Kamis, 28 Juli 2011

Go Green


Upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup dan mencegah pemanasan global adalah tanggung jawab kita bersama. Individu, pemerintah, civil society, perguruan tinggi,konsumen,pengusaha,politisi, dan ilmuwan dituntut partisipasi dan tanggung jawabnya. Kampanye go green dengan prinsip reduce, recycle, replace, dan reuse,merupakan salah satu upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan mencegah pemanasan global.

Berbagai tips dan cara-cara yang harus dilakukan untuk go green juga telah disebarkan melalui berbagai forum dan tulisan. Tips dan cara-cara itu antara lain adalah mengurangi pemakaian energi fosil, menghemat kertas dan packaging, menghemat pemakaian listirik, menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, mendaur ulang plastik dan ponsel, serta memakai kembali kantong plastik belanja dari minimarket.


Selain yang sudah disampaikan melalui berbagai forum dan kampanye itu, tentu perlu juga kita beraksi pada tataran makro. Biososioekonomi dengan prinsip recycle aset pribadi jelas mendukung go green. Dengan recycle aset pribadi itu, PDB (produk domestik bruto) tidak perlu tumbuh. Banyak hal dari aksi mikro yang dianjurkan go green akan sia-sia kalau tidak ada aksi pada tataran makro, kalau pada tataran makro kita masih berprinsip bahwa suatu kesejahteraan hanya bisa dicapai kalau PDB tumbuh. Menjaga pertumbuhan populasi penduduk 0% juga bisa ikut mengurangi beban ekologis yang harus ditanggung bumi.Secara ringkas dapat dikatakan menekan pertumbuhan PDB menekati 0% serta menjaga pertumbuhan populasi penduduk maksimal 0% seharusnya juga bagian dari GO GREEN. Semoga tulisan sederhana ini dipahami, ditindaklanjuti dan diimplementasikan.

Kamis, 21 Juli 2011

Sudahkah Para Pejabat Mengoreksi dan Memperbaiki Diri?

Kicauan M Nazarudin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, membuat banyak pihak tidak senang. Benar tidaknya kicauan M Nazaruddin memang harus dibuktikan akan tetapi kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah memang memprihatinkan. Pejabat itu digaji untuk menjaga kepentingan publik dan kesejahteraan publik namun justru merusak apa yang seharusnya dijaga.

Sudahkah pejabat pemerintah mengoreksi diri dan memperbaiki diri sebelum dikoreksi pihak lain? Koreksi oleh pihak lain akan terasa menyakitkan bagi yang dikoreksi. Dan koreksi dari TUHAN bisa lebih dahsyat. Negara ini adalah republik, pergantian pejabat pemerintah adalah hal yang biasa dalam suatu republik.

Dibutuhkan sikap negarawan, dibutuhkan sikap dewasa untuk memperbaiki diri dan keadaan. Dibutuhkan pula sikap mau belajar dari pihak lain. Kalau ada orang yang gajinya rendah tapi pekerjaan dan pengabdiannya luar biasa (seperti mbah Marijan alm misalnya) seharusnya menjadi cermin bagi pejabat untuk memperbaiki diri. Kalau ada orang berhasil tanpa rekayasa dan kecurangan, seharusnya juga bisa dijadikan cermin bagi pejabat untuk mawas diri.

Seorang pengusaha bisa bermanfaat bagi publik kalau membagikan hartanya melalui derma (termasuk daur ulang aset pribadi) dan membayar pajak. Sementara pejabat pemerintah bisa bermanfaat bagi publik kalau menjaga kepercayaan yang diberikan dengan benar-benar bekerja untuk kepentingan publik yaitu antara lain dengan mengelola pajak dengan baik dan jujur.

Marilah kita mawas diri dan memperbaiki diri sebelum dikoreksi oleh orang lain atau dikoreksi (dihukum) TUHAN yang bisa lebih dahsyat. Bertobat selagi sempat, karena esok mungkin terlambat.

Kamis, 14 Juli 2011

Anti Demokrasi(Ekonomi) dalam Penyelenggaraan Pendidikan

Demokrasi ekonomi dalam paradigma barunya yang mengakomodasi teori ekonomi makro baru biososioekonomi memiliki prinsip yang jelas dan accountable yaitu bahwa laba (dan akumulasinya) berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Dengan cara seperti itu akan diperoleh keseimbangan (baik keseimbangan alam maupun keseimbangan aset publik-privat), efisiensi ekologis, dan keadilan sosial. Sayangnya prinsip semacam itu belum dikenal luas dan diimplementasikan. Sebagai contoh adalah penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan.

Memasuki tahun ajaran baru seperti sekarang ini membuat banyak (maha)siswa ataupun orang tuanya cemas khawatir tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena ekonomi. Kecemasaan itu masuk akal karena banyak sekolah dan perguruan tinggi masih membebankan biaya penyelenggaraan pendidikannya kepada konsumen dalam hal ini adalah (maha)siswa atau orang tuanya. Bahkan penyelenggara pendidikan juga tidak transparan dalam mengelola keuangan sebagaimana diberitakan harian Kompas 13 Juli 2011 ("Sekolah Tertutup Soal Keuangan"). Selain tidak transparan, pungutan biaya pendidikan dari konsumen pendidikan itu juga cenderung anti demokrasi (umum) juga anti demokrasi ekonomi meskipun dengan dalih atau alasan subsidi silang sekalipun. Inilah salah satu bentuk otoriterianisme yang harus diwaspadai di era reformasi ini.

Salah satu indikasi tidak demokratisnya penyelenggaraan pendidikan adalah posisi komite sekolah. "Komite sekolah yang mestinya menjadi pengontrol keuangan sekolah justru berada di bawah subordinasi kepala sekolah untuk mengesahkan pengelolaan keuangan di sekolah" demikian saya kutip dari pemberitaan Kompas di atas. Dan karena khawatir anaknya mendapat intimidasi, banyak orangtua yang tidak meminta pertanggungjawaban lebih dalam mengenai penggunaan dana dari orangtua siswa.

Tidak demokratisnya penyelenggaraan pendidikan tidak hanya karena posisi komite sekolah tapi juga karena pungutan yang dibebankan kepada konsumen pendidikan itu. Salah satu cacat dalam kehidupan manusia adalah tidak bisa memilih orangtua yang harus melahirkannya. Dilahirkan sebagai anak orang miskin tentu bukan suatu pilihan. Setiap orang yang berkehendak baik harus ikut mengeliminir cacat itu. Subsidi silang antar siswa bukanlah solusi, subsidi silang itu juga bertentangan dengan demokrasi ekonomi dalam paradigma barunya, mengapa? Karena yang dipakai sebagai sumber dana untuk memberi subsidi berasal dari konsumen pendidikan yang dalam pada itu berada pada posisi terjepit khawatir tidak diterima kalau sumbangannya sedikit. Selain itu perbedaan ekonomi orangtua (maha)siswa relatif tidak besar sehingga tetap membebani konsumen. Orang yang sangat kaya boleh jadi anaknya sudah lulus kuliah atau kuliah di luar negeri, oleh karena itu subsidi silang semacam itu tidak jauh dari aroma penindasan. Orang yang sangat kaya itu kekayaannya berasal dari akumulasi laba yang belum dikembalikan kepada konsumen sesuai prinsip biososioekonomi-demokrasi ekonomi. Kalau mau subsidi harus dicarikan dana di luar konsumen pendidikan. Itulah yang diupayakan biososioekonomi.

Dalam paradigma biososioekonomi baik penyumbang maupun yang disumbang adalah sama-sama konsumen sosial. Penyumbang memiliki kebebasan, kepada lembaga apa dia akan menyumbang. Ini adalah masalah kepercayaan seperti halnya nasabah bank yang hanya memilih bank yang ia percayai untuk menjadi tempat menyimpan dananya. Sementara itu dalam kasus subsidi silang pendidikan, penyumbang tidak memiliki kebebasan semacam itu.

Cara pembiayaan pendidikan yang konvensional itu seharusnya diakhiri karena tidak sesuai dengan demokrasi umum maupun demokrasi ekonomi. Biososioekonomi menawarkan pembiayaan pendidikan yang berkeadilan sosial dan sesuai dengan prinsip demokrasi ekonomi. Dalam paradigma biosoioekonomi, semua anak baik pintar atau bodoh, kaya atau miskin seharusnya mendapat paket beasiswa sampai dengan S1. Kalau kemampuan intelektualnya hanya sampai SMP atau SMA ia bisa mengambil sisa paket beasiswanya sebagai tunjungan pensiun nantinya.

Kita membutuhkan organisasi konsumen sosial yang menuntut daur ulang kekayaan pribadi, menuntut dikembalikannya laba atau berjuang mendemokrasikan ekonomi sehingga pembiayaan pendidikan menjadi lebih demokratis dan berkeadilan sosial. Kita membutuhkan banyak pekerja di ladang Tuhan khususnya di divisi kesejahteraan umum ini. Semoga Tuhan menyempurnakan usaha kita yang kita tekuni melalui jalan damai.

Artikel Terkait
Revolusi Memang Belum Selesai, Revolusi Damai Dimungkinkan!
Demokrasi Ekonomi (Biososioekonomi) Lebih dari Sekedar Politik Etis Belanda

Kamis, 07 Juli 2011

Kepemimpinan Opini di Divisi Kesejahteraan Umum

Sebagaimana saya sampaikan dalam postingan di blog ini khususnya postingan Selasa lalu, saya meyakini bahwa Tuhan telah memilih saya untuk dipekerjakan di ladang-Nya yaitu di ladang yang berkaitan dengan kesejahteraan umum bukan di ladang moral-kerohanian atau ritual-kesucian-pengkudusan. Saya juga meyakini bahwa ladang di mana saya dipekerjakan merupakan divisi tersendiri di bawah TUHAN langsung bukan sub ordinat pihak lain yang sebenarnya juga sebuah divisi di bawah TUHAN langsung. Meskipun demikian saya tidak menganggap diri saya sebagai kepala divisi yang membawahi pekerja lain dengan garis komando yang rigid. Bahwa di ladang lain ada semacam kepala dengan garis-garis komando yang rigid itu bukan urusan saya.

Mungkin juga karena ladang di mana saya dipekerjakan relatif lebih eksak sehingga tidak memerlukan suatu kepala divisi atau pemimpin divisi dengan garis komando yang rigid. Orang yang terpanggil bekerja di ladang tempat saya dipekerjakan bisa bekerja sepenuh hati dan berpartisipsi dengan nyaman tanpa harus menjadi bawahan saya. Tuhan yang akan menjadi atasan mereka, bukan saya.

Karena relatif lebih eksak, ladang tempat saya dipekerjakan sebaiknya berjalan dan beroperasi dengan suatu kepemimpinan yang dinamakan kepemimpinan opini bukan kepemimpinan (oleh) orang. Artinya para pekerja bekerja dengan panduan suatu opini tentang kesejahteraan umum sesuai dengan hukum atau teori ekonomi makro biososioekonomi. Biososioekonomi memberi ukuran dan gambaran yang jelas bagaimana suatu kesejahteraan umum seharusnya diwujudkan.

Ukuran-ukuran itu adalah:

(1) Aset publik yang setara dengan liabilitasnya
sebagaimana ditunjukkan oleh neraca herucakra society dan neraca pemerintah. Aset ini diperoleh dari pendapatan publik yang berupa pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu bukan dari laba usaha, karena laba dikategorikan sebagai pendapatan privat atau kelompok yang membebani publik. Dengan kondisi ini dijamin sistem ekonomi mampu membayar kewajiban-kewajibannya yang berupa laba, bunga, gaji pegawai, dan jaminan sosial (pendidikan, kesehatan, food stamps-ketahanan pangan)

(2) Prosentase anak usia sekolah yang mendapat pembiayaan sekolah (beasiwa) dengan cara biososioekonomi mencapai 100%.

(3) PIT atau prosentase individu (keluarga) yang tumbuh semakin kaya besarnya medekati 100%. Artinya semua orang atau hampir semua orang semakin kaya. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa biososioekonomi menggunakan ukuran PIT ini bukan pertumbuhan PDB.

Dengan ukuran yang jelas ini seharusnya tidak ada pekerja yang mengklaim bekerja di ladang kesejahteraan umum ini tapi tindakannya melawan kesejahteraan umum, misalnya dengan menjadikan pertumbuhan PDB sebagai ukuran atau target yang harus dicapai. Pertumbuhan PDB tidak menggambarkan pertumbuhan kesejahteraan publik, secara akutansi pendapatan privat berkorelasi langsung dengan aset privat, dan semua aset privat adalah liabilitas bagi publik. Penjumlahan pendapatan privat (PDB) tidak otomatis membuatnya menjadi pendapatan publik. Dengan kepemimpinan opini ini kesejahteraan umum tidak tergantung saya, artinya kalau saya tiada penyelenggaraan kesejahteraan umum ini harus tetap berjalan.
Dengan kepemimpinan opini ini pula apa yang saya peroleh yaitu yang disebut sebagai wahyu keprabon tidak bisa diwariskan kepada anak keturunan saya.

Selain ukuran-ukuran di atas, tentu yang harus dijaga adalah agar bidang kesejahteraan umum tetap otonom di bawah TUHAN langsung bukan di bawah otoritas keagamaan-kerohanian karena kalau berada di bawah otoritas keagamaan-kerohanian maka kesejahteraan umum akan dikalahkan oleh dalih-dalih yang salah kaprah seperti pernah saya kemukakan dalam postingan saya yang lain.

Semoga tulisan ini bisa memperjelas keberadaan ladang kesejahteraan umum yang merupakan salah satu ladang TUHAN.

Artikel Terkait


Mencoba Memenuhi Panggilan

Kelemahan Konsep PDB dan Pertumbuhan PDB
Semua artikel yang berlabel Biososioekonomi

Selasa, 05 Juli 2011

Mencoba Memenuhi Panggilan

Tanggal 4 Juli 2002 adalah tanggal yang tak pernah saya lupakan dalam hidup saya karena tepat pada tanggal itulah saya berhasil menemukan diri saya secara utuh dengan membaca nama saya R Hani Japar tersandi dalam sebuah mimpi penduduk Bantul. Dan melalui blog ini saya mecoba memenuhi panggilan hidup saya mewujudkan kesejahteraan umum. Sekali lagi perlu saya tegaskan bahwa bidang panggilan yang menjadi perhatian saya adalah kesejahteraan umum.

Saya meyakni bahwa Tuhan telah memilih saya untuk bekerja di salah satu ladang-Nya yaitu kesejahteraan umum bukan ladang lain yang berkaitan dengan moral kerohanian (kenabian) atau ritual kesucian (imamat). Saya meyakini bahwa Tuhan juga mempunyai perhatian pada kesejahteraan umum sebagaimana saya ketahui melalui Alkitab. Maka kalau saya kadang-kadang mengutip Alkitab di blog ini, hal ini berkaitan dengan kesejahteraan umum bukan berkaitan dengan moral kerohanian atau ritual kesucian yang menjadi wewenang pihak lain.

Saya mengucapkan terima kasih kepada siapa saja yang ikut mempublikasikan dan menyebarluaskan teori ekonomi makro biososioekonomi ataupun url blog ini. Dengan cara itu Anda juga terlibat dalam mewujudkan kesejahteraan umum dan bekerja di salah satu ladang Tuhan. Sebagai teori ilmiah biososioekonomi terbuka terhadap kritik dan masih perlu dikembangkan.

Marilah kita sama-sama memperbaiki diri untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan tetap setia dengan cara-cara non kekerasan. Tuhan akan menyempurnakan usaha kita.

Artikel Terkait
Yesus dan Politik

Membongkar Penindasan (2)

Damarwulan, Lohgender, dan Realitas Hidup Kita

Di Antara Kali Progo dan Kali Opak

Menjawab Pertanyaan Di Sekolah Kehidupan

Wahyu Keprabon