Senin, 16 Februari 2009

Antara Ponari dan Rencana Cetak Uang

Hari ini saya membaca berita di harian Kompas cetak yang berjudul:"G-7 Desak Reformasi" di halaman 11. Dalam sub judul "Cetak Uang" dikatakan:"Mencetak uang merupakan langkah selanjutnya. Cetak uang berarti membuat surat utang lebih banyak lagi dan akan ditebus pada saat perekonomian membaik." Paradigma lama inilah yang dipakai G-7 (Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, dan AS) dalam mengatasi krisis ekonomi global dan kawasan.

Sementara itu beberapa waktu belakangan ini baik oleh media televisi atau cetak, kita disuguhi berita tabib cilik M Ponari yang menimbulkan pro kontra. Tulisan ini tidak akan menghakimi apakah peristiwa Ponari adalah takhayul atau bukan. Saya meninjaunya dari aspek publik-kemanusiaan. Secara pribadi saya ikut gembira apabila ada seseorang (dewasa atau kanak-kanak apapun etnis atau agamanya) yang diberi karunia penyembuhan. Menurut hemat saya yang menjadi masalah adalah: pertama, membludaknya pasien sehingga harus antri, bahkan ada yang meninggal dalam antrian sebelum diobati. Kedua, Ponari masih kanak-kanak sehingga waktu bermain dan belajarnya bisa terbengkalai. Ketiga, saya tidak tahu pasti apa efeknya bagi kanak-kanak kalau menghadapi pasien yang dalam kondisi menjelang ajal atau mempunyai penyakit menular. Banyak yang berobat ke Ponari adalah mereka yang tidak memiliki uang untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan secara modern. Maka solusi yang harus dikedepankan adalah pendekatan sosioekonomi agar mereka yang sakit mampu mendaptakan pengobatan dan perawatan modern sampai sembuh di satu sisi tanpa menghilangkan "rejeki" keluarga Ponari kalau memang praktek penyembuhannya terbukti.

Masalah ekonomi global atau kesehatan rakyat yang mencuat pada peristiwa Ponari sebenarnya memiliki solusi yang sama. Seorang ekonom dimanapun berada seharusnya memiliki akal sehat dan logika akutansi yang jernih meskipun tidak menguasai atau tidak mengetahui teori ekonomi makro rumusan saya, biososioekonomi. kalau lembaga publik seperti pemerintah atau bank sentral sudah mulai meningkat utangnya maka seharusnya seseorang yang memiliki akal sehat perlu bertanya apakah nisbah pajak dan nisbah kedermawanan yang selama ini ada sudah memadai persentasenya? Kalau akal sehat dimiliki memang akan bertemu dengan masalah kepentingan. Tetapi justru itulah bukankah mereka digaji tinggi untuk membela kepentingan publik?

Rakyat sudah susah, marilah kita mengutamakan kepentingan publik. Janganlah kiranya kita menindas lagi biososioekonomi. Mungkin suatu saat kelak mereka yang menindas biososioekonomi akan dicatat oleh sejarah sebagai orang yang kolonialis mirip Belanda yang menghambat Soekarno tampil di hadapan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar