan ruang dan waktu bagi yang lain untuk tampil, tidak pernah memonopoli angkasa raya. Tahu diri kapan life cycle-nya. Ada saatnya tenggelam ada saatnya TERBIT!! (filsafat matahari). Selamat pagi teman2, selamat BERAKTIVITAS & BERPROSES semoga TUHAN memberkati :)"

Maka sehari kemudian, pada pagi hari, saya tulis dua status berurutan supaya keduanya mudah dibandingkan dan dibaca lengkap.

Inilah yang saya tulis tanggal 02/09/2009:
"Malam dan hujan adalah bagian dari siklus kehidupan. Merpati tak pernah ingkar janji, mentari tidak pernah memonopoli. Selamat pagi teman2, selamat beraktivitas dan berproses. GBU all"

Beberapa detik sebelumnya saya tulis distatusku:
"Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka (Sabda Tuhan)
Jaman keemasan diawali dg munculnya matahari kembar (ramalan Jawa)
'Ya TUHAN berilah kiranya keselamatan!Ya TUHAN berilah kiranya kemujuran!' (Doa Raja Daud doa kita)"

Demikian saya tulis di statusku. Mengenai doa Raja Daud itu pernah saya tulis di blog ini pada postingan yang berjudul "Peringatan dan Pesan untuk Orang Jawa..." Doa itu saya tambahkn dalam doa harian saya dan saat-saat menegangkan seperti gempa bumi 2 September itu.

Setelah menulis ucapan syukur atas lindungan TUHAN di dalam facebook, saya melihat di facebook ada orang yang anti Pancasila menentang komentar saya yang pro Pancasila. Komentar anti Pancasila itu diposting jam 1:24 pm tanggal 02/09/2009, sekitar satu jam sebelum gempa . Belakangan memang orang itu minta maaf.

Hari itu tanggal 2 September 2009 aneka perasaan dan pengalaman saya temui. Melalui postingan ini saya mengucapkan: "Turut berduka cita atas bencana alam gempa bumi Tasikmalya 02/09/2009, semoga yang meninggal beristirahat dalam damai TUHAN, yang ditinggalkan diberi kekuatan dan ketabahan, yang terluka segera disembuhkan dan dipulihkan. TUHAN memberkati tangan-tangan yang menolong korban, Amin"

Selain meningkatkan kemampuan ilmiah mendeteksi bencana yang merupakan wewenang BMKG, kita masing-masing orang mungkin perlu meningkatkan kepekaan spriritual. Kepekaan spiritual mungkin subyektif tetapi kalau untuk dipakai pedoman bagi diri sendiri hal itu tidak salah. Apa yang dirasakan oleh kepekaan spiritual sering sulit dirumuskan dengan kata-kata secara tepat. Merasa tetapi sulit mengatakannya.