Selasa, 25 Desember 2012

Selamat Hari Raya Natal 25 Desember 2012

Kasih TUHAN telah dilimpahkan kepada kita semua agar terjadi damai sejahtera di bumi. Selamat Hari Raya Natal 25 Desember 2012.

Senin, 17 Desember 2012

Kelemahan Mendasar Perekonomian Kita yang Mengancam Hidup Rakyat

Oleh Hani Putranto

Setiap menjelang akhir tahun di media cetak sering dipaparkan prediksi dan target pertumbuhan PDB tahun berikutnya. Sering pertumbuhan PDB itu dianggap yang paling penting sehingga mengabaikan hal-hal mendasar suatu perekonomian makro (dalam artian ekonomi publik). Hal itu menyebabkan berbagai kelemahan mendasar ekonomi publik tidak mendapat perhatian apalagi perbaikan. Banyak pihak telah puas dengan pertumbuhan PDB Indonesia yang masih  akan mencapai 6,3% tahun depan. Bahkan pencapaian itu dianggap sebagai kebanggaan bagi pejabat pemerintah di tengah krisis ekonomi yang masih melanda berbagai kawasan.
Namun bagi yang telah memahami konsep PDB dan pertumbuhan PDB pasti setuju bahwa besaran PDB dan pertumbuhannya tidak mencerminkan ekonomi publik dan sering tidak relevan dengan kesejahteraan rakyat. Di balik pertumbuhan PDB Indonesia yang masih di atas 6% sebenarnya terkandung kelemahan mendasar perekonomian kita.

Tax Ratio

Saya mengamati ada beberapa kelemahan mendasar perekonomian kita yang menuntut perhatian dan perbaikan. Pertama adalah tax ratio kita, dengan tax ratio kita yang hanya sekitar 12% kita jangan berharap mengatasi berbagai kesulitan dengan mulus. Mengapa besaran tax ratio itu perlu diperhatikan bahkan lebih penting dari besaran pertumbuhan  PDB? Secara deduktif-logis dapat dikatakan bahwa kelebihan harta atau pendapatan individu yang tidak dibayarkan sebagai pajak (atau derma) akan menjadi liabilitas publik sesuai kaidah akuntansi. Semakin besar tax ratio, semakin besar pula kemampuannya mengatasi liabilitas publik, mengatasi berbagai persoalan, dan memenuhi tuntutan rakyat akan kesejahteraan mereka. Tentu dengan catatan bahwa pajak yang diperoleh itu harus pro demokrasi ekonomi, bukan pajak yang ditarik dari rakyat kecil.

Dengan tax ratio sekitar 12% itu kita kedodoran menghadapi tuntutan rakyat untuk tidak menaikkan harga BBM. Defisit anggaran 2012 menjadi Rp 197 triliun (harian Kontan, 21/9/2012, hlm 1), sebagai perbandingan APBN perubahan 2012 mematok defisit sekitar Rp 190,1 triliun.
Selain itu utang pemerintah menjadi Rp 1.950 triliun ( http://m.detik.com/finance/read/2012/08/22/120729/1996191/4/ ). Dengan utang sebesar itu pendapatan negara yang seharusnya dipakai untuk memberi jamaninan sosial seperti beasiswa dan kesehatan bagi semua rakyat justru dipakai untuk membayar cicilan utang.
Perluasan
dan pendalaman jaminan sosial baik yang dilakukan dalam paradigma konvensional seperti kartu pintar ala Joko Widodo atau pun dalam paradigma biososioekonomi sangatlah penting. Bukan hanya bagi kesejahteraan rakyat tapi juga bagi kelangsungan gairah ekonomi kita karena perluasan dan pendalaman jaminan sosial yang dibiayai dengan pajak atau income publik lain itu bisa mempertahankan daya beli rakyat dan tingkat konsumsi agregat. Pada saat krisis 2008 kita diselamatkan oleh tingkat konsumsi agregat. Namun kemujuran tahun 2008 bisa saja tidak terulang kalau kita tidak mempertahankan daya beli rakyat dengan memperdalam dan memperluas jaminan sosial secara besar-besaran yang dibiayai dari income publik seperti pajak.
Dengan utang yang besar itu,  tak banyak hal yang bisa kita lakukan kalau tax ratio kita rendah dan kedermawanan sosial atau kegotongroyongan kita juga rendah.

Pajak Individu

Kelemahan mendasar kedua adalah sumber pajak yang masih didominasi pajak perusahaan dari pada pajak individu. Sebagaimana diberitakan Harian Kontan, 25 Oktober 2012, hlm 1, komposisi pajak kita masih didominasi pajak perusahaan dari pada pajak individu (lihat gambar). Padahal kemampuan perusahaan membayar pajak itu terbatas, berbeda dibandingkan dengan individu yang selain homo economicus juga homo socius. Perusahaan meskipun pendapatannya besar tetapi pengeluarannya juga besar, capital expenditure juga besar. Perusahaan adalah institusi bisnis yang tidak bisa berubah menjadi institusi sosial. Sementara itu pengeluaran individu seharusnya tidak besar. Pengamat perpajakan UI, Darussalam, di Harian yang sama 25/10/12 di halaman 1, mengingatkan perlunya pajak individu lebih besar dari pada pajak perusahaan seperti di negara-negara Eropa.
Karena potensinya yang besar itulah biososioekonomi menyederhanakan perekonomian sebagai penjumlahan aktivitas individu (manusia) dari lahir sampai
mati. Penjumlahan aktivitas individu dalam melakukan konsumsi,  memperoleh penghasilan, melakukan investasi, membayar pajak, derma, dan pelepasan hak atas kekayaan (daur ulang). Dengan penyederhanaan itu perekonomian makro/publik lebih mudah dianalisis dan dipahami.
Rendahnya kontribusi pajak individu akan menyebabkan kelebihan harta atau penghasilan yang tidak dibayarkan sebagai derma atau pajak menjadi liabilitas publik sesuai kaidah akuntansi sebagaimana dijelaskan oleh teori ekonomi makro biososioekonomi.
Melonjaknya harga properti bisa menjadi tanda peningkatan liabilitas publik sebagai akibat rendahnya kontribusi pajak individu. Kalau kita amati memang ada kecenderungan pelonjakan harga properti (bdk http://mobile.kontan.co.id/news/bi-pasar-properti-jabar-rawan-terjadi-bubble/2012/12/07 atau  http://m.mediaindonesia.com/index.php/read/2012/11/15/363218/4/2/Harga_Properti_Residensial_di_Jakarta_terus_Melonjak). 
Melonjaknya liabilitas publik juga tercermin dari melonjaknya dana pihak ketiga (DPK) perbankan per Agustus 2012 dari Agustus  2011. DPK itu melonjak 21,88% menjadi Rp 3.037 triliun dari Agustus tahun sebelumnya yang sebesar Rp 2.492 triliun. Peningkatan ini berarti lebih dari tiga kali lipat pertumbuhan PDB yang sekitar 6%. Kalau dibandingkan Juli 2012 pertumbuhan DPK adalah 0,86% (month to month/mtm). Pertumbuhan tertinggi terjadi pada nasabah pemilik simpanan Rp 1 miliar sampai dengan Rp 2miliar yang meningkat 2,09% (mtm). Sementara itu untuk kelompok nasabah dengan simpanan di atas Rp 5 miliar justru menyusut 1,15% (mtm), jumlah rekening juga menyusut 15% (Sumber Harian Kontan 29/10/12 hlm. 1). Anggota Dewan Penasihat Wealth Manager Association Michael Sajangbati menduga turunnya simpanan nominal Rp 5 miliar ke atas antara lain karena alokasi ke aset lain seperti dollar, emas, dan properti. Maka menurut hemat saya peningkatan drastis harga properti adalah konsekuensi dari peningkatan liabilitas publik akibat rendahnya pajak individu.
Pelonjakan harga properti bisa menjadi bubble yang kemudian pecah menjadi krisis bergejolak. Selain itu sebelum bubble itu pecah telah membuat harga rumah tidak terjangkau rakyat kebanyakan. Melonjaknya harga properti akan diperparah dengan rencana pemerintah memperbolehkan asing memiliki properti di Indonesia (http://m.detik.com/finance/read/2012/12/05/170354/2110352/1016/) . Baik krisis bergejolak maupun peningkatan harga rumah akan menyengsarakan rakyat.
Melonjaknya DPK perbankan diiringi dengan menurunnya bunga simpanan. Bunga simpanan turun 60-150 basis poin (Harian Kontan, 17/12/12, hlm 1). Dari sumber yang sama diperoleh informasi bahwa inflasi per Oktober mencapai 4,61% bandingkan dengan bunga tabungan yang berkisar 1,55%-3,76%. Bunga deposito berkisar dari 3,25%-6%. Hal ini menyebabkan rakyat kecil tidak bisa memperoleh hasil investasi.

Infrastruktur dan Aset Bank Sentral

Kelemahan Ketiga adalah infrastruktur yang kurang memadai khususnya angkutan massal. Dengan tidak tersedianya angkutan cepat massal pemerintah kewalahan mengendalikan konsumsi energi. Angkutan pribadi banyak mengkonsumsi premium bersubsidi.
Dengan sumber daya energi dan pertambangan yang banyak seharusnya Indonesia bisa menyediakan infrastruktur yang baik termasuk angkutan cepat massal kalau seandainya mendapatkan bagi hasil yang memadai dari kontrak karya pertambangan serta tidak adanya korupsi, kebocoran, atau pun tidak adanya konflik kepentingan dalam kebijakan transportasi.

Kelemahan Keempat, sebagaimana kelemahan yang dialami perekonomian konvensional di mana pun adalah kualitas aset bank sentral. Pencetakan uang memang tidak dijamin dengan emas. Namun sebenarnya bukan hanya emas yang bisa memperbaiki kualitas aset bank sentral. Sebenarnya secara teoritis deduktif sesuai kaidah akuntansi sebagaimana dijelaskan oleh teori ekonomi makro biososioekonomi, uang kertas pun bisa memperbaiki aset bank sentral. Tentu saja yang dimaksud bukanlah uang kertas hasil pencetakan baru tapi uang kertas yang dihibahkan kepada bank sentral dari individu anggota masyarakat atau yang dibayarkan sebagai pajak kepada negara kemudian dihibahkan ke bank sentral.
Buruknya kualitas aset bank sentral akan menyebabkan nilai uang terdepresiasi secara permanen. Hal ini melemahkan daya beli rakyat kecil. Kecilnya suku bunga tabungan bila dikoreksi dengan besaran inflasi inti menjadi tanda adanya depresiasi permanen rupiah.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa dibalik pertumbuhan PDB yang masih di atas 6% terdapat kelemahan mendasar perekonomian kita yang mengancam hidup rakyat. Kelemahan mendasar itu seharusnya diatasi. Seorang pemimpin seharusnya supel untuk bisa menggerakkan kegotongroyongan dan meningkatkan income serta aset publik.