Senin, 29 Maret 2010

Ya TUHAN Berilah Kiranya Keselamatan

Mazmur 118:25-26: "Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN, berilah kiranya kemujuran! Diberkatilah dia yang datang dalam nama TUHAN!...."
Mazmur 118:29: "Bersyukurlah kepada TUHAN sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya"

Diberkatilah yang datang dalam nama Tuhan. Hosana Putra Daud.

Kata-Nya "Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejehteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu" (Lukas 19:42)

Semoga TUHAN memberkati kita dan meluputkan dari yang akan terjadi.

Rabu, 24 Maret 2010

Aktivitas Makro Memang Tidak Selalu Bersentuhan Fisik dengan Orang Miskin

Pada postingan terdahulu dijelaskan bahwa pengentasan kemiskinan memerlukan pendekatan atau aktivitas mikro sekaligus makro. Perbedaan antara tataran mikro dan makro juga sudah dijelaskan.

Aktivitas makro untuk mengentaskan kemiskinan memang tidak bersentuhan secara fisik dengan orang miskin. Hal ini berbeda dengan karya mikro seperti katakanlah karya Beata Teresa yang bersentuhan fisik secara langsung dengan orang miskin.

Meskipun secara fisik tidak bersentuhan langsung dengan orang miskin bukan berarti pendekatan atau aktivitas makro tidak benar-benar membela wong cilik. Diperlukan intelektualitas yang memadai untuk menilai apakah suatu aktivitas makro benar-benar pro rakyat atau tidak. Teori ekonomi makro konvensional (baik neoklasik/neoliberal atau keynesian) adalah salah satu contoh pendekatan yang tidak benar-benar makro. Banyak orang terkecoh dengan teori itu sebagai makro.

Pendekatan atau aktivitas makro pengentasan kemiskinan memiliki tantangan tersendiri. Tidak bersentuhannya secara fisik langsung dengan orang miskin membuatnya sering ditolak atau dicurigai macam-macam. Tantangan itu berbeda dibanding yang terjadi pada tataran mikro.

Pengalaman saya memperjuangkan demokrasi ekonomi dan teori ekonomi makro biososioekonomi menghadapi banyak tantangan dan hambatan yang berbeda itu. Tantangan yang sering dihadapi adalah hegemoni akademik, pelacuran intelektual, resistensi dari para pelaku triple six (pewarisan kekayaan berlimpah), penindasan oleh media massa, pragmatisme pejabat negara, kecurigaan otoritas keagamaan, cara berpikir linier, cara berpikir yg eksklusif empirisistis, kepura-puraan (pura-pura tidak tahu) dan keengganan untuk ke luar dari zona nyaman. Itulah tantangan dan hambatan yang dihadapi aktivis makro. Meskipun tantangan dan hambatan itu tidak kecil tetapi perjuangannya sering mendapatkan kemudahan dari kuasa Ilahi. Tuhan itu nyata bagi wong cilik. Orang yang buta dan tuli hatinya saja yang tidak mau mengakui tanda-tanda yang diberikan Tuhan yang begitu dahsyat. Bagi aktivis makro biososioekonomi janganlah khawatir dan berkecil hati karena Tuhan beserta kita.

Aktivitas Makro Memang Tidak Selalu Bersentuhan Fisik dengan Orang Miskin

Pada postingan terdahulu dijelaskan bahwa pengentasan kemiskinan memerlukan pendekatan atau aktivitas mikro sekaligus makro. Perbedaan antara tataran mikro dan makro juga sudah dijelaskan.

Aktivitas makro untuk mengentaskan kemiskinan memang tidak bersentuhan secara fisik dengan orang miskin. Hal ini berbeda dengan karya mikro seperti katakanlah karya Beata Teresa yang bersentuhan fisik secara langsung dengan orang miskin.

Meskipun secara fisik tidak bersentuhan langsung dengan orang miskin bukan berarti pendekatan atau aktivitas makro tidak benar-benar membela wong cilik. Diperlukan intelektualitas yang memadai untuk menilai apakah suatu aktivitas makro benar-benar pro rakyat atau tidak. Teori ekonomi makro konvensional (baik neoklasik/neoliberal atau keynesian) adalah salah satu contoh pendekatan yang tidak benar-benar makro. Banyak orang terkecoh dengan teori itu sebagai makro.

Pendekatan atau aktivitas makro pengentasan kemiskinan memiliki tantangan tersendiri. Tidak bersentuhannya secara fisik langsung dengan orang miskin membuatnya sering ditolak atau dicurigai macam-macam. Tantangan itu berbeda dibanding yang terjadi pada tataran mikro.

Pengalaman saya memperjuangkan demokrasi ekonomi dan teori ekonomi makro biososioekonomi menghadapi banyak tantangan dan hambatan yang berbeda itu. Tantangan yang sering dihadapi adalah hegemoni akademik, pelacuran intelektual, resistensi dari para pelaku triple six (pewarisan kekayaan berlimpah), penindasan oleh media massa, pragmatisme pejabat negara, kecurigaan otoritas keagamaan, cara berpikir linier, cara berpikir yg eksklusif empirisistis, kepura-puraan (pura-pura tidak tahu) dan keengganan untuk ke luar dari zona nyaman. Itulah tantangan dan hambatan yang dihadapi aktivis makro. Meskipun tantangan dan hambatan itu tidak kecil tetapi perjuangannya sering mendapatkan kemudahan dari kuasa Ilahi. Tuhan itu nyata bagi wong cilik. Orang yang buta dan tuli hatinya saja yang tidak mau mengakui tanda-tanda yang diberikan Tuhan yang begitu dahsyat. Bagi aktivis makro biososioekonomi janganlah khawatir dan berkecil hati karena Tuhan beserta kita.

Rabu, 17 Maret 2010

Perlu Pendekatan Mikro Sekaligus Makro dalam Pengentasan Kemiskinan

Pengentasan kemiskinan tidak akan berhasil dengan baik kalau hanya menggunakan salah satu pendekatan saja baik mikro atau makro saja. Tidak sedikit orang yang tidak mengetahui perbedaan antara mikro dan makro. Untuk itu, berikut ini perlu saya sampaikan suatu ilustrasi agar orang bisa membedakan dua tataran tersebut yaitu mikro dan makro.

Ada suatu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berniat membantu keluarga miskin untuk meningkatkan pendapatannya yaitu dengan usaha ternak lele. LSM tersebut memberikan pembinaan dengan pelatihan (teknis beternak lele, manajemen usaha), pendampingan, maupun dukungan finansial sehingga keluarga miskin tersebut berhasil. Produksi lele dari peternakannya meningkat pesat dan penjualannya juga lancar.

Namun karena secara makro tidak ada peningkatan kosumsi atau tidak ada peningkatan permintaan lele maka akibatnya adalah ada peternak lain yang mengalami penurunan usaha atau bahkan bangkrut. LSM itu berhasil mengentaskan salah satu keluarga miskin tetapi gagal mencegah munculnya orang miskin baru.

Aktivitas seperti yang dilakukan LSM itu berada pada tataran mikro bukan karena hal dilakukan LSM tetapi karena bersifat individual untuk meningkatkan pendapatan individu/rumah tangga. Pemerintah pun sering melakukan aktivitas mikro seperti itu dan melupakan yang makro. Beberapa kegiatan atau aktivitas serupa yang masuk kategori mikro adalah credit union, koperasi, pembinaan UMKM baik oleh pemerintah maupun LSM, Grameen Banking, pembinaan oleh bank komersial, pendidikan atau pelatihan, motivasi baik yang dilakukan LSM, Pemerintah, atau pebisnis senior (upline dalam MLM) atau kegiatan lain yang bersifat individual.

Suatu aktivitas dikatakan makro bukan karena hal itu dilakukan pemerintah semata tetapi karena benar-benar menggunakan paradigma makro. Banyak orang yang tidak mengetahui bahwa kebijakan pemerintah dan bank sentral yang berdasarkan pada teori ekonomi konvensional (baik neoklasik/neoliberal atau keynesian) sebenarnya tidak benar-benar berparadigma makro.

Teori konvensional masih menggunakan besaran pertumbuhan PDB sebagai sesuatu yang harus dicapai. Padahal PDB adalah besaran yang menunjukkan total pendapatan individual tahunan. Di satu sisi teori ekonomi konvensional itu mengakui bahwa deposito pribadi dan perusahaan adalah liability bagi Bank Sentral atau liability bagi publik pada tataran makro tetapi di sisi lain kebijakan makro ekonomi diarahkan untuk menggenjot pertumbuhan pendapatan individual (PDB). Ini adalah kontradiksi yang menohok akal sehat.

Oleh karena itu pendekatan makro untuk pengentasan kemiskinan tidak boleh diserahkan begitu saja pada pemerintahan yang berparadigma konvensional (baik neoklasik/neoliberal maupun keynesian) siapa pun pejabatnya. Demikian pula suatu program yang berkaitan dengan pemerataan atau redistribusi aset belum tentu secara makro baik bagi upaya pengentasan kemiskinan karena tetap saja setiap kekayaan individu adalah liability bagi publik.

Pendekatan makro yang benar-benar berparadigma makro adalah yang berdasarkan teori ekonomi makro biososioekonomi. Bukan sekedar meratakan pendapatan atau redistribusi aset tetapi menjaga keseimbangan antara aset individu dengan aset publik sedemikian sehingga sistem ekonomi mampu membayar semua kewajibannya yaitu laba, bunga, gaji, dan jaminan sosial (pendidikan, kesehatan, pangan untuk membiyai food stamps atau program ketahanan pangan).

Dalam kondisi yang seimbang itu mencari rejeki juga mudah bagi kaum miskin dan lemah. Dalam paradigma konvensional bunga mengalir dari orang miskin kepada pemilik modal tetapi dalam paradigma biososioekonomi bunga dan kekayaan juga mengalir kepada kaum lemah atau anak-anak melalui jaminanan pendidikan dan beasiswa. Kaum lemah bisa menabung sejak usia dini dalam situasi makro ekonomi yang stabil.

Persoalan kemiskinan tidak hanya persoalan riil tetapi juga persoalan moneter dan makro ekonomi yang tidak berpihak pada kaum miskin dan lemah. Sudah saatnya pengentasan kemiskinan harus melalui pendekatan mikro dan makro sekaligus. Siapapun yang terlibat juga perlu memahami kedua tataran itu dan tidak menyerahkannya begitu saja pada teori ekonomi makro konvensional (neoklasik/neoliberal atau keynesian) karena teori itu tidak benar-benar berparadigma makro.

Kamis, 11 Maret 2010

Mempertanyakan Terjemahan Buku Karya de Graaf Tentang Mataram

Saya tidak memahami bahasa Belanda. Namun demikian ada hal menyolok di mana orang yang awam bahasa Belanda pun tahu kejurangtepatan buku karya H.J De Graaf edisi terjemahan. Buku aslinya berjudul: "De Regering van Panembahan Senapati Ingalaga" diterbitkan pertama kali oleh KITLV Leiden tahun 1954. Sedangkan terjemahannya diterbitkan oleh Perwakilan KITLV Jakarta bekerja sama dengan PT Pustaka Utama Grafiti Jakarta. Yang saya baca adalah cetakan III (edisi revisi, 2001).

Karena saya tidak memahami bahasa Belanda maka saya akan fokus pada hal-hal yang menyolok mata pada buku terjemahannya yang berjudul: "Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati" itu. Ada dua hal yang perlu saya soroti.

Pertama penerjemahan judul, penerjemahan judul ini tidak tepat. Arti harafiah "De regering van Panembahan Senapati Ingalaga" adalah "pemerintahan Panembahan Senapati Ingalaga." Sebagai sejarawan profesional de Graaf sudah tepat memberi judul karyanya seperti itu. Sementara penerjemahan judul terkesan subyektif. Kalau kita membaca isi buku terjemahan itu kita akan disuguhi uraian de Graaf secara panjang lebar dengan alur pikir yang jernih dan obyektif. Dari uraian yang panjang lebar itu saya tidak menemukan kesan kebangkitan Mataram. Jadi antara judul dan isi tidak klop.

De Graaf berpendapat bahwa Mataram diperoleh dengan kekerasan (hlm 63: "Berita-berita tua dan agak meyakinkan mengenai penaklukan dengan kekerasan atas Mataram kiranya lebih dapat diterima. Karena itu, kami sangat cenderung memandangnya sebagai yang asli"). Selain itu di halaman 68 de Graaf menulis:"Jadi, jika dibersihkan dari segala tulisan rekaan, maka tinggallah sisa catatan yang mengisahkan bahwa di daerah Mataram ada juga keluarga-keluarga tua yang memandang Kiai Gede Pamanahan dan kaumnya sebagai penyusup, dan perampas hak-hak lama"

Yang kedua, mengenai kata pengantar yang dibuat penerbit. Dalam kata pengantar itu juga diistilahkan "kebangkitan Mataram" seperti penerjemahan judul.

Maka perlu dipertanyakan pemakaian istilah "kebangkitan Mataram." Mataram bangkit atau terjajah itu tergantung sudut pandangnya. Menggunakan istilah yang tidak netral dalam karya ilmiah itu sangat tidak tepat. Saya berpendapat bahwa orang-orang Mataram (lama)adalah korban ambisi dan pertikaian elite pantai Utara Jawa abad keenambelas. Pertikaian antara Jipang dan Kalinyamat adalah pertikaian antara elite pantai utara. Demikian juga pertikaian antara Senapati dengan Pati. Semoga pihak penerbit mau memberi penjelasan.

Rabu, 03 Maret 2010

Di Istana Poh Pitu, Di Kota Medang, Di Bumi Mataram

Fakta-fakta arkeologis banyak memberi petunjuk mengenai kejadian di masa lalu. Dan sering fakta itu mengagetkan. Gambaran yang pasti mengenai masa lalu memang tidak mudah diperoleh atau bahkan tidak mungkin diperoleh, akan tetapi fakta-fakta arkeologis memang membantu. Tidak tepat pada kebenaran tetapi mendekati kebenaran, hal ini sering dirasa sudah cukup dari pada jauh dari kebenaran.

Judul di atas kurang lebih menggambarkan tafsiran yang dibuat arkeolog dari cuplikan kata-kata yang ada pada beberapa prasasti yang bunyi aslinya: (1)"i mamratipurastha medang kadatwan"-Siwagrha 856 M (2)"ri mdang ri poh pitu, rakai mataram..." Mantyasih I 907M (3)"kadatwan...i mdang i bhumi mataram"-Sugih Manek 915 M, Sangguran 928 M (d)"kadatwan...sri maharaja i bhumi mataram"-Turyyan 929 M (5)"i mdang i bhumi mataram I watu galuh"-Paradah II 943 sebagaimana saya baca di halaman 147-150 dari buku Peradaban Jawa karya arkeolog UI Supratikno Rahardjo yang diterbitkan Komunitas Bambu 2002.

Sebagaimana ditafsirkan oleh Supratikno Rahhardjo kata-kata dalam prasasti itu menunjukkan nama-nama tempat beserta hirarkinya. Nama istana dalam berbagai prasasti ada sekitar tiga buah yaitu Mamrati, Poh Pitu, dan Watu Galuh. Sementara nama ibu kotanya disebut sebagai Medang atau Mdang.
Nama Medang selalu dipakai meskipun istananya berpindah. Demikian juga ketika pusat pemerintahan pindah ke Jawa Timur nama Medang tetap dipakai.

Di mana letak ibu kota tersebut ketika pusat pemerintahan masih di Jawa Tengah? Berikut ini saya kutipkan pendapat Supratikno Rahardjo: "Ihwal ibukota Mataram, tanggapan di sini letaknya ibukota lebih dekat dengan pusat-pusat bangunan keagamaan terpenting pada saat itu. Ada dua kemungkinan lokasi, yakni di daerah Kedu dan di daerah Prambanan, atau di kedua wilayah tersebut dalam waktu yang tidak bersamaan. Kemungkinan tersebut ditunjang oleh kenyataan bahwa bangunan-bangunan keagamaan utama memang terpusat di kedua wilayah tersebut. Selain itu, konsentrasi penemuan prasasti-prasasti dari periode Mataram menunjukkan adanya lima wilayah yang tergolong kepadatannya tinggi, yakni Klaten, Bantul, Temanggung, Sleman, dan Magelang. Dari kelima wilayah ini, dua yang paling padat adalah Sleman (13) di daerah Prambanan dan Magelang (19) di daerah Kedu. Demikian pula temuan benda-benda logam, baik yang terbuat dari perunggu, perak, maupun emas, juga terkonsentrasi di kedua wilayah tersebut"

Salah satu temuan benda emas yang paling fenomenal adalah yang ditemukan di sebuah tempat yang disebut Wonoboyo di dekat Prambanan. Penemuan itu merupakan yang terbesar yang pernah ditemukan di Jawa, terdiri dari berbagai perhiasan, 6.396 keping uang emas, 600 keping uang perak dengan berat keseluruhannya adalah 35 kilogram (Supratikno Rahardjo, hlm 146).

Pada masa Jawa Timur yaitu masa Tamwlang-Kahuripan (929-1051M) ada beberapa prasasti yang menunjuk tempat pusat pemerintahan. Dalam prasasti itu ditulis: (1) "sri maharaja makadatwan i tamwlang"-Turyyan 929M (2) "sri maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i patakan" - Terep 1032M (3) "makateweka pandri sri maharaja makadatwan i kahuripan-Kamalagyan 1037M" (Supratikno Rahardjo hlm 150)

Mengenai tempat-tempat itu berikut ini saya cuplikkan pendapat Supratikno Rahardjo: "Nama-nama di atas dikutip untuk menunjukkan bahwa tidak mudah mengidentifikasi nama tertentu, apakah mengacu kepada nama negara, ibu kota, atau istana. Nama-nama Tamwlang dan Kahuripan jelas disebut sebagai kadatwan, sedangkan yang lain hanya dapat diduga. Demikian pula nama Wwatan Mas, menurut konteksnya mungkin juga mengacu nama ibukota" (hlm 150)

Pada masa Jawa Timur tidak mudah membedakan nama ibukota dan negara. Mengenai beberapa nama dalam berbagai prasasti pada masa 929-1486M, berikut ini saya kutipkan pendapat Supratikno Rahrdjo: "Pada umumnya nama ibukota sekaligus juga digunakan sebagai negara. Sebab itu nama-nama Kahuripan, Kadiri, Singhasari dan Wilwatikta sering dipahami dalam arti tersebut sekaligus. Meski demikian, dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti yang meyakinkan. Satu-satunya dukungan yang mungkin dapat diandalkan adalah dalam hal nama Wilwatikta, karena nama tersebut disebut baik sebagai nama kerajaan dan juga nama ibukota."

Selain bisa dipakai untuk memperkirakan lokasi ibu kota kerajaan, fakta-fakta arkeologis juga bisa menggambarkan aktifitas atau pencapaian di masa lalu. Dari semua raja-raja pada masa Jawa Kuno tercatat Rakai Kayuwangi (memerintah 855-885M) yang paling banyak mendistibusikan tanah sima/perdikan, diikuti oleh Mpu Sindok (929-948M).

Pada akhir masa Majapahit, nama Mataram dikenal sebagai negara bawahan atau kabupaten kecil di sekitar Kali Opak DIY Sementara nama Medang tidak terdengar beritanya atau tidak dipakai sebagai nama tempat. Menurut pendapat saya, sala satu hal yang menyebabkan Mataram tidak menjadi besar karena dikelilingi oleh tanah sima/perdikan atau tanah brahmana yang tidak bisa ditarik pajaknya. Pembesaran Mataram pada masa Senopati terjadi dengan proses yang tidak wajar. Dipandang dari sudut pandang budaya atau spiritual proses seperti itu akan menghasilkan kutukan atau karma. Sejarah memang mencatat bahwa setelah Senopati yang bukan orang Mataram itu berkuasa di Bumi Mataram (1588-1601), penjajah Belanda pun datang ke Pulau Jawa dan menjajahnya selama 350 tahun.