Selasa, 31 Mei 2011

Mengapa Saya Menerima NKRI dan Pancasila?

Menyongsong hari lahir Pancasila 1 Juni perlulah kiranya bagi saya untuk memposting artikel ini. Meskipun isi sebagian artikel ini pernah saya kemukakan dalam artikel-artikel terdahulu namun khusus menyongsong hari lahir Pancasila tidak ada jeleknya saya rangkum kembali menjadi tulisan baru. Kita tidak boleh berhenti membicarakan dan mengaktualisasikan Pancasila dalam hidup berbangsa dan bernegara sehari-hari.

Pancasila digali dari sejarah, budaya, dan peradaban Nusantara di mana peradaban Nusantara itu sendiri sudah berjalan lebih dari 1.500 tahun dengan ribuan pulau, aneka etnis, budaya, bahasa, agama (kepercayaan), dan juga berbagai kerajaan dengan sejarahnya masing-masing. Peradaban Nusantara itu bermuara pada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 dengan Pancasila sebagai dasarnya, UUD 45 dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Dari keanekaragaman budaya Nusantara itu, peradaban Mataram (kuno) adalah salah satu peradaban besar. Kebesaran peradaban Mataram (Kuno) tidak saja terlihat dari peninggalan-peninggalan sejarah yang berupa candi-candi monomental seperti Borobudur dan Rara Jonggrang yang berada pada tepi Kali Progo dan Kali Opak, tetapi juga dari berbagai temuan dan berita manca negara. Sebuah temuan emas yang dikenal sebagai Wonoboyo hoard (timbunan Wonoboyo) menunjukkan juga kebesaran peradaban Mataram di mana jumlah temuan emas dari masa Jawa Tengah melebihi temuan di Jawa Timur (Supratikno Rahardjo, 2002, Peradaban Jawa, hlm 146 ). Peradaban Jawa Timur juga peradaban besar namun karena melakukan kekeliruan, emasnya keluar dari wilayah kerajaan dipakai untuk membayar denda atau diambil sebagai pampasan perang. Berita manca negara menunjukkan bahwa pada jaman Rakai Kayuwangi (memerintah 855-885M) beras mulai diekspor dari pelabuhan-pelabuhan
di P Jawa, hal ini terkait dengan pranata sima (perdikan) di mana Rakai Kayuwangi adalah raja Jawa Kuno yang paling banyak mendistribusikan tanah sima.

Kembali pada pokok tulisan ini, kalau saya mengidentifikasi diri dengan Mataram, pertama-tama bukan karena leluhur saya berasal dari wilayah antara K Progo (Mangir) dan K Opak atau karena saya lahir di tempat yang memakai kata mataram atau karena nama saya secara tersandi disebut dalam sebuah mimpi seorang penduduk Bantul (DIY), meskipun hal itu juga penting dan tidak dapat diingkari, tetapi alasan yang pertama bagi saya adalah karena saya dalam perjalanan hidup dan rohani saya telah menemukan makna mataram dan mengisinya dengan merumuskan teori ekonomi makro baru yaitu biososioekonomi yang pro rakyat, pro keadilan, dan pro keseimbangan ekologis. Sebagaimana saya sampaikan dalam artikel Wahyu Keprabon, apa yang saya klaim berkaitan dengan Mataram bisa batal kalau teori saya biososioekonomi salah (sebagai teori ekonomi makro/publik kerakyatan yang pro rakyat, pro keadilan, dan pro keseimbangan ekologis). Bagi saya teori ekonomi makro biososioekonomi sama monumentalnya dengan Candi Borobudur maupun Rara Jonggrang.

Kalau saya mengidentifikasi dengan Mataram yang notabene adalah peradaban besar yang jaya mengapa saya menerima NKRI dan Pancasila yang notabene saat ini kondisinya belum menggembirakan? Mengapa tidak seperti R Wijaya yang mendirikan kerajaan baru?

Jawaban dari pertanyaan itu ada dalam pengalaman hidup dan perjalanan rohani saya juga dalam sejarah Mataram dan bisa dirangkum dalam kalimat berikut. Saya menerima NKRI dan Pancasila karena:

(1) saya (yang notabene mengidentifikasi dg Mataram) merdeka bersama NKRI (dalam sejarah dan pengalaman yang saya alami NKRI bukan penjajah Mataram, bahwa ada pejabat pemerintah RI yang tidak baik itu saya akui tetapi solusinya bukan mendirikan negara atau kerajaan baru),

(2) kedua teori yang saya rumuskan yaitu teori ekonomi makro biososioekonomi yang notabene adalah ekonomi jalan ketiga bisa berjalan seiring dengan suatu negara seperti NKRI, rujukan: klik di sini ekonomi jalan ketiga

(3)saya terikat dengan kehendak dan pemerintahan Tuhan dimana saya harus menjalani banyak pantangan termasuk tidak lagi belajar perang sehingga saya harus menerima apa adanya NKRI yang lahir sebelum saya dilahirkan itu, rujukan: Klik di sini Tuhan

(4) Pancasila selain akomodatif terhadap teori ekonomi makro biososioekonomi juga jalan tengah yang menyatukan dalam arti mewadahi aneka ragam etnis, budaya, dan kepercyaan/agama untuk hidup bersama tanpa setiap orang kehilangan identitasnya

(5) cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 45 seiring dengan makna mataram yang saya artikan sebagai pengetahuan yang bermanfaat bagi orang banyak (publik).

Oleh karena itu bagi saya NKRI dan Pancasila sudah final sebagai negara paripurna dari perjalanan panjang Nusantara. Kalau ada pejabat yang tidak baik entah itu di eksekutif, legislatif, atau yudikatif maka pejabat itu perlu diganti atau diperbaiki sesuai tingkat kesalahannya.

Karena saya menerima NKRI dan Pancasila maka dengan segala kerendahan hati saya, saya berpesan khususnya kepada orang Jawa di mana pun berada khususnya yang masih menghargai atau menjunjung tinggi peradaban Mataram atau yang pernah merasakan kemurahan bumi Mataram agar menerima dan menjaga NKRI dan Pancasila dalam kapasitas dan jabatan Anda masing-masing. Kalau seandainya terjadi apa-apa dengan NKRI maka negara yang saya ikuti adalah NKRI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 yang berdasarkan Pancasila, UUD 45, berprinsip pada Bhinneka Tunggal Ika yang menghargi pluralitas, hak-hak asasi manusia dalam hidup bersama yang punya sifat gotong-royong ataupun sifat dermawan. NKRI tanpa Pancasila bukanlah NKRI. Sesulit apa pun situasinya, saya yakin masih ada anak-anak bangsa dan negarawan sejati yang tetap mempertahnkan NKRI 17 Agustus 1945 itu.

Semoga Tuhan memberkati kita semua dan melimpahkan damai sejahtera bagi kita semua.

Artikel Terkait:
(1) Desakralisasi Jabatan Presiden, klik di sini Desakralisai
(2) Setelah Membaca Drama "Mangir"-nyaPramoedya, klik di sini Drama
(3) Pemerintahan Tuhan, klik di sini Pemerintahan
(4)Damarwulan, Lohgender dan Realitas Hidup Kita klik di sini Damarwulan
(5) Mencari Hikmah Dan Menjaga Kesepakatan Damai Sunan Giri, klik di sini Mencari Hikmah

Selasa, 24 Mei 2011

Media Konvensioanal Juga Berperan Membuat Rakyat Tetap Miskin

Gelombang reformasi yang terjadi 13 tahun lalu telah melengserkan Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan yang digenggamnya selama 32 tahun. Mahasiswa ikut berperan dalam demonstrasi dan aksi massa itu. Aksi massa pada waktu itu menuntut Soeharto mundur dan menuntut pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Mundurnya Soeharto membuat kehidupan demokrasi dan kebebasan berpendapat lebih baik dibanding era Soeharto. Banyaknya buku-buku dan surat kabar yang diterbitkan pada awal massa reformasi menunjukkan maraknya kebebasan berpendapat. Namun demikian nasib rakyat belum sepenuhnya membaik. Sebagian rakyat menganggap kondisi pada jaman Soeharto lebih baik sehingga merindukan Soeharto.

Menurut pengamatan saya, dari kalangan reformis paling tidak ada dua kelompok yang perlu saya sebut dan relevan dengan tulisan ini yaitu yang pertama adalah mereka yang berprinsip pemeberantasan KKN akan membuat kehidupan rakyat lebih baik. Kelompok ini terdiri dari mahasiswa dan kelompok massa yang aktif melakukan demonstrasi. Demonstrasi yang melibatkan massa dalam jumlah besar itu mendapat liputan luas media massa baik media cetak atau tv.

Kelompok reformis kedua adalah kelompok yang tidak melakukan penggalangan massa namun secara intelektual lebih kritis dan lebih matang. Kelompok kedua ini menginginkan ditinggalkannya paradigma ekonomi lama yang dianut rezim orba yang banyak membuat hutang dan mengutamakan investasi asing. Meskipun kurang mendapat liputan media massa namun dari kelompok kedua inilah muncul bibit-bibit pencerahan yang seharusnya menjadi pedoman bagi kelompok pertama.

Alm Prof. Dr. Mubyarto yang wafatnya kita peringati hari ini 24 Mei termasuk kelompok reformis yang kedua. Beliau juga mengharapkan semua pihak untuk tidak merindukan kembalinya paradigma Soeharto. Mubyarto yang memlesetkan penyakit SARS sebagai penyakit "saya amat rindu Soeharto" sebagai penyakit yang harus dibrantas.

Dibanding kelompok pertama, memang kelompok kedua kurang mendapatkan liputan media massa secara luas. Bahkan tidak jarang dihambat penyebarluasannya. Saya masih ingat bagaimana Kompas menghantam tulisan Mubyarto (yang mempertanyakan sosioekonomi atau ekonofisika yang lebih penting bagi rakyat) dengan memuat tulisan Liek Wilardjo yang menganggap Mubyarto dan sosioekonomi sebagai melawan arus, diskusi ekonofisika itu kemudian ditutup oleh harian itu. Ciri media cetak memang tidak interaktif dengan ruang terbatas dan dengan dalih itu diskusi bisa ditutup. Kompas memang kemudian melakukan "rekonsiliasi" dengan Mubyarto dengan memuat wawancara Julius Pour terhadap Mubyarto. Media konvensional lain baik cetak atau tv juga sering begitu, menutup diri dengan pandangan baru dan paradigma baru dalam mengelola perekonomian publik. Bahkan tidak jarang menertawakan gagasan baru seperti itu. Menertawakan suatu gagasan baru bukanlah ciri masyarakat terbuka (open society) yang percaya pada akal, kebebasan, dan persaudaraan. Sebagai catatan perlu saya kemukakan bahwa hanya harian Suara Merdeka Semarang yang memuat berita seminar saya di PUSTEP UGM tahun 2004.

Kini penyakit SARS itu membayang lagi. Tidak mudah memang menjelaskan kepada rakyat akan adanya paradigma ekonomi yang lebih baik dari yang dijalankan rezim Soeharto sementara reformasi telah dibajak oleh para petualang politik yang anti Pancasila dan pura-pura reformis. Meskipun tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Saya meyakini bahwa saya memiliki simbol-simbol yang mudah dipahami rakyat.

Dari pengalaman saya memperjuangkan biososioekonomi (demokrasi ekonomi) akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa media konvensional baik cetak atau tv yang umumnya dimiliki pemilik modal turut berperan membuat rakyat tetap miskin. Apa yang dilakukan media konvensional terhadap demokrasi ekonomi-biososioekonomi-satrio piningit sama seperti yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap Soekarno yang menghambat Soekarno tampil di hadapan publik. Media konvensional juga bertindak seperti Lohgender yang menyembunyikan Damarwulan agar tidak bisa bertemu dengan pemegang kedaulatan. Kalau memang media konvensional keberatan dengan kesimpulan saya silakan tulis komentar di bawah ini. Media ini memiliki ruang yang tak terbatas untuk memuat komentar Anda.

Tulisan ini saya buat sebagai peringatan bagi kaum reformis dan generasi muda baik mahasiswa atau pun yang sudah bekerja agar tidak menelan mentah apa yang disajikan media konvensional carilah pembanding atau alternatif melalui aneka blog, twitter, fb, dan mesin pencari seperti google. Kebangkitan nasional berkaitan dengan pencerdasan bukan pembodohan. Silakan kritik biososioekonomi kalau salah, tolong disebarluaskan kalau benar. Peran Anda semua dalam ikut mensejahterakan rakyat dan mendemokrasikan ekonomi sangat diharapkan. Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Rabu, 18 Mei 2011

Dari Kedaulatan Ekonomi Menuju Kedaulatan Konsumen Sosial.

Kedaulatan ekonomi masih menjadi topik yang dibicarakan orang. Paling tidak oleh The Habibie Center sebagaimana saya ketahui melalui account Twitter-nya. Istilah kedaulatan ekonomi berasal dari paradigma lama dalam mengelola perekonomian dimana perekonomian dikelola sesuai dengan wilayah politik dan geografis yang mengutamakan peran domestik dan menghindari modal asing (baik asing private atau BUMN asing).

Menurut hemat saya, paradigma lama pengelolaan perekonomian baik yang berjiwa neolib maupun yang kelihatannya berjiwa daulat ekonomi tidak akan mengubah perekonomian publik menjadi seimbang antara aset dan liabilitasnya. Di dalam paradigma biososioekonomi suatu modal domestik swasta adalah liabilitas bagi publik (makro). Modal privat itu adalah liabilitas bagi publik. Mengalir ke negara mana pun modal itu selama ia adalah aset privat ia akan tetap dihitung sebagai liabilitas. Dan apabila liabilitas publik lebih tinggi dari asetnya, maka makro ekonomi tetap tidak bisa dikatakan sehat. Dalam kondisi seperti ini rakyat juga tidak terjamin kesejahteraannnya karena sistem tidak mampu membayar kewajibannya yaitu membayar: laba, bunga, gaji, dan jaminan sosial (pendidikan, kesehatan, dan food stamps).

Aset publik yang seimbang dengan liabilitasnya akan tercapai manakala kedaulatan konsumen sosial ditegakkan sedemikian rupa sehingga pendapatan publik yang berupa pajak, derma, dan daur ulang aset pribadi bisa meningkat yang kemudian dikelola agar aset publik seimbang dengan liabilitasnya. Ketika kedaulatan konsumen sosial diabaikan maka perekonomian publik tidak bisa dikatakan sehat dan kesejahteraan rakyat tidak terjamin.

Apa yang saya maksud dengan konsumen sosial adalah semua orang baik yang sanggup membeli ataupun tidak. Istilah konsumen sosial saya pakai untuk membedakan dengan konsumen komersial (yaitu hanya yang sanggup membeli). Kedaulatan konsumen sosial lebih penting untuk diperhatikan karena laba beserta akumulasinya berasal dari konsumen Ketika laba dan akumulasinya tidak dikembalikan kepada konsumen (sosial) yaitu semua orang maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan aset-liabilitas makro. Tentu yang diwajibkan mengembalikan laba beserta akumulasinya adalah orang (individu) bukan institusi bisnis karena individu selain bersifat homo econmicus juga homo socius sementara perusahaan tidak mungkin berubah menjadi institusi sosial.

Kedaulatan ekonomi mengandaikan kekayaan berasal dari negara, sementara kedaulatan konsumen sosial mengandaikan kekayaan (akumulasi laba) berasal dari konsumen. Menurut hemat saya pengandaian kedaulatan konsumen sosial lebih tepat dan lebih rasional sehingga seharusnya diterima. Laba terjadi karena konsumen membayar lebih tinggi dari biaya produksi, distribusi, dan pajak.

Reformasi atau revolusi damai tanpa pencerahan bisa tersesat dan hanya akan dimanfaatkan orang-orang yang haus kekuasaan. Teori ekonomi makro biososioakonomi menawarkan pencerahan bagi ekonomi publik yang seimbang baik seimbang dari segi ekonomi maupun ekologi. Sebagai bagian dari masyarakat terbuka (open society), biososioekonomi terbuka terhadap kritik. Silakan kritik biososioekonomi kalau salah, silakan sebar luaskan kalau benar.

Bagi saya kedaulatan konsumen sosial lebih penting dari kedaulatan ekonomi. Seharusnya reformasi atau revolusi damai menuju kepada kedaulatan konsumen sosial.

Selasa, 17 Mei 2011

Selamat Hari Raya Waisak


Saya pribadi mengucapkan selamat merayakan tri hari suci Waisak 2555 bagi yang merayakannya. Semoga berbahagia.

Selasa, 10 Mei 2011

Mempertanyakan Reformasi

Bulan Mei adalah saat yang tepat untuk merenungkan, mempertanyakan dan mengevaluasi jalannya reformasi yang saat sudah menginjak usia 13 tahun. Dari 13 tahun reformasi, ada perbaikan yang terjadi, namun hal-hal yang menjadi lebih buruk juga terjadi.

Pada umumnya kondisi rakyat tetap susah. Tentu bukan salah reformasi. Reformasi telah dibajak sebagian elite untuk kepentingan pribadi dan kelompok termasuk untuk meninggalkan Pancasila. Sementara itu kita belum sepenuhnya menjadi masyarakat terbuka (open society) yaitu masyarakat yang percaya pada akal, persaudaraan, dan kebebasan. Demokrasi langsung membutuhkan open society di mana di dalam masyarakat seperti itu kebenaran dan potensi kebenaran tidak boleh ditenggelamkan, ketika kebenaran dan potensi kebenaran ditenggelamkan, rakyat bisa salah pilih. Dan kemudian yang memenangi pemilu atau pilpres adalah orang-orang yang sebenarnya tidak tepat untuk menjadi pejabat publik yang benar-benar negarawan.

Kondisi seperti menuntut kita semua memperbaiki keadaan. Tidak sedikitnya pejabat publik yang tidak bisa dipercaya membuat kita untuk selalu membuka mata lebar-lebar mengawasi dan mengoreksi sepak terjang elite baik yang duduk di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Media alternatif baik blog maupun micro blog bisa berguna untuk menyampaikan kritik dan koreksi maupun saling berkomunikasi, berdiskusi, membangun jejaring sosial demi kepentingan dan kesejahteraan publik.

Jika kita cari substansinya, reformasi sebenarnya bertujuan mewujudkan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi yang lebih baik. Terlalu sempit kalau reformasi sekedar dipahami sebagai pemberantasan korupsi. Benar, bahwa korupsi memang harus diberantas, tetapi perbaikan kesejahteraan rakyat memerlukan perubahan paradigma ekonomi neolib, sebuah paradigma yang selama reformasi sampai saat ini masih dipakai pejabat pemerintah. Pendemokrasian ekonomi dan penggantian paradigma neolib adalah sebuah keniscayaan. Hal ini penting mengingat selama reformasi justru orang-orang yang jelas-jelas anti demokrasi ekonomi seperti AB (yang kekayaannya dari warisan) bisa menduduki jabatan pemerintah dan menjadi ketua umum partai.

Kita akan selalu mengingatkan dan mengoreksi penyelewangan agar reformasi bisa bermanfaat bagi orang banyak. Jangan sampai reformasi dibajak oleh para bedebah yang anti HAM, anti Pancasila dan anti demokrasi ekonomi-biososioekonomi.

Selasa, 03 Mei 2011

Mewujudkan Perubahan Satu Bumi untuk Semua; Berpikir Global, Bertindak Lokal

Dahulu ketika saya sedang menyelesaikan penulisan buku saya ( Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia ) saya berharap ada media massa (konvensional baik cetak atau tv) yang berperan aktif dalam mendemokrasikan ekonomi dalam arti mengajak anggota masyarakat untuk mengemimplementasikan biososioekonomi dan mengontrol linierisme individu (pewarisan kekayaan berlimpah kepada keturunan pemilik kekayaan). Sampai saat ini saya masih berharap demikian karena bagi saya biososioekonomi-demokrasi ekonomi adalah keniscayaan, kebenaran, dan keadilan yang menyangkut hajat hidup orang banyak atau menyangkut kepentingan publik.

Namun dalam perjalanan waktu saya menemukan media alternatif yaitu internet melalui blog seperti ini dan micro blog seperti Twitter dan situs jejaring sosial seperti Facebook. Maka aktiflah saya menggunakan media alternatif ini. Blog sejak Oktober 2008, Facebook sejak awal 2009 dan Twitter sejak Mei 2009. Meski terdaftar memiliki account di Twitter sejak Mei 2009 saya baru kembali aktif sejak 10 Maret 2011. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Saya aktif kembali di Twitter karena di Twitter kita bisa berdiskusi dengan siapa saja tanpa yang bersangkutan menjadi teman atau follower di account kita.

Melalui media-media alternatif itu saya menyebarluaskan gagasan demokrasi ekonomi-biososioekonomi untuk kesejahteraan publik dan mewujudkan perubahan, satu bumi untuk semua. Yang saya maksud dengan ungkapan satu bumi untuk semua BUKAN berarti setiap individu bebas mengeksploitasi kekayaan alam yang ada di perut bumi di negara manapun. Ekonomi publik (biososioekonomi) tidak dimulai dengan investasi atau eksploitasi tetapi DIMULAI dengan mengembalikan apa yang telah diambil yaitu laba dan kekayaan kepada publik (semua orang) dengan cara membayar pajak penghasilan dan kekayaan, membayar derma dan yang paling penting adalah melakukan daur ulang kekayaan individu Maka yang saya maksud dengan satu bumi untuk semua adalah mendistribusikan kekayaan daur ulang itu ke seluruh dunia tanpa sekat-sekat negara dan tanpa sekat-sekat sektarian primordial sesuai paradigma biososioekonomi yaitu laba berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Dalam demokrasi ekonomi yang saya perkenalkan itu berlaku: dari konsumen, oleh konsumen, untuk konsumen (semua orang). Laba dan kekayaan berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Organisasi konsumen sosial yang inklusif bisa membantu mendistribusikan kekayaan itu tanpa sekat-sekat negara dan tanpa sekat-sekat primordial. Kita semua (termasuk media konvensional) diharapkan peran sertanya untuk mendemokrasikan ekonomi secara damai non kekerasan. Hal ini sangat penting mengingat banyaknya tindak kekerasan dan kasus-kasus yang mengutamakan kepentingan sektarian primordial di sekitar kita seperti mencuatnya kasus NII (Negara Islam Indonesia). Derma dan kekayaan daur ulang tidak boleh dipakai untuk membiayai terorisme, pemberontakan, tindak kekerasan lain atau membentuk negara baru. Organisasi konsumen sosial yang inklusif non politis dan non sektarian-primordial bisa dibentuk untuk mewujudkan kesejahteraan publik bagi semua orang.

Melalui berbagai media kita bisa berpikir global dan bertindak lokal secara damai sesuai konstitusi di negara mana kita berpijak. Melalui tulisan ini saya mengucapkan terima kasih kepada siapa saja yang telah berpartisipasi menyebarkan teori biososioekonomi (bioekonomi). Kepada yang belum berpartisipasi ditunggu partisipasinya dengan cara yang nyaman bagi Anda. Anda bisa juga mem-follow Twitter saya @haniputranto
Semoga Tuhan memberkati kita semua.