Selasa, 08 Februari 2011

Kasus Ahmadiyah dan Sopan-santun Civil Society

Blog ini sebenarnya saya dedikasikan untuk demokrasi ekonomi dan kesejahteraan publik. Namun demikian adanya kasus penyerangan di Cikeusik, Pandeglang, Banten membuat saya prihatin. Dengan segala kerendahan hati, saya menyampaikan tulisan ini sebagai sumbang saran dari seorang warga negara dan warga masyarakat.

Bagi saya kasus tersebut menunjukkan adanya ketidakpahaman akan hubungan state (pemerintah) dan civil society di antara pejabat pemerintah dan sebagian komponen civil society kita. Kita harus menghargai kalau ada komponen civil society seperti MUI, misalnya, yang menyatakan atau memfatwakan bahwa suatu golongan atau aliran itu sesat atau tidak Islam. State (pemerintah) tidak boleh melarang fatwa MUI seperti itu. Demikian juga komponen civil society yang lain perlu toleran dengan fatwa MUI itu. Fatwa seperti itu hanyalah rujukan bagi umatnya (untuk kalangan sendiri) bahwa golongan atau aliran tertentu sesat atau tidak Islam. Namun demikian sopan-santun civil society menuntut kita agar fatwa seperti itu tidak diikuti tindak kekerasan, penyerangan, apalagi pembunuhan. Bahwa fatwa tidak boleh diikuti tindak kekerasan ini mesti dijelaskan oleh pejabat pembuat fatwa kepada umat atau massa di bawahnya yang notabene intelektualitas dan pendidikannya terbatas. Kita sesama warga masyarakat dan warga negara perlu bergaul dengan orang lain secara beradab meskipun menurut keyakinan kita, keyakinan orang lain itu sesat, hal ini membutuhkan kedewasaan sikap. Mohon dengan hormat hindari sikap kekanak-kanakan.

Dari sisi pemerintah tentu selain dituntut melindungi warga negara, sebagaimana telah disampaikan berbagai kalangan, juga perlu lebih memahami hakekat peran dan keberadaannya untuk tidak terseret kepada permasalahan yang tidak perlu atau tidak bisa diagendakan. Sebagaimana saya jelaskan dalam buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia, bahwa negara seharusnya bergerak pada agory agenda, yang memang bisa diagendakan seperti pemilu, pilkada, atau pergantian pejabat pemerintah yang lain tetapi jangan memasuki wilayah yang tidak bisa diagendakan seperti perubahan keyakinan/agama warga negara. Meskipun suatu kompoenen civil society telah memfatwakan bahwa suatu golongan adalah sesat, negara tidak boleh mengagendakan perubahan keyakinan orang-orang yang dianggap sesat itu. Negara dalam hal ini pejabat pemerintah yang sedang memegang jabatan jangan mau diperalat oleh komponen civil society untuk mengagendakan sesuatu yang tidak bisa atau tidak perlu diagendakan oleh negara. Mengapa perubahan keyakinan tidak boleh diagendakan oleh negara, karena itu sesuatu yang tidak hanya asasi rohani tetapi juga sebagai sikap hormat pada TUHAN semesta alam. Batas pertobatan adalah kematian, biarkan TUHAN sendiri yang mengagendakan kematian setiap orang. Biarkan TUHAN sendiri yang mengagendakan pertobatan dalam setiap individu. Hal seperti ini tidak bisa dibuat massal dan diagendakan oleh negara (pejabat pemerintah). Negara pasti akan mengalami kesulitan kalau harus mengagendakan hal-hal seperti ini. Mohon dengan hormat kepada Bapak/Ibu pejabat pemerintah dan penjaga keamanan warga, hal seperti ini dipahami.

Sebagai pengetahuan tambahan mungkin sedikit perlu saya singgung mengenai istilah "nabi". Istilah ini tidak saja berbebeda pada golongan yang berbeda tetapi menurut pengetahuan saya berbeda juga karena perbedaan jaman. Apa yang disebut nabi dalam masa Kerajaan Israel 3.000 tahun yang lalu mungkin berbeda dengan masa sebelumnya. Dalam masa kerajaan Israel yang disebut nabi itu seperti Nabi Natan. Pada waktu itu juga, menurut tradisi Yudeo-Kristiani, Tuhan mengurapi seseorang menjadi nabi dan mengurapi orang lain menjadi raja (bdk Alkitab Perjanjian Lama, khususnya Kitab 1Raja-raja 19:15-16). Daud adalah salah seorang yang diurapi menjadi raja. Jadi menurut tradisi Yudeo-Krisitani Daud itu seorang raja bukan nabi sebagaimana diyakini golongan lain. Namun demikian dalam pergaulan sehari-hari saya tetap menghargai mereka yang menganggap Daud adalah nabi, bukan untuk mengikuti keyakinannya tetapi untuk menghargai orang lain sebagai manusia seutuhnya yang unik di mana kita berbeda tetapi tidak perlu bertikai. Bergaul secara beradab dengan orang lain adalah tuntutan bagi kita semua. Satu alinea ini sekedar pengetahuan tambahan. Inti dari apa yang saya sampaikan dalam postingan ini, saya sampaikan dalam alinea-alinea sebelumnya.

Saya dengan segala kerendahan hati saya mohon kepada Bapak/Ibu pejabat pemerintah dan pejabat civil society agar memahami perannya masing-masing dan memahami hubungan antara state dan civil society dengan lebih baik. Mohon dengan hormat untuk tidak mengagendakan hal-hal yang memang tidak bisa diagendakan negara. Marilah kita menjadi negarawan yang baik, marilah kita menjadi warga masyarakat yang baik yang bergaul secara beradab. Terima kasih atas perhatiannya.

1 komentar:

  1. bagaimana jika saya beragama kristen, tapi kitab suci saya anni arrow(bukan injil), tuhan hitler (bukan jesus), bagaimana?

    BalasHapus