Kamis, 05 Maret 2009

Jalan Ketiga Ekonomi Dunia

Suka atau tidak suka facebook telah membantu saya untuk berkenalan dengan teman-teman baru yang memiliki minat sama yaitu brdiskusi mengenai masalah krisis ekonomi global dan tentang kesejahteraan rakyat Karena ada permintaan dari rekan baru saya yang saya kenal melalui facebook agar saya menjelaskan konsep jalan ketiga saya maka saya memposting tulisan ini beserta relevansinya dengan pemilihan umum dan pemilihan presiden.

Jalan ketiga saya ini merupakan ringkasan buku saya Herucakra Society Jalan Ketiga Dunia yang diterbitkan oleh Penerbit Wedatama Widya Sastra (WWS) Jakarta pada Oktober 2004.

Jalan ketiga saya berbeda dengan jalan ketiga rumusan Anthony Giddens. Jalan ketiga Giddens mengikuti paradigma Thomisian (Thomas Aquinas) dan cenderung Marxian sementara jalan ketiga saya menggunakan paradigma baru non Thomisian. Maka wajar kalau jalan ketiga Giddens cenderung ke jalan ketiga politik sementara jalan ketiga saya ke arah ekonomi. Jalan ketiga Giddens tidak memiliki konsep ekonomi yang jelas. Sementara jalan ketiga saya jelas-jelas didasari grand theory ekonomi makro baru yang saya namakan biososioekonomi atau dipendekkan menjadi bioekonomi.

Teori biososioekonomi tidak berbicara mengenai pabrik tetapi mengenai manusia dari lahir sampai mati. Pabrik dimiliki oleh manusia juga baik sebagai perusahaan perorangan atau PT sehingga kalau kita berbicara manusia bisa mewakili keseluruhan. Biososioekonomi merupakan penjumlahan aktivitas individu maupun kekayaannya (tabungan, saham, property, dll) baik yang terakumulasi maupun yang dibayarkan(dihibahkan) sebagai pajak atau derma (termasuk daur ulang).

Rumusan dasar biososioekonomi adalah: kelahiran adalah hutang yang harus dibayar dengan kematian. Intinya biososioekonomi menentang pewarisan kekayaan berlimpah. Kalau tubuh manusia harus didaurnulang menjadi "pupuk" maka kekayaan pribadi pun harus didaur ulang tidak bisa diwariskan. itu adalah hukum alam, sesuai dengan hukum keseimbangan (akuntansi) dan kelangkaan (ekonomi). Maka semua milik individu adalah liability bagi publik dan yang dihibahkan adalah aset (lihat neraca herucakra society di makalah saya yang berjudul "Bioekonomi, Ekonomi Masayarakat, dan Kependudukan" di www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id).

Agar kekayaan berlimpah tidak diwariskan tetapi didaur ulang secara non violence, ada 4 cara yang diusulkan untuk dilakukan yaitu (1)kesadaran masing-masing individu (2)tekanan institusi agama pada umatnya masing-maisng (3)etika atau norma sosial (4)kontrol oleh masyarakat konsumen. Yang dimaksud etika atau norma sosial adalah anjuran apabila seseorang tidak mampu untuk mendidik anak agar tidak meminta warisan maka orang tersebut sebaiknya tidak mempunyai anak, atau kalau adat atau agamanya mewajibkan semua pengikutnya mempunyai anak maka sebaiknya orang tersebut jangan mengakumulasi kekayaan banyak-banyak. Dengan adanya dua pilihan ini berarti ada kebebasan sehingga suatu kontrol oleh masyarakat konsumen (butir 4) mempunyai legitimasi etis yang kuat sehingga tidak dituduh otoriter.

Saya tidak mengusulkan suatu hukum positif negara karena kekayaan daur ulang itu harus terdistribusi ke semua orang di seluruh dunia tanpa sekat teritorial, primordial, atau sekat sektarian. Kekayaan atau laba berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen yaitu semua orang karena tanpa melakukan kegiatan konsumsi manusia pasti mati. Demokrasi politik mengenal prinsip:"dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat". Sementara demokrasi ekonomi mengenal prinsip:"dari konsumen, oleh konsumen, untuk konsumen". Tentu yang dimaksud konsumen adalah konsumen sosial atau semua orang termasuk yang tidak memiliki daya beli. Memang dibutuhkan institusi baru yaitu organisasi konsumen sosial yang menuntut daur ulang kekayaan untuk menjaga daya beli rakyat dan stabilitas ekonomi moneter.

Masyarakat yang aggotanya mendaur ulang kekayaan pribadinya dengan cara-cara non violence saya namakan herucakara society (masyarakat terbuka yang adil). Masyarakat terbuka di sini sama dengan yang dirumuskan Popper yaitu masyarakat yang percaya pada akal, kebebasan, dan persaudaraan. Tanpa mendaur ulang kekayaan pribadinya, masyarakat terbuka sebenarnya tidak benar-benar terbuka. Masyarakt terbuka yang adil inilah yang bisa menjadi mitra negara. Sehingga nantinya, dalam paradigma saya, negara fokus pada tiga tugas (1)memberikan perlindungan keamanan (2)menyediakan infrastruktur termasuk redistribusi lahan untuk petani, menyediakan lahan untuk pasar, pedagang kaki lima, sekolah, puskesmas dll (3)menyediakan sistem yudisial yang fair dan tidak memihak. Sementara itu masyarakat bertugas pada bidang sosial ekonomi secara global termasuk mengontrol bank sentral. Di antara tiga poros keadaban publik (negara, pasar,dan masyarakat) hanya dua yang bisa mengglobal yaitu pasar dan society.

Meskipun nantinya tugas sosial ekonomi diemban masyarakat bukan berarti saat ini kita mentolerir keagalan eksekutif dan legislatif. Tahun 2004 adalah sebuah contoh dimana civil society kebobolan dengan adanya orang-orang yang memiliki harta berlimpah dari warisan yang duduk di pemerintahan. Menurut saya ini terjadi karena media konvensional baik cetak atau televisi tidak mereformasi diri.

Sejak Juni 2002 saya mengirim naskah tetapi tak satupun yang dimuat. Bahkan setelah buku saya terbit pun tetap susah. Prof. Dr. Mubyarto (alm) adalah ilmuwan yang jujur dan rendah hati yang mau memberi tempat bagi karya saya. Kalau diminta menulis yang bertentangan dengan biososioekonpmi, saya tidak mau meskipun akan dimuat. Di luar biososioekonomi saya masih bisa hidup. Kalau kepepet pulang kampung buka warung. Lebih baik menjadi pedagang tetapi jujur dari pada menjadi ekonom atau wartawan tetapi melacur.




1 komentar:

  1. PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

    Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
    Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
    Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
    Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
    Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
    Siapa yang akan mulai??

    David
    HP. (0274)9345675

    BalasHapus