Jumat, 29 Oktober 2010

Harapan Bangsa

Peringatan Sumpah Pemuda tahun ini bersamaan dengan situasi bangsa dan negara sedang bersedih karena berbagai bencana seperti banjir di Wasior Papua, tsunami Mentawai 25 Oktober, dan letusan Gunung Merapi 26 Oktober yang memakan korban jiwa serta harta benda. Kita prihatin. Saya turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas berbagai bencana. Semoga, berkat kerahiman TUHAN, korban meninggal diperkenankan istirahat dalam kedamaian abadi di Sorga. Sementara keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan, yang terluka disembuhkan, yang mengungsi diberi kesehatan dan kekuatan Semoga TUHAN memberi kekuatan dan berkat bagi siapa saja yang menolong korban. Kita berempati dan membantu sesuai kemampuan dan kapasitas kita masing-masing. Perlu diperhatikan bahwa tidak sedikit harta benda yang hancur atau ternak yang mati. Semua itu perlu biaya untuk memulihkannya kembali agar derita para korban menjadi ringan.

Sumpah Pemuda adalah momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia dalam keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama. Peran kaum muda dalam kehidupan bangsa terasa nyata dalam Sumpah Pemuda. Mereka adalah generasi cerdas yang terdidik yang memenuhi harapan bangsa dan panggilan sejarah. Saat ini persatuan harus tetap dipertahankan. Komunikasi harus tetap terjaga melalui berbagai media seperti telepon, internet atau jejaring sosial.

Di tengah situasi bangsa dan permasalahan global saat ini kaum muda harus tetap menjadi harapan bangsa. Kaum muda seharusnya memiliki keberanian, kecerdasan, energi, dan keluwesan untuk mengatasi berbagai persoalan baik lokal, nasional, atau global. Kaum tua sering susah berubah. Kepeloporan untuk berubah ke arah yang lebih baik harus datang dari kaum muda. Semua orang muda bisa dan perlu berpartisipasi, bukan hanya aktivis saja yang bisa berpartisipasi

Permasalahan utama yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak saat ini baik lokal atau global dan menuntut banyak perhatian untuk diselesaiakan adalah tiadanya demokrasi ekonomi. Kemapanan dan anti demokrasi ekonomi masih mencengkeram hidup rakyat. Bahkan cengkeraman itu sering hadir bersama media massa konvensional (cetak dan tv). Semua kaum muda dipanggil untuk mendemokrasikan ekonomi yang otomatis membangun paradigma ekonomi publik kerakyatan.

Untuk membangun paradigma ekonomi publik kerakyatan atau mendemokrasikan ekonomi, semua kaum muda bisa bekerja, berkiprah, dan berkarya pada tiga pilar keadaban publik yaitu negara, pasar (bisnis), dan masyarakat (society). Di ranah state (negara) kaum muda bisa berkarya di eksekutif, legislatif, atau yudikatif, di ranah society kaum muda bisa berkarya atau berkiprah sebagai rohaniwan, blogger, pekerja media termasuk pers mahasiswa, pekerja yayasan sosial, pekerja LSM, pekerja organisasi konsumen sosial, pengajar, pengembang etika, budayawan, seniman, dan pekerja bank sentral (dalam paradigma baru).

Ranah bisnis atau pasar pun yang sering dianggap binatang ekonomi bisa dijadikan tempat untuk berkarya dan berkiprah. Ranah ini memerlukan kaum muda yang berhati mulia yang sadar akan tanggung jawab publik atau income publik melalui pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu. Pebisnis yang dperlukan adalah pebisnis yang mentransformasi diri menjadi "ksatria luhur" sebagaimana saya jelaskan dalam postingan berjudul "Dharma Ksatria: Antara Satrio Piningit dan Ksatria Luhur" yang berlabel Dharma Ksatria di blog ini.

Semua pilar keadaban publik bisa diterjuni dan ditekuni untuk memperjuangkan kesejahteraan publik melalui demokrasi ekonomi dan paradigma ekonomi publik kerakyatan. Kalau demokrasi ekonomi terwujud di samping demokrasi politik, maka banyak persoalan lain bisa diselesaikan. Kita fokus mencurahkan 80% waktu dan tenaga untuk sedikit (20%) item yaitu demokrasi ekonomi maka 80% persoalan rakyat telah teratasi. Ini membutuhkan peran kaum muda. Pers mahsiswa melalui media internet bisa ikut berperan di tengah pers konvensional yang dikuasai kaum tua dan pemilik modal.

Kaum muda tahun 1928 telah menuhi harapan bangsa dan memenuhi panggilan sejarah. Semoga kaum muda saat ini tetap menjadi harapan bangsa dan mau memenuhi panggilan sejarah menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Salam Indonesia.

Selasa, 26 Oktober 2010

Dua Tahun Blog Satrio Piningit, Membangun Paradigma Ekonomi Publik Kerakyatan

Tak terasa dua tahun sudah usia blog ini. Sebuah blog yang saya pakai untuk memperkenalkan teori ekonomi makro baru yang merupakan suatu grand theory yang saya namakan biososioekonomi (bioekonomi). Tentu saja suatu teori tidak sekedar dipublikasikan, diseminarkan, kemudian didiamkan menumpuk di perpustakaan. Masih banyak ketidakpahaman, masih ada penyelewengan/pelacuran intelektual, masih ada ketidakberanian memperjuangkan biososioekomi, masih ada mafia Berkeley atau OTB (menurut istilah Kwik Kian Gie), masih ada kepura-puraan (pura-pura tidak tahu adanya grand theory baru), masih ada penenggelaman terhadap biososioekonomi, masih ada pragmatisme pejabat publik dan berbagai hambatan lain yang terjadi di tengah masyarakat dan negara. Untuk itu menurut hemat saya suatu hal yang perlu ditekankan dan ditekuni adalah "Membangun Paradigma Ekonomi Publik Kerakyatan." Membangun adalah suatu proses yang memerlukan waktu. Tidak semalam jadi. Proses ini memerlukan partisipasi banyak pihak, sementara berbagai pihak yang diharapkan berperan serta belum sepenuhnya pro aktif.

Seperti pernah saya kemukakan dalam karya tulis pengentasan kemiskinan tahun 2005, kita sebaiknya membagi ekonomi atau ilmu ekonomi berdasarkan sudut pandang kepentingannya di mana ada tiga kategori yaitu: ekonomi individu atau privat, kelompok, dan publik. Yang termasuk ekonomi individu adalah ekonomi rumah tangga atau individu, sementara yang termasuk ekonomi kelompok adalah ekonomi perusahaan, klan (dinasti), koperasi, dan negara sedangkan yang termasuk ekonomi publik adalah ekonomi global society yang berpedoman pada biososioekonomi. Memang ekonomi negara bisa menjadi ekonomi publik dalam teritori tertentu sepanjang ia tunduk pada prinsip-prinsip biososioekonomi. Dengan membagi ekonomi berdasarkan sudut pandang kepentingannya maka akan mudah didefinisikan suatu unit-unit ekonomi yang selanjutnya akan mudah pula didefinisikan apa yang termasuk pemasukan-pengeluaran kemudian juga aset-liabilitas bagi unit ekonomi tertentu itu. Hal ini penting karena pemasukan bagi unit ekonomi yang satu bisa menjadi pengeluaran bagi unit ekonomi yang lain. Demikian pula suatu aset bagi unit ekonomi yang satu bisa menjadi liabilitas bagi unit ekonomi yang lain. Dengan pendekatan seperti ini permasalahan yang ada akan mudah terlihat dengan jernih serta tidak rancu sehingga solusinya juga jelas.

Membangun paradigma ekonomi publik kerakyatan tidak lepas dari membangun paradigma biososioekonomi di tengah himpitan neoliberalisme dan fundamentalisme pasar. Hal itu tidak mudah tetapi saya meyakini bahwa paradigma biososioekonomi bisa dibangun, diwujudkan, dan diimplementasikan. Biososioekonomi adalah keniscayaan kalau kita ingin membangun paradigma ekonomi publik kerakyatan karena hanya biossioekonomi yang benar-benar ekonomi publik dan bersifat kerakyatan karena menentang pewarisan kekayaan berlimpah.

Tantangan dan hambatan memang ada. Salah satu contoh adalah keterbelengguan berbagai pihak pada peningkatan PDB dengan investasi ekonomi. Dalam hal ini patut dipahami bahwa PDB atau pertumbuhan PDB bukan ukuran suatu ekonomi publik (makro) karena PDB adalah penjumlahan pendapatan individual tahunan di suatu negara. Jumlah pendapatan individual tidak otomatis menjadi pendapatan publik seperti dijelaskan teori ekonomi makro biososioekonomi di mana yang menjadi pendapatan publik adalah pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu. Mengapa banyak orang terbelenggu pada upaya peningkatan PDB? Di suatu negara berkembang yang tingkat PDBnya masih rendah, peningkatan pendapatan publik akan otomatis meningkatkan PDB. Oleh karena itu fokus pada peningkatan pendapatan publik serta pengelolaannya yang baik (bukan fokus pada peningkatan PDB) otomatis akan menyelesaikan persoalan. Selain itu perlu dipahami bahwa pertumbuhan PDB nol persen atau mendekati nol persen yang berlangsung lama bukan merupakan kondisi krisis ekonomi selama aset publik sama dengan liabilitasnya. Oleh karena itu keterbelengguan berbagai pihak pada peningkatan PDB seharusnya diakhiri. Keterbelengguan pada peningkatan PDB atau yang diistilahkan sebagai pertumbuhan ekonomi ini adalah suatu contoh adanya hambatan di masyarakat. Oleh karena itu membangun paradigma ekonomi publik kerakyatan merupakan proses yang tidak sekali jadi perlu upaya terus-menerus dan ketekunan. Saya meyakini hal itu bisa diwujudkan bersama TUHAN Yang Maha Kuasa. Segala kekuasaan, kesempurnaan, dan kemulian hanya ada pada TUHAN. Kita sebaga hamba TUHAN berupaya dengan cara damai, TUHAN yang akan menyempurnakannya.

Dalam usia dua tahun, blog ini telah mulai dikenal orang, otomatis biososioekonomi juga mulai dikenal orang. Sebagai teori ilmiah, biososioekonomi tetap terbuka terhadap kritik dan perbaikan. Kepada semua pihak yang telah ikut menyebarkan teori biososioekomi dan blog ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, saya berdoa agar Anda diluputkan dari hukuman dan tulah TUHAN yang akan dijatuhkan ke bumi. Bagi yang belum berpartisipasi ditunggu partisipasinya.

Kamis, 21 Oktober 2010

Ingin Gagal atau Berhasil?

Tulisan ini saya buat Februari 2003 di mana saat itu pemerintah banyak menghadapi kritikan dan demonstrasi. Tulisan ini tidak hanya berguna bagi umum, tetapi juga bagi pemerintah dan mahasiswa saat ini yang sedang memperingati satu tahun pemerintahan SBY-Boediono. Semoga postingan ini bermanfaat. Berikut ini saya posting dengan cara mengetikkan kembali tulisan saya.


Bagi mereka yang bergerak di bidang keagenan asuransi jiwa, multi level marketing, atau penjualan langsung produk lain yang penghasilannya berdasarkan omset dan komisi bukan gaji tetap, mungkin apa yang saya sampaikan ini membosankan. Tetapi bagi masyarakat umum agaknya hal ini merupakan sesuatu yang baru sehingga perlu diketahui dan semoga bermanfaat bagi orang banyak, terutama dalam menanggapi Tajuk Rencana Kompas tanggal 3/02/03 yang berjudul "Oposisi agar Juga memberikan Alternatif"

Menjual polis asuransi jiwa adalah pekerjaan yang sangat sulit, tidak seperti menjual mobil, atau barang lain yang kelihatan nyata. Apakah yang ditawarkan oleh asuransi selain suatu janji perlindungan apabila tertimpa resiko kematian? Tetapi justru karena sulit itulah berbagai pelatihan diadakan cukup intensif agar para agen (penjual asuransi) dan para pemimpin groupnya bisa berhasil. Dari berbagai pelatihan itu dan dari pengalaman penulis memasarkan asuransi jiwa dan properti selama lebih dari lima tahun itu saya bisa melihat dan menemukan ciri-ciri yang membedakan antara mereka yang berhasil dan mereka yang gagal. Orang yang gagal selalu mencari dalih atas kegagalannya. Sementara orang yang berhasil selalu mencari solusi dan jalan keluar sampai berhasil membukukan transaksi.

Kalau pemimpin group atau supervisor menanyakan kepada orang-orang yang gagal, pasti banyak alasan atau dalih yang dikemukakan. Iya Pak, habis hujan, habis macet, sehingga terlambat dan batal bertemu prospek (calon nasabah). Sementara orang yang berhasil pasti mencari jalan bagaimana agar tidak kehujanan, dengan menyiapkan payungkah atau cara lain. Orang yang berhasil juga bisa mengantisipasi kalau kemungkinan terjebak kemacetan, yaitu dengan menggunakan sepeda motor, ojek, atau berangkat lebih awal. Bagi seorang pegawai alasan atau dalih mungkin sangat penting karena dengan mengemukakan alasan atau dalih yang kelihatan bagus-bagus dan logis toh akhir bulan sudah bisa mendapatkan gaji. Namun tidak demikian dengan sales freelance seperti agen asuransi. Dalih atau alasan tidaklah berguna. Yang berguna adalah solusi atau jalan keluar agar bisa membukukan transaksi.

Kebanyakan mereka yang gagal adalah kelompok yang suka mengeluh atau suka protes. Mengeluh karena kekurangan fasilitas. Atau protes ini atau protes itu. Maka tidak hanya tenaga dan waktunya tersita untuk mengeluh dan protes, tetapi juga secara mental dan psikologis orang tersebut telah melakukan otosugesti pada dirinya sendiri bahwa apa yang dilakukan tidak mungkin berhasil. Orang-orang yang berhasil selalu berpikir bahwa, hal ini sulit tetapi mungkin bisa. Sedangkan orang-orang yang gagal berpikir sebaliknya ini mungkin bisa tetapi sulit. Ini bukan sekedar permainan kata-kata. Kata-kata ini merasuk ke dalam jiwa yang pada akhirnya akan tercermin dalam tingkah laku dan gerak tubuh yang akan mengarahkan seseorang kegagalan atau keberhasilan. Bukti-bukti ini sudah saya saksikan selama bertahun-tahun menggeluti profesi saya.

Apabila ada gelas yang berisi air putih separuhnya, maka orang yang berhasil akan mengatakan bahwa gelas itu setengah penuh. Sementara orang yang gagal akan mengatakan setengah kosong. Semangat, optimisme, dan antusiasme akan membuat seseorang untuk selalu berusaha mencari jalan keluar suatu permasalahan sampai berhasil. Bisnis MLM, keagenan asuransi jiwa, dan properti adalah bisnis permainan mental dengan modal semangat. Pemimpin atau supervisor yang berpengalaman dan memenuhi kualifikasi biasanya tahu kalau di dalam kelompok yang dibimbingnya ada "virus". "Virus" itu adalah "virus kegagalan." Biasanya marketing atau agen yang gagal bertransaksi akan bercerita kepada rekannya bahwa kegagalannya karena kondisi sekitar sedang susah. Kamu juga batal transaksi kan? Sama, kita senasib. Kalau "virus" ini tidak diatasi maka seluruh kelompok itu beserta pemimpinnya akan gagal.

Ciri lain orang yang gagal biasanya defensif. Orang yang berhasil selalu melakukan otokritik. Apa yang bisa diubah dari diri kita sebaiknya diubah. Sementara yang tidak bisa diubah harus kita terima apa adanya Kalau kita dilahirkan sebagai laki-laki tidak perlu berubah menjadi perempuan atau tidak perlu mengeluh, habis pesaingnya pakai rok mini sih, batal deh transaksi. Kita tidak mungkin memaksa pesaing kita untuk tidak memakai rok mini, tetapi kita bisa mengubah sikap kita menjadi lebih disiplin, lebih antusias, dan lebih konsisten sehingga berhasil. Kalau kita keliru maka kita akan mengoreksi diri kita sendiri agar kelak lebih berhasil.

Tanpa protes dan tanpa ribut-ribut seorang wiraswastawan yang usahanya menyewakan lampu petromaks di Pasar Kramat Jati bisa mengambil peluang dari kenaikan TDL. Contoh-contoh lain sebenarnya ada dan cukup banyak kalau kita mau melihat dan mencarinya.

Dalam bidang keilmuan pun ada yang dinamakan sebagai ilmu yang bercorak esensialis (Karl R Popper) yaitu suatu bidang ilmu yang hanya mengemukakan atau mencari apa hakekat sesuatu atau apa hakekat suatu masalah. Di lain pihak ada pula ilmu nominalis. Kebanyakan ilmu sosial adalah esensialis, contohnya adalah sosiologi. Teknologi adalah ilmu nominalis, dalaam ilmu ini kita bisa tahu bagaimana caranya membuat jembatan, merancang pesawat terbang, atau mebudidayakan padi yang efesien dan produktif. Mestinya psikologi dan marketing (termasuk salesmanship) adalah ilmu nominalis karena tidak hanya berhenti pada pertanyaan apa tetapi bagaimana?

Menggarisbawahi Tajuk Rencana Kompas tersebut saya rasa hal itu ada benarnya. Bahwa kita sebaiknya memang harus bisa memberi kebijakan alternatif dan silakan itu dipaparkan kepada publik supaya bisa didiskusikan. Kepada mahasiswa dan mungkin Forum Rektor dari pada ribut-ribut dan malah membuat keruh suasana apakah tidak lebih baik agar mereka ini membaca buku-buku atau melakukan refleksi. Siapa tahu bisa membuat kebijakan yang lebih baik atau bahkan mungkin bisa menemukan teori ekonomi yang lebih baik dari teori ekonomi makro yang dicetuskan John Maynard Keynes. Mana mungkin bangsa kita bisa menemukan teori yang lebih baik? Bukankah selama 32 tahun kita hidup dalam proses pembodohan? Kalau pikiran-pikiran terakhir ini kita adopsi memang susah.

Tidak mudah memang memberi pengertian kepada mereka yang hidup dari gaji sebagai pegawai, toh dengan mencari dalih saja akhir bulan sudah mendapat gaji, mengapa harus repot-repot mencari solusi dan jalan keluar suatu masalah? Bahkan sekarang ini konon kabarnya tukang demo pun dibayar. Kalau sudah begini memang repot. Bagaimana kita bisa berpacu menemukan solusi atau jalan keluar suatu permasalahan?

Maka jangan salahkan kalau ada yang berpendapat bahwa sosok misterius yang bisa membawa bangsa ini keluar dari krisis bukanlah pegawai atau pejabat. Dan orang itu tidak harus menjadi presiden.


Jakarta, 7 Februari 2003


Kesejahteraan publik (rakyat) melalui demokrasi ekonomi/biososioekonomi mungkin tidak mudah untuk diwujudkan tetapi bukan berarti tidak bisa. Perjuangan ke arah itu membutuhkan keberanian, konsistensi, kesabaran, dan keuletan. Saya banyak belajar dari profesi direct selling.

Kita lihat sekarang bahwa kritikan terhadap pemerintah itu hanya menghasilkan presiden baru di tahun 2004 tetapi belum menghasilkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat. Mafia Berkeley atau OTB masih berkeliaran. Mahasiswa seharusnya tidak tergantung pada media massa konvensional (cetak atau tv) yang sering tidak pro rakyat tetapi harus menemukan informasi dari media baru (internet) yang pro rakyat. Mahasiswa yang notabene adalah orang muda seharusnya memiliki keberanian dan intelektualitas yang memadai.

Benar yang dikatakan iklan "Koran Internet" yang sering menampilkan tulisan Kwik Kian Gie: "Jangan Ngaku Beda Kalau Gak Berani Bela"

Selasa, 19 Oktober 2010

Prinsip-prinsip Biososioekonomi untuk Pejabat Pemerintah (3): Pembiayaan Infrastruktur dan Fasilitas Sosial

Baik dalam paradigma teori politik klasik maupun dalam paradigma yang mengadopsi teori ekonomi makro biososioekonomi, penyediaan infrastruktur adalah tugas negara. Namun sayangnya dalam paradigma klasik atau neo klasik pembiayaan infrastruktur dan fasilitas sosial dilakukan dengan dana hutang atau dana dari investor yang tentu saja menuntut bunga atau ROI tertentu atas modal yang dipinjamkan atau ditanamkannya.

Dalam paradigma yang lebih sehat pembiayaan pembangunan infrastruktur dan fasilitas sosial seharusnya tidak menggunakan hutang atau dana dari investor sebagai sumber dananya. Ketegasan dan konsistensi pejabat pemerintah diperlukan agar tidak membebani publik dengan bunga atau ROI dari dana pembangunan infrastruktur serta fasilitas sosial. Dalam paradigma biososioekonomi, yang seharusnya dipakai untuk membiayai penyediaan infrastruktur dan fasilitas sosial adalah pajak dan hibah. Inilah paradigma yang lebih sehat dalam membiayai penyediaan infrastruktur dan fasilitas sosial. Dalam paradigma biososioekonomi, pajak (dan hibah) seharusnya cukup untuk membiayai infra struktur dan fasilitas sosial. Banyaknya hutang pemerintah menandakan bahwa pendapatan pemerintah itu kurang karena tidak mengikuti paradigma pengelolaan ekonomi publik yang benar-benar publik dan sehat. Paradigma neolib memang mendorong suatu pemerintahan memasuki jerat hutang yang tak berkesudahan. Oleh karena itu paradigma neolib harus ditinggalkan. Paradigma neolib itu tidak benar-benar membela kepentingan publik tetapi membela kepentingan pemilik modal yang cenderung menghindari pajak termasuk pajak progresif.

Pemerintah sebagai salah satu pemangku kepentingan publik harus sadar bahwa tugasnya menegakkan kepentingan publik dengan meningkatkan pendapatan atau penerimaan publik dari pajak terutama dari pajak progresif. Selain itu pemerintah perlu bekerja sama dengan civil society untuk meningkatkan hibah yang diberikan kepada negara guna menyediakan infra struktur dan fasilitas sosial.

Ekonomi memang berkaitan dengan kepentingan. Pemasukan bagi satu pihak berarti pengeluaran bagi pihak lain. Aset bagi salah satu pihak bisa berarti liabilitas bagi pihak lain. Demikian juga efisiensi bagi satu pihak bisa berarti pemborosan bagi pihak lain. Pemasukan bagi publik berarti pengeluaran bagi individu atau kelompok. Tugas pejabat pemerintah adalah menegakkan kepentingan publik dengan meningkatkan pendapatannya khususnya dari pajak progresif. Semoga postingan sederhana ini benar-benar dipahami, dihayati, dan dilaksanakan.

Selasa, 12 Oktober 2010

Prinsip-prinsip Biososioekonomi untuk Pejabat Pemerintah (2): Mengelola Pendapatan Publik

Kalau dalam postingan minggu lalu saya paparkan tulisan mengenai bagaimana seorang pejabat harus memahami makna pendapatan (income) publik, maka dalam postingan kali ini saya paparkan bagaimana pendapatan publik itu harus dikelola.

Suatu unit ekonomi apakah privat, kelompok, atau publik akan mengalami kesulitan manakala income atau pendapatannya kurang. Dalam postingan minggu lalu sudah saya paparkan definisi pendapatan publik dan bagaimana meningkatkannya dengan bekerja sama dengan pemangku kepentingan publik lainnya. Pendapatan publik yang tinggi saja belum tentu akan meningkatkan kesejahteraan publik (rakyat kebanyakan). Masih ada perangkat yang diperlukan untuk menilai kesejahteraan publik (secara makro) yaitu rekening T yang menggambarkan aset dan liabilitas publik.

Pendapatan publik yang tinggi tidak otomatis akan meningkatkan aset publik kalau dikelola secara salah (apalagi kalau pendaptan publik itu kurang). Pendapatan publik yang kurang yang terjadi berkepanjangan akan banyak menimbulkan berbagai persoalan. Indikator kurangnya pendapatan publik adalah tingginya hutang pemerintah.

Pendapatan publik yang tinggi disertai dengan pengelolaan pendapatan publik yang baik akan membuat fundamental makro benar-benar kokoh. Dalam hal itu kesejahteraan publik bisa dikatakan cukup. Berbeda dengan individu atau institusi bisnis yang asetnya bisa lebih tinggi dari liabilitasnya, institusi publik apakah itu pemerintah (state) atau masyarakat (civil/herucakra society) sudah cukup bila asetnya yang tergambar pada rekening T sama dengan liabilitasnya.

Mengingat pendapatan publik tidak hanya pajak maka dalam postingan ini saya hanya fokus pada pajak sesuai judul artikel ini. Selain itu perlu diketahui dan dipahami bahwa dalam paradigma yang mengadopsi teori ekonomi makro biososioekonomi secara penuh, tugas negara agak berbeda sebagaimana saya paparkan dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia (2004). Menurut teori politik klasik tugas negara dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu: (1)memberikan perlindungan dan keamanan (2)mendukung atau menyediakan jaminan sosial (3)menyediakan infrastruktur (4)menyediakan sistem yudisial yang fair dan tidak memihak (hlm 42 buku saya tersebut di atas). Di dalam paradigma yang mengadopsi teori ekonomi makro biososioekonomi secara penuh tugas nomor 2 di atas dijalankan oleh global civil society atau tepatnya masyarakat terbuka yang adil (yang saya istilahkan herucakra society) sementara negara fokus pada 3 tugas lain. Akan tetapi kalau lembaga-lembaga dalam global civil society seperti organisasi konsumen sosial belum terbentuk, negara tetap jangan melepaskan tugas nomor 2.

Pengelolaan pendapatan publik non pajak khususnya kekayaan daur ulang sudah saya paparkan dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia dengan memperhatikan decomposition time sehingga kekayaan daur ulang tidak terdistribusi dalam sekejap. Distribusi sekejap akan menyebabkan kekayaan daur ulang berubah menjadi milik privat dalam sekjap pula sehingga akan meningkatkan liabilitas publik yang tersaji pada rekening T society (neraca herucakra society). Dalam kasus distribusi sekejap ini maka sia-sialah pendapatan publik yang tinggi karena dalam sekejap pendapatan itu berubah menjadi aset privat tidak menjadi aset publik.

Demikian pula dalam mengelola pendapatan pajak perlu dihindari kebijakan atau tindakan yang meningkatkan aset privat. Infrastruktur dan fasilitas sosial seperti jalan raya, rel ganda kereta api, jembatan, pelabuhan, puskesmas, pasar tradisional, dan gedung sekolah merupakan hal yang harus disediakan negara yang akan tetap menjadi aset publik (negara) sehingga perlu mendapat perhatian. Jangan sampai pembangunan infrastruktur dan fasilitas sosial terbengkalai sementara di saat yang sama anggaran yang disediakan tidak terserap, sebagian malah menumpuk di SBI (Sertifikat Bank Indonesia).

Rumah pribadi dan deposito pribadi milik pegawai dan pejabat penyelenggara pemerintah akan menjadi liabiliatas publik oleh karena itu sistem penggajian pegawai negeri perlu dilakukan dengan bijaksana, tidak terlalu kecil sehingga mendorong korupsi, tidak juga terlalu besar karena akan mengubah pendapatan pajak yang notabene pendapatan publik menjadi aset privat yang berarti meningkatkan liabilitas publik. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan sistem penjaminan tempat tinggal bagi pegawai negeri dan pensiunan dalam arti komponen gaji pegawai negeri tidak memasukkan komponen untuk membeli rumah pribadi tetapi pemerintah menjamin tempat tinggal pegawai negeri dan pensiunannya. Negara menjamin perumahan pegawai negeri dan pensiunannya tetapi rumah itu tidak boleh berubah menjadi aset privat. Meskipun pegawai negeri datang pergi silih berganti perumahannya tetap aset negara sehingga pendapatan pajak tidak berubah menjadi aset privat yang meningkatkan liabilitas publik. Dengan sistem perumahan seperti ini tidak terjadi privatisasi aset publik.

Rumah yang disediakan bagi pegawai negeri dan pensiunannya dalam kondisi kokoh, bersih, dan rapi, tetapi tidak perlu terlalu mewah. Diperlukan pembedaan antara pegawai negeri aktif dengan pensiunan dimana pegawai negeri aktif disediakan perumahan dekat kantor sementara pensiunannya bisa jauh dari kantor mungkin agak di luar kota, tetapi negara tetap harus menjamin perumahan bagi pensiunan dengan kondisi fisik bangunan seperti tersebut di atas. Jangan sampai pensiunan pegawai negeri (atau jandanya) hidup terlunta-lunta tanpa tempat tinggal yang memadai. Jaminan itu berlaku seumur hidup sampai pensiunan pegawai negeri meninggal dan isterinya meninggal. Kalau ada kejadian pegawai negeri itu meninggal dalam usia muda maka anak kandungnya yang terkecil bisa menempati rumah negara sampai usia 25 atau 30 tahun Setelah itu rumah harus diserahkan kepada negara untuk pegawai negeri lain atau pensiunannya.

Memang diperlukan sikap rendah hati pejabat atau pegawai pemerintah yang tidak merepotkan publik atau rakyat dengan berambisi memiliki rumah pribadi. Sikap bapa pendiri bangsa seperti Bung Hata yang rendah hati dan tidak mau merepotkan rakyat patut diteladani. Dalam paradigma yang mengakomodasi teori ekonomi makro biososioekonomi secara penuh properti tidak banyak diperlakukan sebagai instrumen investasi (spekulasi). Tanpa berinvestasi dalam properti pun kesejahteraan publik sudah memadai. Demikian juga bagi pegawai negeri, meski tidak berinvestasi dalam bidang properti pun kesejahteraannya cukup kalau biososioekonomi diadopsi secara penuh.

Demikian artikel ini, pada prinsipnya pengelolaan pendapatan pajak harus sedemikian rupa sehingga pendapatan pajak itu tidak berubah menjadi aset privat. Infrastruktur, fasilitas sosial, perumahan pegawai negeri yang akan tetap menjadi aset negara tetap layak untuk didanai. Sementara itu negara tetap harus bekerja sama dengan pemangku kepentingan publik lain seperti organisasi konsumen sosial karena:" pada hakekatnya negara terlalu kecil untuk mengurusi hal-hal besar dan terlalu besar untuk mengurusi hal-hal kecil."

Selasa, 05 Oktober 2010

Prinsip-prinsip Biososioekonomi untuk Pejabat Pemerintah (1)

Pada Sel, 05 Okt 2010 06:02 WIB Hani Putranto menulis:

>Biososioekonomi/bioekonomi merupakan teori ekonomi makro tentang keseimbangan (akuntansi) dan kelangkaan di alam tanpa memandang sekat-sekat negara. Mengenai kebutuhan manusia dalam kaitannya dengan kelangkaan dan keseimbangan itu telah ada atau dirasakan manusia sebelum adanya negara atau sebelum manusia merumuskan konsep negara. Oleh karena itu pengelolaan ekonomi publik (makro) yang didasarkan sekat-sekat negara seperti selama ini dilakukan memiliki banyak kelemahan yang harus dipikir ulang. Maka dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia (2004) saya lebih banyak memfokuskan biososioekonomi sebagai ilmu atau teori ekonomi masyarakat (society) dengan neraca herucakra society-nya yang berdimensi publik dan mengglobal. Di antara tiga pilar keadaban publik (negara, pasar, dan society) hanya ada dua yang benar-benar bisa mengglobal yaitu pasar dan society. Pasar dan society tidak bisa dibatasi sekat-sekat negara. Mengglobalnya pasar
harus diimbangi dengan mengglobalnya society untuk mewujudkan keadilan sosial bagi semua orang.
>
>Akan tetapi bukan berarti bahwa prinsip-prinsip biososioekonomi tidak bisa dipakai untuk mengelola perekonomian publik dalam skala negara. Pemakaian prinsip-prinsip biososioekonomi dalam skala negara tetap perlu memperhatikan kepentingan publik dalam skala global.
>
>Berikut ini beberapa pedoman yang bisa dipakai dalam menggunakan prinsip-prinsip biososioekonomi untuk mengelola perekonomian publik pada skala negara.
>
>1. Memahami Makna Pendapatan Publik
>2. Mengelola Pendapatan Publik
>3. Pembiayaan Infrastruktur dan Fasilitas Sosial
>4. Kebijakan dan Penyediaan Energi
>5. Pengendalian Pertumbuhan Populasi Penduduk
>
>Dalam postingan kali ini akan saya bahas yang pertama. Yang lain akan saya bahas pada postingan-postingan mendatang.
>
>Memahami Makna Pendapatan Publik
>
>Seperti yang pernah saya jelaskan pada postingan minggu lalu yang dimaksud pendapatan (income) publik ada tiga yaitu: pajak, derma, dan daur ulang kekayaan individu. Dalam paradigma biososioekonomi pendapatan dari BUMN tidak bisa dimasukkan sebagai pendapatan publik (global) karena pada hakekatnya BUMN adalah milik negara tertentu. Selain itu baik produksi, investasi, maupun konsumsi berada pada sisi yang sama dalam neraca hutang-pembayaran hutang manusia terhadap alam. Oleh karena itu pendapatan dari BUMN sebaiknya tidak dijadikan sumber pendapatan utama pemerintah. Tetapi juga bukan berarti privatisasi BUMN perlu diprogramkan secepat mungkin kalau pendapatan negara dari pajak belum memadai apalagi pemerintah masih banyak memiliki hutang.
>
>Mengenai jenis usaha BUMN sendiri ada beberapa macam, baik yang tidak menyangkut hajat hidup orang banyak atau yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti listrik, telekomunikasi, atau air. Semuanya terkait dengan konsumen dan dinamikanya. Kalau daya beli konsumen global jatuh maka BUMN akan mengalami tekanan atau penurunan keuntungan. Selain itu BUMN yang bergerak pada bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak berkaitan langsung dengan kesejahteraan publik. Dalam arti penggenjotan laba setinggi mungkin akan meningkatkan beban konsumen kalau dilakukan dengan menaikkan harga barang/jasa. Laba yang diperoleh oleh BUMN jenis ini memang dilematis di satu sisi meningkatkan pendapatan negara tetapi di sisi lain membebani konsumen yang notabene rakyat kebanyakan. BUMN seperti ini tidak perlu diprivatisasi untuk menjaga agar rakyat tidak dirugikan karena kalau terjadi privatisasi barang/jasanya dijual dengan harga mahal dengan standar mata uang asing.
>
>Oleh karena itu sangat penting bagi pejabat pemerintah untuk bisa dan mau memahami bahwa yang benar-benar murni pendapatan publik adalah (pajak + derma + daur ulang kekayaan individu). Dari sini juga perlu dipahami bahwa hutang pemerintah bukan pendapatan publik meskipun hutang pemerintah bisa ikut membiayai roda pemerintahan. Kebiasaan suatu pemerintahan berhutang (entah dengan menerbitkan obligasi atau berhutang ke sumber lain) karena tidak dipahaminya rumusan dasar teori biososioekonomi (kelahiran adalah hutang yang harus dibayar dengan kematian) serta tidak benar-benar ditegakkannya kepentingan publik. Kalau jumlah pendapatan publik dari tiga sumber di atas memadai maka pemerintah tidak perlu lagi berhutang atau mencetak uang_dengan catatan pertumbuhan populasi penduduk nol persen, dalam paradigma biososioekonomi memang pertumbuhan populasi penduduk dikendalikan maksimum nol persen. Kalau dalam paradigma konvensional pendanaan pemerintahan melalui
hutang adalah sesuatu yang diperbolehkan, dalam paradigma biosoioekonomi hutang seperti itu harus dihindari.
>
>Dari tiga sumber pendapatan publik tadi hanya pajak yang benar-benar menjadi wewenang pemerintah (state) sementara dua yang lain ada dalam wewenang society. Prinsip subsidiaritas juga perlu dipahami bahwa apa yang bisa dilakukan oleh society jangan diambil alih oleh negara. Pejabat pemerintah perlu menyadari suatu pendapat bahwa "negara terlalu besar untuk mengurusi hal-hal kecil dan terlalu kecil mengurusi hal-hal yang besar." Permasalahan publik global tidak bisa diselesaikan oleh negara tetapi oleh global civil society.
>
>Dalam hal pendaptan publik yang perlu dilakukan pemerintah_selain meningkatkan pajak dan terutama pajak progresif_adalah bekerja sama dengan civil society baik lokal maupun global untuk meningkatkan pendapatan publik. Pemerintah bisa berinisiatif mendorong munculnya gerakan dan organisasi konsumen sosial (seperti yang sering saya sebut) untuk meningkatkan pendapatan publik ini. Dalam paradigma biososioekonomi derma dan daur ulang kekayaan individu ini adalah pengembalian hutang manusia kepada alam dan oleh karenanya redistribusinya ke seluruh dunia tanpa syarat atau kepentingan apapun dari donatur. Pemerintah bisa melindungi konsumen sosial dari kepentingan sektarian primordial donatur dengan undang-undang.
>
>Demikian saya sampaikan. Yang lain akan saya sampaikan dalam postingan-postingan mendatang.

Prinsip-prinsip Biososioekonomi untuk Pejabat Pemerintah (1)

Biososioekonomi/bioekonomi merupakan teori ekonomi makro tentang keseimbangan (akuntansi) dan kelangkaan di alam tanpa memandang sekat-sekat negara. Mengenai kebutuhan manusia dalam kaitannya dengan kelangkaan dan keseimbangan itu telah ada atau dirasakan manusia sebelum adanya negara atau sebelum manusia merumuskan konsep negara. Oleh karena itu pengelolaan ekonomi publik (makro) yang didasarkan sekat-sekat negara seperti selama ini dilakukan memiliki banyak kelemahan yang harus dipikir ulang. Maka dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia (2004) saya lebih banyak memfokuskan biososioekonomi sebagai ilmu atau teori ekonomi masyarakat (society) dengan neraca herucakra society-nya yang berdimensi publik dan mengglobal. Di antara tiga pilar keadaban publik (negara, pasar, dan society) hanya ada dua yang benar-benar bisa mengglobal yaitu pasar dan society. Pasar dan society tidak bisa dibatasi sekat-sekat negara. Mengglobalnya pasar harus diimbangi dengan mengglobalnya society untuk mewujudkan keadilan sosial bagi semua orang.

Akan tetapi bukan berarti bahwa prinsip-prinsip biososioekonomi tidak bisa dipakai untuk mengelola perekonomian publik dalam skala negara. Pemakaian prinsip-prinsip biososioekonomi dalam skala negara tetap perlu memperhatikan kepentingan publik dalam skala global.

Berikut ini beberapa pedoman yang bisa dipakai dalam menggunakan prinsip-prinsip biososioekonomi untuk mengelola perekonomian publik pada skala negara