Jumat, 31 Agustus 2012

Utang Besar Karena Income Kurang

Beberapa hari yang lalu saya membaca berita yang mengatakan ada 10 negara yang hutangnya sangat besar mencapai 100% lebih dari PDB masing-masing negara (http://m.detik.com/read/2012/08/24/095815/1997761/4/7565789/10-negara-banyak-utang-yang-terancam-bangkrut).

Seperti itulah hasil "karya" ekonom konvensional yang tidak mau menggunakan dasar-dasar akuntansi dalam mengelola ekonomi publik. Buku teks ekonomi konvensional menganggap ekonomi makro sebagai pabrik raksasa yang produksinya harus selalu tumbuh. Banyak ekonom konvensional yang tidak bisa keluar dari belenggu pengejaran pertumbuhan PDB dan hasilnya adalah utang besar yang menimpa 10 negara di atas.

Beberapa orang menuduh anggaran perang atau korupsi menjadi penyebab besarnya utang. Akan tetapi kalau hal seperti itu terjadi pada 10 negara, satu di antaranya adalah Singapura, maka tuduhan seperti itu harus dipertanyakan obyektivasnya. 

Menurut biososioekonomi besarnya utang berbagai negara adalah karena pandangan neolib yang dipakai negara-negara tersebut. Yang saya maksud pandangan neolib adalah pandangannya mengenai laba di mana menurut pandangan neolib itu laba adalah pengembalian yang sah atas modal, titik. Pandangan ini menyebabkan income publik menjadi kurang. Utang besar karena income publik kurang. PDB bukanlah income publik tetapi penjumlahan income privat. Bagi yang memahami akuntansi seharusnya bisa membedakan income privat dengan income publik.

Secara matematis sederhana dapat dikatakan bahwa kalau laba yang diambil privat adalah 100 maka yang dikembalikan kepada publik juga harus 100 kalau kurang dari itu berarti income publik yang akan didapat tidak memadai alias kurang. Hal seperti ini telah dijelaskan panjang lebar oleh teori ekonomi makro biososioekonomi. Dan menurut pendapat saya biososioekonomi memberi gambaran yang obyektif dan benar. Jadi utang berbagai negara meningkat menjadi besar karena secara obyektif memang income-nya kurang.

Maksud tulisan sederhana ini adalah agar semua pihak baik pejabat pemerintah, politisi, rohaniwan, akademisi, dll tidak mempercayai begitu saja pada pandangan ekonomi konvensional. Bagi yang baru pertama kali mengunjungi blog ini silakan baca artikel-artikel yang berlabel biososioekonomi, ekonomi, dan herucakra society di blog ini. Semoga bermanfaat.

Minggu, 19 Agustus 2012

Selamat Idul Fitri 1433 H

Secara pribadi saya mengucapkan Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1433 H bagi yang merayakan. Mohon maaf lahir dan batin.

Kamis, 16 Agustus 2012

Refleksi Kemerdekaan. Tidak Boleh Gagal Mendidik Diri Sendiri

Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI kali ini, 17 Agustus 2012, diwarnai dengan peningkatan Rasio Gini menjadi 0,4 tahun 2011. Pada tahun 2002 Rasio Gini masih 0,32. Rasio Gini adalah ukuran konvensional yang biasa dipakai untuk mengukur kesenjangan pendapatan. Semakin tinggi Rasio Gini, semakin tinggi kesenjangan pendapatan.

Angka Rasio Gini sebesar 0,4 adalah yang tertinggi dalam sejarah Indonesia. Cita-cita bapa bangsa dan harapan rakyat untuk kehidupan yang lebih adil dan sejahtera dibayangi peningkatan kesenjangan sosial. Demikian kondisi sosial ekonomi dengan menggunakan ukuran konvensional seperti Rasio Gini. 

Namun kalau kita menggunakan teori ekonomi biososioekonomi masih banyak masalah yang harus dihadapi rakyat. Tidak sekadar peningkatan kesenjangan sosial tapi juga masih tingginya liabilitas publik bila dibanding asetnya. Atau dengan kata lain aset privat masih lebih tinggi dari aset publik. Dalam kondisi seperti itu banyak masalah dan resiko yang dihadapi rakyat. Kemerosotan daya beli, tertutupnya akses pada layanan pendidikan, kesehatan, kurangnya jaminan pensiun, dan resiko jatuh miskin atau kehilangan pendapatan akibat krisis ekonomi bergejolak.

Paradigma neoliberal telah membiarkan ketidakseimbangan aset-liabilitas publik yang tidak hanya berbahaya bagi rakyat tapi juga bagi fundamental makro ekonomi. Keterbelengguan ekonomi konvensional pada pengejaran pertumbuhan PDB akan membuat ekonomi tidak seimbang dan tidak stabil. 

Sementara itu biososioekonomi tidak terpaku pada pengejaran pertumbuhan PDB tapi mengupayakan keseimbangan aset-liabilitas publik, selain menekan pertumbuhan populasi penduduk mendekati 0%. Meski menurut opini saya benar, sebagai teori ilmiah biososioekonomi tetap terbuka terhadap kritik. Silakan dikoreksi kalau teori ekonomi makro biososioekonomi salah. Namun kalau benar, marilah kita berupaya mewujudkan kondisi makro ekonomi sebagaimana diharapkan teori ekonomi makro biososioekonomi yang sekaligus merupakan demokrasi ekonomi dalam paradigma baru, juga sekaligus sebagai ekonomi Pancasila atau ekonomi jalan tengah.

Kemerdekaan politik yang diperoleh 67 tahun lalu hendaknya membuat kita lebih bebas menentukan ideologi ekonomi demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bangsa yang arif dan cerdas seharusnya bisa menentukan dan memilih yang terbaik bagi rakyat. Bukankah mencerdaskan kehidupan bangsa juga merupakan tujuan Indonesia merdeka sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945? 

Setelah kita merdeka secara politik 67 tahun lalu, kita tidak boleh gagal mendidik diri sendiri untuk lebih baik dan lebih cerdas dalam mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Tidak boleh ada pembodohan, tidak boleh ada akal-akalan untuk kepentingan privat dan kelompok. Tidak boleh mundur ke era sebelum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Kita beraneka ragam dalam persatuan. Persatuan untuk hidup lebih adil dan sejahtera dalam kedamaian. Semoga refleksi sederhana ini bermanfaat. Marilah kita menjadi warga negara dan anggota masyarakat yang baik. Dirgahayu Republik Indonesia ke-67. Semoga jaya dan sejahtera.

Kamis, 09 Agustus 2012

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Salah satu tujuan Indonesia merdeka sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tak sepenuhnya tujuan ini tercapai, bukan hanya karena pendidikan formal tidak mudah diakses rakyat tetapi juga karena perilaku sebagian pejabat dan politisi yang tidak mendidik serta tidak memberi pencerahan.

Namun di tengah kekelaman seperti itu tetap saja harus ada pencerahan dan pencerdasan. Bersyukurlah kita bisa menemukan orang-orang yang peduli pada nasib bangsa. Kita bisa menemukannya di  tengah masyarakat atau pun di pemerintahan

Seorang guru besar psikologi mengapresiasi dan memuji seorang pejabat pemerintah yang menggunakan akal sehatnya untuk menyejahterakan rakyat. Ia juga mengkritik perilaku pejabat lain yang tidak menggunakan akal sehat tetapi melakukan akal-akalan untuk kepentingan pribadi yang ujung-ujungnya membuat rakyat sengsara dan membuat sebagian orang menjadi bodoh tentunya.

Menurut hemat saya akal-akalan seperti itu sudah ada sejak rejim lama sebelum reformasi. Dulu akal-akalan dan rekayasa menjadi pemandangan sehari-hari yang bisa kita saksikan pada pejabat pemerintah. 

Postingan sederhana ini sekedar mengingatkan kita di bulan kemerdekaan ini. Merdeka berarti harus bekerja dengan giat mencerdaskan bangsa. Sekarang ada media alternatif di internet melalui blog atau media sosial lainnya yang bisa dipakai untuk memberi pencerahan.  Jangan biarkan media internet dikuasai oleh politisi busuk yang otaknya penuh rencana rekayasa dan akal-akalan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Semoga postingan sederhana ini bermanfaat.

Kamis, 02 Agustus 2012

TUHAN dan Seruan Berbagi Harta

Tanpa mengubah paradigma ekonomi neolib dengan paradigma biososioekonomi tidak akan ada kesejahteraan publik (rakyat) dan stabilitas makro ekonomi secara berkesinambungan. Harus berubah. Demikian artikel saya minggu lalu.

Sekecil apa pun perubahan ke arah yang benar akan tetap bermakna karena TUHAN juga bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan umum.  TUHAN juga bekerja menyempurnakan upaya kita yang kita tekuni melalui jalan damai. 

Berbagi harta adalah sesuatu yang memiliki dua dimensi baik dimensi rohani (surgawi) ataupun dimensi jasmani atau dimensi kesejahteraan umum di bumi. TUHAN memperhatikan kedua dimensi secara penuh karena memang Dia mampu dan Maha Sempurna. Sementara itu saya dan blog ini hanya membahas satu dimensi yaitu kesejahteraan umum, karena menyadari keterbatasan saya sebagai manusia yang harus sadar akan porsi saya dan tidak boleh tergoda mengambil porsi yang lebih besar (2 porsi sekaligus)  karena porsi yang lebih besar itu adalah porsi TUHAN. Namun bukan berarti bahwa saya menafikan dimensi lain dalam arti saya tetap menyadari adanya dimensi lain yang ditangani pihak (divisi) lain. 

Pada dasarnya secara matematis kalau jumlah laba yang diambil individu adalah 100 maka yang  dikembalikan kepada publik adalah juga harus 100. Kalau yang dikembalikan hanya 3% atau 50% tidak akan seimbang. Perhitungan matematis mendasar yang sederhana ini telah dijelaskan dengan panjang lebar oleh teori ekonomi makro biososioekonomi yang saya rumuskan.

TUHAN pun tahu matematika dan akuntansi seperti itu maka Dia bersabda:"Juallah hartamu, dan berilah sedekah" Dia tidak bersabda sumbangkanlah 5% hartamu.

Oleh karena itu kalau ada hambatan kelompok status quo dalam implementasi teori ekonomi makro biososioekonomi janganlah khawatir karena TUHAN di pihak kita. Dia menyempurnakan upaya kita yang kita tekuni melalui jalan damai. Tulisan saya yang berkaitan dengan campur tangan TUHAN bisa dibaca di blog ini khususnya yang berlabel spiritual, pengalaman spiritual, biososioekonomi-spiritual, spiritual-budaya, atau kebangsaan-spiritual.

Semoga tulisan sederhana ini dipahami.