Kamis, 29 September 2011

Akar Kesenjangan dan Ketidakadilan

Menurut hemat saya ada informasi mengenai ketidakadilan yang sering dimanipulasi atau dieksploitasi oleh gerakan radikal untuk membenarkan aksi terornya. Gerakan radikal itu menganggap bahwa sumber ketidakadilan adalah negara tertentu (AS). Serangan teror dan kekerasan pun ditujukan kepada orang atau lembaga yang dianggap berhubungan dengan AS dan sekutunya.

Anggapan bahwa sumber ketidakadilan adalah negara tertentu perlu dikoreksi karena hal itu tidak benar. Ketidakadilan antar negara terjadi karena adanya ketidakadilan dan kesenjangan antar individu. Sekarang AS sedang menghadapi krisis ekonomi, demikian juga Eropa. Menurut hemat saya sumber ketidakadilan dan kesenjangan antar individu adalah adanya pandangan atau ajaran keliru yang berkembang di tengah masyarakat di seluruh dunia. Pandangan atau ajaran yang saya maksud adalah suatu ajaran yang menganggap bahwa derma cukup 2,5% atau 10% dari harta. Ajaran seperti itu akan menghambat peningkatan pendapatan dan aset publik. Ketika pendapatan dan aset publik kurang maka tidak hanya kesenjangan saja yang terjadi tapi juga krisis ekonomi dan chaos finansial.

Di negara-negara pengekspor teror pun ada kesenjangan sosial antar individu. Sumber ketidakadilan dan kesenjangan bukan negara tertentu seperti sering diprovokasikan oleh gerakan radikal. Seseorang yang cerdas (memahami matematika), jujur, dan pemberani akan menolak ajaran keliru mengenai derma tadi siapa pun yang mengajarkannya.

Orang Jawa tidak membatasi derma hanya 2,5% atau 10%. Candi-candi besar seperti Borobudur dan Prambanan dapat dibangun karena jaman dulu orang Jawa kaya dan dermawan. Kalau sekarang sebagian orang
Jawa menjadi kikir karena pengaruh ajaran keliru yang membatasi derma hanya 10%. Demikian juga, hierarki Gereja Katolik tidak membatasi derma hanya 10%, tapi praktiknya tidak sedikit orang kaya Katolik yang puas dengan mendermakan hanya 10% hartanya.

Mungkin diperlukan krisis ekonomi yang lebih dahsyat secara global untuk memelekkan mata sebagian besar orang di seluruh dunia bahwa pandangan mengenai derma yang mereka pegang itu keliru. Bagi kita yang memahami teori ekonomi makro biososioekonomi, krisis itu tidak diperlukan karena kita sudah bisa melihat pandangan yang benar.

Adanya ketidakadilan dan kesenjangan sosial tidak boleh dijadikan dalih atas tindak kekerasan. Kita harus memperjuangkan
Keadilan sosial dan kesejahteraan publik dengan cara-cara damai non kekerasan seperti sering saya ingatkan melalui blog ini. Semoga Tuhan memberkati dan menyempurnakan usaha kita yang kita tekuni melalui jalan damai non kekerasan.

Kamis, 22 September 2011

Sembilan Tahun Biososioekonomi



Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada pengunjung blog ini, khususnya yang sering menantikan artikel biososioekonomi. Saya (Hani Putranto) melontarkan istilah biososioekonomi (bioekonomi) pertama kali pada tanggal 20 September 2002 di dalam sebuah naskah yang saya kirim ke harian nasional tapi tidak dimuat. Istilah biososioekonomi yang saya maksud berkaitan dengan ekonomi makro bukan berkaitan dengan ekonomi perikanan.

Setelah buku saya Herucakra Society terbit, saya mempresentasikan makalah bioekonomi pertama kali dalam seminar bulanan ke-22 yang diselenggarakan PUSTEP UGM 2 November 2004. Setelah itu sebagian besar tulisan biososioekonomi yang saya buat saya posting di blog ini. Sampai saat ini saya belum berniat membuat blog khusus biososioekonomi.

Kepada pihak-pihak yang telah ikut menerbitkan maupun menyebarluaskan teori ekonomi makro biososioekonomi, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Sementara itu saya berharap kepada siapa pun yang mengutip
sebagian atau seluruh artikel di blog ini dimohon untuk menyebut sumbernya.

Perlahan-lahan biososioekonomi semakin dikenal. Silakan belajar teori ekonomi makro biososioekonomi di blog ini. Biososioekonomi berguna bagi siapa pun juga baik bagi mereka yang bekerja di ranah state sebagai pejabat pemerintah, legislatif, bank sentral atau pun yang bekerja di ranah civil society. Saya berharap mereka yang mempelajari biososioekonomi dengan serius dan tekun bisa ikut mewujudkan kesejahteraan umum. Rakyat menantikan partisipasi kita semua dalam kapasitas dan jabatan kita masing-masing.

Kita yang memahami biososioekonomi dan yang mengunjungi dan membaca blog ini harus tetap jernih di lingkungan yang tidak jernih. Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Kamis, 15 September 2011

Berbanggakah Anda Menjadi Bangsa Indonesia?

Tidak sedikit wiraswastawan/ti yang berhasil mengembangkan usahanya dengan mulai dari usaha kecil dan memanfaatkan segala potensi yang mereka miliki bukan dengan meminjam uang besar-besaran. Ada seorang wiraswastawan yang memulai usaha dari garasi rumahnya. Seorang rekan yang sukses membuka agent property dulunya memulai usaha itu sebagai marketing associate dengan modal pas-pasan dengan pager tanpa handphone meskipun waktu itu, sekitar tahun 1997, handphone sudah umum dimiliki banyak orang. Keuletan dan ketekunan menunjang sukses mereka. Orang-orang itu bisa sukses bukan karena hebat tanpa cacat kekuarangan tetapi karena mereka memanfaatkan potensi mereka, fokus memaksimalkan potensi sehingga segala cacat kelemahan mereka teratasi. Begitu memperloleh penghasilan memadai rekan saya itu segera membeli handphone yang memang sangat berguna bagi marketing associate properti.

Demikian juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita masih ada cacat kekurangannya seperti merajalelanya korupsi dan penyalahgunaan wewenang serta terlalu banyaknya politisi (dalam arti politisi busuk dan petualang politik) serta minimnya negarawan. Namun  di tengah situasi seperti itu kita harus fokus memanfaatkan segala potensi yang kita miliki. Dan bagi saya biososioekonomi adalah salah satu potensi yang kita miliki yang perlu dimaksimalkan sehingga pelan-pelan cacat-kekurangan yang kita miliki akan terkikis  habis atau teratasi.

Tidak sedikit orang Indonesia yang tidak bangga sebagai bangsa Indonesia karena tidak mengenal potensi dirinya. Saya bangga sebagai bangsa Indonesia karena saya mengenal potensinya. Bagi saya biososioekonomi adalah kebanggaan bersama yang harus dimaksimalkan untuk mengatasi cacat kekurangan kita. Biososioekonomi dirumuskan di Indonesia oleh anak bangsa untuk kesejahteraan bersama secara global. Kalau ada orang yang tidak bangga dengan biososioekonomi, patut diragukan nasionalismenya, boleh jadi orang seperti itu adalah hamba atau budak bangsa lain. Apakah ada orang Indonesia yang tidak bangga dengan biososioekonomi? Lihat saja komentar di blog ini. Tentu, sebagai teori ilmiah biososioekonomi terbuka terhadap koreksi dan perbaikan.

Kita hidup di Indonesia mencari rejeki di Indonesia seharusnya memiliki kepribadian Indonesia bukan menjadi budak bangsa lain dengan menenggelamkan biososioekonomi.











Kamis, 08 September 2011

Kebebasan Memilih Penyalur Sumbangan

Seperti saya tulis beberapa waktu lalu, orangtua siswa (mahasiswa) sering tidak memiliki kebebasan menyumbang. Mereka sering berada pada posisi terjepit, sudah begitu transparansi dan kontrol terhadap pemakaian dana tidak ada. Dalam kejadian seperti itu orangtua siswa (mahasiswa) tidak memiliki kebebasan menyumbang sehingga bisa dikatakan bahwa orangtua siswa (mahasiswa) itu dalam kondisi tertindas.

Penyumbang atau penderma (termasuk mereka yang mau mendaur ulang kekayaan pribadinya) bisa dianggap sebagai konsumen sosial yang seharusnya memiliki kebebasan dalam memilih lembaga penyalur derma atau penyalur sumbangannya. Istilah konsumen sosial mohon tidak dirancukan dengan istilah konsumen (yang membeli dengan motif keuntungan/benefit pribadi). Penderma seharusnya memahami demokrasi ekonomi bahwa laba dan kekayaan berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen yaitu kepada semua orang, sehingga penderma mendermakan hartanya tanpa motif keuntungan pribadi/kelompok. Satu-satunya motif adalah mengembalikan laba dan kekayaan kepada konsumen/semua orang. Kepercayaan merupakan dasar bagi penderma untuk memilih lembaga penyalur yang dianggap kredibel yang akan menyalurkan dermanya. Penderma tidak boleh dipaksa menyalurkan dermanya melalui lembaga yang tidak kredibel. Kalau hal seperti itu dilakukan maka biasanya penderma akan menyumbang ala kadarnya sehingga pendapatan (income) publik yang memadai tidak akan tercapai, atau terjadi penindasan seperti dalam kasus institusi pendidikan di atas.

Kalau kita perhatikan sabda Yesus pun Dia memberi kebebasan kepada para penderma memilih lembaga penyalur (bdk Mat 19:21). Yesus TIDAK mengatakan juallah hartamu, kemudian bawalah kemari biar Saya yang membagikan kepada orang-orang miskin. Oleh karena itu menurut hemat saya umat Kristiani bisa menyalurkan derma dan sumbangannya ke mana saja tidak hanya kepada lembaga keagamaan (Kristiani), juga bisa dibayarkan sebagian sebagai pajak bagi negara (demokrasi modern).

Selain kebebasan memilih penyalur sumbangannya ada hal lain yang perlu diperhatikan agar income publik yang memadai tercapai yaitu perlunya orang atau institusi pengingat yang mengingatkan perlunya income publik yang memadai secara obyektif, dimana orang atau institusi pengingat itu sebaiknya tidak merangkap sebagai penerima dan penyalur derma karena sering terjadi perangkapan itu mengakibatkan fungsi pengingat tidak maksimal. Saya bisa begitu lantang menyerukan daur ulang kekayaan pribadi karena saya tidak merangkap pekerjaan menerima dan menyalurkan dana daur ulang itu. Bagi saya sangatlah tidak etis kalau saya menerima dan menyalurkan dana daur ulang. Tetapi mengingatkan pentingnya daur ulang adalah suatu tugas dan pekerjaan penting. Oleh karena itu saya sangat tidak setuju dengan beberapa komentator yang menulis komentar di blog ini bahwa apa yang saya lakukan di blog ini "cuma omong doang, no action."

Saya meyakini bahwa pekerjaan mengingatkan adalah pekerjaan pentinaag yang perlu dilakukan. Begitu pentingnya sehingga Tuhan sering mengutus hamba-Nya secara istimewa untuk mengingatkan para penggarap agar menyerahkan hasil garapannya yang menjadi hak Tuhan (bdk Mat 21:34). Fungsi pengingat semakin penting dengan adanya pandangan atau ajaran sesat yang mengatakan bahwa bederma cukup 2,5% atau 10% dari harta pribadi. Kalau kita memahami matematika dan biososioekonomi kita tahu bahwa persentase di atas tidak cukup, itulah sebabnya mengapa Tuhan bersabda:"Juallah segala milikmu...." (Luk 12:33). Jadi, mengingatkan para penggarap dengan sabda Tuhan atau dengan biososioekonomi adalah sebuah pekerjaan. Selain sebagai pengingat saya juga berbagi harta secara riil dari pekerjaan saya sebagai penggarap. Merangkap pekerjaan sebagai penggarap menurut saya masih etis karena saya sudah berkomitmen untuk menyerahkan hasil garapan yang menjadi hak Tuhan. Yang tidak etis adalah selain sebagai pengingat merangkap pekerjaan sebagai penerima dan penyalur dana sebagaimana saya tulis di atas.

Semoga tulisan sederhana ini bisa ikut memberi sumbangan berarti bagi tercapainya kesejahteraan publik-rakyat secara global. Selamat bekerja di ladang Tuhan khususnya di divisi kesejahteraan umum. Tuhan memberkati kita semua.