Kamis, 22 November 2012

Bank, Riba, dan Biososioekonomi

Oleh Hani Putranto

Setelah minggu lalu saya memposting tulisan yang berkaitan dengan perbankan (http://www.satriopiningitasli.com/2012/11/biososioekonomi-dan-era-baru-usaha.html?m=1) maka minggu ini saya masih memposting tulisan yang berkaitan dengan perbankan.

Sebenarnya urusan riba lebih terkait dengan moral meski tidak bisa lepas dari sisi kesejahteraan umum. Sementara mengenai moral, kekudusan, dan imamat adalah tugas-tugas di luar bidang tugas saya. Tugas saya adalah di bidang kesejahteraan umum. Hal itu sudah sering saya tegaskan dalam blog ini.

Kalau saya memberanikan diri memposting tulisan yang berkaitan dengan riba itu tentu ada hal mendasar yang menjadi alasannya yaitu, pertama, sebagai perumus teori ekonomi makro biososioekonomi saya harus mengantisipasi kalau kelak suatu saat ketika teori ekonomi makro biososioekonomi sudah diterapkan, tidak ada orang yang bisa menjawab suatu pertanyaan usil seperti ini:"Kok bunga tabungan/deposito bank tinggi banget ya, apakah ini bukan riba?"

Yang kedua, berdasarkan pengamatan saya, pembahasan mengenai riba tidak memuaskan saya. Sebagai contoh adalah tulisan F. Rahardi di majalah Hidup 4 Oktober 2009 halaman 10-11.

Kalau kita memasukkan kata riba pada mesin pencari di Alkitab digital akan muncul banyak ayat baik yang berkaitan dengan riba atau be-riba-dah. Dari semua ayat yang paling atas atau paling awal berkaitan dengan riba adalah Imamat 25:35-37. Hal yang sama juga ditulis dalam majalah Hidup edisi di atas yang terletak di halaman 11. Boleh jadi memang ayat itulah yang paling tua yang berkaitan dengan riba. Bahkan mungkin bukan hanya yang paling tua tetapi juga memberi penjelasan konteks riba. Ayat setelahnya seperti Nehemia 5:7, Mazmur 15:5, dan Yehezkiel 22:12 tidak memberi penjelasan bagaimana konteks riba itu.

Di dalam Imamat 25:35-37 ditulis: "Apabila saudaramu jatuh miskin, sehingga tidak sanggup bertahan di antaramu, maka engkau harus menyokong dia sebagai orang asing dan pendatang, supaya ia dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kauberikan dengan meminta riba."

Kalau menurut opini pribadi saya berdasarkan Kitab Imamat di atas bunga atau riba yang dilarang TUHAN adalah bunga yang ditarik orang kaya dari orang miskin. Jadi suatu bunga bank dikatakan riba (yang dilarang) atau tidak itu tergantung situasi dan kondisi pemilik dananya. Riba yang dilarang mengandung unsur penghisapan oleh orang kaya, dalam hal ini bunga mengalir dari orang miskin masuk ke kantong orang kaya.

Sebagai contoh seorang nasabah bernama, misalnya Adi, ia memiliki deposito di bank sebesar Rp 5.000.000.0000,- dari warisan. Sementara Adi sendiri bekerja sebagai manager swasta dengan gaji Rp 15.000.0000 per bulan. Bank tempat Adi menyimpan dananya menyalurkan kredit ke bermacam nasabah baik kredit konsumsi dan kredit usaha. Sebagian debitur adalah nasabah yang lebih miskin dari Adi ada yang membeli rumah seharga Rp 300 juta s/d Rp 700 juta melalui KPR ada juga nasabah usaha kecil dengan laba usaha bersih antara Rp 3 juta s/d Rp 7 juta per bulan. Dalam kondisi dan situasi seperti itu jelas bunga yang diterima Adi adalah riba yang dilarang. Pada prinsipnya menurut pendapat saya semakin kaya seseorang apalagi kekayaannya berasal dari warisan semakin banyak ia memakan riba yang dilarang TUHAN kalau ia memperlakukan hartanya seperti Adi di atas.

Menurut hemat saya kalau sebaliknya yang terjadi yaitu bunga mengalir dari orang kaya kepada yang miskin atau lemah tidak bisa dikatakan riba yang dilarang TUHAN. Bunga yang dibayar orang kaya kepada orang yang lebih miskin bisa disebut sebagai profit sharing atau redistribusi aset.

Di dalam biososioekonomi, sebagian bunga tabungan yang diterima penabung kecil memang berasal dari kekayaan daur ulang pribadi yang memang berasal dari orang kaya. Selain dipakai untuk membayar jaminan sosial dan dihibahkan kepada bank sentral untuk memperkuat aset bank sentral dan mencegah depresiasi permanen mata uang atau mencegah inflasi inti, kekayaan daur ulang juga didistribusikan sebagai bunga tabungan kepada penabung kecil perorangan bukan perusahaan. Dalam situasi seperti itu bunga tabungan secara riil bisa jauh lebih tinggi dari inflasi. Meski bunga tabungan tinggi hal itu tidak bisa disebut sebagai riba yang dilarang TUHAN karena bunga itu mengalir dari orang kaya yang mendaur ulang hartanya.

Persoalan ekonomi dan keuangan sebenarnya bukan sekedar masalah bunga bank atau riba tetapi redistribusi aset sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh teori ekonomi makro biososioekonomi. Di dalam Alkitab Perjanjian Baru pun banyak seruan untuk berbagi harta misalnya (Luk 12:33) sayang hal itu tidak menjadi isu penting tulisan F. Rahardi di atas.

Semoga penjelasan ini dipahami. Bagi yang baru pertama kali mengunjungi blog ini silakan baca artikel lain sampai memperoleh gambaran dan pemahaman yang lengkap.

Jumat, 16 November 2012

Selamat Tahun Baru 1 Suro 1946 Saka Jawa

Selamat Tahun Baru 1 Suro 1946 Saka Jawa (1 Muharram 1434H). Rahayu. Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN, berilah kiranya kemujuran!

Rabu, 14 November 2012

Biososioekonomi dan Era Baru Usaha Perbankan

Pada kuartal III 2012, meski kredit hanya tumbuh 14% dan pendapatan bunga cuma naik 8%, tapi laba operasional Bank CIMB Niaga tumbuh menjadi 33,5%. Demikian berita yang saya baca dari harian Kontan Sabtu tanggal 3 November 2012 halaman 11.
Menurut berita itu, melonjaknya laba operasional terjadi karena CIMB Niaga mengembangkan bisnis payment bank.

Payment bank merupakan salah satu sumber pendapatan berbasis komisi (fee based income). Pada umumnya bank memperoleh income dari bunga kredit yang disalurkannya. Oleh karena itu usaha perbankan rentan terhadap pelemahan pertumbuhan PDB. Ketika kredit investasi dan kredit usaha mengalami kejenuhan berbagai upaya dilakukan oleh bank untuk meningkatkan pendapatan bunga dengan menggenjot kredit konsumsi, usaha kartu kredit, dan kredit tanpa agunan demi menyiasati pelemahan pertumbuhan PDB dan membludaknya dana pihak ketiga di perbankan.

Adanya income berbasis bukan bunga tetapi komisi bukan sesuatu yang mustahil. Selain dari usaha yang sudah dikenal seperti disebutkan dalam berita di atas, di masa mendatang income berbasis komisi bisa berasal dari diterapkannya teori ekonomi makro baru, biososioekonomi. Kekayaan daur ulang perlu didistribusikan, selain didistribusikan sebagai beasiswa juga didistribusikan sebagai bunga tabungan/deposito bagi individu penabung kecil. Karena jasanya itu perbankan bisa memperoleh fee. Tentu saja bank yang dipilih untuk mendistribusikan kekayaan daur ulang ini haruslah bank yang pemegang sahamnya bebas triple six (kekayaan besar dari warisan), paling tidak kandungan triple six-nya minimal. Kalau pengetrapan teori ekonomi makro biososioekonomi sudah sangat meluas dan mendalam, tentu dana daur ulang yang didistribusikan perbankan sangat besar sehingga bisa menjadi sumber income berbasis komisi yang layak diperhitungkan.

Income berbasis komisi sangat diperlukan oleh perbankan untuk bisa survive mengingat tidak selamanya pertumbuhan PDB besar. Secara empiris sudah terbukti bahwa pertumbuhan PDB negara-negara maju (developed countries) lebih kecil rendah dari pada negara-negara yang sedang membangun (developing countries). Suatu saat memang pertumbuhan PDB akan jenuh, melambat dan kecil mendekati nol. Menurut teori ekonomi makro biososioekonomi kalau pertumbuhan penduduk nol persen, pertumbuhan PDB tidak diperlukan. Dalam kondisi pertumbuhan PDB mendekati nol persen itu income berbasis komisi sangat membantu usaha perbankan untuk survive.

Di masa mendatang porsi income berbasis komisi yang diperoleh perbankan akan meningkat terutama bila teori ekonomi makro biososioekonomi sudah diterapkan secara meluas dan mendalam. Itulah era baru usaha perbankan.

Artikel Terkait
Dampak Biososioekonomi pada Sektor Moneter Perbankan http://www.satriopiningitasli.com/2009/04/dampak-biosoioekonomi-pada-sektor.html?m=1

Selasa, 06 November 2012

Tunduk pada Akuntansi. Sebuah Refleksi Sewindu Seminar Perdana Biososioekonomi

Oleh Hani Putranto
Krisis dan gejolak keuangan yang melanda AS 2008 kemudian diikuti krisis utang di zona euro dipercaya sebagian orang sebagai tanda-tanda krisis kapitalisme-neoliberalisme. Momentum krisis itu dimanfaatkan isme-isme lain untuk menawarkan diri atau melakukan propaganda dengan tujuan mengganti kapitalisme-neoliberalisme. Ada marxisme/komunisme, etatisme, kalifahisme dll.

Pertentangan antara kapitalisme dengan komunisme bukan hal baru. Ambruknya Uni Soviet tahun 1990-an dan diadopsinya kapitalisme dalam perekonomian RRC ternyata bukan akhir marxisme/komunisme. Demo buruh yang menentang out sourcing dan menuntut kenaikan UMR (upah minimum regional) merupakan tanda dipakainya ideologi Marx itu di kalangan buruh di Indonesia akhir-akhir ini.

Kita tidak bisa menganggap remeh pertentangan berbagai ideologi maupun upaya penggantian kapitalisme dengan ideologi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Pertentangan itu bisa berbahaya bagi perdamaian apalagi kalau masing-masing pihak menutup diri terhadap koreksi dan tidak tunduk pada ilmu pengetahuan yang obyektif.

Saya mengamati baik kapitalisme (dalam hal ini kapitalisme agregat) maupun marxisme/komunisme sama-sama memiliki kekeliruan. Keduanya tidak bisa dipertanggungjawabkan dari sudut pandang akuntansi. Kapitalisme misalnya mensyaratkan pertumbuhan PDB dan terbelenggu pada pengejaran pertumbuhan PDB itu serta kurang peduli pada peningkatan income dan aset publik. Dari sudut pandang akuntansi pengejaran pertumbuhan PDB akan meningkatkan liabilitas publik. Salah satu buktinya adalah munculnya 10 negara yang utangnya mencapai 100% PDB atau lebih (http://www.satriopiningitasli.com/2012/08/utang-besar-karena-income-kurang.html?m=1).

Ideologi marxisme-komunisme pun juga memiliki kekeliruan. Pandangan Marx bahwa laba adalah nilai surplus yang diambil pemilik modal (kapitalis) secara akuntansi juga tidak bisa dibenarkan. Menurut hemat saya secara akuntansi dapat dikatakan bahwa laba terjadi karena konsumen membayar lebih tinggi. Gerakan dan tekanan buruh yang mengadopsi pandangan Marx bisa berpotensi membuat harga-harga naik dan membebani konsumen (semua orang).

Pertentangan berbagai macam ideologi seperti itu harus diakhiri dengan ketundukan pada akal sehat, ilmu pengetahuan yang obyektif, dan tak lupa hati nurani dan kejujuran. Sebenarnya ada ilmu yang obyektif yang bisa dipakai untuk membedah dan menganalisis apakah suatu perekonomian sehat atau tidak. Ilmu itu adalah akuntansi. Dengan akuntansi kita tinggal mendefinisikan unit ekonomi yang akan dikelola berdasarkan sudut pandang kepentingannya, dalam hal ini sudut pandang kepentingannya adalah publik. Begitu unit ekonom ini, yaitu publik, terdefinisi maka apa yang seharusnya disebut income dan aset publik juga bisa didefinisikan dengan jelas kemudian dibuat rekening T publik yang menggambarkan aset dan liabilitas publik. Rekening T publik ini ada dua macam yaitu yang pertama menyangkut state (pemerintah) dan yang kedua menyangkut society (masyarakat).

Begitulah seharusnya perekonomian makro (yang seharusnya dimaknai sebagai perekonomian publik) dikelola dengan rasional bukan dengan isme-isme yang tidak mau tunduk pada akuntansi.

Dengan merumuskan "kelahiran adalah hutang yang harus dibayar dengan kematian" maka teori ekonomi makro biososioekonomi tunduk pada akuntansi. Demikian pada hari Selasa minggu pertama tahun 2004 yang bertepatan dengan tanggal 2 November 2004, sewindu yang lalu, untuk pertama kalinya teori ekonomi makro biososioekonomi diseminarkan dalam seminar bulanan Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gadjah Mada (PUSTEP UGM). Rekening T society bisa dilihat di buku saya atau makalah saya (Bioekonomi, Ekonomi Masyarakat, dan Kependudukan http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul22.htm)

Tulisan ini merupakan refleksi sewindu seminar perdana biososioekonomi (bioekonomi) di tengah situasi yang mungkin akan meningkatkan ketegangan atau bahkan pertikaian antar isme atau antar ideologi. Demo-demo buruh yang marak akhir-akhir ini merupakan tanda yang tidak bisa diabaikan.

Harapan saya dengan tulisan ini adalah bahwa mereka yang telah mempelajari akuntansi secara formal harus berani tampil ke depan. Tampil ke depan untuk mengkritik atau mengoreksi biososioekonomi bila keliru ikut mengembangkannya bila benar dan yang tidak kalah penting adalah memberi pencerahan kepada masyarakat umum untuk menggunakan akal sehat dan ilmu yang obyektif (akuntasi) agar terhindar dari pertikaian ideologi atau pertikaian antar isme yang akan meningkat.

Di Indonesia Jurusan Studi Pembangunan kebanyakan ada di perguruan tinggi negeri. Hanya sedikit perguruan tinggi swasta yang Fakultas Ekonominya memiliki Jurusan Studi Pembangunan. Akan tetapi Jurusan Akuntansi dimiliki oleh hampir semua Fakultas Ekonomi baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Hal ini adalah kesempatan bagi perguruan tinggi swasta untuk berpartisipasi. Saya mengamati bahwa mereka yang memahami dan telah mempelajari akuntansi secara formal lebih mudah belajar biososioekonomi. Sementara itu kebanyakan ekonom konvensional terbelenggu gambaran keliru ekonomi makro sebagai pabrik raksasa yang notabene tidak tunduk pada akuntansi. Oleh karena itu Jurusan Akuntansi harus ikut mengembangkan biososioekonomi.

Ini adalah kesempatan bagi perguruan tinggi swasta. Saya prihatin bahwa suatu perguruan tinggi swasta yang di belakangnya menyandang nama besar Katolik tetapi pandangan dan aktivitas makronya neolib yang kurang berpihak kepada rakyat miskin. Komentar pejabat Gereja atau pengelola lembaga pendidikan Katolik mengenai mahalnya sekolah-sekolah Katolik menunjukkan bahwa pejabat Gereja atau pengelola yayasan yang bersangkutan berpandangan neolib yang tidak tunduk pada akuntansi dan kurang berpihak pada rakyat miskin.

Semoga tulisan ini membuka mata semua orang khususnya yang telah belajar akuntansi secara formal agar turut serta mengembangkan biososioekonomi agar bisa berperan menyejahterakan rakyat dan mencegah pertikaian antar isme yang nampak makin nyata seiring dengan kemungkinan akan munculnya gejolak ekonomi keuangan seperti tahun 2008 atau 1998. Marilah berpartisipasi menyejahterakan rakyat dan menciptakan perdamaian. TUHAN akan menyempurnakan usaha kita.


Artikel Terkait

Refleksi Akhir Tahun. Subyektif atau Obyektif ( http://www.satriopiningitasli.com/2011/12/refleksi-akhir-tahun-subyektif-atau.html?m=1)

Tiga Aladan Mengapa Biososioekonomi adalah Ekonomi Jalan Ketiga (http://www.satriopiningitasli.com/2010/11/tiga-alasan-mengapa-biososioekonomi.html)

Misteri Laba dan Kesengsaraan Rakyat ( http://www.satriopiningitasli.com/2008/10/misteri-laba-dan-kesengsaraan-rakyat.html)