Kamis, 11 Juni 2009

Desakralisasi Jabatan Presiden

Berikut ini saya tampilkan tulisan saya yang saya tulis 7 Februari 2004 dan saya kirimkan ke sebuah koran nasional tetapi tidak dimuat.

Menurut filsafat politik, sebuah negara demokrasi moderen tidak memerlukan seorang presiden yang mendapat legitimasi wahyu. Seorang presiden hanya perlu legitimasi demokratis. Berbagai upaya untuk mendesakralisasi jabatan presiden telah dilakukan oleh berbagai pihak.

Namun demikian sebagian anggota masyarakat masih menganggap presiden RI harus memiliki wahyu atau merupakan figur sakral. Lihat saja komentar Djuanda di majalah Fokus edisi 9-23 Januari 2004 bahwa capres yang punya kans tak jauh dari figur-figur "kerajaan" atau orang berpangkat, juga komentar Suhardiman majalah dan edisi yang sama yang mengkaitkan satrio piningit dengan presiden RI.

Akan halnya anggapan jabatan presiden yang sakral memang sudah ada sejak RI merdeka. Kita tidak memungkiri bahwa berkat karisma Soekarno pula rakyat di Nusantara bisa digerakkan dan berjuang bersama-sama memerdekakan RI. Namun anggapan jabatan presiden RI adalah sakral tentu sangat mengganggu proses pelembagaan demokrasi di negara kita.

Menurut Karl R Ropper masyarakat terbuka adalah masyarakat yang percaya pada, akal, kebebasan, dan persaudaraan antar seluruh umat manusia (Popper, Karl R 2001, hlm 228. Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Terj dari The Open Society and Its Enemies, Princeton University Press, New Jersey, 1950). Bersikap rasional kritis terhadap hal-hal yang mistis seperti wahyu juga merupakan bagian dari ciri masyarakat terbuka. Maka upaya untuk mendesakralisasi jabatan presiden juga perlu melibatkan sikap rasional kritis terhadap wahyu. Rasional kritis dibedakan dengan rasional buta dimana sikap rasional buta menolak mentah-mentah terhadap semua hal yang mistis termasuk agama.

"The Lost Mataram"

Yang perlu dicermati dan dikritisi tentang sakralnya jabatan presiden adalah pengaruh sejarah dan budaya Jawa. Kita akan mengalami kesulitan yang serius dalam mendesakralisasi jabatan presiden manakala kita tidak mau mengkritisi apa yang terjadi dan apa yang dipercayai oleh masyarakat Jawa. Runtuhya Majapahit kemudian disusul kekacauan politik sepanjang abad 16 dan kemudian masuknya penjajah Belanda telah membuat masyarakat Jawa rindu akan suatu jaman yang penuh dengan keadilan, kedamaian, dan kemakmuran yang dipimpin oleh seseorang yang dipercaya memperoleh wahyu kedaton. Yang kemudian terjadi adalah sosok itu dianggap atau diwujudkan sebagai sosok presiden RI. Padahal belum tentu demikian.

Dengan mengembalikan kepercayaan masyarakat Jawa akan wahyu kedaton ke dalam budaya asalnya (Jawa) dan tidak mengkaitkannya dengan presiden RI akan membuat kita memiliki peluang besar untuk membantu mendesakralisasi jabatan presiden. Hal ini bukan suatu hal yang mustahil kalau kita mencermati sejarah Jawa dan membuka suatu wacana tentang Mataram yang hilang atau the lost Mataram.

Menurut sejarah yang umum dikenal, Mataram (Kotagede) ditaklukkan oleh Trenggana dari Demak (Dr. R. Soekmono, 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan, jilid III, Penerbit Kanisius, Yogyakarta). Kemudian karena Demak jatuh tangan Pajang, Mataram pun menjadi bawahan Pajang. Oleh penguasa Pajang, Hadiwijaya, Mataram diberikan kepada Pamanahan karena jasanya membantu Hadiwijaya menaklukkan Aria Panangsang. Senapati anak Pamanahan kemudian mendirikan apa yang disebut Kerajaan Mataram atau sering juga disebut Mataram Baru Mataram II yang sebelumnya bersitegang dengan Hadiwijya.

Yang perlu dicermati di sini tentu bukan asal-usul Pamanahan yang dianggap rendah tetapi Pamanahan sendiri bukan orang Mataram. Menurut Babad Tanah Jawi, leluhur Pamanahan adalah orang Sela, suatu daerah sekitar Purwodadi Jawa Tengah Bagian Utara. Sejarawan Belanda HJ De Graaf agak kesulitan menelusuri asal-usul Pamanahan dan untuk mudahnya menganggapnya dari Sela (De Graaf HJ, 2OO1, hlm 27. Awal Kebangkitan Mataram, masa Pemerintahan Senapati, cetakan III, Penerbit Pustaka Utama Grafiti-KITLV, Jakarta. Terj Dari De Regering van Panembahan Senapati Ingalaga, KITLV, Leiden, 1954).De Graaf agak meragukan peran Pamanahan dalam membantu Hadiwijaya menaklukkan Aria Panangsang. Dengan mempertimbangkan sumber tertulis orang Belanda yang mengutip sumber Jawa Barat De Graaf memiliki keyakinan sbb: "Berita-berita tua dan agak meyakinkan mengenai penaklukan dengan kekerasan atas Mataram kiranya lebih dapat diterima"(hlm 63). Pendapat De Graaf mungkin masih bisa didebat karena yang ditaklukkan oleh orang-orang Sela itu bukan Mataram (Kotagede) tetapi wilayah yang kurang lebih 20 km di sebelah baratdayanya yang disebut Perdikan Mangir (sekarang Kab. Bantul). Berita tertulis mengenai Perdikan Mangir memang langka, berdasarkan cerita tutur masyarakat Jawa memang perdikan itu ditaklukkan dengan kekerasan dan kelicikan oleh Senapati.

Dari berita-berita yang agak simpang siur itu jelaslah bahwa Mataram sebenarnya sudah hilang. Lenyapnya Mataram makin sempurna manakala Perdikan Mangir yang nota bene masih berada dalam wilayah mistis atau wilayah spiritual Kerajaan Mataram karena letaknya berada di sebelah timur K Progo dan barat K Opak ditaklukkan dengan kekerasan. Apa yang disebut pemerintahan Senapati mestinya lebih tepat disebut pemerintahan pendudukan. Tanpa menyinggung Mangir De Graaf menulis sbb: "Jadi, jika dibersihkan dari segala tulisan rekaan, maka tinggallah sisa catatan yang mengisahkan bahwa di daerah Mataram ada juga keluarga-keluarga tua yang memandang Kiai Gede Pamanahan dan kaumnya sebagai penyusup dan perampas hak-hak lama" (hlm68).

Misteri Wahyu Kedaton dan Desakralisasi Jabatan Presiden

Mengkaitkan wahyu kedaton dengan presiden RI tentunya adalah suatu tindakan yang tidak rasional kritis dan tentu merupakan hal yang tabu, lain halnya kalau dikaitkan dengan raja. Akan halnya Senapati bisa berhasil menjadi raja menurut keyakinan orang Jawa karena mendapat wahyu kedaton. Dari Babad Tanah Djawi kita mengetahui bahwa menurut ramalan Sunan Giri di Mataram akan dilahirkan seorang raja besar seperti Hadiwijaya (Graaf hlm 58). Juga diramalkan bahwa keturunan Pamanahan akan menjadi raja (Graaf hlm 82). Namun demikian bahwa yang dimaksud Mataram dalam ramalan Sunan Giri adalah Mataram Senapati tetap merupakan misteri karena janinnya Pambayun-Ki Ageng Mangir_yang menurut sumber sejarah yang bisa dipercaya tidak diketahui keberadaannya_mestinya keturunan Pamanahan juga. Menurut keyakinan orang Jawa, Mataram akan makmur bila terjadi perkawinan antara K Progo dan K Opak (Sindhunata, Bayang-bayang Ratu Adil hlm 356). Saya tidak tahu sejak jaman apa ramalan ini ada yang jelas ramalan ini telah dimonumenkan menjadi Selokan Mataram pada abad ke-20 dan hanya ada satu wahyu untuk wilayah itu (hlm 361). Karena masyarakat mengalami keterpurukan ekonomi dan ketidakjelasan (bagi sebagian orang-pen)wahyu itu berada di mana maka wahyu itu menjadi ganjalan dalam keyakinan dan pikiran orang Jawa sampai hari ini. Karena masalah wahyu ini adalah masalah orang Jawa maka masalah ini harus dikembalikan kepada masyarakat Jawa dan tidak perlu dikait-kaitkan dengan jabatan presiden RI. Kalau toh nanti nuncul Raja Mataram kembar tentunya tidak perlu dipermasalahkan. Di Cirebon baru-baru ini ada Sultan kembar yang tidak mengganggu kehidupan nasional. Lagipula nama Mataram telah dipakai oleh berbagai daerah di Indonesia seperti di NTB dan di Lampung.

Rekonsiliasi dan Mencerdaskan Bangsa

Yang lebih penting dari wahyu kedaton itu adalah makna mataram sendiri. Terjemahan bebas kata mataram adalah pengetahuan yang direstui atau pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak (bdk Sindhunata, hlm 359). Dari sini kita bisa mengambil makna bahwa spirit mataram itu adalah mencerdaskan kehidupan bangsa seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Proses pembodohan yang terjadi selama rezim Orba mestinya bukan merupakan spirit dan budaya Mataram Soeharto tidak mewakili keluarga tua Mataram dan hanya mengikut Mataram Senapati tanpa kritis. Mataram sudah hilang lebih dari 400 tahun lalu tanpa dimengerti Soeharto. Tanpa pencerdasan bangsa upaya untuk mendorong kontestan pemilu berorientasi pada program hanyalah ilusi, rakyat hanya mengerti simbol.

Selain itu makna dari ramalan Jawa tentang perkawinan kedua sungai itu adalah cinta dan rekonsiliasi. Keadilan dan kemakmuran mestinya terjadi karena cinta dan rekonsiliasi bukan kekerasan dan kelicikan.

1 komentar:

  1. Boleh sj anda benci Suharto...tp jgn membabibuta spt itu. Suharto dr jawa bhkn pemerintahnya kental budaya jawa n ttntu ybs tahu pentungnta wahyu keraton...

    BalasHapus