Selasa, 17 Agustus 2010

Revolusi Memang Belum Selesai, Revolusi Damai Dimungkinkan!

Jadwal postingan saya hari ini bertepatan dengan perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan negara kita tercinta Republik Indonesia yang ke-65 tanggal 17 Agustus 2010. Puji syukur kita panjatkan kepada TUHAN Semesta Alam atas berkah karunia-Nya sehingga kita menjadi seperti sekarang ini. Ada yang sudah final ada yang belum selesai.

Revolusi Indonesia telah membawa Nusantara menjadi negara demokrasi modern yang berdasar hukum dan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika dan menghormati hak-hak asasi manusia. Itulah yang sudah final. Pancasila adalah konsensus nasional yang tidak bisa dibatalkan. Di dalam Republik Indonesia kita semua harus mengutamakan kepentingan publik bukan kepentingan pribadi atau kelompok, karena hal itu adalah salah satu hakekat republik.

Di tengah perayaan HUT RI ke-65, masih ada warga negara yang belum sepenuhnya merdeka. Ada yang tidak bisa beribadah dengan tenang, ada yang tidak bisa menyekolahkan anaknya, ada yang tidak mampu membayar biaya rumah sakit atau dokter ketika sakit dan membutuhkan perawatan, ada yang tidak bisa makan tiga kali sehari makanan bergizi dan aneka persoalan sosial ekonomi lain yang dihadapi warga negara. Hal itu harus menjadi perhatian dan keprihatinan kita semua. Pejabat pemerintah harus selalu diingatkan bahwa sebagai pejabat publik seharusnya benar-benar menjaga kepentingan publik. Jangan sampai karena persoalannya banyak dan berat, pejabat publik berprinsip: yang penting citra saya menguat, masa bodoh dengan penderitaan rakyat atau kepentingan publik.

Akan halnya kesejahteraan rakyat terkait langsung dengan demokrasi ekonomi dalam paradigma biososioekonomi. Revolusi yang telah mengantar Nusantara menjadi negara demokrasi modern masih menyisakan pekerjaan rumah yang tidak kalah berat yaitu demokrasi ekonomi. Jangan katakan ada demokrasi ekonomi ketika masih ada pewarisan kekayaan berlimpah. Setelah raja-raja Nusantara menyatakan diri sebagai bagian Republik Indonesia, muncullah peristiwa lain yang memperpuruk demokrasi ekonomi yaitu munculnya raja-raja bisnis, baik yang fair maupun kroni pejabat, dengan akumulasi kekayaan yang diwariskan kepada keturunan mereka sendiri Demokrasi politik terwujud dengan berdirinya NKRI tetapi demokrasi ekonomi merosot drastis. Lebih mengenaskan lagi kalau orang yang anti demokrasi ekonomi itu menjadi pejabat publik atau ketua umum partai dan ikut menentukan setiap kebijakan publik pemerintah.

Sebagaimana saya jelaskan dalam postingan peringatan hari lahirnya Pancasila di blog ini awal Juni lalu bahwa menurut ekonomi jalan ketiga atau jalan tengah kekayaan (akumulasi laba) itu berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Ekonomi jalan tengah/biososioekonomi itu otomatis adalah demokrasi ekonomi. Empat cara damai untuk menghentikan pewarisan kekayaan berlimpah saya sebutkan dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia hlm (73), juga sering saya sebut di postingan blog ini yang berlabel Herucakra Society.

Kontrol oleh masyarakat konsumen adalah salah satu cara damai yang bisa dilakukan semua orang kapan saja di mana saja. Berbeda dengan demokrasi politik di mana kita menentukan pilihan kita lima tahun sekali, kontrol oleh masyarakat konsumen untuk menghentikan pewarisan kekayaan berlimpah bisa dilakukan setiap hari dari diri kita masing-masing. Ini adalah suatu demarketisasi (bukan boikot) atas produk atau jasa yang anti demokrasi ekonomi. Proses demarketisisasi ini harus berlangsung kontinyu dan konsisten (ajeg) karena setiap saat (bukan lima tahun sekali) kita memilih produk atau jasa yang kita perlukan. Saya membedakan proses demarketisasi dengan boikot di mana boikot bersifat kolektif dan massal, sementara demarketisasi bersifat situasional. Dalam demarketisasi kita masih bisa mentolerir kalau situasi di daerah tertentu tidak ada produk atau jasa pengganti yang ramah terhadap demokrasi ekonomi/biososioekonomi. Tetapi kampanye harus tetap jalan terus supaya kita selalu ingat, sampai tersedia jasa atau produk yang ramah demokrasi ekonomi/biososioekonomi yang bisa kita beli. Memang idealnya ada lembaga yang kredibel yang memberi label kepada produk yang ramah demokrasi ekonomi/biososioekonomi seperti ecolabeling untuk produk ramah lingkungan.

Namun bukan berarti bahwa ketika pelabelan seperti itu belum siap, kita hanya diam saja berpangku tangan. Mulailah dengan apa yang kita masing-masing orang bisa melakukannya. Mulailah dengan apa yang kita gunakan sehari-hari seperti jasa operator telpon seluler, mie instan, juga media massa baik cetak atau televisi. Ketika produk atau jasa tadi diproduksi oleh perusahaan yang pemegang sahamnya memperoleh sahamnya dari warisan kekayaan orang tuanya yang berlimpah maka kita harus tegas menolaknya. Carilah produk atau jasa lain yang ramah demokrasi ekonomi/biososioekonomi. Demikian juga kalau ada media massa yang anti demokrasi ekonomi/biosoioekonomi atau yang menayangkan orang yang anti demokrasi ekonomi sebagai pahlawan, kita perlu juga menolaknya carilah penggantinya dari situs, blog, jejaring sosial, atau media massa lain. Kita harus selalu diingatkan akan hal ini, kalau situasi kita tinggal tidak memungkin kita tetap harus ingat bahwa kita harus menghindari produk atau jasa yang anti demokrasi ekonomi atau anti biososioekonomi. Inilah revolusi damai yang akan menyempurnakan kemerdekaan kita setelah demokrasi politik (dalam wadah NKRI dan Pancasila) kita peroleh dan kita pertahankan. Revolusi memang belum selesai, revolusi damai dimungkinkan!

Tak lupa saya mengucapkan:
"DIRGAHAYU INDONESIA, SELAMAT HUT RI ke-65! MERDEKA!!!
Semoga TUHAN ikut menjaga keselamatan RI sampai kahir jaman, dan semoga damai sejahtera melimpahi kita semua. Amin"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar