Selasa, 29 Juni 2010

Damarwulan, Lohgender, dan Realitas Hidup Kita

Pada jaman pemerintahan Presiden Megawati, publik dihebohkan oleh berita penggalian harta karun di Situs Batutulis Bogor. Kejadian itu memancing banyak kecaman dan komentar karena selain merusak situs bersejarah juga karena penggalian itu diperintahkan oleh pejabat negara. Penggalian itu dilakukan karena konon menurut prediksi paranormal di balik Batutulis itu terpendam harta karun yang besar jumlahnya yang bisa dipakai untuk membayar hutang negara. Setelah kecaman dan kritikan dari berbagai orang termasuk cendekiawan yang memojokkan pemerintah, kasus Batutulis itu berlalu. Kini setelah delapan tahun kasus itu terjadi, rakyat tetap saja hidup susah.

Meskipun sama-sama perempuan, lain Megawati lain pula kisah Kencanawungu perempuan Raja Majapahit dalam "Serat Damarwulan." Kencanawungu dalam kisah itu sedang menghadapi Minak Jingga di mana pasukan Majapahit kocar-kacir. Dalam mimpinya, Kencanawungu mendapat wangsit bahwa yang bisa mengalahkan Minak Jingga adalah seorang pemuda yang bernama Damarwulan. Kemudian ia memerintahkan bawahannya untuk mencari Damarwulan. Niat itu dihalang-halangi Lohgender, patih Majapahit. Lohgender berharap kedua anaknya Layang Seta dan Layang Kumitir yang akan sukses. Bahkan Lohgender menyembunyikan Damarwulan agar tidak bisa ditemukan oleh utusan Kencanawungu. Tetapi Kencanawungu tetap pada pendiriannya bahwa orang yang bernama Damarwulan seperti dalam mimpinya itu benar-benar ada. Akhir kisah, meskipun dihalang-halangi dan dibajak oleh Lohgender dan kedua anak lelakinya, Kencanawungu bisa bertemu dengan Damarwulan yang kemudian sukses mengalahkan Minak Jingga. Majapahit menjadi tenteram kembali.

Kembali pada kasus Batutulis yang pernah menghebohkan. Keyakinan bahwa di balik Batutulis ada harta karun, banyak dilecehkan orang dan cendekiawan di jaman moderen ini.
Kritikan, kecaman, atau pelecehan itu membuat keyakinan luntur.

Tulisan ini tidak bermaksud membenarkan ramalan bahwa di balik Situs Batutulis Bogor ada harta karun berlimpah yang bisa dipakai untuk membayar hutang negara. Kalau pembenaran itu saya lakukan saya khawatir bisa membuat peramalnya sombong dan lupa daratan. Akan tetapi kita tidak boleh mengabaikan nasib rakyat yang susah. Mengenai jaman keemasan di mana rakyat bisa hidup damai sejahtera itu sebenarnya sederhana sedemikian rupa sehingga rakyat yang intelektualitasnya sederhana bisa memahaminya dengan mudah. Kalau jaman keemasan menjadi kelihatan ruwet dan rumit atau tidak kunjung tiba, selain karena adanya orang-orang seperti Lohgender yang membuatnya ruwet juga karena ada orang-orang yang sebenarnya tidak jahat, kelihatannya rasional tetapi secara naif tidak sengaja tindakannya justru menguntungkan atau memunculkan orang-orang seperti Lohgender sebagai pemenangnya.

Tulisan ini saya posting, mengingat sejak masa reformasi orang-orang dari berbagai penjuru dunia baik barat atau timur datang menggurui Indonesia seolah-olah Indonesia bodoh tidak memiliki otak, tidak memiliki kearifan lokal yang bisa ditawarkan sebagai solusi atas krisis moneter waktu itu. Dua belas tahun setelah reformasi dan tiga belas tahun setelah krisis Asia, krisis juga menghantam AS dan Eropa. Kini saatnya cendekiawan, yang mungkin dahulu bertindak naif, mau terbuka terhadap kearifan lokal. Tentu kearifan lokal yang mau di-cross check dengan metode ilmiah dan para cendekiawan ikut juga melakukan cross check. Tidak seperti kasus Situs Batutulis Bogor yang terjadi tanpa cross check ilmiah.

Seperti saya tulis di atas jaman keemasan sebenarnya sangat sederhana. Kesederhanaan itu memungkinkan semua orang bisa ikut mengawasi supaya jangan diserong ke kiri atau ke kanan. Kearifan lokal mengenai jaman keemasan memberi petunjuk secara sederhana bagi semua orang termasuk rakyat yang intelektualitasnya terbatas. Petunjuk dan akurasinya memang luar biasa.

Nama satrio piningit itu secara tersandi sebagai RA Parjinah sudah muncul sejak sekitar bulan Mei 1993 (lima tahun sebelum reformasi). Kalau mau dicari sebenarnya satrio piningit itu dengan mudah bisa ditemukan karena petunjuknya akurat. Tetapi sampai 4 Juli 2002 saat saya berhasil membaca sandi RA Parjinah sebagai R. Hani Japar, tak seorang pun yang menemukan saya sebagai R. Hani Japar. Padahal petunjuknya akurat, RA Parjinah dalam mimpi itu disebut sebagai puteri Ki Ageng Mangir-Pambayun. Sementara ramalan lain mengatakan akan adanya kemakmuran setelah Kali Progo kawin dengan Kali Opak. Pulung kesejahteraan sering digambarkan sebagai perawan/gadis juga bukan hal baru dalam kebatinan (bdk Sindhunata, Bayang-bayang Ratu Adil 1999 hlm 41). Satrio piningit akan lahir di Mataram atau tempat yang memakai nama Mataram juga sudah diramalkan orang. Bahkan "Babad Kedhiri" dengan ramalan atau sumpah Sabdopalon-nya meramalkan hal yang sama. Mengenai ramalan atau sumpah Sabdopalon saya kutipkan lagi di sini: "Tetapi ingat, bila besok ada orang yang mempunyai nama tua tidak memakai keris bersedia duduk sejajar dengan tuan (raja-pen), dialah utusan dan asuhan saya. Saya akan membuat tanah Jawa makmur" (Bambang Noorsena, 2003, Menyongsong Sang Ratu Adil hlm 64). Juga ramalan lain mengatakan:"Sang Prabu diminta menjadi saksi, bila kelak ada orang bernama tua, bersenjata ilmu, itulah yang diasuh Sabdopalon, manusia kerdil akan diajar benar dan salah" (Bambang Noorsena, 2003, Menyongsong Sang Ratu Adil hlm 326). Bukankah hanya mataram yang maknanya dikaitkan dengan ilmu pengetahuan? Saya tidak bersenjatakan keris/kekerasan tetapi ilmu pengetahuan yaitu teori ekonomi makro biososioekonomi.

Memang di antara kita ada yang tidak bisa membedakan mana wangsit yang sah atau tidak. Dalam kisah Damarwulan yang mimpi itu adalah orang lain. Kalau yang mimpi Damarwulan maka wangsit itu tidak sah karena tidak ada saksinya. Demikian juga dalam kasus saya, yang mimpi dan menyebarluaskan adanya puteri kraton bernama RA Parjinah itu adalah orang lain, kalau yang mimpi saya maka wangsit itu tidak sah karena tidak ada saksinya. Itulah sebabnya Ki Ageng Giring tidak memperoleh wahyu keprabon, karena fungsinya hanyalah saksi atas wangsit air kelapa muda. Kesaksian untuk diri sendiri tidak sah.

Tetapi mengapa kalau petunjuknya begitu akurat orang tidak menemukan saya sebagai R. Hani Japar? Banyak penyebabnya seperti ateisme praktis, paradigma kolonialistis, rasionalitas buta dan arogansi. Selain itu mungkin itu juga karena sabda ini:"Barang siapa menang, kepadanya akan Kuberikan dari manna yang tersembunya; dan Aku akan mengaruniakan kepadanya batu putih, yang di atasnya tertulis nama baru, yang tidak diketahui siapa pun, selain oleh yang menerimanya." (dikutip dari Alkitab Perjanjian Baru yaitu Kitab Wahyu, Why 2:17). Hanya saya yang menerimanya yang bisa membaca sandi itu menjadi R Hani Japar. Di balik batu tulis (bukan Situs Batutulis Bogor) memang ada "harta karun" yang berlimpah yang bisa dipakai membayar hutang negara, itulah teori ekonomi makro biososioekonomi yang saya rumuskan. Dengan metode daur ulang kekayaan pribadi itu pendapatan bagi publik (pemerintah dan masyrakat) tidak akan pernah kering. Para ilmuwan dan cendekiawan boleh meng-cross check-nya.

Peristiwa ini adalah peristiwa besar, 500 tahun orang Jawa menunggunya. Hanya saja peristiwa besar ini sering ditenggelamkan oleh "junk news" dan bad news. Media massa yang kelihatannya terhormat pun kadang ikut-ikutan menyebarluaskan "junk news." Saya berharap tidak lagi berbuat naif, kenaifan itu hanya akan memunculkan orang-orang seperti Lohgender yang tidak pro rakyat. Adalah suatu penindasan dan penyiksaan kalau sebuah rebung (tunas bambu) disuruh atau dipaksa merunduk. Biarkan tumbuh menjadi tinggi. Kalau sudah tinggi dan dikenal orang akan merunduk dengan sendirinya.

Kalau Kencanawungu sukses itu karena ia tidak mudah menyerah termasuk tidak mudah menyerah oleh aneka macam rekayasa yang dilakukan orang-orang di sekelilingya. Cendekiawan harus terbuka pada kearifan lokal, dan kearifan lokal harus mau di-cross check. Marilah kita menjadi negarawan, warga negara, dan warga masyarakat yang baik yang peduli pada kesejahteraan publik dan rakyat.

Selasa, 22 Juni 2010

Dibutuhkan Segera: Organisasi Konsumen Sosial!

Rencana pemerintah (yang disetujui DPR)menaikkan tarif dasar listrik bagi pelanggan 900 VA ke atas mulai 1 Juli 2010 mendapat banyak kritikan di facebook maupun di media massa. Salah satu pengritik adalah Ilyani S Andang Anggota Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dengan artikel yang berjudul "Menyoal Kenaikan TDL" di harian Kompas Senin 21 Juni 2010. Dalam artikel itu Ilyani mengritik defisit semu seperti ditulisnya: "Dari pengalaman pengelolaan APBN tahun 2009 di mana terdapat sisa dana yang tidak terserap sebesar Rp 38 triliun, pemerintah dan DPR tidak perlu menaikkan TDL hanya untuk menutupi defisit yang membengkak Rp 5 triliun di APBN ini. Apalagi hingga Mei 2010 penyerapan dana APBN baru mencapai 26 persen (sumber Bappenas)."

Di bagian terakhir artikel itu dikatakan: "Sementara dari sisi PLN, dari laporan keuangan PLN yang dipublikasikan di website PLN, dapat dilihat bahwa pada tahun 2009 PLN mencatat laba bersih sebesar Rp 10,355 triliun dan mengantongi uang kas sebesar Rp 13 triliun."

Kalau rencana itu direalisir, beban hidup rakyat akan meningkat. Kita sebagai konsumen juga akan terkena dampaknya dengan kenaikan harga berbagai bahan kebutuhan. Ilyani mengkritik pemerintah dengan cara berpikirnya sebagai pengurus suatu lembaga konsumen konvensional. Kritikan itu tepat, namun untuk mewujudkan kesejahteraan publik (rakyat) yang berkelanjutan dan seimbang dengan alam kita perlu juga memandangnya dari paradigma lain non konvensional. Hal ini mengingat bahwa ancaman terhadap kesejahteraan rakyat tidak saja karena adanya kenaikan TDL tetapi juga ketidakseimbangan antara liabilitas publik dengan asetnya sehingga krisis ekonomi yang disertai gejolak keuangan/moneter ataupun yang "silent" mengancam hidup rakyat setiap saat. Krisis yang sedang terjadi di Eropa bukan sekedar memangkas pertumbuhan PDB kita sekian digit, tetapi krisis itu meningkatkan aliran hot money ke Asia yang bisa berbahaya kalau terjadi pembalikan. Belum lagi ancaman bagi kesejahteraan rakyat bisa datang akibat pemanasan global dan kerusakan lingkungan karena paradigma pembangunan yang menekankan peningkatan pertumbuhan PDB.

Kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat adalah produk dari paradigma neolib di mana laba adalah pengembalian yang sah atas modal titik. Tak ada niat mengubah paradigma, tak ada upaya untuk menggugat pandangan neolib itu dari pemerintah penyelenggara negara. Tidak ada upaya untuk meningkatkan pendapatan publik guna mewujudkan kesejahteraan umum. Buktinya kasus pajak yang terjadi pada konglomerat yang anti demokrasi ekonomi tidak segera dituntaskan. Pewarisan kekayaan berlimpah jelas suatu tindakan anti demokrasi ekonomi.

Di awal bulan ini saat kita merayakan hari kelahiran Pancasila sudah saya jelaskan di blog ini adanya tiga pandangan mengenai laba: pandangan neolib, marxis, dan jalan ketiga atau jalan tengah. Perubahan paradigma dari paradigma neolib ke jalan ketiga memerlukan perhatian dan partisipasi semua pihak baik pemerintah maupun civil society termasuk media massa. Pemerintah sebenarnya tidak sendiri menghadapi paradigma neolib yang anti demokrasi ekonomi. Oleh karena itu pemerintah tetap dituntut untuk pro rakyat.

Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat khususnya melalui demokrasi ekonomi (biososioekonomi) selain peran serta organisasi konsumen konvesional yang sudah berpartisipasi menolak kenaikan TDL seperti dikemukakan di atas, kita membutuhkan organisasi konsumen sosial yang berperan lebih besar.

Organisasi konsumen konvensional sering membiarkan penumpukan laba pada segelintir orang. Organisasi konsumen sosial yang saya sarankan adalah organisasi konsumen yang berjuang mengembalikan laba (dan kekayaan) kepada konsumen (semua orang). Laba terjadi karena konsumen membayar melebihi biaya produksi, distribusi, dan pajak. Namun gerakan organisasi konsumen sosial bukan gerakan radikal yang melarang bisnis swasta atau melarang pelaku bisnis menetapkan harga di atas biaya produksi, distribusi, dan pajak. Memang untuk kasus tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak dan diproduksi pemrintah perlu penetapan harga yang non komersial artinya harga ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak ada margin laba yang diperoleh atau margin labanya kecil Proses konstruksi pasar tradisional, misalnya, perlu mempertimbangkan kebijakan harga kios dengan margin non komersial ini agar konsumen end user yang membeli barang dagangan di pasar tersebut tidak terbebani. Demikian juga untuk penetapan TDL harus lebih ramah pada konsumen.

Namun untuk harga barang atau jasa lain yang dijual dan diproduksi swasta bisa lebih bebas. Organisasi konsumen sosial hanya menuntut pengembalian laba yang terakumulasi pada segelintir orang karena pewarisan seperti disarankan teori ekonomi makro biososioekonomi. Selain mendemokrasikan ekonomi dengan daur ulang kekayaan individu, organisasi konsumen sosial juga bisa mengelola kekayaan daur ulang sesuai paradigma teori ekonomi makro biososioekonomi. Kiranya organisasi konsumen sosial yang bersifat inklusif non komersial, non politik, non primordial, dan non sektarian ini, perlu segera dibentuk baik atas inisiatif civil society atau pemerintah. Para pekerja akan mendapatkan upah, jaminan hidup, dan jaminan pensiun yang layak.

Saya sebagai perumus biososioekonomi dan paling lantang menentang pewarisan kekayaan berlimpah justru merasa kurang etis kalau saya juga menerima dan mengelola kekayaan daur ulang secara fisik langsung. Mereka yang kredibel dan kompeten terbiasa berorganisasi secara tertib dan rapi dalam organisasi yang kredibel bisa memelopori terbentuknya organisasi konsumen sosial ini.

Kesejahteraan publik dan demokrasi ekonomi membutuhkan partisipasi banyak pihak sesuai semboyannya: "dari konsumen, oleh konsumen, untuk konsumen (semua orang)." Paling tidak kita semua orang bisa ikut berpartisipasi dengan TIDAK membeli barang atau jasa dari penjual atau produsen yang jelas-jelas anti demokrasi ekonomi yang kekayaan berlimpahnya dari warisan. Kita juga bisa berpartisipasi dengan TIDAK membaca atau menonton media massa yang anti demokrasi ekonomi. Semoga postingan ini dipahami.

Selasa, 15 Juni 2010

Fundamental Makro dan Krisis Ekonomi

Selama liabilitas publik lebih tinggi dari asetnya maka krisis ekonomi tetap dan sedang terjadi. Itulah pandangan biososioekonomi. Pandangan ini berbeda dengan pandangan ekonom konvensional (neo klasik atau keynesian). Apa yang dikatakan atau dinilai bahwa fundamental makro kokoh oleh pejabat atau ekonom konvensional belum tentu kokoh menurut pandangan biososioekonomi. Fundamental makro ekonomi benar-benar kokoh (menurut biososioekonomi) bila aset publik sama dengan liabilitasnya. Secara makro menurut biososioekononi, semua milik individu adalah liabilitas bagi publik.

Sering pejabat pemerintah hanya memandang suatu krisis ekonomi terjadi bila ada gejolak kurs, gejolak harga saham atau adanya beberapa bank yang mengalami kesulitan dan minta tolong pemerintah. Ini tentu berbeda dengan pandangan biososioekonomi. Kondisi tanpa gejolak pun bisa dianggap sebagai krisis karena menurut biososioekonomi krisis ekonomi bisa dianggap sebagai suatu kondisi ketika sistem ekonomi tidak mampu membayar beberapa atau semua kewajibannya (lihat artikel di blog ini tanggal 18 September 2009 yang berjudul:"Krisis Ekonomi: Ketika Sistem Tidak Mampu Membayar"). Suku bunga tabungan riil nol atau minus (bila dikoreksi dengan inflasi) adalah tanda bahwa sistem sebenarnya tidak mampu membayar bunga. Kondisi seperti ini memang terlihat tidak ada gejolak, tetapi rakyat yang bukan pemilik modal yang sumber pendapatannya terbatas atau usia non produktif sangat dirugikan dengan kondisi suku bunga tabungan nol. Mereka ini adalah anak usia sekolah, ibu rumah tangga yang sibuk mengurusi rumah tangga, atau pensiunan pegawai rendahan. Kelompok seperti ini tidak bisa mengakses sumber pendapatan dari bunga tabungan akibat suku bunga tabungan riil nol atau minus sementara sumber pendapatan lain tidak mudah diakses bagi mereka. Kondisi yang kelihatannya tenang ini menyengsarakan rakyat secara pelan-pelan.

Ketika nisbah pajak rendah, 12% dari PDB misalnya, dan tidak adanya daur ulang kekayaan individu seperti harapan biososioekonomi maka pemasukan bagi publik (pemerintah dan masyarakat) akan juga rendah. Apabila kondisi seperti ini berlangsung terus maka aset individu akan tetap jauh lebih tinggi dari aset publik atau dengan kata lain liabilitas publik jauh lebih tinggi dari asetnya yang berarti fundamental makro ekonomi tidak bisa dikatakan bagus. Turbulensi keuangan atau gejolak kurs hanyalah salah satu bentuk krisis.

Menggenjot PDB tidak mengurangi masalah karena PDB mencerminkan total pendapatan individual bukan pendapatan publik. Menggenjot PDB berarti menggenjot liabilitas. Masalah hari ini terjadi karena tingginya pertumbuhan PDB di masa lalu dan tingginya pertumbuhan PDB hari ini akan menjadi masalah di masa mendatang.

Pandangan biososioekonomi ini cukup jelas sebenarnya. Memang diperlukan keterbukaan hati untuk keluar dari pandangan konvensional (neo klasik ataupun keynesian) yang tidak relevan dengan kondisi makro yang sebenarnya. Saya berharap semua pihak jangan menutup mata terhadap biososioekonomi, jangan pura-pura tidak tahu. Semoga postingan ini dimengerti.

Selasa, 08 Juni 2010

Demokrasi Ekonomi (Biososioekonomi) Lebih dari Sekedar Politik Etis Belanda

Dalam masa akhir pemerintahan penjajah Belanda di Indonesia dikenal apa yang disebut politik etis atau politik balas budi kepada rakyat negeri jajahan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan tiga peogram "si" yaitu edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Dasar pemikirannya adalah balas budi kepada negeri jajahan dan rakyatnya yang kekayaan alamnya tersedot dengan program tanam paksa sebelumnya. Kemudian muncul elite pribumi yakni kaum cendekiawan hasil didikan pemerintah Hindia Belanda di mana sebagian dari mereka menjadi bapak bangsa dan ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Dasar pemikiran politik etis berbeda dengan biososioekonomi. Ada dua perbedaan yang nyata yaitu: (1)kekayaan yang dikembalikan dalam program politik etis hanya sebagian kecil atau remah-remahnya (2)paradigma etatisme masih menguasai politik etis. Sementara dalam demokrasi ekonomi yang berdasarkan biososioekonomi kekayaan yang dikembalikan atau diredistribusi sangat besar, selain itu paradigma etatisme tidak dipakai karena menurut biosoioekonomi laba dan kekayaan berasal dari konsumen bukan dari negara. Kekayaan yang berasal dari konsumen itu harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang) tanpa memandang batas-batas negara.

Selain itu dalam paradigma biososioekonomi kekayaan yg didaur ulang juga mengalir ke sektor moneter dan keuangan bukan hanya mengalir ke sektor-sektor tradisonal tiga "si" di atas. Jadi jelas perbedaan antara politik etis Belanda dengan demokrasi ekonomi yang berdasarkan biososioekonomi.

Memang ada kemiripannya antara politik etis dengan demokrasi ekonominya biososioekonomi. Kemiripannya adalah sama-sama balas budi. Dalam biososioekonomi balas budinya kepada konsumen (semua orang). Laba terjadi karena harga barang atau jasa ditetapkan sedemikian rupa sehingga lebih tinggi dari ongkos produksi, distribusi, dan pajak. Jadi, laba dan kekayaan itu asalnya dari konsumen karena konsumen membayar lebih tinggi. Pandangan ini jelas berbeda dengan pandangan Marx yang menganggap bahwa laba diperoleh karena buruh dibayar lebih rendah.

Dalam demokrasi ekonomi yang berdasarkan biososioekonomi berlaku semboyan: "Dari konsumen, oleh konsumen, untuk konsumen" maksudnya adalah laba dan kekayaan yang berasal dari konsumen harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Gerakan yang dilakukan oleh lembaga konsumen sosial bisa ikut berperan manakala pemilik laba dan kekayaan berlimpah tidak memiliki kesadaran untuk mengembalikan laba/kekayaan berlimpah itu.

Di dalam fenomena sosial dan politik kontemporer sering diakui kekuatan atau kekuasaan konsumen. Selain itu ada sebagian cendekiawan, rohaniwan, atau aktivis sosial politik yang mencurigai bahwa nantinya warga negara akan direduksi sekedar konsumen sehingga mengabaikan mereka yang tidak mampu membeli. Para cendekiawan, rohaniwan, atau aktivis sosial itu belum mengenal apalagi memahami biososioekonomi yang saya rumuskan Kecurigaan seperti itu seharusnya tidak terjadi kalau mereka memahami dan mendukung biososioekonomi. Dalam kaitan dengan biososioekonomi dan semboyan di atas konsumen atau organisasi (lembaga) konsumen yang dimaksud adalah konsumen sosial yaitu meliputi semua orang termasuk yang tidak mampu membeli. Tanpa melakukan kegiatan konsumsi (makan) manusia pasti mati. Jadi gerakan konsumen (sosial) lebih luas dari gerakan buruh atau gerakan politik (warga negara). Tidak semua warga negara memiliki hak pilih, anak-anak usia sekolah yang belum cukup umur dan balita tidak memiliki hak pilih dalam politik tetapi mereka adalah konsumen karena mereka membutuhkan makan dan pendidikan. Tidak semua warga negara adalah buruh (pegawai) ada yang petani gurem, lansia atau pensiunan, pedagang asongan, pedagang menengah, pengacara, artis, wiraswastawan dan lain sebagainya yang tidak mau bergabung ke dalam gerakan buruh karena mereka bukan pegawai, tetapi mereka mau bergabung dan bersatu dengan gerakan konsumen sosial karena semua orang adalah konsumen. Di dalam gerakan konsumen sosial ada kesamaan dan persatuan.

Kalau gerakan konsumen sosial begitu inklusif tanpa mengenal batas-batas negara, profesi, golongan, dan usia mengapa tidak didukung? Tujuan gerakan konsumen sosial yang saya maksud di atas adalah mendemokrasikan ekonomi untuk stabilitas makro ekonomi seperti yang diinginkan biososioekonomi dan kesejahteraan publik. Organisasi konsumen sosial bukan mau meniadakan warga negara. Organisasi konsumen sosial bisa bekerja sama dengan organisasi warga negara atau organisasi politik baik parlemen, eksekutif, atau partai politik untuk mendemokrasikan ekonomi secara damai. Jangan katakan sudah ada demokrasi ekonomi kalau umat manusia masih memiliki kebiasaan mewariskan kekayaan berlimpah kepada anak keturunannya sendiri. Tanpa ada demokrasi ekonomi di samping demokrasi politik, rakyat tetap sengsara. Revolusi memang belum selesai.

Di dalam demokrasi ekonomi yang saya maksud di atas memang terasa kekuatan atau kedaulatan konsumen sosial. Tetapi ini tidak berarti gerakan konsumen sosial mengajarkan hedonisme karena di atas konsumen ada Tuhan yang berkuasa di mana setiap orang harus mempertanggungjawabkan apa yang dikonsumsinya atau apa yang diadopsinya (dipercayainya) di hadapan Tuhan atau alam (bagi yang ateis). Secara rohani semakin kecil yang dikonsumsi semakin baik dan hal ini tidak bertentangan dengan biososioekonomi karena dalam paradigma biososioekonomi kalau tingkat konsumsi agregat rendah, kekayaan daur ulang akan terakumulasi atau mengalir ke tabungan anggota masyarakat yang berarti tidak menyengsarakan rakyat. Berbeda dengan paradigma neolib dimana kalau konsumsi agregat rendah perekonomian juga akan lesu, rakyat sengsara Kesalahan perekonomian konvensional (neo klasik/neolib dan keynesian) adalah menggenjot PDB. Menggenjot PDB berarti menggenjot konsumsi dan itu berarti hedonisme serta membebani alam. Ada produksi pasti ada konsumsi karena tidak mungkin mengekspor produksi ke luar planet bumi.

Rohaniwan dalam paradigma biososioekonomi tetap bebas bersuara untuk menekan tingkat konsumsi umat kaya atau mendorong umat untuk bertanggung jawab atas apa yang dikonsumsinya di hadapan Tuhan Semesta Alam. Gerakan konsumen sosial yang saya anjurkan tidak mengajarkan hedonisme dan tidak mereduksi warga negara menjadi konsumen. Semoga tulisan ini dimengerti.

Rabu, 02 Juni 2010

Pancasila untuk Persatuan, Kesejahteraan, dan Kejayaan Bangsa.

Indonesia sangat beruntung memiliki Pancasila sebagai dasar negara. Sayangnya sebagian orang yang tidak memahami sejarah, tidak memahami Pancasila, dan yang tidak memiliki rasa nasionalisme menganggap bahwa Pancasila itu kuno. Padahal Pancasila masih relevan sampai saat ini dan akan tetap relevan selamanya. Krisis ekonomi-moneter yang melanda tiga benua selama 12 tahun terakhir seharusnya menyadarkan semua pihak bahwa Pancasila harus tetap dipertahankan. Istilah krisis di atas mengacu pada istilah dari paradigma konvensional (neo klasik dan keynesian). Kalau kita mengacu pada biososioekonomi, krisis sebenarnya melanda seluruh rakyat di semua benua karena banyak rakyat yang tidak bisa menyekolahkan anaknya, tidak bisa mengkonsumsi makanan sehat bergizi tiga kali sehari, terbebani berbagai macam hutang, menganggur, tidak memiliki rumah dan lain sebagainya.

Untuk Persatuan

Selain sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, menurut hemat saya Pancasila adalah konsensus nasional dan jalan tengah bagi berbagai kelompok suku, agama, atau golongan di Indonesia. Sebagai konsensus nasional berdirinya NKRI jelas Pancasila tidak bisa dibatalkan atau diganti. Bukan karena Pancasila sakral atau diturunkan dari langit, tetapi karena sebagai suatu kesepakatan bersama berbangsa dan bernegara yang telah ditetapkan. Di luar kehidupan berbangsa dan bernegara tetap ada ruang untuk hidup berkomunitas (berjamaah) tanpa harus menghianati bangsa dan negara. Mengganti atau membatalkan Pancasila akan mengakibatkan masing-masing golongan mencari jalan sendiri-sendiri dan bahkan bisa saling bertikai. Sebagai pemersatu bangsa, Pancasila harus diterima semua golongan.

Memang, sejarah perjalanan Nusantara tidak selalu berjalan tenang dan mulus. Kadang beriak dan bergelombang. Keanekaragaman sudah disadari nenek moyang kita sejak dulu bahkan sebelum Mpu Tantular pada jaman Majapahit menulis Sutasoma dengan bhinneka tunggal ika-nya. Pada masa Mataram Kuno, Rakai Pikatan (yang beragama Hindu) ikut menyumbang pembangunan candi Budha Plaosan Lor di dekat Prambanan.

Berabad-abad kemudian kebhinekaan diperkaya dengan suatu prinsip dari agama baru: "bagimu agamamu, bagiku agamaku." Kebenaran agama diserahkan pada masing-masing orang.

Memang persinggungan pernah terjadi di masa lalu. Penguasaan bumi Mataram oleh orang-orang pantai utara Jawa di abad ke-16, penyerbuan terhadap Pakuan Pajajajaran pada akhir abad ke-16, dan pengambilalihan tanah perdikan atau tanah brahmana yang terbentang antara Kali Progo dan Kali Opak itu merupakan sisi gelap hubungan antar kelompok. Namun demikian Pancasila tetap merupakan jalan tengah bagi semua golongan untuk hidup berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia di mana semua golongan hidup berdampingan dalam kesetaraan dan semangat rekonsiliasi Nusantara.

Untuk Kesejahteraan

Berbagai krisis ekonomi moneter dan kemiskinan terjadi karena liabilitas publik lebih tinggi dari asetnya sebagai akibat dari praktek ekonomi yang berparadigma kapitalistik neoliberalistik yang melambungkan aset individu dan memerosotkan aset publik. Biososioekonomi yang saya rumuskan adalah ekonomi jalan ketiga yang Pancasilais yang tidak kapitalistis tetapi juga tidak komunistis. Pandangan biosoioekonomi mengenai laba jelas berbeda dengan pandangan neoliberalistik ataupun marxistik. Perbedaannya begitu nyata sehingga ekonomi jalan ketiga atau jalan tengah yang saya rumuskan itu bukan ekonomi yang bukan ini atau bukan itu sebagaimana sering dituduhkan banyak orang terhadap ekonomi Pancasila atau ekonomi jalan tengah.

Menurut pandangan neoliberal, laba adalah pengembalian yang sah atas modal titik. Sementara menurut pandangan kedua yaitu pandangan Marx, laba adalah hasil eksploitasi terhadap buruh yang diambil alih oleh kapitalis. Sementara pandangan ketiga yakni pandangan biososioekonomi mengatakan bahwa laba dan kekayaan pribadi berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Jelas sekali perbedaannya.

Memang selama ini teori ekonomi makro biososioekonomi belum banyak dikenal. Yang banyak dikenal adalah pandangan pertama dan kedua. Pertikaian antara pandangan pertama (neoliberalistik) dengan pandangan kedua sering tidak produktif. Semakin keras Marxisme menyuarakan pandangannya semakin keras pula neolib bertahan dengan pandangan bahwa laba adalah pengembalian yang sah atas modal titik. Defensifnya pandangan pertama selain karena kesrakahan, ketidakmengertian, juga karena pandangan Marx mengenai laba sendiri sudah tidak bisa diterima. Pandangan Marx tersebut tidak rasional seperti yang sering saya jelaskan di blog ini maupun dalam berbagai tulisan atau kesempatan.

Memang ketika Pancasila dirumuskan dan ditetapkan, bentuk ekonomi jalan ketiga atau jalan tengah itu belum tampak jelas. Tetapi yang jelas adalah bahwa Pancasila pro ekonomi jalan tengah atau ekonomi jalan ketiga. Ekonomi jalan tengah tidak sekedar redistribusi aset individu tetapi juga menjaga agar aset publik seimbang dengan aset individu sehingga makro ekonomi stabil dan kesejahteraan umum terjaga. Dalam kondisi seperti itu mencari rejeki menjadi mudah, berbagai jaminan sosial bisa diselenggarakan, berbagai infrastruktur bisa dibangun, harga perumahan juga terjangkau bagi rakyat end user, serta stabilitas makro yang kondusif bagi semua usaha. Itulah sebenarnya yang dicita-citakan oleh ekonomi Pancasila. Dan itu bisa dipenuhi oleh biososioekonomi yang saya rumuskan. Neososialisme tidak menawarkan grand theory baru. Saya tetap memandang bahwa apa yang saya rumuskan adalah ekonomi jalan ketiga atau jalan tengah bukan neososialisme. Pandangan bisososioekonomi mengenai laba jelas berbeda dengan pandangan Marx akar neososialisme.

Untuk Kejayaan

Kejayaan yang saya maksud bukan kejayaan dengan menaklukkan bangsa lain melalui peperangan. Kejayaan yang saya maksud adalah agar Pancasila dengan ekonomi jalan tengah atau jalan ketiga di atas menerangi bangsa-bangsa untuk hidup dalam tata dunia baru yang adil, damai, dan sejahtera melalui kerja sama internasional dengan global civil society baru yaitu masyarakat terbuka yang adil (herucakra society). Di tengah-tengah ancaman krisis global, Pancasila dan ekonomi jalan ketiganya adalah pelita, mercusuar penunjuk arah dan harapan bagi bangsa-bangsa.

Kaum muda Indonesia yang cerdas, reformis, dan idealis dipanggil untuk mempertahankan Pancasila juga dipanggil untuk mengembangkan teori ekonomi makro biosoioekonomi serta memperjuangkan implementasinya khususnya di Indonesia yang ber-Pancasila . Sebagai teori ilmiah, biososioekonomi terbuka terhadap kritik.

Pancasila adalah keniscayaan bagi NKRI dan rakyat di Nusantara untuk bersatu, hidup dalam kesejahteraan, kedamaian dan kejayaan.