Kamis, 10 September 2009

Gempur Soeharto

Bagi orang yang tidak mengerti bahasa Indonesia dan tidak memahami budaya Jawa bagaimana orang Jawa memberi nama pada anaknya, akan menyangka bahwa seseorang yang bernama Gempur Soeharto adalah anaknya Soeharto. Sementara bagi orang yang mengerti bahasa Indonesia tetapi tidak memahami budaya Jawa akan merasa aneh dengan nama Gempur Soeharto. Tetapi bagi orang yang mengerti bahasa Indonesia dan memahami budaya Jawa tidak merasa aneh dengan nama itu, meskipun nama itu terasa keras. Nama Gempur Soeharto sudah sesuai dengan kaidah pemberian nama anak bagi orang Jawa.

Gempur Soeharto adalah nama yang diberikan aktivis mahsiswa Heri Akhmadi kepada anaknya sebagai protes terhdap Presiden Soeharto waktu itu. Dalam budaya Jawa tidak ada tradisi menempelkan nama orang tua di belakang nama anaknya sebagai nama keluarga. Jadi seseorang yang bernama Gempur Soeharto sudah pasti bukan anaknya Soeharto.

Nama yang diberikan orang tua Jawa kepada anaknya biasa disebut nama kecil. Setelah seseorang menjadi dewasa bisa saja memakai nama tua atau nama sepuh sesuai dengan pencapaian intelektual atau spiritual termasuk perkawinan. Tetapi saat ini jarang orang Jawa yang memakai nama tua.

Memang tidak semua orang Jawa memahami budaya atau tradisi pemberian nama ini. Ada orang yang namanya Soemarwoto, oleh teman-temannya sering ditegur (dan diledek): orang kok hanya punya nama keluarga. Maka ia menambahkan nama Otto sehingga menjadi Otto Soemarwoto, padahal nama Soemarwoto adalah nama kecil bukan nama keluarga. Orang Jawa tidak mempunyai tradisi menempelkan nama keluarga.

Nama anak (orang) dalam tradisi dan budaya Jawa bisa berarti doa atau permohonan atau tetenger (tanda) suatu peristiwa bersejarah. Guru bahasa Indonesia SMA saya bernama Lindhu Supardjo, mungkin karena waktu lahir pas ada lindhu (gempa). Suatu nama memang sebaiknya harus "bunyi" atau ada artinya. Adik saya meskipun memakai nama Dwi tidak berarti anak nomor dua. Kata dwi (dalam Dwi Puji Astuti Rahayu) dipakai untuk menunjukkan adanya dua permohonan keselamatan bagi adik saya yang lahir itu dan bagi kakaknya yang sedang di-opname di rumah sakit.

Kalaupun orang Jawa mau menempelkan namanya di belakang nama anaknya biasanya harus ditata sedemikian rupa sehingga halus tidak kaku. Contoh orang Jawa yang menempelkan namanya di belakang nama anaknya adalah Presiden Soekarno. Nama itu ditata sehingga terdengar luwes kalau diucapkan seperti Guruh Soekrnoputra atau Dyah Permata Megawati Soekarnoputri. Kalau dalam pewayangan misalnya Arimbiatmaja (putera Arimbi) atau Bayusuta (putera Bayu).

Di kalangan keraton pun seperti itu tidak ada kebiasaan menempelkan nama seseorang pada nama anaknya. Sultan HB X, misalnya, nama kecilnya adalah Herdjuno Darpito, dimana Darpito bukan nama keluarga.

Saya tidak tahu persis mengapa orang Jawa tidak memiliki tradisi menempelkan namanya di belakang nama anak sebagai nama keluarga. Mungkin orang Jawa memiliki pandangan bahwa seorang anak adalah pribadi unik yang akan menajalani ruang dan waktu kehidupan dan kelak diharapkan menjadi orang yang berarti (berguna), dewasa, dan mandiri. Kalau demikian halnya hal ini adalah suatu kearifan yang luar biasa agar setiap anak bisa tumbuh dewasa, berarti (berguna) dan mandiri tidak tergantung kekayaan atau nama besar orang tuanya. Mungkin karena budaya dan kearifan seperti itulah mengapa teori ekonomi makro biososioekonomi ditemukan atau dirumuskan orang Jawa.

1 komentar:

  1. Menarik sekali mengotak-atik tentang nama bagi orang Jawa. Begini Mas, saya jadi ingat mengenai nama tua bagi orang Jawa tampaknya ada juga yang dikaitkan dengan profesi. Misalnya bila seorang guru ada nama tambahan Dwija (misalnya Dwijasuwignya), kalau dokter nama tambahannya Husada (misalnya Sudirahusada), terus kalau tukang ada unsur Karya (misalnya Karyasentika), dll mungkin masih banyak lagi. Yang agak mengusik pikiran saya, apakah kelas sosial atau asal wilayah juga punya ciri khas ya misalnya maaf! kalau orang desa ada unsur min, man, ja (untuk laki-laki) dan yem (untuk perempuan) misalnya Sarimin, Ngadiman, Sarija, Tukinem, Tukiyem, dll. Mungkin kalau hal ini dikaji dengan serius akan jadi disertasi doktor, mengingat nama orang sekarang sudah banyak yang terpengaruh nama-nama di sinetron. Selamat berkarya. Sukses.

    BalasHapus