Minggu, 08 Februari 2009

Pisau Tumpul Paradigma Jadul

Di tengah pemberitaan media massa terhadap masalah ekonomi dan sosial, ada hal-hal mendasar yang perlu saya sampaikan dalam blog saya ini. Berbagai berita mengenai Forum Ekonomi Dunia di Davos, Forum Sosial Dunia di Belem, rencana Program "Beli Produk AS", koreksi prediksi pertumbuhan PDB oleh IMF, dan reaksi pemerintah atas prediksi IMF telah membuka mata kita mengenai persoalan ekonomi dan sosial. Termasuk bagaimana persoalan-persoalan itu dicoba untuk diatasi. Beberapa tanggapan juga disampaikan melalui media konvensional.

A Prasetyantoko misalnya menanggapi dengan tulisan yang berjudul "Risiko Stimulus Ekonomi" (Kompas, 06/02/2009 hlm 6). Pada hari yang sama harian Kompas juga menurunkan tulisan Sri Hartati Samhadi pada Rubrik Fokus yang mempertanyakan kedigdayaan stimulus fiskal. Sebelumnya niat AS untuk mencanangkan program "Beli Produk AS" juga mendapat kritik karena akan memicu perang dagang (Kompas, 05/02/2009 hlm 11). Dari berbagai peristiwa, reaksi, dan tanggapan atas stimulus tersebut saya masih menangkap dipakainya paradigma lama dalam menganalisis maupun menyelesaikan krisis ekonomi global. Belum ada niat untuk keluar dari paradigma lama. Meskipun pejabat otoritas moneter mengingatkan kemungkinan adanya "gempa kedua" tetapi tanda-tanda untuk keluar dari paradigma lama tidak signifikan baik dari pemerintah, pengamat, atau media konvensional.

Itu tercermin dari beberapa hal berikut. Pertama, masih dipakainya pertumbuhan GDP sebagai tujuan atau sebagai sesuatu yang harus dicapai untuk keluar dari krisis (Sri Hartati Samhadi Kompas 06/02/2009 hlm 33). Kedua, otoritas fiskal berbagai negara (termasuk Indonesia) tidak bisa menunjukkan suatu rencana tindakan dimana stimulus fiskal tidak memperbesar defisit. Ketiga, baik pengamat (A. Prasetyantoko, Kompas 06/02/2009 hlm 6) maupun pejabat publik (Bambang Prijambodo, Direktur Perencanaan Makro Bappenas) sebagaimana dikutip Sri Hartati Samhadi (Kompas 06/02/2009 hlm33) masih menganggap kunci perekonomian adalah kepercayaan. Keempat, kalimat A. Prasetyantoko (Kompas 06/02/2009 hlm 6) yang menyatakan:"Memang tidak pernah ada yang tahu pasti krisis macam apa yang akan terjadi. Bahwa krisis akan tetap terjadi, hampir semua mengamini. Namun mekanisme dan pemicunya apa, hal itu sulit diprediksi. Dan lagi, bila pemicu krisis bisa dideteksi, boleh jadi, krisis tak akan pernah terjadi. Justru, krisis selalu datang lewat pintu yang dianggap paling aman. Kemudian pada kalimat terakhir alinea berikutnya dikatakan:"Benar, sumber instabilitas adalah stabilitas itu sendiri."

Agar krisis ekonomi global bisa diatasi tuntas, tidak berdampak buruk pada Indonesia, serta tidak membebani atau mengorbankan rakyat banyak maka hal-hal berikut perlu saya sampaikan melalui blog saya ini. Pertama, pisau bedah yang dipakai untuk menganalisis masalah ekonomi sebenarnya sudah tumpul bahkan rapuh tidak bisa mendeteksi potensi krisis dan mengantisipasinya secara tepat. Kedua, paradigma lama yang sudah tidak relevan lagi dengan ekonomi publik kerakyatan seharusnya sudah ditinggalkan oleh siapa pun dan di mana pun berada.

Dalam berbagai kesempatan baik dipublikasikan secara luas maupun tidak, saya selalu memakai metode berpikir biososioekonomi untuk membedah dan menganalisis persoalan ekonomi. Secara deduktif-logis bisa dipertanggungjawabkan bahwa perangkat tersebut lebih tajam untuk mendeteksi potensi krisis dan mengantisipasinya bagi pejabat publik. Harian Suara Merdeka Semarang 9 Nopember 2004 mengutip makalah saya yang saya sampaikan dalam seminar bulanan ke-22 di PUSTEP-UGM 2 Nopember 2004. Berikut ini saya tampilkan kutipan Suara Merdeka "Meskipun indikator-indikator makro cukup bagus, tetapi bukan berarti kondisi ekonomi Indonesia menggembirakan. Berbagai tantangan dan masalah di masa depan tetap berat. Masalah yang dihadapi Indonesia adalah pengangguran, kemiskinan, daya beli rendah, jatuh tempo utang dan obligasi pemerintah yang harus segera dibayar, gejolak harga minyak dan biaya pendidikan mahal" (Suara Merdeka 9 Nopember 2009 "Masalah Ekonomi Tetap Berat"). Indikator makro cukup bagus itu tentu menurut paradigma lama sebagaimana saya nyatakan dalam makalah yang tidak dikutip Suara Merdeka.

Demikian juga yang saya sampaikan dalam lomba karya tulis pengentasan kemiskinan yang diselenggarakan oleh LP3ES tahun 2005. Dalam karya tulis itu saya katakan:"Kalau neraca ini (neraca herucakra society-pen) dipakai sebagai perangkat untuk menganalisis perekonomian masyarakat maka kelihatanlah saat ini karena individu-individu manusia tidak mendaur ulang kekayan individunya maka liabilitas masyarakat jauh lebih tinggi dari asetnya" Selama liabilitas publik (masyarakat dan pemerintah) lebih itnggi dari asetnya maka potensi krisis dan masalah itu selalu ada. Perangkat analisis biososioekonomi juga saya pakai dalam "Lomba Karya Tulis 2025" yang diselenggarakan Bank Indonesia tahun 2006.

Kunci perekonomian sebenarnya bukan kepercayan tetapi kepentingan. Kepentingan siapakah yang kita bela? Kepentingan individu atau publik-kerakyatan? Hanya biosoioekonomi rumusan saya yang benar-benar membela kepentingan publik-kerakyatan. Untuk kesejahteraan publik secara berkesinambungan dalam jangka panjang yang harmonis dengan alam.

Paradigma jadul (jaman dulu) harus segera ditinggalkan. Maka dalam blog ini saya mohon kepada semua pihak baik media konvensional, pejabat publik, cendekiawan, maupun komponen civil society yang lain untuk tidak lagi memakai paradigma lama yang tidak membela kehidupan rakyat kebanyakan.

1 komentar: