Jumat, 21 Januari 2011

Berubah Pada Kapasitas dan Jabatannya Masing-masing.

Seperti sering saya sampaikan di blog ini bahwa jaman baru, jaman keemasan menuntut kita untuk berubah sesuai dengan kapasitas dan jabatan kita masing-masing. Sayangnya perubahan seperti ini belum terlihat pada pejabat pemerintah yang saat ini sedang diberi mandat oleh rakyat. Setelah pertemuan dengan tokoh lintas agama, Presiden menginstruksikan kepada para menterinya untuk memberi penjelasan kepada publik program kerja dan pencapaian pemerintah. Tindakan seperti itu jelas menunjukkan tidak adanya perubahan.

Di luar pejabat pemerintah perubahan juga dituntut pada kita semua. Setelah kritik tokoh-tokoh lintas agama, sekarang seharusnya giliran para akedemisi, ilmuwan, dan cendekiawan yang jujur menolak penggunaan peningkatan PDB(GDP), GNP, dan garis kemiskinan sebagai ukuran yang mau mencoba menggambarkan kesejahteraan rakyat. Apakah orang yang tingkat konsumsi atau pendaptannya 1 atau 10 sen di atas garis kemiskinan berarti sudah terbebas dari kemiskinan? Tidak bukan? Mengenai kelemahan konsep PDB sudah saya tulis di blog ini. Demikian juga penggunaan istilah pertumbuhan ekonomi untuk menunjuk pertumbuhan PDB ataupun GNP harus diakhiri. Istilah pertumbuhan ekonomi itu menyesatkan dan membutakan mata banyak orang. Sebut saja pertumbuhan PDB/GDP atau pertumbuhan GNP.

Kita memang harus menyelesaikan kasus korupsi, mafia atau penyelewengan pajak namun demikian masalah yang paling pokok yaitu demokrasi ekonomi jangan malah dilupakan. Kalau demokrasi ekonomi/biososioekonomi berjalan saya rasa kasus penyelewengan atau korupsi juga bisa diminimalisir, demikian juga banyak persoalan bisa diatasi. Dalam sistem yang menjalankan demokrasi ekonomi (biososioekonomi) mencari rejeki menjadi mudah, orang tak perlu mengkhawatirkan masa depan karena secara makro sistem stabil dan dijamin mampu membayar semua kewajibannya
.
Perubahan ke arah itu menuntut kita berubah pada kapasitas dan jabatan kita masing-masing.

1 komentar:

  1. Satria Piningit yang dipahami oleh banyak orang HANYA SATU yaitu CALON RAJA "INDONESIA". Padahal jika kita CERMATI pada Bait Akhir Ramalan Joyoboyo disebutkan tentang Sang Kesatria yang merupakan pangejawantahan Sabdo Palon alias Sang Hyang Ismoyo alias Sang Hyang Semar, tidak lain dan tidak bukan merupakan Sang Pamomong dari Sang Raja Binathara. Jadi sebenarnya yang disebut Satria Piningit itu ada 2 (dua), yaitu: Titisan Sabdo Palon (Pamomong) dan Titisan Sri Aji Jayabaya (Raja).
    Dalam naskah "Kakang Semar lan Antaga Kaki" sangat jelas sekali disebutkan adanya peran keduanya.

    Perlu diketahui bersama bahwa:
    * Satria Piningit I (Titisan Sabdo Palon) SUDAH MANGEJAWANTAH DI BUMI, atau jelasnya sudah berada ditengah-tengah masyarakat. Ciri-cirinya: sudah tidak berayah (yatim), bisa mengetahui rahasia alam dan isi hati setiap manusia, rumahnya disebelah timurnya Gunung Lawu sekitar Desa Geneng (rumah lama), tapi sekarang berpindah agak ke utara (masuk wilayah Desa Tempuran).

    * Satria Piningit II (Calon Raja & Imam Dunia) JUGA SUDAH TERLAHIR DI BUMI, tetapi saat ini belum menerima WAHYU atau BELUM DILANTIK/DIBAIAT menjadi Raja Dunia karena menunggu SAAT PENYARINGAN & PENYUCIAN DUNIA yaitu KEJADIAN LUAR BIASA yang dalam Kisah Pewayangan disebut PERANG BRANTA YUDHA. Adapaun ciri-cirinya: kulit kuning, pembawaan halus kalau berjalan pelan, tampan, masih keturunan raja jawa sekaligus masih keturunan Nabi SAW. Saat ini beliau masih menyamar sebagai masyarakat biasa. Rumah aslinya di sekitar ALAS KETONGGO - NGAWI, tetapi saat ini berada di daerah Jawa Barat dan kadang-kadang juga ke Jakarta (jika ada keperluan penting).

    BalasHapus