Kamis, 01 Januari 2015

Perekonomian 2015. Ketidakseimbangan Global, Negara, dan Beban Rakyat

Oleh : Hani Putranto

Artikel ini pertama kali diposting tanggal 31 Desember 2014. Namun karena kekeliruan teknis, link yang saya sertakan tidak bisa dibuka. Kemudian saya posting ulang tanggal 1 Januari 2015 dengan link yang bisa langsung di-klik supaya lebih nyaman. 


Tahun 2014 akan segera berlalu, tahun 2015 segera datang. Dengan presiden dan kabinet baru yang sudah bekerja kita segera memasuki tahun baru 2015. Pemerintahan baru mewarisi segudang permasalahan dari pemerintah lama yang tidak serius bekerja untuk publik dan rakyat. Beberapa kebijakan dan tindakan telah dilakukan pemerintahan baru seperti menenggelamkan kapal penangkap ikan asing, mengevaluasi Petral, dan menaikkan harga BBM.

Sebagaimana semua artikel saya yang mengambil sudut pandang kepentingan publik dan rakyat demikian juga artikel ini. Sudut pandang artikel ini bukan kepentingan investor dan privat.

Ketidakseimbangan Global

Ketika pemerintahan baru mulai bekerja, masih tampak bahwa paradigma berpikir bagi kebijakan ekonomi yang digunakan masih sangat konvensional yang mengutamakan investasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 7% ke atas, suatu tingkat pertumbuhan yang dijanjikan dalam kampanye pilpres. Sementara itu kondisi perekonomian global masih tidak bisa dikatakan baik.

Persoalan fundamental ekonomi makro global itu adalah ketidakseimbangan yaitu ketidakseimbangan aset publik dan privat (aset privat adalah liabilitas bagi publik). yang tidak terlalu disadari oleh para pejabat publik yang kemudian diatasi dengan cara konvensional seperti mencetak uang, mengucurkan stimulus yang dibiayai dengan hutang atau dibiayai dengan mencetak uang, mengurangi jaminan sosial seperti yang terjadi di Eropa dll. Tindakan itu sekedar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di mana pertumbuhan ekonomi dijadikan ukuran perbaikan makro ekonomi oleh paradigma ekonomi konvensional (neoliberalistik).
Sementara perbaikan yang mendasar yaitu meningkatkan income dan aset publik sekaligus mengurangi liabilitas publik dan meningkatkan jaminan sosial terutama beasiswa belum dilakukan secara serius. Secara akuntansi dan matematis dapat dikatakan bahwa tanpa adanya peningkatan income publik (seperti peningkatan tax ratio dari pajak progresif) pertumbuhan ekonomi hanya akan meningkatkan liabilitas publik atau meningkatkan aset privat yang berarti meningkatkan ketidakseimbangan.

Memang AS sudah menghentikan stimulus, mulai menarik pajak dari orang kaya dan ekonominya sudah tumbuh akan tetapi ketidakseimbangan belum hilang sama sekali, selain itu apabila nanti The Fed menaikkan bunga acuan akan timbul permasalahan baru baik bagi AS apalagi bagi perekonomian global. Sementara itu perlu diketahui bahwa perbankan konvensional tidak bisa dikatakan efisien manakala masih membayar bunga bagi DPK yang termasuk kategori triple six (dana besar dari warisan). Seharusnya aset pribadi besar itu tidak diwariskan kepada keturunannya sendiri tetapi didaur ulang seperti yang diharapkan teori ekonomi makro biososioekonomi (bdk http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/10/daripada-menjadi-hutang-publik-lebih.html?m=1)

Pertanyaan yang perlu diajukan apabila The Fed menaikkan suku bunga acuan adalah apakah sistem ekonomi yang sedang berjalan mampu membayar laba? Mungkin awalnya AS tidak akan merasakan dampaknya. Negara di luar AS yang akan merasakan pertama kali dampaknya. Kalau negara-negara di luar AS terkena dampak, maka hal itu juga tidak akan baik bagi perekonomian AS sendiri. Sistem ekonomi neoliberalistik itu tidak memberikan jaminan bahwa sistem itu mampu membayar semua kewajiban sistem (laba, gaji, bunga, dan jaminan sosial). Berbeda dengan sistem biososioekonomi, apabila sudah mapan diterapkan secara global, akan mampu membayar semua kewajiban sistem itu secara sekaligus (Bdk http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/09/krisis-ekonomi-ketika-sistem-tidak.html?m=1)

Ketidakseimbangan global itu bisa menimbulkan masalah serius seperti "kiamat" ekonomi/keuangan global yang bisa saja terjadi di masa depan entah di tahun 2015 atau beberapa tahun setelah itu. Sampai saat ini pola krisis masih bersifat regional dari Asia tahun 1997/1998 kemudian terjadi di AS 2008, kemudian berlanjut ke Zona Euro, dan sekarang terjadi perlambatan di beberapa negara. Cara mengatasi krisis yang masih konvensional menyebabkan ketidakseimbangan belum teratasi dan tetap bisa menimbulkan "kiamat" ekonomi/keuangan global, krisis ekonomi keuangan secara serentak bukan regional lagi. Namun apabila ketidakseimbangan global itu bisa segera diatasi, bisa saja "kiamat" ekonomi/keuangan global tidak akan terjadi. Menghentikan stimulus yang dibayari dengan hutang atau yang dibiayai dengan mencetak uang adalah salah satu hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki keseimbangan. Stimulus yang dibiayai dengan hutang atau dibiayai dengan mencetak uang itu
adalah bentuk stimulus yang tidak sehat. Stimulus yang sehat itu adalah yang didasarkan pada teori ekonomi makro biososioekonomi yaitu meningkatkan income publik yang kemudian didistribusikan dalam bentuk jaminan sosial terutama beasiswa besar-besaran secara meluas, dan idealnya secara mendalam pula dalam bentuk paket beasiswa (bdk http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul22.htm ) Hal seperti itu akan meningkatkan daya beli rakyat atau daya beli konsumen secara global sehingga ekonomi tetap bergairah. Apa yang diharapkan oleh teori ekonomi makro biososioekonomi itu malah lebih dari sekadar stimulus tetapi perbaikan permanen.

Negara dan Beban Rakyat

Gambaran ketidakseimbangan global itu akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Pada akhir tahun 2012 dan 2013 saya memposting artikel di blog ini. Inti dari artikel-artikel tulisan saya itu adalah mengingatkan kelemahan mendasar perekonomian Indonesia dan perlunya negara hadir meringankan beban rakyat dan memberantas mafia migas dan pangan. Dalam artikel saya itu ketidakseimbangan ekonomi Indonesia juga saya sebut.

Pemerintahan baru sudah mulai bekerja mengatasi beberapa kelemahan seperti memperbaiki infrastruktur dan merencanakan penyediaan tol laut serta mencoba memberantas mafia migas dan pangan. Itu adalah bidang di mana negara harus hadir.

Namun sayangnya pemerintah membuat suatu kebijakan yang masih membebani rakyat kebanyakan dengan menaikkan harga BBM. Beberapa hari sebelum keputusan itu diambil, saya melalui account Facebook saya (haniputranto) mengusulkan di wall saya agar pemerintah meminta masukan dari berbagai ahli dan ekonom dari spektrum pemikiran yang luas. Harapan saya tentu agar pemerintah tidak membebani rakyat.

Tapi pemerintah tetap menaikkan harga BBM. Kemudian saya menulis status di Facebook saya:

"Dengan mengalihkan dana subsidi sekitar Rp 100 triliun ke sektor produktif pemerintah merasa akan berhasil meringankan beban rakyat. Benarkah?

Apa yang akan saya sampaikan di bawah ini adalah hipotesis yang masih perlu dicermati kebenarannya akan tetapi mohon untuk disimak.

Dana pemerintah yang dialihkan itu hanya akan mampu meringankan beban rakyat dengan kekuatan sebesar Rp 115 triliun yaitu angka Rp 100 triliun dikalikan 15% ditambah Rp 100 triliun itu sendiri. Atau dengan kata lain, dalam satu tahun dana itu hanya akan tumbuh sekitar 15% yaitu 3 kali pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya sekitar 5% per tahun.

Sementara itu karena efek spiral, beban rakyat bisa meningkat sampai 5,67 kali lipat dari Rp 100 triliun atau Rp 567 triliun. Dalam hal ini beban rakyat neto bukannya berkurang tetapi akan bertambah sebesar Rp 567 triliun dikurangi Rp 115 triliun atau Rp 452 triliun.

Angka 5,67 kali lipat itu adalah perbandingan antara income pribadi dengan income publik yaitu 85 dibanding 15. Angka 15 ini adalah tax ratio Indonesia yang sekitar 12% ditambah rasio kedermawanan yang diasumsikan sekitar 3%. Sementara itu angka 85 adalah 100% dikurangi income publik yang sekitar 15% itu.

Nah akibat keputusan menaikkan harga BBM itu maka peningkatan beban rakyat neto sebesar Rp 452 triliun itu apabila dibagi rata kepada 250 juta penduduk Indonesia hasilnya adalah Rp 1.808.000,- per tahun per kapita atau Rp 150.667 per bulan per orang. Rumah tangga yang terdiri dari 4 anggota akan mengalami peningkatan beban sebesar Rp 602.667,- per bulan.

Saya sudah sering mengingatkan bahwa menggunakan pendekatan deduktif logis bisa mencegah jatuhnya korban di pihak rakyat." (Dicopy dari naskah status Facebook saya, naskah tersebut tersimpan dalam aplikasi color note dalam gadget android saya tanggal 18 November 2014. Saya copy dari naskah karena saya kesulitan meng-copy dari Facebook saya).

Menurut pendapat saya ketidakseimbangan pendapatan privat dan publik di Indonesia ikut menjadi faktor pengganda bagi peningkatan beban rakyat. Tax ratio Indonesia yang rendah selama bertahun-tahun mendorong ketidakseimbangan baik ketidakseimbangan income publik dan privat maupun ketidakseimbangan aset dan liabilitas publik.

Kenaikan harga BBM baru salah satu hal yang membebani rakyat. Kenaikan harga rumah selama beberapa tahun terakhir ini juga membebani rakyat seperti saya sampaikan dalam artikel saya akhir tahun lalu. Negara perlu hadir untuk meringankan beban rakyat.

Menghdapi, Permasalahan, Tantangan dan Ancaman

Permasalahan, tantangan, dan ancaman yang besar baik akibat dari kebijakan pemerintah lama mau pun pemerintah baru yang tergesa-gesa menaikkan harga BBM serta dari kondisi eksternal (ketidakseimbangan global) harus diatasi dan dijawab agar tidak membebani rakyat kebanyakan. Saran-saran sudah saya sampaikan dalam dua tulisan saya di akhir tahun 2012 dan 2013.

Dalam hal ketidakseimbangan global pemerintah dan negara (bank sentral) perlu menyadari bahwa krisis 1997/1998 agak berbeda dengan kemungkinan "kiamat" ekonomi/keuangan global di masa mendatang. Di masa lalu pelemahan rupiah tidak berdampak buruk bagi beberapa bidang usaha yang berorientasi ekspor seperti usaha tambak udang, perkebunan, pertambangan, industri mebel dll. Bidang-bidang usaha itu malah mendapatkan rejeki berlimpah. Hal itu terjadi karena tidak semua negara mengalami krisis. Tapi di masa mendatang bila tidak ada perbaikan keseimbangan global sehingga terjadi krisis global, pelemahan rupiah tidak banyak menolong.
Saya mengamati bahwa pemerintah mulai berusaha meningkatkan tax ratio. Suatu langkah awal yang baik. Tentu peningkatan itu harus berasal dari pajak progresif (pajak yang pro demokrasi ekonomi) bukan pajak dari rakyat kecil. Perlu diingat bahwa rasio gini Indonesia tinggi di atas 0,4 akibat salah urus pemerintah terdahulu. Tidaklah bijaksana membebankan pajak pada rakyat kecil. Membebankan pajak pada rakyat kecil akan berakibat memperlemah daya beli mereka.

Dalam hal jaminan sosial saya perlu menyampaikan catatan. Perlu diapresiasi kebijakan pemerintah untuk merealisasikan beberapa program jaminan sosial terutama beasiswa (Kartu Indonesia Pintar). Tentu saja program seperti itu perlu diperluas. Saya tidak setuju apabila penerima KIP dibatasi pada kriteria miskin dan hampir miskin bagi orang tuanya. Saya sudah pernah mengkritik hal seperti ini di blog saya ini yang berkaitan dengan BLT dan BLSM. Pertama-tama karena pemberian kriteria semacam itu secara administratif tidak sederhana sehingga bisa menimbulkan kekeliruan, penyimpangan atau kecurigaan/kecemburuan. Kedua status miskin atau hampir miskin itu sifatnya dinamis yang bisa berubah seiring berjalannya waktu. Ketiga orang yang sedikit di atas garis setengah miskin (misalnya Rp 15.000 per bulan) tidak berarti telah bebas dari ancaman kemiskinan sama sekali. Namun untuk sementara khusus bagi Kartu Indonesia Pintar bisa diterima dengan catatan harus ada
tindakan segera untuk memperluas penerima KIP. Perluasan itu tidak memerlukan suatu surat keterangan miskin, beberapa keluarga yang perlu mendapat prioritas adalah mereka yang bekerja sebagai karyawan atau guru baik di sekolah negeri maupun swasta, karyawan dan tenaga medis di puskesmas dan rumah sakit negeri maupun swasta, kru angkutan transportasi masal termasuk penjaga pintu kereta, pegawai negeri sipil dan TNI golongan tertentu. Selain itu perluasannya bisa ditambah dengan cara acak dengan sistem undian sampai akhirnya bisa menjangkau semua anak usia sekolah sesuai paradigma biososioekonomi. Yang jelas harus dihindari beasiswa ganda, misalnya ada siswa penerima KIP juga penerima KJP (Kartu Jakarta Pintar). Kalau terjadi seperti itu harus dialihkan ke siswa lain.

Mengenai KIS, Kartu Indonesia Sejahtera sebaiknya sasaran penerimanya bukan berdasarkan kriteria miskin dengan alasan yang sama seperti saya sebutkan di atas. Lebih baik kriterianya adalah usia lanjut, 65 tahun ke atas. Itu secara administratif lebih sederhana.

Pemerintah hasil pilpres 2014 sebenarnya memiliki legitimasi dan dukungan kuat serta luas untuk membuat Indonesia lebih baik, dengan tax ratio lebih baik misalnya, sayangnya belum memanfaatkannya secara optimal. Pemerintah bisa mengajak anggota masyarakat khususnya yang kaya untuk berpartisipasi dan bergotong-royong meningkatkan income dan aset publik baik dengan ketaatan membayar pajak maupun kegiatan filantropi. Tapi pemerintah juga perlu memperbaiki diri agar wajib pajak tergerak membayar pajak dengan membuat birokrasi yang bersih memberantas poligami di jajaran birokrasi dll. Pemerintah perlu bekerja sama dengan pusat pengaruh baik nasional maupun global untuk meningkatkan income dan aset publik, memperbanyak orang-orang kaya seperti Warren Buffett yang berkomitmen menghibahkan 80% hartanya. Sebaliknya pemerintah jangan terkesima dengan kegiatan seperti CSR perusahaan di mana rate kedermawanannya hanya sekitar 3% dari laba, jauh di bawah apa yang
dilakukan Warren Buffett dkk yang rate berbagi hartanya 50% ke atas. Kegiatan filantropi perusahaan dengan CSR itu tidak banyak memperbaiki keseimbangan global.

Tidak lupa kita perlu menjaga pemerintahan hasil pilpres 2014 ini secara konstitusi agar bisa selamat sampai agenda pilpres berikutnya tahun 2019. Semoga Indonesia semakin baik bagi semua.

Artikel Terkait

Ekonomi 2014
http://satriopiningitasli.blogspot.com/2013/12/perekonomian-2014-negara-dan-beban.html?m=1

Hutang Publik dan Beasiswa
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2013/10/daripada-menjadi-hutang-publik-lebih.html?m=1

Ekonomi 2013. http://satriopiningitasli.blogspot.com/2012/12/kelemahan-mendasar-perekonomian-kita.html?m=1

Hutang Besar Karena Income Kurang
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/08/utang-besar-karena-income-kurang.html?m=1

Paket Beasiswa, Bila semua orang sarjana
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/07/kalau-semua-orang-lulus-s1.html?m=1

Paket Beasiswa dan "Pancing"
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/07/percuma-memberi-pancingperihal-beasiswa.html?m=1

Target Kerja dan Tax Ratio
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2012/03/terget-kerja-pemerintah-yang-harus-kita.html

Info Buku Biososioekonomi
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2011/12/krisis-global-baca-dulu-baru-kritik.html

Demokrasi ekonomi
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/06/demokrasi-ekonomi-biososioekonomi-lebih.html

Bioekonomi utk RI dan Global
http://satriopiningitasli.blogspot.com/2010/09/bioekonomi-solusi-untuk-indonesia-dan.html?m=1

Prinsip-prinsip Biososioekonomi utk Pejabat Pemerintah (1)
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/10/prinsip-prinsip-biososioekonomi-untuk_05.html?m=1

Prinsip-prinsip Biososioekonomi utk Pejabat Pemerintah (2)
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2010/10/prinsip-prinsip-biososioekonomi-untuk_12.html?m=1


Ketika Sistem Tidak Mampu Membayar
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/09/krisis-ekonomi-ketika-sistem-tidak.html?m=1

Krisis Multidimensi
http://www.satriopiningitasli.blogspot.com/2009/04/krisis-multidimensi-harus-diatasi.html?m=1

Makalah Seminar: Bioekonomi, Rekening T Publik, dan Paket Beasiswa
http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul22.htm