Sabtu, 15 Agustus 2009

Refleksi HUT RI ke-64: Makna Kemerdekaan dan Perjuangannya

Tahun ini genap delapan windu usia negara kita tercinta Republik Indonesia. Pada saat-saat peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI berbagai acara digelar dari pesta rakyat dengan berbagai lomba berhadiah sampai upacara bendera. Kegembiraan menyelimuti seluruh bangsa. Namun di balik kegembiraan itu tak sedikit yang merasa belum merdeka. Suatu perasaan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Penderitaan yang menimpa rakyat masih sering terjadi. Beberapa peristiwa itu antara lain adalah TKW yang meninggal di kolong jembatan atau mengalami siksaan fisik lainnya, rakyat miskin perkotaan yang tergusur tempat tinggalnya atau sarana pencari nafkahnya, korban lumpur Lapindo yang tidak mendapat ganti rugi yang memadai, anak usia sekolah yang tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena kemiskinan orang tuanya, perusakan rumah ibadat oleh sekelompok orang, serta merosotnya daya beli rakyat akibat kebijakan neolib yang pro pemilik modal dengan mengejar pertumbuhan PDB.

Pesta HUT RI memang suatu pesta rakyat yang sejenak bisa melupakan segala derita dan realitas hidup sehari-hari yang dihadapi rakyat. Namun merdeka sepenuhnya (baik politik maupun ekonomi) masih harus diperjuangkan. Hal ini menuntut perhatian semua pihak, warga negara dan warga masyarakat.

Kemerdekaan politik telah kita peroleh dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu negara demokrasi modern yang berdasar hukum dan Pancasila yang menghargai pluralitas (Bhinneka Tunggal Ika) dan menjamin hak-hak asasi manusia. Kemerdekaan dan demokrasi politik yang telah susah payah kita capai harus kita pertahankan. Kita menghargai para pahlawan baik yang berjuang mengangkat senjata maupun melalui jalur diplomasi dan intelektual demi tercapainya kemerdekaan politik dari penjajah asing baik Barat maupun Timur. Perjuangan itu telah mengorbankan harta, benda, kekuasaan raja-raja Nusantara, jiwa dan raga sehingga kita wajib untuk menjaga dan mempertahankn NKRI yang adalah rumah bersama untuk semua golongan. Demokrasi memerlukan checks and balances sehingga kita berharap agar Pasangan SBY-Boediono yang memenangi Pilpres 2009 bisa memahami hal itu dan tidak perlu tersinggung bila dikritik. Kritik merupakan bagian dari kehidupan demokrasi yang memerlukan checks and balances tersebut.

Realitas masa lalu menjelang kemerdekaan RI tentu berbeda dengan saat ini. Kemerdekaan politik yang telah kita capai harus diikuti pula dengan kemerdekaan ekonomi. Bila di samping demokrasi politik tidak ada demokrasi ekonomi itu berarti rakyat belum merdeka sepenuhya demkian dikatakan Bung Hatta. Demokrasi ekonomi tidak sekedar kebebasan berusaha atau mencari nafkah tetapi juga adanya redistribusi aset pribadi sebagaimana disarankan teori ekonomi makro biososioekonomi. Tanpa implementasi teori ekonomi makro biososioekonomi jangan katakan telah ada demokrasi ekonomi. Memang tidak banyak yang berani secara lugas berbicara atau berdiskusi mengenai biososioekonomi karena biososioekonomi menentang pewarisan kekayaan berlimpah ruah pada keturunan pemilik kekayaan itu. Pewarisan kekayaan itu sudah menjadi tradisi. Namun demikian patut pula diingat berdirinya negara demokrasi modern seperti RI juga membatasi atau mengorbankan kekuasaan raja-raja Nusantara yang waktu itu juga menjadi tradisi. Demokrasi politik membatasi kekuasaan dengan konstitusi dan mengatur pergantian kekuasaan secara periodik.

Oleh karenanya diskusi ilmiah menentang pewarisan kekayaan berlimpah seharusnya bukan sesuatu yang tabu. Itu bagian dari demokrasi ekonomi. Kini tidak semua raja-raja Nusantara itu kaya-raya, mungkin hanya segelintir saja yang kaya-raya. Kini kekayaan ada di kantong raja-raja bisnis. Dalam perjuangan damai saya, saya tidak menyarankan hukum positif negara untuk melarang pewarisan kekayaan (Herucakra Society Jalan Ketiga Ekonomi Dunia), selain kesadaran masing-masing individu saya menawarkan suatu kontrol oleh masyrakat konsumen (sosial).

"Dari konsumen, oleh konsumen, untuk konsumen." Kekayaan berasal dari konsumen, organisasi konsumen sosial bisa berperan menuntut daur ulang (redistribusi) aset pribadi, dan hasilnya untuk konsumen sosial (semua orang) dan dieklola dengan memperhatikan prinsip-prinsip biososioekonomi dalam sektor moneter dan riil tanpa sekat-sekat primordial-sektarian dan tanpa sekat teritorial. Semua orang adalah konsumen, karena tanpa makan, orang pasti akan mati. Perjuangan konsumen sosial adalah perjuangan damai, melawan dengan tidak menggunakan kekerasan, melawan dengan tidak membeli produk atau jasa tertentu yang pemilik perusahaannya memperoleh kekayaan berlimpah dari warisan.

Perjuangan konsumen sosial seperti inilah yang tepat untuk mewujudkan kemerdekaan sepenuhnya yaitu merdeka secara ekonomi pula. Kita menghargai para pahlawan yang mengorbankan jiwa-raganya untuk Indonesia merdeka di masa lalu. Namun demikian realitas kini menuntut kita menggunakan cara damai melalui organisasi konsumen sosial. Kalau perjuangan damai itu menemui jalan buntu biar Tuhan sendiri yang akan turun tangan menjatuhkan tulah dan hukuman ke bumi.Tuhan Maha Kuasa.

Dirgahayu Republik Indonesia, damai sejahtera beserta kita semua. Merdeka!!

1 komentar:

  1. galuh hiwangga prahasta Mei 8, 2010 pukul 5:59 pm

    salam sejahtera …assalamualaikum….rahayu hayuning bawono…………………………………………………….

    salam kenal untuk semuanya…………………………………..

    kalau memang diantara saudara saudara dinasti dan atau saudara nusantara yang mengetahui seruan saya ini … agar segera menghubungi saya di 081393830007 ……………………………..banyak hal yang bisa kita wujudkan dengan hal artikel diatas….yang tidak mungkin saya tulis disini…………………………………………..

    madya puraka


    kraton kartosurohadiningrat, purwodhoho hadiningrat

    BalasHapus