Rabu, 26 Mei 2010

Di Antara Kali Progo dan Kali Opak

Peringatan reformasi berdekatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Kebangkitan Nasional diperingati setiap tanggal 20 Mei. Sementara tanggal 21 Mei dianggap sebagai peringatan reformasi karena pada tanggal itu 12 tahun lalu, Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Dua belas tahun reformasi memang menghasilkan beberapa perubahan. Namun belum semua harapan rakyat terpenuhi. Bahkan sikap-sikap lama kembali muncul dan berkuasa serta berpotensi menyengsarakan rakyat.

Selain itu era reformasi juga ditandai masuknya aneka paham, ideologi, atau berbagai tawaran solusi dari luar baik dari Barat maupun Timur yang dianggap bagus padahal belum terbukti. Memang sebelum reformasi, terjadi krisis moneter 1997. Krisis yang melambungkan nilai dollar terhadap rupiah, meningkatkan jumlah karyawan ter-PHK, serta melambungkan suku bunga bank itu telah menyengsarakan rakyat kebanyakan. Indonesia terpuruk yang kemudian memancing pihak-pihak luar untuk menggurui Indonesia.

Kini setelah 12 tahun reformasi, negara lain juga terkena krisis, Amerika Serikat dua tahun lalu kemudian krisis berpindah ke Eropa dengan bentuk yang berbeda. Krisis ini tetap mengancam perekonomian Asia dan AS.

Hiruk-pikuk pemberitaan "junk news" dan pemilihan pejabat pemerintah selama reformasi menenggelamkan hal-hal yang baik dari kearifan lokal dan local genius yang seharusnya muncul sebagai solusi atas krisis dan persoalan global. Saya tetap memandang teori ekonomi makro biososioekonomi sebagai solusi atas berbagai krisis AS, Eropa, dan tempat lain yang saat ini belum muncul.

Dalam masa reformasi, tidak sedikit yang menganggap bahwa hal-hal yang berbau lokal adalah takhayul. Penolakan terhadap lokalitas memang mungkin beralasan. Budaya Jawa ikut berkontribusi terhadap terjadinya krisis tetapi bukan berarti solusinya adalah membuang semua hal yang berasal dari peradaban Jawa. Sangat disayangkan kalau reformasi justeru menenggelamkan orang-orang Jawa reformis dengan local genius-nya di satu sisi tetapi di sisi lain memunculkan orang-orang Jawa tidak reformis dan brengsek di panggung kekuasaan. Media massa ikut bertanggung jawab atas kesengsaraan rakyat dan krisis yang masih tetap menjadi ancaman potensial di masa mendatang.

Salah satu kearifan lokal adalah suatu ramalan atau kepercayaan tentang jaman kemakmuran dan satrio piningit. Ada suatu ramalan Jawa yang mengatakan bahwa bila Kali Progo kawin dengan Kali Opak, Mataram akan makmur (Sindhunata, Bayang-bayang Ratu Adil, GPU 1999 hlm 356, baca juga Kompas hari ini 26/5 hlm 40). Saya tidak tahu persis sejak kapan ramalan atau kepercayaan ini ada. Mungkin sejak pembangunan tahap II selokan Mataram dimulai (1953) atau jauh sebelum itu.

Akan tetapi saya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ramalan itu bukan Selokan Mataram yang mengalirkan air Kali Progo ke Kali Opak tetapi yang dimaksud adalah teori ekonomi makro biososioekonomi yang saya rumuskan di mana saya memang terlahir dari pasangan orang tua yang berasal dari Dusun Mangir (Kabupaten Bantul) di tepi Kali Progo dan dari kota Yogyakarta. Memang tidak berasal dari tepi Kali Opak karena pusat pemerintahan juga bergeser dari Kotagede yang dekat Kali Opak ke Barat dekat Kali Code. Selain itu wangsit RA Parjinah itu memang menununjuk saya sebagai R Hani Japar (orang tua saya memang memakai nama Japar). RA Parjinah adalah puteri keraton yang hadir dalam mimpi penduduk Bantul (bdk Sindhunata, Bayang-bayang Ratu Adil hlm 293). Puteri itu dianggap sebagai anak Ki Ageng Mangir-Pamabayun.

Mengnenai Kali Progo dan Kali Opak sendiri bukan saja berkaitan dengan ramalan tentang perkawinannya. Secara arkeologis wilayah yang terbentang antara Kali Progo dan Kali Opak yang meliputi lima Kabupaten yaitu Temanggung, Magelang, Bantul, Sleman dan Klaten itu merupakan pusat peradaban Kerajaan Mataraam Kuno. Di masa itu hidup Pramodawardani yang bersama orang tuanya membangun Candi Borobudur di sebelah Barat Kali Progo yang menikah dengan Rakai Pikatan yang membangun Candi Prambanan di sebelah Timur Kali Opak. Putera mereka Rakai Kayuwangi termasuk Raja Jawa Kuno yang paling banyak mendistribusikan tanah Sima (Perdikan). Belum banyak yang kita tahu mengenai pemerintahan Kayuwangi (855-885M). Tetapi paling tidak ada catatan kemakmuran Mataram pada jaman Kayuwangi. Berita Cina menunjukkan bahwa pada jaman Rakai Kayuwangi beras dan komoditas lain mulai diekspor dari pelabuhan-pelabuhan di Pulau Jawa (Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa hlm 323). Perluasan tanah sawah secara besar-besaran juga terjadi pada jaman Kayuwangi (Supratikno Rahardjo hlm 322).

Akan halnya ramalan mengenai satrio piningit itu juga bukan takhayul. Menurut hemat saya dan dari pengalaman saya istilah satrio piningit adalah istilah dalam bahasa dan peradaban Jawa, istilah padanannya dalam Alkitab adalah mempelai Kristus. Mempelai Kristus bukan suatu takhayul. Perumpamaan jaman keemasan sebagai suatu pesta perkawinan memang tepat. Mula-mula Mempelai Lelaki bersama sahabat-sahabat-Nya. Mereka disebut sebagai sahabat (Lukas 5:34) bukan mempelai perempuan. Akan halnya mempelai perempuan seharusnya berasal dari Yerusalem (lama) bukan Galilea. Namun karena penduduk Yerusalem menolak dan menyalibkan-Nya maka Mempelai Laki-laki itu menjatuhkan pilihan-Nya ke tempat lain. Agar imbang dengan nama Yerusalem maka wajar kalau asal mempelai Kristus (satrio piningit) itu berkaitan dengan nama kerajaan di masa lalu. Namun karena bisa menimbulkan ketidakdamaian maka tempat asal mempelai perempuan itu juga harus bisa memenuhi nubuat Nabi Yesaya:"...maka mereka akan menempa pedang-pdangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang." (Yes 2:4). Merbau Mataram tempat saya dilahirkan memang dibangun oleh pemerintah RI dan veteran pejuang Kemerdekaan RI, nubuat itu sangat tepat. Nubuat semacam itu jelas tidak bisa dipenuhi oleh negara Israel yang menduduki Yerusalem dengan kekerasan.

Satrio piningit bukanlah orang hebat, ia sekedar menjadi tanda di bumi bahwa pesta perkawinan dimulai. Seseorang yang mengetahui bagaimana pesta besar ini dibiayai kalau ia bukan mempelai Laki-laki, ia adalah mempelai perempuan. Meskipun tidak nampak, mempelai Laki-lakilah yang berkuasa, segala kekuasaan dan kemuliaan ada pada-Nya. Krisis Eropa hari ini menunjukkan para sahabat itu tidak tahu bagaimana pesta ini harus dibiayai. Nasihat sederhana yang berbunyi "carilah dahulu Kerajaan JHWH (JAWA) dan kebenarannya maka semua itu akan ditambahkan kepadamu" tidak dipahami dengan baik.

Di balik rumusan dasar teori ekonomi makro biososioekonomi yang berbunyi:"Kelahiran adalah hutang yang harus dibayar dengan kematian" terdapat titik temu antara yang rasional dan spiritual. Sebagai teori ilmiah biososioekonomi tetap terbuka terhadap kritik dan perbaikan. Genarasi muda Indonesia yang cerdas, reformis, dan idealis seharusnya tidak menolak hal-hal yang benar yang berasal dari bangsa sendiri sama halnya juga tidak menolak hal-hal yang benar dari bangsa lain. Sudah saatnya reformasi tidak membuang semua hal yang berasal dari peradaban Jawa hanya karena kesalahan sebagian orang Jawa di masa lalu.

Indonesia harus bangkit dengan kecerdasannnya dan terhindar dari krisis yang akan datang. Selamat mengenang 12 tahun reformasi dan merayakan Kebangkitan Nasional. Bangkitlah INDONESIA-ku.

Rabu, 19 Mei 2010

Hubungan Pendeta-Raja dari Berbagai Jaman: Tidak Membungkuk di Depan Triple Six, Tidak Menyembah Raja Non Inkarnasi

Ada suatu kejadian yang bagi sebagian kita saat ini dianggap aneh. Pada waktu itu Raja Kertajaya, Raja Kadiri (1190-1205M) meminta para pendeta menyembahnya. Mungkin sebagian dari kita akan bertanya di mana letak anehnya? Bukankah seorang raja adalah pemimpin yang layak menerima penghormatan? Kalau Anda berpikiran demikian dan sedang mencalonkan diri menjadi pejabat pemerintah berhati-hatilah karena Anda akan melakukan kesalahan seperti yang dilakukan Kertajaya.

Dibanding hubungan agama dengan negara yang banyak didiskusikan dan dibicarakan orang, hubungan antara pendeta (rohaniwan) dan raja tidak banyak dibahas. Di dalam berbagai budaya pada berbagai masa hubungan itu memiliki beberapa pola dan memunculkan kasus yang berbeda pula. Kekeliruan, kesalahpahaman, persaingan, atau pertikain antar dua pihak yang terjadi di masa lalu, menurut hemat saya, masih terasa dampaknya sampai detik ini sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak sehat. Ada baiknya hubungan itu diketahui sehingga bisa memberi sumbangan ke arah dunia baru yang lebih baik, lebih sejahtera, damai, dan adil. Untuk itulah tulisan dengan tema yang dianggap tidak populer ini ditampilkan.

Kembali pada kasus Kertajaya, berikut ini saya kutipkan tulisan arkeolog UI Supratikno Rahardjo dalam bukunya Peradaban Jawa halaman 169: "Apa yang ditafsirkan oleh Sedyawati tampaknya sejalan dengan keterangan dari sumber lain, yakni kitab Pararaton. Salah satu bagian dari kitab ini mengambarkan keangkuhan raja Kadiri (Daha) terakhir, yakni Dandang Gendis, terhadap para pendeta Siwa maupun Budha. Raja ini mengaku dirinya sebagai Bhatara Guru (Siwa) dan mempertanyakan kepada pendeta mengapa mereka tidak menyembah kepadanya. Karena sesuai tradisi tidak pernah ada pendeta menyembah kepada raja, maka para pendeta itu pun menolak sambil melarikan diri mengungsi ke Tumapel untuk menghamba kepada Ken Arok yang nantinya akan menjadi pendiri kerajaan baru, yakni Singhasari (cf. Hardjowardojo 19:29-31)."

Rupanya dalam masyarakat Jawa Kuno memang tidak ada tradisi pendeta menyembah raja karena raja atau ksatria bukanlah kasta tertinggi. Hal ini berbeda dengan kelompok masyarakat lain baik Barat maupun Timur. Dalam masyarakat Romawi Kuno (pra Kristiani)misalnya semua raja dianggap sebagai inkarnasi yang ilahi dan otomatis ditempatkan di atas pendeta atau mengepalai pendeta.

Pada awal-awal kerajaan Israel khususnya pada masa Raja Saul dan Raja Daud kedua raja itu tidak nampak superior dibandingkan Imam/Nabi Samuel sebagaimana kita baca dari Alkitab (bdk 1 Samuel 13:13). Demikian juga Raja Daud tidak nampak superior di hadapan Nabi Natan (bdj 2 Samuel 12:7) pengganti Samuel. Cara Samuel menegur Saul atau cara Natan menegur Daud menununjukkan para nabi (imam/rohaniwan) itu tidak inferior di hadapan raja-raja Israel itu. Hal ini hampir sama dengan tradisi Jawa Kuno.

Namun karena pengaruh bangsa-bangsa lain, seperti Romawi, maka pada masa selanjutnya tampak kedudukan raja Israel lebih superior (bdk 1 Raja-raja 22:8-9). Ketika Romawi mengakui agama Kristen pada awal abad Masehi masih tampak kebiasaan Romawi kafir yang menempatkan raja lebih superior di hadapan imam/rohaniwan sehingga sering menimbulkan ketegangan yang tidak sehat. Kalau di Inggris sekarang raja/ratu mengepalai rohaniwan, menurut hemat saya, hal itu pengaruh dari kekafiran Romawi. Dan hal seperti ini menyebar ke seluruh dunia melalui penjajahan di waktu lalu maupun berbagai institusi di masa kini seperti media massa atau film.

Inggris adalah peradaban yang aneh. Peradaban itu mengenal baik Raja Inkarnasi Ilahi (Yesus Kristus) maupun raja non inkarnasi, tetapi menempatkan raja/ratu di atas rohaniwan seolah tidak membedakan raja inkarnasi dan raja non inkarnasi. Berbeda dengan peradaban Jawa yang jelas membedakan raja inkarnasi dan raja non inkarnasi.

Pada masa setelah Jawa Kuno muncul peradaban baru dengan agama baru yang lembaga kependetaannya kurang jelas, mana pendeta mana ksatria. Dalam tatanan yang tidak jelas itu raja cenderung muncul sebagai penguasa tunggal. Kalau raja Jawa kemudian bergelar panatagama itu karena kecelakaan sejarah. Seiring dengan itu digunakan pula kata Gusti atau Lord (Inggris) sebagai gelar kebangsawanan seperti Kanjeng Gusti Pangeran..., Gusti Bandoro..., dll. Dalam tradisi Jawa Kuno gelar kasatria atau pangeran adalah Raden suatu gelar yang tidak superior di hadapan pendeta atau rsi. Gelar raden sudah dipakai sejak jaman R Wijaya pendiri Majapahit dan masih terdengar dalam kisah pewayangan seperti penyebutan R Arjuna, R Laksmana, R Samba, atau R Setyaki misalnya. Gelar Gusti jelas menunjukkan superioritas penyandangnya karena gelar itu dipakai juga untuk menyebut Tuhan.

Adalah sesuatu yang sehat kalau pendeta tidak menyembah raja non inkarnasi dan tidak membungkuk di hadapan triple six terlepas dari apakah triple six itu raja tokoh Kitab Suci yang kekayaannya lebih dari 666 talenta emas (lebih dari Rp 6,66 triliun) atau penguasa media massa. Demikian juga seorang pejabat pemerintah perlu rendah hati untuk tidak bersikap superior di hadapan civil society atau menganggap civil society sub ordinat-nya. Pejabat pemerintah perlu bekerja sama, sebagai mitra, dengan civil society untuk mendemokrasikan ekonomi, menentang triple six, dan mencegah triple six menguasai hajat hidup orang banyak.

Semoga generasi muda Indonesia yang reformis dan idealis bisa berperan serta mewujudkan demokrasi ekonomi berdasarkan biososioekonomi. Rakyat sudah terlalu lama menunggu, sudah lelah.

Jumat, 14 Mei 2010

Hari-hari Ketika Kehendak Tuhan Dilecehkan

Tragedi yang terjadi antara tanggal 12-15 Mei 1998 merupakan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Penembakan mahasiswa Trisakti kemudian terjadi peristiwa kerusuhan, penjarahan, pembunuhan, pembakaran, dan pemerkosaan adalah peristiwa yang tidak boleh terulang. Banyak orang menjadi korban dalam peristiwa tersebut: mahasiswa, karyawan-karyawati mall yang dibakar, dan sebagian etnis Tionghoa yang mengalami serangan fisk. Kini setelah 12 tahun peristiwa itu, tetap tidak diungkap siapa yang harus bertanggung jawab di balik peristiwa itu. Keluarga para korban menunggu keadilan.

Adalah suatu pelecehan terhadap kemanusiaan dan pelecehan terhadap kehendak Tuhan apabila sekelompok orang mengalami serangan fisik karena etnisnya. Kita prihatin dan mengecam tindakan seperti itu. Seseorang dilahirkan sebagai etnis ini atau itu bukan karena kehendak dirinya. Oleh karena itu siapa pun harus mengecam tindakan seperti itu dan mendorong pemerintah mengungkap peristiwa kelam itu.

Tidak bisa memilih orangtua yang akan melahirkan kita adalah "cacat" bawaan yang harusnya disadari semua orang. Akan tetapi Tuhan telah menetralisir "cacat" itu dengan menjadikan Diri-Nya sebagai Bapa bagi semua orang sehingga keadilan terpenuhi. Ajaran kebapaan Tuhan itu sebenarnya tidak hanya memiliki sisi surgawi tetapi juga duniawi. Sayang ajaran kebapaan Tuhan yang indah itu terbelenggu dalam institusi agama (karena menekankan sisi surgawinya dan melupakan sisi duniawinya), dan ketika agama harus bergerak dalam ranah privat maka ajaran yang indah itu tidak bisa dirasakan semua orang. Padahal ajaran kebapaan Tuhan itu tidak hanya memiliki sisi surgawi tetapi juga duniawi. Dalam sisi duniawinya itu kemanusiaan dihargai, diskriminasi ras atau etnis dibuang, hak untuk memperoleh pendidikan bagi semua anak harus dipenuhi, demokrasi ekonomi diwujudkan, serta terutama hak untuk dilahirkan kembali menjadi anak Tuhan harus diakui dan dihargai. Dalam sisi duniawinya bersifat publik bukan privat. Terbuka terhadap koreksi dan diskusi.

Tragedi Mei itu adalah sebuah pelecehan terhadap kehendak Tuhan yang telah menyediakan dirinya menjadi Bapa bagi semua orang. Ke depannya kita perlu meminimalisir atau menghilangkan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Tuhan itu termasuk di dalamnya adalah mengkritik teolog atau siapa pun yang mengajarkan bahwa pewarisan kekayaan berlimpah adalah bagian dari ajaran kasih. Juga mengkritik agamawan yang membiarkan pewarisan kekayaan berlimpah terjadi. Kalau seseorang telah benar-benar dilahirkan kembali menjadi anak Tuhan maka seharusnya ia tidak menerima warisan kekayaan berlimpah dari orang tuanya. Kekayaan itu sehrusnya dihibahkan kepada publik seperti dikehendaki biososioekonomi. Segala macam diskriminasi di tempat kerja baik di swasta atau pemerintah juga harus dihilangkan.

Kita semua dipanggil untuk mewujudkan suatu dunia baru yang adil, damai, dan sejahtera bagi semua orang. Generasi muda idealis dan reformis Indonsia harus berani menerima tantangan ini.







Senin, 10 Mei 2010

Gempa Aceh 9/5 adalah Peringatan untuk Triple Six

Sebenarnya postingan di bulan ini harus saya isi dengan artikel bertema reformasi seperti janji saya, namun karena ada sesuatu yang perlu saya sampaikan maka artikel ini saya tulis. Untuk artikel bertema reformasi akan saya posting antara Rabu sampai Sabtu minggu ini.

Satu minggu sebelum gempa 26/12/2004, di Jakarta terdengar bunyi ledakan seperti bunyi meteor jatuh (Kompas 20 Desember 2004). Demikian juga sebelum gempa Aceh 9/5 ini, ada meteor jatuh di Jakarta dan tempat lain.

Meteor jatuh, bunyi ledakan, dan gempa bumi mengingatkan saya pada apa yang tertulis dalam Kitab Wahyu 8:5 yang juga saya kutip pada postingan 1 Mei 2010 yang berjudul "Mimpi, Bintang Jatuh, dan Doa Raja Daud."

Adalah Kitab Wahyu yang mengingatkan bahwa triple six akan terkena hukuman atau penghancuran yang dilakukan oleh Tuhan beserta penghuni, dan bala tentara Sorga. Saya rasa gempa Aceh 9 Mei 2010 berskala 7,2 SR ini adalah peringatan kepada triple six. Aktivitas triple six untuk menguasai Indonesia cenderung meningkat akhir-akhir ini.

Berdoa dan berjaga-jagalah.

Kamis, 06 Mei 2010

Menjawab Pertanyaan Di Sekolah Kehidupan

Bulan Mei adalah bulan reformasi bagi bangsa Indonesia. Selama sebulan ke depan saya akan mengisi blog ini dengan artikel bertemakan reformasi. Namun sebelum itu ijinkanlah saya sharing pengalaman rohani saya di sekolah kehidupan di mana saya digembleng selepas S1.

Selama bertahun-tahun itu saya merasa ada guru yang tidak nampak menanyai atau menguji saya dengan berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah (tidak urut waktu):
(1)Apakah arti atau makna "orang JAWA?"
(2)Apakah semua orang bisa menjadi orang JAWA? Jelaskan.
(3)Apakah arti mataram? Bagaimana mewujudkannya?
(4)Apakah perbedaan antara Kerajaan Jawa dengan Kerajaan JAWA?
(5)Apakah triple six itu? Apakah bahayanya bagi keberadaan Kerajaan Sorga di bumi?
(6)Pantangan apa saja yang harus dijalani oleh orang yang memperoleh wahyu keprabon (urapan raja)?
(7)Sanggupkah engkau menjalani semua pantangan itu?
(8)Apakah perbedaan antara urapan raja, urapan nabi, dan urapan mesias? Di antara ketiganya mana yang tertinggi atau terberat?Mengapa?
(9)Apakah engkau Ratu Adil? Mengapa? Jelaskan.
(10)Ada sabda yang berbunyi: "Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya." Sabda itu disampaikan dalam beberapa kesempatan yaitu ketika menyampaikan perumpamaan tentang pelita, talenta, dan tentang rahasia Kerajaan Sorga. Ada kata atau kata-kata yang agaknya disembunyikan atau dihilangkan di belakang kata "mempunyai". Pertanyaannya adalah apakah kata yang tersembunyi itu atau mempunyai apakah yang dimaksud? Jelaskan dalam kaitannya dengan pelita, talenta, dan rahasia Kerajaan Sorga.

Puji Tuhan, saya berhasil menjawab semua pertanyaan itu dengan baik sehingga dinyatakan lulus dan siap menjalankan tugas. Akan tetapi kalau saya berhasil menjawab pertanyaan itu atau berhasil menjalankan tugas, itu bukan berarti saya hebat tetapi karena Tuhan berkarya dalam diri saya jauh hari sebelum saya dilahirkan. Banyak hal dalam hidup saya sudah diatur dari atas sejak dahulu kala, sehingga di kemudian hari saya menjalaninya dengan ringan. Dilahirkan sebagai orang Jawa di tempat yang memakai nama Mataram jelaslah di luar kuasa dan kehendak saya. Jadi yang hebat itu bukan saya tetapi Tuhan Semesta alam. Segala kuasa dan kemuliaan hanya ada pada-Nya.

Mengenai reformasi di Indonesia seharusnya tidak hanya pada bidang politik, tetapi juga perlu reformasi budaya khusunya budaya Jawa. Seseorang yang memahami makna hidupnya sebagai "orang JAWA" apalagi mampu menjawab seluruh pertanyaan di atas seharusnya bisa ikut mereformasi budaya Jawa ke arah yang lebih baik. Budaya adalah sesuatu yang bersifat dinamis bukan statis. Mengerti makna "orang JAWA" berarti mengerti sangkan paraning dumadi atau mengerti asal usul dan tujuan kehidupan. Meskipun terjadi reformasi budaya Jawa, ada dua hal yang abadi dan tetap dikenang dalam hidup orang Jawa sepanjang masa yaitu hakekat JAWA dan mataram. Dua hal itulah yang terindah dalam hidup orang Jawa sepanjang massa.

Sabtu, 01 Mei 2010

Mimpi, Bintang Jatuh, dan Doa Raja Daud

Malam atau dini hari 17 April 2010 itu aku bermimpi melihat bintang jatuh. Kemudian kulihat ada benda sebesar kelereng di lokasi tempat jatuhnya. Tetapi ketika aku akan mengambilnya, mimpi itu hilang atau aku terbangun. Seperti hari-hari biasanya, setelah terbangun aku membuka facebook-ku. Aku melihat sebuah bintang di status salah seorang temanku Aku berkata dalam hati: "Ya Tuhan apakah ini sebuah petunjuk akan anugerah yang akan kuterima dalam hidup pribadiku?" Tanggal kejadian itu aku ingat karena aku mengirim message.

Dua hari terakhir saya mendengar dan membaca berita di media massa bahwa ledakan di Jl Delima VI Gang 2/31 Kel Malakasari, Duren Sawit, Jakarta Timur kemungkinan besar adalah meteor (http://m.kompas.com/news/read/data/2010.04.30.21273818)

Aku jadi teringat dengan perikop dalam Wahyu 8:5 "Lalu malaikat itu mengambil pedupaan itu, mengisinya dengan api dari meezbah, dan melemparkannya ke bumi. Maka meledakklah bunyi guruh, disertai halilintar dan gempa bumi." Sementara di bagian lain tertulis: "Dan akan ada tanda-tanda pada matahari dan bulan dan bintang-bintang, dan di bumi bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan gelora laut" (Luk 21:25).

Kejadian-kejadian ini membuat aku merenung dan berdoa dengan doa yang mestinya kusebarkan ke seluruh bumi: "Ya TUHAN, berilah kiranya keselamtan! Ya TUHAN berilah kiranya kemujuran!" (Mazmur 118:25).