Kamis, 28 Januari 2010

Berubah Pada Kapsitas dan Jabatannya Masing-masing

Dalam mewujudkan jaman baru dan dunia baru yang lebih baik, lebih adil dan sejahtera ada hal yang perlu saya garisbawahi dan hal itu saya jadikan judul postingan ini. Perubahan yang tidak menyakitkan itu akan terjadi manakala semua orang pada posisi, jabatan, dan kapasitasnya masing-masing mau berubah mau menyesuaikan diri sehingga sejalan dengan teori ekonomi makro biososioekonomi.

Sengaja postingan ini saya tampilkan saat ini saat sebagian warga negara melakukan unjuk rasa memperingati 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Hal ini penting mengingat banyak orang yang tidak memahami bagaimana suatu kondisi masyarakat yang adil sejahtera bisa terwujud. Sebagian politisi menjanjikan hal-hal yang lebih baik tetapi tidak mau melihat atau meninjau kembali teori ekonomi makro yang dipakainya. Ketika Obama memenangi pemilihan Presiden AS November 2008 saya sudah mengingatkan di blog ini melalui postingan yang berjudul "Catatan atas Fenomena Obama: Pergantian Presiden Saja Tidak Cukup" yang di-posting tanggal 16 November 2008. Sekarang popularitas Obama menurun dan perekonomian AS belum aman sepenuhnya. Oleh karena itu postingan ini jangan dianggap memiliki tendensi politik tertentu.

Pengalaman saya memperjuangkan biososioekonomi memang bersentuhan dengan berbagai macam institusi seperti institusi akademik, politik (baik eksekutif maupun legislatif), media massa, bank sentral, LSM, lembaga penerbitan buku, bahkan juga institusi keagamaan. Saya tidak perlu menceritakan sikap mereka satu persatu terhadap biososioekonomi dalam postingan ini. Biar Tuhan sendiri yang menilai bagaimana sebenarnya hati mereka, hati para pejabat atau penguasa pada berbagai institusi itu. Tuhan tahu pasti hati dan sikap mereka terhadap biososioekonomi.

Perlu saya sampaikan sekali lagi bahwa perubahan besar ke arah yang lebih baik (dengan cara yang tidak menyakitkan) akan terjadi manakala semua orang pada jabatan dan kapsitasnya masing-masing mengubah paradigma lamanya dengan lebih akomodatif dan ramah terhadap biososioekonomi. Namun kalau ada di antara mereka yang berhati busuk, Tuhan sendiri, tanpa bantuan tangan manusia, akan mengeksekusi mana yang harus dieksekusi. Diperlukan pejabat baru kalau ternyata Tuhan mengeksekusi beberapa atau semua dari mereka. Tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Tulisan ini bukan ramalan atau nubuat tetapi sekedar peringatan. Akan halnya nubuat telah ditulis Alkitab dan hal itu otomatis juga peringatan untuk manusia di bumi. Salah satu nubuat Alkitab itu adalah: "Tuhan ada di sebelah kananmu; Ia meremukkan raja-raja pada hari murka-Nya, Ia menghukum bangsa-bangsa sehingga mayat-mayat bergelimpangan; Ia meremukkan orang-orang yang menjadi kepala di negeri luas." (Mazmur 110:5-6). Kejadian tahun 2005 yang menimpa Sultan Deli XIII serta Tengku Rizal Nurdin (Gubernur Sumut) yang meninggal dalam dua kecelakaan pesawat berbeda mungkin baru peringatan. Bukan berarti mereka yang meninggal lebih besar kesalahannya dari yang masih hidup.

Seberapa lama Tuhan masih memberi kesempatan? Tak ada orang yang tahu. Tuhan sendiri yang tahu yang akan memutuskan. Kita yang tidak melakukan hal-hal yang membuat Tuhan murka bisa berdoa:"Ya TUHAN berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN berilah kiranya kemujuran!" (Mzm 118:25).

Tongkat kekuatan-Mu telah diulurkan TUHAN dari Sion, memerintahlah Ya TUHAN!

Kita bisa berpartisipasi dengan cara-cara non kekerasan. Berubah pada kapasitas dan jabatan Anda masing-masing. Eksekusi adalah wewenang Tuhan yang tidak didelegasikan pada manusia kecuali mereka yang telah hidup di Surga.

Senin, 25 Januari 2010

Yang Diharapkan Rakyat dari Penanganan Kasus Century

Setelah mendengarkan keterangan para saksi dan ahli, tiba saatnya Pansus DPR tentang Hak Angket Kasus Bank Century menyampaikan pandangan atau kesimpulan sementaranya pada 4 Februari nanti. Sebagai bagian dari anak bangsa yang hidup bersama rakyat dengan dinamika dan pahit getirnya, saya akan mencoba menyuarakan apa yang sebenarnya diharapkan rakyat dari penanganan kasus ini. Bagaimanapun juga kasus bail out Bank Century senilai Rp 6,7 triliun itu telah menjadi perhatian banyak pihak.

Ada dua aspek substansial yang perlu saya sampaikan dalam kasus ini, pertama adalah aspek paradigmatis, dan kedua adalah aspek kriminal.

Kebijakan bail out memang kebijakan yang berada pada paradigma konvensional (neoklasik/neoliberal & keynesian). Maka pertanyaan "tepatkah kebijakan bail out Bank Century" tidak akan mudah dijawab. Perundang-undangan yang dipakai pedoman kerja eksekutif masih berparadigma konvensional itu. Meskipun paradigma konvensional itu sering kali tidak memihak rakyat namun pengambil kebijakan merasa apa yang dilakukan sudah sesuai pedoman kerjanya.

Hal yang bisa dimintai pertanggungjawaban dari kasus Bank Century adalah aspek kriminalnya dan tindak pidana korupsi. Ke mana saja uang bail out itu mengalir termasuk aliran yang bersifat ilegal. Oleh karena itu perlu diusut dan dibongkar tuntas aliran dana itu tanpa pandang bulu, termasuk siapa saja yang diuntungkan dengan adanya aliran dana itu. Siapa pun yang terlibat korupsi harus ditindak tegas secara transparan sesuai koridor hukum yang berlaku.

Di luar aspek kriminal itu kita perlu membangun paradigma baru non konvensional yang pro rakyat. Oleh karena itu tidaklah tepat alasan eksekutif atau pengamat bahwa bail out dapat menyelamatkan uang negara Rp 600 triliun. Secara paradigma baru tidaklah tepat kalau dikatakan bahwa bail out Bank Century bisa mencegah dampak krisis yaitu pengucuran Rp 600 triliun uang negara (seandainya krisis terjadi). Dalam paradigma baru yang berdasarkan biososioekonomi (dan demokrasi ekonomi) bukan negara yang harus menanggung beban krisis seperti itu. Eksekutif dan sebagian pengamat masih berparadigma konvensional (neoklasik/neoliberal & keynesian) yang sering tidak pro rakyat.

Dalam karya tulis saya "Mengentaskan Kemiskinan dengan Paradigma Baru Demokrasi Ekonomi" tahun 2005, sudah saya jelaskan siapa yang harus menanggung beban seandainya krisis datang. Bukan negara, bukan rakyat kebanyakan, bukan perusahaan, tetapi orang yang kekayaan berlimpahnya dari warisan. Negara kemampuannya terbatas, perusahaan sebagai institusi bisnis tidak akan mampu menanggung beban. Yang bisa menerima kerugian seharusnya adalah individu karena ia tidak hanya homo economicus tetapi juga homo socius. Krisis terjadi karena liabilitas publik lebih tinggi dari asetnya, yaitu milik individu lebih besar dari milik publik sebagaimana dijelaskan teori ekonomi makro biososioekonomi. Maka yang harus menanggung adalah individu, bukan negara, bukan perusahaan, dan bukan rakyat kebanyakan.

Dalam karya tulis itu saya jelaskan perlunya semacam kecerdasan finansial bagi publik. Kalau Robert T Kiyosaki mengajarkan kecerdasan finansial untuk individu/rumah tangga, saya mengajarkan kecerdasan finansial untuk publik. Kita dan pemangku kebijakan publik harus tahu suatu permainan "siapa menanggung bebannya siapa" sesuai hukum akuntansi. Kecerdasan finansial untuk publik bisa mencegah kita terjerumus pada beban berat yang seharusnya tidak ditanggung rakyat kebanyakan dan tidak ditanggung negara. Suatu paradigma baru memang harus disimak.

Postingan mendatang mungkin akan saya pakai untuk menjelaskan kecerdasan finansial publik itu lebih mendalam. Dalam postingan kali ini ada dua hal yang perlu saya sampaikan. Pertama hendaknya penanganan kasus bail out Bank Century difokuskan pada aspek kriminalnya dan tindak pidana korupsinya serta membongkar semua itu secara transparan dan menindaknya dengan tegas tanpa pandang bulu.

Kedua, ke depannya kita perlu membangun paradigma baru yang pro rakyat yaitu paradigma biososioekonomi yang lebih sesuai dengan demokrasi ekonomi. Akan halnya demokrasi ekonomi sebenarnya telah menjadi tuntutan konstitusi hanya saja teori ekonomi makro yang dipakai masih teori lama yang konvensional itu. Dengan paradigma baru ini negara dan rakyat tidak akan menanggung beban berat yang seharusnya memang tidak ditanggung. Semoga penjelasan ini dimengerti. Marilah kita menjadi negarawan yang baik, marilah kita menjadi anggota masyarakat yang baik.

Selasa, 19 Januari 2010

Sumber Income Rumah Tangga dalam Paradigma Biososioekonomi

Email Keluar: Sel, 19 Jan 2010 06:36 WIB

Dalam paradigma konvensional (neo klasik atau konvensional) sumber income rumah tangga (individu) sangat terbatas yaitu gaji (bagi pegawai), atau laba usaha (bagi wiraswasta), dan hasil investasi. Dalam keterbatasan itu, sering sumber income itu secara makro, tidak bisa dinikmati atau diakses semua orang. Adanya pengangguran menunjukkan bahwa ada sekelompok angkatan kerja yang tidak mendapat gaji sebagai sumber income-nya. Dalam kondisi tertentu, karena overinvestment, laba jatuh. Selisih suku bunga tabungan dengan tingkat inflasi sangat kecil mendekati nol atau bahkan minus. Tidak semua orang mendapatkan akses pada sumber income yang memadai sepanjang waktu hidupnya.

Dalam paradigma konvensional seperti itu harga rumah atau tempat tinggal mengalami kenaikan yang besarnya melebihi rata-rata inflasi. Rakyat kebanyakan terengah-engah selain karena aksesnya pada beberapa sumber income terbatas, juga harus menanggung beban yang semakin sarat. Kekayaan mengalir dari rakyat kebanyakan menuju kantong para pemilik modal.

Berbeda dengan paradigma konvensioanl, dalam paradigma biososioekonomi sumber income bisa diakses dengan mudah oleh semua orang sepanjang hidupnya. Selain gaji sebagai pegawai, ada sumber income yang mudah diakses semua orang sepanjang hidupnya dari usia sekolah sampai masa pensiun, yaitu tabungan. Hasil tabungan cukup memadai bukan saja karena bisa dimulai saat usia dini, di usia sekolah, tetapi juga secara makro dalam paradigma biososioekonomi bunga tabungan selalu akan jauh lebih besar dari inflasi. Hal ini terjadi karena pemborosan yang terjadi pada paradigma konvensional tidak terjadi pada paradigma biososioekonomi. Pemborosan pada paradigma konvensional yang saya maksud adalah membayar bunga kepada pemilik modal yang masuk kategori triple six (kekayaan berlimpah dari warisan). Dalam paradigma biososioekonomi membayar bunga kepada pemilik modal seperti itu tidak terjadi. Justru kekayaan seperti itu harus didaur ulang untuk membayar bunga tabungan
rakyat dan jaminan sosial lain. Kekayaan mengalir kepada rakyat kebanyakan. Secara teoritis dapat dikatakan ketika tingkat kosumsi agregat tinggi, kekayaan daur ulang terdistribusi melalui laba usaha. Ketika tingkat konsumsi agregat rendah kekayaan daur ulang terdistribusi melalui bunga bank yang nampak dengan besarnya selisih antara bunga tabungan dengan tingkat inflasi.

Dalam paradigma biososioekonomi (secara teoritis) dimungkinkan semua anak usia sekolah memperoleh paket beasiswa sampai S1 dan dimungkinkan mereka semua memiliki kelebihan uang saku yang bisa ditabung sejak kelas satu SD/TK. Tabungan itu bisa terkumpul cukup banyak dan ketika memasuki usia kerja bisa dipakai untuk modal usaha atau membeli rumah. Dalam paradigma konvensional pegawai kecil atau menengah harus membiayai pembelian rumah dengan hutang sebesar 80% dari nilai rumah. Dalam paradigma biososioekonomi, untuk membeli rumah, rakyat kebanyakan tidak perlu banyak berhutang. Hal ini secara teoritis dimungkinkan karena dalam paradigma biososioekonomi kekayaan mengalir kepada rakyat kebanyakan dan karena harga properti relatif tidak naik secara berarti sehingga terjangkau. Dalam paradigma konvensional properti dijadikan instrumen investasi sehingga harganya melambung dan menggelembung (buble), sementara dalam paradigma biososioekonomi, properti tidakdijadikan instrumen investasi.

Paradigma biososioekonomi menjadikan bunga tabungan sebagai sumber income bagi siapa saja sepanjang hidupnya mulai usia dini ketika memasuki bangku SD atau TK. Bunga tabungan juga sumber income bagi ibu rumah tangga dari ruamah tangga sederhana yang sibuk mengurus rumah tangga dan tidak memiliki waktu untuk berbisnis. Hal itu secara teoritis dimungkinkan dengan mekanisme daur ulang kekayaan individu di mana kekayaan mengalir kepada rakyat kebanyakan.

Cacat bawaan teori ekonomi konvensional hanya bisa diatasi dengan mengganti teori itu. Dalam paradigma makro konvensional itu memperbaiki satu segi berarti memperburuk segi lain. Dalam paradigma biososioekonomi dimungkinkan memperbaiki semua segi secara serentak. Hal ini bisa terjadi karena teori ekonomi makro biososioekonomi fokus pada upaya peningkatan pendapatan/income publik (bukan pendapatan orang per orang) dan juga fokus pada peningkatan aset publik atau aset masyarakat (bukan aset orang per orang) melalui daur ulang kekayaan individu.



Rabu, 13 Januari 2010

Perbedaan Ke-9 da 10 Antara Ekonomi Konvensional dan Biosoioekonomi.

Pertama-tama saya mohon maaf karena ternyata ada yang tertinggal dari Ikthtisar perbedaan Antara Teori Ekonomi Konvensional dengan Teori Ekonomi Makro Biososioekonomi yang saya posting tanggal 6 Januari lalu. Maka dalam postingan kali ini saya melengkapinya yang merupakan kutipan dari karya tulis saya yang saya sampaikan dalam "Lomba Karya Tulis 2025" yang diselenggarakan Bank Indonesia tahun 2006.

Berikut ini kutipannya yang merupakan perbedaan ke-9 dan 10 antara teori ekonomi konvensional (TEK) dengan teori ekonomi makro biososioekonomi (TEB).

(9)Perbedaan Kesembilan
TEK: Pembiayaan pendidikan sering tidak dianggap sebagai hal yang penting dalam perekonomian terutama oleh teori ekonomi neo klasik
TEB: Pembiayaan pendidikan merupakan bagian yang penting dalam sistem ini dimana PS (Persentase Anak Usia Sekolah yang Memperolah Beasiswa dari Biososioekonomi) merupakan ukuran kemapanan aplikasi biososioekonomi dalam perekonomian.

(10)Perbedaan Kesepuluh
TEK: Investasi tidak dianggap sebagai beban alam
TEB: Investasi adalah beban alam yang bisa dikurangi dengan pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu.

Demikian kutipan saya semoga bermanfaat.

Senin, 11 Januari 2010

Mengerikan Kalau Harus Minta Bukti (Perihal Tsunami Solomon, Gempa California, dan Puting Beliung yang Merobohkan Ribuan Pohon Jati)

Implementasi atau aplikasi teori ekonomi makro biososioekonomi tidak tergantung pejabat atau penguasa pada institusi apa pun apakah itu institusi agama, media massa, institusi negara, institusi akademis, atau yang lain, bahkan juga tidak tergantung pada saya, tetapi tergantung pada kuasa Tuhan secara langsung. Perubahan besar yang tidak menyakitkan akan terjadi manakala semua orang pada posisi, jabatan, dan kapasitasnya masing-masing menyesuaikan diri agar sejalan dengan teori ekonomi makro biososioekonomi. Memang perubahan besar secara damai itu menuntut partisipasi semua orang. Tetapi itu tidak berarti tergantung pada orang atau institusi apa pun, karena sering terjadi pejabat institusi tersebut bersikap sombong, sewenang-wenang, degil, bodoh, pura-pura tidak tahu dan berbagai sikap buruk lain yang menghambat implementasi teori ekonomi makro biososioekonomi. Alangkah kasihannya rakyat kalau sangat tergantung pada pejabat atau penguasa pada institusi seperti itu. Sementara kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa Tuhan yang peduli pada mereka yang lapar dan miskin mempunyai rencana yang baik untuk kesejahteraan umum.

Pengalaman saya mengatakan ketika teori ekonomi makro biososioekonomi dibuang, sering terjadi sesuatu. Demikian ketika kunjungan di blog ini merosot, saya merasa was-was dan khawatir akan terjadi sesuatu. Setelah saya melihat dari catatan saya bahwa pada Jumat 1/1/2010 dan Sabtu pagi 2/1/2010 kunjungan di blog ini nge-drop ke angka 14 dan 18 klik per hari maka saya menuliskan perasaan saya di status facebook saya (Hani Putranto). Inilah status yang saya tulis Sabtu pagi 2 Januari 2010:

"Ampunilah mereka ya Tuhan, karena tidak tahu apa yang mereka lakukan. Namun semuanya itu kuserahkan kepada kebijaksanaan dan kehendak-Mu karena 1 milyar rakyat-Mu terancam kelaparan. Aku hanya manusia biasa yang hanya bisa berdoa: 'Ya TUHAN berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN berilah kiranya kemujuran!' "

Seorang teman, W, mengomentari status saya:
"Ya karena begitu banyak bahan makanan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk keperluan manusia, tetapi dipakai keperluan ternak. Tetapi nubuatan Tuhan mesti terjadi, sehingga manusia baru bisa mengerti dan memahami. Alangkah indahnya dunia bila setiap manusia bisa percaya, mengerti, dan memahami tanpa harus meminta 'bukti' Puji Tuhan"

Kemudian saya menuliskan komentar saya:
"@ N: Tks atas jempolnya
@ W: Benar. Berbahagialah yang tidak melihat namun percaya. Mengerikan kalau segala sesuatu harus minta tanda/bukti. Tks juga atas jempolnya"

Hari Senin 4 Januari 2010 dua gempa bumi di atas 6 SR mengguncang Kepulauan Solomon dan menimbulkan tsunami (sumber berita http://m.kompas.com/news/read/data/2010.01.04.11264689)

Hari Selasa pagi 5 Januari 2010 mata saya terbelalak menatap mesin penghitung kunjungan yang menunjuk angka 8.460. Gila! (pikir saya dalam hati). Ini berarti hanya naik satu angka dari Senin sore. Atau mungkin browser yang saya pakai ini eror tidak bisa menampilkan data yang up to date? Tetapi setelah saya coba lagi hasilnya tetap sama yang berarti selama semalam suntuk hanya ada satu kunjungan. Dengan mencoba tetap tenang saya meng-update status facebook saya dengan penggalan lagu rohani. Seperti ini status saya yang saya tulis pada tanggal 5 Januari 2010 pagi jam 08:03:

"Sungguh damai dan tenang hidup di dalam tangan Tuhann...kuberbakti penuh riang dalam kasih Tuhan...Ooo indah kasih-Mu...."

Teman SMA saya, FZ, memberi komentar: siiip tenan! Lima orang mengirim jempolnya menyukai status ini. Tanggal 6 Januari 2010, jam 05:33 pagi saya menuliskan komentar saya:

"Tks semuanya. GBU. 'Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN, berilah kiranya kemujuran!' "

Doa seperti itu saya daraskan setiap pagi dan malam dan ketika saya merasa dalam situasi genting atau merasa was-was akan terjadinya sesuatu. Rabu pagi saya lihat catatan saya tingkat kunjungan di blog ini masih di bawah 20 klik per hari yaitu hanya 14 klik.

Hari Kamis 7/1/2010 pagi sesampai di kantor saya membaca harian Kompas di halaman 1 ada puting beliung yang menyapu Jawa-Bali dan merobohkan ribuan pohon jati (versi digitalnya bisa dibaca di http://m.kompas.com/news/read/data/2010.01.07.0320060).

Sebenarnya sejak saya merasa was-was karena kunjungan di blog ini nge-drop pada hari Jumat dan Sabtu, saya sudah merencanakan meposting tulisan biososioekonomi yang mungkin bisa mengangkat tingkat kunjungan di blog ini. Beberapa tulisan yang terkait dengan biososioekonomi memang ada yang masuk 10 besar artikel terpopuler di blog ini. Maka pada Rabu Pagi tanggal 6 itu saya memposting tulisan biososioekonomi di blog ini pada jam 05:04. Kamis esok harinya memang kunjungan terangkat ke angka 30-an klik per hari. Saya merasa tenang. Dan tidak lagi mengungkapkan rasa was-was saya di facebook.

Pada hari Minggu 10 Januari siang hari saya kaget ketika mengakses mobile google dot com karena ada gempa berskala di atas 6 SR di California. Saya cek di Kompas mobile (http://m.kompas.com/news/read/data/2010.01.10.13134162) memang ada gempa. Lalu saya cek di buku catatan kunjungan, ternyata setelah saya perhatikan dan saya hitung memang hanya ada 18 klik di Minggu pagi (dari Sabtu Pagi ke Minggu Pagi counter kunjungan meningkat 18 klik).

Memang mengerikan kalau segalanya harus minta bukti atau tanda. Tetapi hal penting yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa implementasi biosoioekonomi tidak tergantung pada pejabat yang menguasai berbagai institusi yang saya sebut di atas tetapi tergantung pada kuasa Tuhan sebagaimana ditulis Kitab Suci. Anti biososioekonomi berarti pro triple six, dan triple six akan mendapat hukuman Tuhan di hari h yang dahsyat yang datang seperti pencuri, tak terduga. Partisipsi semua orang memang diperlukan namun bila semangat atau partisipasi itu melemah, kita hanya bersandar pada kebaikan, kuasa, dan kebijaksanaan Tuhan. Apa yang akan Tuhan lakukan adalah hak prerogatif-Nya.

Saya akan tetap memposting tulisan berlabel biososioekonomi, namun tidak semua postingan berlabel biososioekonomi seperti postingan kali ini. Memposting tulisan biososioekonomi dan tulisan lain bagi saya adalah bagian dari dharma ksatria sebagaiamana yang pernah saya sampaikan dalam tulisan saya terdahulu yang berjudul:"Dharma Ksatria: 'Antara Satrio Piningit dan Ksatria Luhur' "

Rabu, 06 Januari 2010

Ikhtisar Perbedaan Antara Teori Ekonomi Konvensional dengan Teori Ekonomi Makro Biososioekonomi

Mengingat banyaknya orang yang tidak bisa membedakan antara paradigma ekonomi konvensional (yang mengaplikasikan teori ekonomi neo klasik maupun keynesian) dengan paradigma biososioekonomi, maka dalam postingan kali ini saya buat ikthtisar perbedaannya yang merupakan kutipan dari karya tulis saya yang saya sampaikan dalam "Lomba Karya Tulis 2025" yang diselenggarakan Bank Indonesia 2006.

Berikut ini kutipannya:
(1)Perbedaan Pertama
TEORI EKONOMI KONVENSIONAL (selanjutnya disingkat TEK):
Teori ekonomi konvensional adalah teori ekonomi negara yang cenderung eksklusif dimana antar negara sering terjadi persaingan dan perang dagang.
TEORI EKONOMI MAKRO BIOSOSIOEKONOMI (selanjutnya disingkat TEB): Teori biososioekonomi adalah teori ekonomi masyarakat atau alam yang inklusif.

(2)Perbedaan Kedua
TEK: Merumuskan hukum kelangkaan dengan hanya kurva penawaran-permintaan yang kurang handal dipakai sebagai pedoman pengelolaan ekonomi yang berjangka panjang.
TEB: Merumuskan hukum kelangkaan dengan hukum daur ulang kekayaan individu yang memasukkan unsur waktu (decomposition time) dan jadual penjualan aset daur ulang.

(3)Perbedaan Ketiga
TEK: Teori ini menggambarkan perekonomian seperti pabrik raksasa dengan ukuran kesejahteraan adalah PDB
TEB: Menggambarkan perekonomian seperti bank raksasa dengan neraca herucakra society

(4)Perbedaan Keempat
TEK: Dengan paradigma seperti ini PDB negara ditargetkan setinggi mungkin agar semua orang sejahtera. Pertumbuhan PDB dianggap sebagai pertumbuhan ekonomi.
TEB: Tidak mentargetkan PDB setinggi mungkin tetapi mendorong daur ulang kekayaan individu sehingga ekonomi masyarakat membaik. Yang ditargetkan setinggi mungkin mencapai 100% adalah PIT (ukuran mengenai Persentase Individu/rumah tangga yang Tumbuh kekayaannya atau penghasilannya).

(5)Perbedaan Kelima
TEK: Depresiasi permanen mata uang atau currency debasement dianggap kodrat alam
TEB: Depresiasi permanen mata uang terjadi karena kekayaan individu tidak didaur ulang sehingga liabilitas masyarakat jauh lebih tinggi dari asetnya.

(6)Perbedaan Keenam
TEK: Laba adalah pengembalian yang sah atas modal (Case & Fair 2002 hlm 47)
TEB: Tidak menolak pandangan bahwa laba adalah pengembalian yang sah atas modal selama modal itu milik institusi bisnis. Tetapi menolak apabila menyangkut individu karena individu juga bersifat homo socius. Akumulasi kekayaan (laba) yang ada pada individu berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang) sesuai kaidah biososioekonomi dan herucakra society.

(7)Perbedaan Ketujuh
TEK: Institusi negara dan bank sentral bisa dikenai bunga atas pinjamannya
TEB: Negara dan bank sentral sebaiknya tidak dikenai bunga atas pinjamannya karena hal itu adalah pemborosan.

(8)Perbedaan Kedelapan
TEK: Tingkat konsumsi agregat yang rendah menyebabkan kesejahteraan juga rendah
TEB: Konsumsi agregat rendah tidak berarti kesejahteraan rendah, karena dalam kondisi seperti ini kekayaan daur ulang terdistribusi melalui bunga bank