Selasa, 29 Maret 2011

"Membaca" Mahabharata

Pertunjukan wayang orang yang dipergelarkan Wayang Orang Barata dengan lakon Gugurnya Jayajatra dan Burisrawa 12/3 telah menarik Ninok Leksono untuk menuliskannya di rubrik Budaya harian Kompas 28 Maret 2011 di halaman 36 dengan judul "Gugurnya Jayajatra Burisrawa, Kresna Sosok Machiavellian?" Dalam alinea terakhir Ninok menulis: Bahwa cara yang ditempuh bisa menimbulkan kesan tidak etis secara ksatria, atau bahkan bernuansa machiavellian, boleh jadi hanya kesan. Satu hal yang jelas adalah apa yang ia lakukan diyakini Pandawa sebagai arahan atau nasihat dari sosok yang selain sakti juga mampu melihat masa depan."

Satu hal yang ingin saya sampaikan dalam postingan kali ini adalah bahwa Mahabharata itu tidak simpel oleh karena itu kita harus berhati-hati "membacanya." Ketidaksimpelan Mahabharata telah menghasilkan cerita-cerita pewayangan yang berbeda dari karya Mahabharata aslinya. Salah satu contoh yang perlu saya sebutkan adalah kehidupan Gandhari (Dewi Gendari), ibu Kurawa. Dalam Mahabharata versi aslinya Gandhari hidup sampai perang Bharatayudha selesai dan sempat menjatuhkan kutukan pada Kresna (Krishna). Kemudian kerajan Kresna dan wangsanya hancur karena perang atau pertikaian di dalam keluarga (wangsa) Kresna sendiri. Dalam salah satu cerita wayang Gandhari bersama suaminya tewas karena tertimpa tembok beteng yang roboh menjelang perang Bharatayudha.

Mungkin karena tidak simpel itu karya sastra Ramayana lebih dipopulerkan dibanding Mahabharata dalam perdaban Jawa di jaman Mataram Kuno seperti terlihat di relief candi Rara Jonggrang Prambanan. Wayang orang maupun wayang kulit yang mengambil cerita Ramayana relatif tidak mengalami perubahan dari cerita versi India. Mahabharata pertama kali diterjemahkan dalam bhasa Jawa Kuno baru pada jaman Raja Dharmawangsa Tguh yang memerintah di Jawa Timur antara 996-1016(?) Masehi. Popularitas Mahabharata boleh jadi berkaitan dengan situasi politik dalam peradaban Jawa Kuno. Pembagian kerajaan menjadi dua pada jaman Airlangga (memerintah antara 1021-1042) kemudian diikuti ketidaktaatan atas pembagian kerajaan itu menimbulkan perang saudara. "Pemerintahan Jayabhaya menghasilkan kitab Bharatayudha, yang mungkin merupakan kiasan atas kemenangan sang raja atas musuhnya yang juga saudaranya sendiri" (Supratikno Rahardjo, 2002, Peradaban Jawa hlm 67).

Ketidakhati-hatian dalam "membaca" Mahabbarata bisa menimbulkan persoalan. Kelicikan atau machiavellian pernah muncul dalam peradaban Jawa. Insiden Bubat yang melibatkan Mahapatih Gajahmada dan munculnya Ken Arok merupakan sisi gelap dalam sejarah peradaban Jawa. Mungkin tidak salah kalau dikatakan peradaban Sunda relatif tidak licik, sisi kelam sejarah seperti munculnya Ken Arok tidak terjadi dalam sejarah kerajaan Sunda. Mungkin hal itu terjadi karena Mahabrata tidak terlalu poluler atau tidak menjadi karya sastra utama dalam peradaban Sunda.

Memang dalam sejarah Mataram Kuno bukan berarti tidak ada petikaian. Pertikaian pernah terjadi antara faksi Balaputradewa dan Pramodhawardhani. Tetapi peperangan itu tidak sampai habis-habisan seperti Bharatayudha, mungkin juga tanpa kelicikan. Ramayana selain simpel juga mengajarkan banyak hal seperti kesetiaan, kerendahhatian, perjuangan, dan manajemen pembentukan team yang kuat yang terdiri dari berbagai karakter dan berbagai budaya (bangsa).

Bukan berarti Mahabharata sebagai karya sastra jelek. Mahabharata juga menampilkan suatu nilai kalau "dibaca" dengan hati-hati. Mahabharata memang tidak simpel. Untuk sementara tulisan saya kali ini cukup sampai di sini. Saya memang merencanakan untuk menulis bertemakan Mahabharata yang telah dibaca ulang. Mungkin lain waktu akan saya sampaikan.

Selasa, 22 Maret 2011

Salah Satu Perbedaan Antara Ratu Adil dan satrio piningit

Tulisan ini sebagaimana tulisan-tulisan lain di blog ini adalah pendapat pribadi saya, Anda boleh mempercayainya boleh pula tidak, meskipun demikian saya berusaha sebaik mungkin agar tulisan ini (dan tulisan-tulisan saya yang lain) dekat dengan kebenaran. Tulisan seperti ini perlu saya posting karena memang tugas saya sebagai hamba adalah memberi peringatan. Dan tanggal duapuluhan Maret adalah saat yang tepat.

Tidak sedikit orang yang tidak bisa membedakan antara Ratu Adil (King of Justice)dan satrio piningit. Satrio piningit tidak harus muncul sebagai Ratu Adil, namun demikian satrio piningit tidak menentang Ratu Adil. Kata-kata seorang nabi besar yang hidupnya penuh asketisme patut menjadi pedoman dan teladan. Nabi itu dengan tegas mengatakan bahwa dirinya bukan Ratu Adil (Mesias) tetapi bukan berarti nabi itu sedang menentang Mesias.

Perbedaan antara Ratu Adil dan satrio piningit itu seperti perbedaan antara mempelai lelaki dan mempelai perempuan. Meskipun mungkin keduanya mirip tetapi jelas menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Di dalam tradisi perkawinan orang Jawa hanya mempelai perempuan yang dipingit (disembunyikan), mempelai lelaki tidak dipingit. Seperti itulah perbedaan antara Ratu Adil dan satrio piningit.

Mungkin itulah sebabnya mengapa tiga orang Majus bisa menemukan Bayi Yesus di Betlehem 2.000 tahun lalu, sementara tak satu orang pun termasuk orang tuanya bisa menemukan bayi satrio piningit. Maksudnya tentu bukan karena bayi itu tidak bisa dilihat, tetapi tidak satu orang pun menyangka bahwa bayi itu adalah bayi satrio piningit. Dalam hal ini bayi satrio piningit tidak hanya dijauhkan dari pusat kerajaan tetapi juga disembunyikan dari para pelihat (cenayang).

Meskipun hanya di dalam film perintah untuk membunuh bayi laki-laki yang lahir tanggal 24 Maret atau 23 Maret malam, memang mengerikan. Kata-kata rohaniwan di dalam film The Omen tersebut benar, bahwa Yesus tidak datang sebagai bayi tetapi sebagai orang dewasa. Saya tidak tahu pasti mengapa film itu menetapkan tanggal 24 Maret. Mungkin berkaitan dengan Injil Lukas khususnya Luk 21:29-30 yang menulis: Lalu Yesus mengatakan perumpamaan ini kepada mereka: "Perhatikanlah pohon ara atau pohon apa saja. Apabila kamu melihat pohon-pohon itu sudah bertunas, kamu tahu dengan sendirinya bahwa musim panas sudah dekat." Tanggal 24 maret bagi bumi belahan utara di mana Injil ditulis adalah awal musim semi

Apa yang ditulis di dalam Injil Lukas memang sangat luar biasa dan sangat dekat dengan perjalanan hidup saya dan perjalanan hidup orang Jawa. Kira-kira awal musim semi itulah saya dilahirkan, memang tidak tanggal 23 atau 24 Maret seperti film The Omen. Di Indonesia banyak tempat yang namanya memakai kata mataram, di Sumatera paling tidak ada tiga tempat memakai nama mataram. Kalau Merbau Mataram (nama yang merupakan gabungan nama pohon dan nama kerajaan) dipilih sebagai tempat lahirnya satrio piningit mungkin karena Injil Lukas itu. Hanya Injil Lukas yang menyebut "pohon apa saja" Tentu saja semua itu terjadi di luar kuasa saya. Saya lahir bukan atas kuasa saya, dan ketika saya lahir tempat itu sudah disebut Merbau Mataram.

Selain dipingit atau disembunyikan dari para cenayang (pelihat), perbedaan antara satrio piningit dan Ratu Adil adalah bahwa satrio piningit maskipun nampak tetapi tidak memiliki kekuasaan, sementara Ratu Adil meskipun tidak nampak tetapi sangat berkuasa. Kata-kata-Nya sangat berwibawa. Oleh karena itu postingan ini tidak berhenti pada perbedaan antara Ratu Adil dan satrio piningit, tetapi yang paling utama adalah sabda-Nya dalam Injil Lukas itu terutama Luk 21:29-36 yaitu: Lalu Yesus mengatakan perumpamaan ini kepda mereka: "Perhatikanlah pohon ara atau pohon apa saja. Apabila kamu melihat pohon-pohon itu sudah bertunas, kamu tahu dengan sendirinya bahwa musim panas sudah dekat. Demikian juga, jika kamu melihat hal-hal itu terjadi, ketahuilah, bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya angkatan ini tidak akan berlalalu, sebelum semuanya terjadi Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu. Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi dan supaya hari Tuhan jangan dengan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu jerat. Sebab ia akan menimpa semua penduduk bumi ini. Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kamu tahan berdiri di hadapan Anak Manusia"

Menurut hemat saya peringatan itu bukan berkaitan dengan kiamat besar, tetapi dengan perubahan jaman di mana jaman keemasan yang adil, makmur, damai sejahtera di bawah kekuasaan Tuhan (Kingdom of JHWH) akan terwujud di bumi. Kalau benar tanda perubahan itu terjadi di musim semi, bukan berarti terwujudnya Kingdom of JHWH di bumi terjadi pada musim panas. Kita tidak sedang menantikan Ratu Adil karena Tuhan dan kuasa-Nya bisa datang kapan saja seperti pencuri. Kita sedang menanti pertobatan karena Tuhan memiliki kerahiman.

Selamat memasuki musim semi menjelang "musim panas." Marilah kita berjaga-jaga dan berdoa sebagaimana disabdakan Tuhan di dalam Injil Lukas tersebut di atas.

Selasa, 15 Maret 2011

Mengapa Himbauan untuk Berbagi Lebih Mengena daripada Larangan Berbisinis?

Sebenarnya sudah cukup lama saya ingin memposting tulisan seperti ini, namun saya perlu mencari momentum yang tepat. Saya rasa saat ini adalah saat yang tepat terutama setelah Keuskupan Agung Jakarta menjadikan "Mari Berbagi" sebagai tema retret agung Prapaskah 2011.

Berbeda dengan pertama kali ketika saya memperjuangkan biososioekonomi dan daur ulang kekekayaan di awal tahun 2000-an, saat ini himbauan untuk berbagi sudah mulai menggema. Suatu perkembangan yang cukup menggembirakan.

Postingan ini tidak mengambil sudut pandang keagamaan (kerohanian) tetapi sudut pandang matematika dan statistika mengapa himbauan untuk berbagi dalam mewujudkan kesejahteraan publik dan mengentaskan kemiskinan lebih mengena dari pada larangan berbisnis.

Di lingkungan keagamaan tertentu pada suatu masa memang ada pandangan miring terhadap profesi bisnis. Sebagian rohaniwan terlihat kurang ramah terhadap orang-orang yang berprofesi ini, bahkan ada rohaniwan yang tidak suka kalau ada orang yang mengajari rakyat kecil berdagang untuk menyelamatkan ekonomi rumah tangga mereka. Untunglah paling tidak ada satu kongregasi rohaniwan yang tetap ramah dengan orang-orang yang berprofesi bisnis dan tidak berniat melenyapkan profesi bisnis.

Bagi orang yang memahami matematika dan statisika akan mudah memahami mengapa himbauan untuk berbagi lebih mengena daripada larangan berbisnis. Larangan berbisnis sering hanya ditaati rakyat kecil penurut yang tidak hanya terbatas penghasilannya tetapi juga intelektualitasnya. Rakyat kecil sering takut berdosa karena kekayaannya meningkat 100% dibanding kekayaannya tahun lalu. Peningkatan kekayaan 100% memang dianggap sangat kapitalistik, tetapi jangan salah meskipun secara persentase kekayaannya meningkat drastis, secara nominal paling-paling hanya meningkat Rp 5.000.000,- sehingga total kekayaannya menjadi sepuluh juta rupiah. Peningkatan kekayaan sebasar itu tidak cukup untuk membeli rumah.

Di lain pihak kalaupun toh himbauan larangan berbisnis ditaati orang kaya (biasanya tidak ditaati) sehingga kekayaannya hanya meningkat 7% misalnya janganlah gembira dulu dan memuja orang kaya itu sebagai orang baik dalam arti bukan kapitalis karena peningkatan kekayaan yang cuma sebesar 7% itu secara nominal bisa berarti 7 milyar rupiah kalau aset awalnya Rp 100 Milyar. Dan uang sebesar 7 milyar rupiah itu bisa dipakai membeli sepuluh rumah seharga 700 juta rupiah atau seratus rumah seharga 70 juta rupiah.

Bahkan baru-baru ini ketahuan ada seorang penguasa yang lama menjabat yang dituntut mundur rakyatnya, kekayaannya mencapai lebih dari Rp 600 triliun. Kalau kekayaannya bertambah 1% saja setelah diputar dalam berbagai instrumen investasi berarti secara nominal kekayaannya bertambah Rp 6 triliun, suatu jumlah yang bukan sedikit tentunya.

Larangan berbisnis dalam kondisi seperti itu hanya akan membuat yang kaya semakin kaya atau paling tidak, tetap kaya sementara yang miskin tetap miskin, tidak bisa membeli rumah, tidak bisa makan tiga kali sehari dengan gizi yang memadai.

Berbeda dengan larangan berbisnis, himbauan berbagi akan meningkatkan income publik yang akan berpengaruh langsung dengan kesejahteraan publik dan pengentasan kemiskinan. Tentu saja yang dimaksud berbagi di sini tidak sebatas 3% atau 10% dari kekayaaan (apalagi kalau persentasenya didasarkan pendapatan, yang tentu nominalnya akan lebih kecil lagi). Batasan berbagi adalah sepanjang sisa harta yang tidak dibagikan cukup untuk hidup normal, hidup yang layak. Artinya bagi rakyat kecil membagikan penghasilannya sebesar 1% pun mungkin akan terasa berat sementara bagi orang kaya membagikan 99,9% hartanya tidak akan membuatnya mati kelaparan.

Tentu saja kalau persentase kekayaan yang dibagi itu begitu besar mendekati 100% kekayaan sesorang akan berdampak besar pula pada ekonomi dan moneter sehingga perlu bantuan ilmu pengetahuan untuk mengelolanya. Di sinilah diperlukan teori biososioekonomi beserta ilmu pendukungnya seperti akuntansi dan aktuaria. Paling tidak perlu diketahui oleh semua pihak bahwa kekayaan besar dari derma atau daur ulang itu tidak boleh dibagi-bagikan atau didistribusikan dalam sekejap atau decomposition time-nya nol menurut istilah biososioekonomi, karena kalau dibagi-bagikan dalam sekejap akan membuat aset publik merosot drastis menjadi nol rupiah. Percuma berbagi kalau tidak menghasilkan aset publik. Tujuan berbagi tidak hanya pemarataan tetapi membuat aset publik sama dengan liabilitasnya (dengan catatan pertumbuhan penduduk nol persen).

Dengan mempertahankan aset publik sama dengan liabilitasnya (untuk pertumbuhan penduduk nol persen) maka kondisi seperti ini akan nyaman buat rakyat kecil karena kondisi seperti ini menjamin sistem ekonomi mampu membayar kewajibannya yaitu: gaji, bunga, laba dan jaminan sosial yang meliputi pendidikan, kesehatan dan food stamps atau ketahanan pangan.

Pengangguran adalah indikasi bahwa sistem ekonomi yang sedang berjalan tidak mampu membayar gaji. Kemiskinan adalah indikasi bahwa sistem ekonomi yang sedang berjalan tidak mampu membayar laba sehingga banyak orang yang pendapatannya di bawah nilai KHL (kebutuhan hidup layak). Terkoreksinya bunga deposito menjadi nol atau minus bila dikoreksi dengan inflasi adalah indikasi bahwa sistem ekonomi yang sedang berjalan tidak mampu membayar bunga. Banyaknya anak usia sekolah putus sekolah dengan alasan ekonomi adalah indikasi bahwa sistem ekonomi yang sedang berjalan tidak mampu membayar jaminan sosial. Secara deduktif-logis (deduktif-matematis) itu semua terjadi karena liabilitas publik lebih tinggi dari asetnya seperti saat ini. Dengan berbagi harta kita bisa membuat aset publik seimbang dengan liabilitasnya.

Tentu saja himbauan larangan berbisnis masih relevan kalau itu ditujukan pada pejabat pemerintah atau pejabat publik agar tidak terjadi konflik kepentingan. Semoga penjelasan sederhana dari sudut pandang matematika, statistika, dan akutansi ini bisa dipahami.

Selasa, 08 Maret 2011

Mengoreksi Diri Sebelum Dikritik

Alangkah indahnya dunia kalau setiap orang selalu introspeksi diri dan mengoreksi diri sebelum dikritik. Hal seperti ini tidak hanya diharuskan bagi orang-orang yang menduduki jabatan penting tetapi semua orang. Bagi kita sendiri manfaat introspeksi diri adalah bahwa kita selangkah lebih maju dari orang lain, sebelum orang lain mengkritik kita, kita sudah memperbaiki kekeliruan kita sendiri sehingga kita tidak banyak menanggung malu.

Dengan banyak belajar dan menambah pengetahuan, kita terbantu untuk melihat diri kita sendiri. Internet dan Windows bagi saya adalah hal yang relatif baru karena saat saya menulis skripsi di tahun 1990 saya masih menggunakan program Wordstar. Ketika saya harus menuangkan gagasan saya dalam bentuk tulisan atau buku, saya menyempatkan diri untuk belajar menulis dengan Windows. Bahkan ketika tahun 2004 buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia saya tidak memiliki alamat email meskipun sudah bisa mengetik dengan Windows. Ketika tahun 2005 Prof. Dr Sri-Edi Swasono meminta alamat email saya, alangkah malunya saya karena saya belum memiliki email. Dari kejadian itu saya mulai banyak belajar lagi.

Memang sebaiknya kita selalu mengoreksi diri, introspeski diri dan memperbaiki diri sebelum dikritik orang lain. Tidak hanya dalam hal teknologi seperti yang saya contohkan di atas tetapi juga dalam banyak bidang kehidupan. Apalagi kalau kita menduduki jabatan penting yang banyak pengaruhnya bagi hajat hidup orang banyak, bagi ekonomi rakyat. Alangkah berdosanya kita kalau membiarkan rakyat terlantar dan mati kelaparan.

Mungkin hal itu tidak mudah, tetapi kita perlu berusaha. Berusaha untuk berhasil dan minimal lebih baik. Kalau proses koreksi diri dan pembelajaran diri ini berlangsung terus-menerus tanpa kita sadari kita telah berhasil.

Dari keheningan rumah doa terdengar sayup-sayup sebuah kidung yang membantu kita memperbaiki diri: "Hanya debulah aku di alas kaki-Mu Tuhan..."

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi kita untuk selalu memperbaiki diri terlebih menyambut jaman baru dan peradaban baru yang menuntut semua orang meninggalkan paradigma yang tidak pro rakyat.

Rabu, 02 Maret 2011

Permohonan Maaf


Setelah saya periksa ulang postingan saya berjudul "Indikasi Ketidakmampuan Membayar Laba dan Gaji" tertanggal 1 Maret 2011 ternyata ada tiga alinea bagian bawah yang terpotong saat pengiriman melalui email. Saat ini kesalahan tersebut sudah saya perbaiki, mohon maaf atas kekurangnyamanan ini. Terima kasih.

Indikasi Ketidakmampuan Membayar Laba dan Gaji


Suatu sistem yang dirancang dengan baik dengan bantuan matematika seharusnya bisa bekerja dengan baik karena telah diperhitungkan dengan matang kemampuannya untuk menanggung suatu beban tertentu. Sebuah jembatan atau jalan layang dirancang sedemikian rupa dengan suatu perhitungan memadai agar nantinya mampu menahan beban kendaraan yang melewatinya. Apabila suatu sistem tidak mampu menanggung beban, pasti ada yang salah dengan rancangannya.

Mungkin inilah yang terjadi dengan sistem ekonomi yang sedang berjalan. Adanya pengangguran mengindikasikan bahwa sistem tidak mampu membayar gaji. Memang, yang membayar gaji adalah institusi yang mempekerjakan pegawai yang bisa instansi pemerintah, perusahaan, atau yayasan. Akan tetapi secara makro dapat dikatakan bahwa adanya pengangguran mengindikasikan bahwa sistem ekonomi yang sedang berjalan tidak mampu membayar gaji.

Jatuhnya laba tidak hanya diramalkan Karl Marx, biososioekonomi juga memprediksinya dengan menggunakan model dan bantuan Hukum II Termodinamika yang biasa dipakai di dalam Ilmu Fisika. Agak berbeda dengan Marx yang ramalannya ditujukan pada perusahaan besar atau investasi besar, menurut biososioekonomi jatuhnya laba bisa juga menimpa sektor informal di mana pelaku usahanya adalah individu-individu yang kebanyakan rakyat kecil. Meluasnya pengangguran membuat banyak orang menerjuni sektor informal atau bahkan suatu pekerjaan yang termasuk kategori sub sisten. Ini berarti meningkatnya investasi di sektor itu. Meningkatnya investasi seperti itu bisa membuat laba jatuh.

Banyaknya orang yang pendapatannya di bawah nilai KHL (kebutuhan hidup layak) mengindikasikan bahwa sistem ekonomi yang sedang berjalan tidak mampu membayar laba. Secara makro memang yang membayar laba adalah sistem meskipun secara mikro bisa dikatakan yang membayar laba adalah konsumen. Seorang pegawai bisa dianggap usahawan yang memperoleh laba kalau gajinya di atas KHL.

Sistem biososioekonomi dirancang sedemikian rupa agar mampu menanggung beban atau kewajibannya yang berupa laba, gaji, bunga, dan jaminan sosial (pendidikan, kesehatan, dan food stamps atau ketahanan pangan). Kemampuan ini diperoleh dengan membuat aset publik (makro) sama dengan liabilitasnya. Biosoosioekonomi tidak menuntut penghapusan hak milik pribadi tetapi menuntut agar jumlah aset pribadi (yang secara makro disebut liabilitas) sama dengan aset makro (publik). Dengan kondisi seperti itu sistem ekonomi secara makro akan sanggup membayar kewajibannya dengan catatan pertumbuhan penduduk nol persen.

Pesan sederhana yang ingin disampaikan dalam postingan ini adalah bahwa kalau pendekatan deduktif-matetamik bisa mencegah jatuhnya korban krisis ekonomi (krisis kemampuan sistem membayar kewajibannya) kenapa pendekatan deduktif-matematik tidak diterima? Apakah harus menunggu data empiris jatuhnya korban krisis ekonomi? Pendekatan induktif-empiris akan memakan korban.