Kamis, 21 Oktober 2010

Ingin Gagal atau Berhasil?

Tulisan ini saya buat Februari 2003 di mana saat itu pemerintah banyak menghadapi kritikan dan demonstrasi. Tulisan ini tidak hanya berguna bagi umum, tetapi juga bagi pemerintah dan mahasiswa saat ini yang sedang memperingati satu tahun pemerintahan SBY-Boediono. Semoga postingan ini bermanfaat. Berikut ini saya posting dengan cara mengetikkan kembali tulisan saya.


Bagi mereka yang bergerak di bidang keagenan asuransi jiwa, multi level marketing, atau penjualan langsung produk lain yang penghasilannya berdasarkan omset dan komisi bukan gaji tetap, mungkin apa yang saya sampaikan ini membosankan. Tetapi bagi masyarakat umum agaknya hal ini merupakan sesuatu yang baru sehingga perlu diketahui dan semoga bermanfaat bagi orang banyak, terutama dalam menanggapi Tajuk Rencana Kompas tanggal 3/02/03 yang berjudul "Oposisi agar Juga memberikan Alternatif"

Menjual polis asuransi jiwa adalah pekerjaan yang sangat sulit, tidak seperti menjual mobil, atau barang lain yang kelihatan nyata. Apakah yang ditawarkan oleh asuransi selain suatu janji perlindungan apabila tertimpa resiko kematian? Tetapi justru karena sulit itulah berbagai pelatihan diadakan cukup intensif agar para agen (penjual asuransi) dan para pemimpin groupnya bisa berhasil. Dari berbagai pelatihan itu dan dari pengalaman penulis memasarkan asuransi jiwa dan properti selama lebih dari lima tahun itu saya bisa melihat dan menemukan ciri-ciri yang membedakan antara mereka yang berhasil dan mereka yang gagal. Orang yang gagal selalu mencari dalih atas kegagalannya. Sementara orang yang berhasil selalu mencari solusi dan jalan keluar sampai berhasil membukukan transaksi.

Kalau pemimpin group atau supervisor menanyakan kepada orang-orang yang gagal, pasti banyak alasan atau dalih yang dikemukakan. Iya Pak, habis hujan, habis macet, sehingga terlambat dan batal bertemu prospek (calon nasabah). Sementara orang yang berhasil pasti mencari jalan bagaimana agar tidak kehujanan, dengan menyiapkan payungkah atau cara lain. Orang yang berhasil juga bisa mengantisipasi kalau kemungkinan terjebak kemacetan, yaitu dengan menggunakan sepeda motor, ojek, atau berangkat lebih awal. Bagi seorang pegawai alasan atau dalih mungkin sangat penting karena dengan mengemukakan alasan atau dalih yang kelihatan bagus-bagus dan logis toh akhir bulan sudah bisa mendapatkan gaji. Namun tidak demikian dengan sales freelance seperti agen asuransi. Dalih atau alasan tidaklah berguna. Yang berguna adalah solusi atau jalan keluar agar bisa membukukan transaksi.

Kebanyakan mereka yang gagal adalah kelompok yang suka mengeluh atau suka protes. Mengeluh karena kekurangan fasilitas. Atau protes ini atau protes itu. Maka tidak hanya tenaga dan waktunya tersita untuk mengeluh dan protes, tetapi juga secara mental dan psikologis orang tersebut telah melakukan otosugesti pada dirinya sendiri bahwa apa yang dilakukan tidak mungkin berhasil. Orang-orang yang berhasil selalu berpikir bahwa, hal ini sulit tetapi mungkin bisa. Sedangkan orang-orang yang gagal berpikir sebaliknya ini mungkin bisa tetapi sulit. Ini bukan sekedar permainan kata-kata. Kata-kata ini merasuk ke dalam jiwa yang pada akhirnya akan tercermin dalam tingkah laku dan gerak tubuh yang akan mengarahkan seseorang kegagalan atau keberhasilan. Bukti-bukti ini sudah saya saksikan selama bertahun-tahun menggeluti profesi saya.

Apabila ada gelas yang berisi air putih separuhnya, maka orang yang berhasil akan mengatakan bahwa gelas itu setengah penuh. Sementara orang yang gagal akan mengatakan setengah kosong. Semangat, optimisme, dan antusiasme akan membuat seseorang untuk selalu berusaha mencari jalan keluar suatu permasalahan sampai berhasil. Bisnis MLM, keagenan asuransi jiwa, dan properti adalah bisnis permainan mental dengan modal semangat. Pemimpin atau supervisor yang berpengalaman dan memenuhi kualifikasi biasanya tahu kalau di dalam kelompok yang dibimbingnya ada "virus". "Virus" itu adalah "virus kegagalan." Biasanya marketing atau agen yang gagal bertransaksi akan bercerita kepada rekannya bahwa kegagalannya karena kondisi sekitar sedang susah. Kamu juga batal transaksi kan? Sama, kita senasib. Kalau "virus" ini tidak diatasi maka seluruh kelompok itu beserta pemimpinnya akan gagal.

Ciri lain orang yang gagal biasanya defensif. Orang yang berhasil selalu melakukan otokritik. Apa yang bisa diubah dari diri kita sebaiknya diubah. Sementara yang tidak bisa diubah harus kita terima apa adanya Kalau kita dilahirkan sebagai laki-laki tidak perlu berubah menjadi perempuan atau tidak perlu mengeluh, habis pesaingnya pakai rok mini sih, batal deh transaksi. Kita tidak mungkin memaksa pesaing kita untuk tidak memakai rok mini, tetapi kita bisa mengubah sikap kita menjadi lebih disiplin, lebih antusias, dan lebih konsisten sehingga berhasil. Kalau kita keliru maka kita akan mengoreksi diri kita sendiri agar kelak lebih berhasil.

Tanpa protes dan tanpa ribut-ribut seorang wiraswastawan yang usahanya menyewakan lampu petromaks di Pasar Kramat Jati bisa mengambil peluang dari kenaikan TDL. Contoh-contoh lain sebenarnya ada dan cukup banyak kalau kita mau melihat dan mencarinya.

Dalam bidang keilmuan pun ada yang dinamakan sebagai ilmu yang bercorak esensialis (Karl R Popper) yaitu suatu bidang ilmu yang hanya mengemukakan atau mencari apa hakekat sesuatu atau apa hakekat suatu masalah. Di lain pihak ada pula ilmu nominalis. Kebanyakan ilmu sosial adalah esensialis, contohnya adalah sosiologi. Teknologi adalah ilmu nominalis, dalaam ilmu ini kita bisa tahu bagaimana caranya membuat jembatan, merancang pesawat terbang, atau mebudidayakan padi yang efesien dan produktif. Mestinya psikologi dan marketing (termasuk salesmanship) adalah ilmu nominalis karena tidak hanya berhenti pada pertanyaan apa tetapi bagaimana?

Menggarisbawahi Tajuk Rencana Kompas tersebut saya rasa hal itu ada benarnya. Bahwa kita sebaiknya memang harus bisa memberi kebijakan alternatif dan silakan itu dipaparkan kepada publik supaya bisa didiskusikan. Kepada mahasiswa dan mungkin Forum Rektor dari pada ribut-ribut dan malah membuat keruh suasana apakah tidak lebih baik agar mereka ini membaca buku-buku atau melakukan refleksi. Siapa tahu bisa membuat kebijakan yang lebih baik atau bahkan mungkin bisa menemukan teori ekonomi yang lebih baik dari teori ekonomi makro yang dicetuskan John Maynard Keynes. Mana mungkin bangsa kita bisa menemukan teori yang lebih baik? Bukankah selama 32 tahun kita hidup dalam proses pembodohan? Kalau pikiran-pikiran terakhir ini kita adopsi memang susah.

Tidak mudah memang memberi pengertian kepada mereka yang hidup dari gaji sebagai pegawai, toh dengan mencari dalih saja akhir bulan sudah mendapat gaji, mengapa harus repot-repot mencari solusi dan jalan keluar suatu masalah? Bahkan sekarang ini konon kabarnya tukang demo pun dibayar. Kalau sudah begini memang repot. Bagaimana kita bisa berpacu menemukan solusi atau jalan keluar suatu permasalahan?

Maka jangan salahkan kalau ada yang berpendapat bahwa sosok misterius yang bisa membawa bangsa ini keluar dari krisis bukanlah pegawai atau pejabat. Dan orang itu tidak harus menjadi presiden.


Jakarta, 7 Februari 2003


Kesejahteraan publik (rakyat) melalui demokrasi ekonomi/biososioekonomi mungkin tidak mudah untuk diwujudkan tetapi bukan berarti tidak bisa. Perjuangan ke arah itu membutuhkan keberanian, konsistensi, kesabaran, dan keuletan. Saya banyak belajar dari profesi direct selling.

Kita lihat sekarang bahwa kritikan terhadap pemerintah itu hanya menghasilkan presiden baru di tahun 2004 tetapi belum menghasilkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat. Mafia Berkeley atau OTB masih berkeliaran. Mahasiswa seharusnya tidak tergantung pada media massa konvensional (cetak atau tv) yang sering tidak pro rakyat tetapi harus menemukan informasi dari media baru (internet) yang pro rakyat. Mahasiswa yang notabene adalah orang muda seharusnya memiliki keberanian dan intelektualitas yang memadai.

Benar yang dikatakan iklan "Koran Internet" yang sering menampilkan tulisan Kwik Kian Gie: "Jangan Ngaku Beda Kalau Gak Berani Bela"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar