Jumat, 28 Agustus 2009

Mencari Hikmah dan Menjaga Kesepakatan Damai Sunan Giri



Jalan damai tidak hanya diupayakan orang pada jaman ini tetapi oleh orang di jaman dulu. Di tengah beberapa tindak kekerasan di beberapa sudut dunia akan sangat bagus kalau kita juga mengetahui suatu jalan damai yang pernah dilakukan orang-orang jaman dulu yakni oleh Sunan Giri, seorang wali yang dihormati raja dan pangeran di jaman itu. Hal seperti ini perlu, apalagi kalau jalan damai itu masih relevan hingga saat ini.

Menurut Babad Tanah Djawi, ketika Pasukan Senopati telah tiba di Japan (Mojokerto) ketika akan menyerang Surabaya, Sunan Giri ikut berperan mencegah pertumpahan darah. Berikut ini saya kutipkan dari karya de Graaf (hlm 136): Tetapi, di Japan juga tiba utusan dari Giri yang mengumpulkan para pemimpin dan priyayi itu di kubunya. Kepada Senapati dan Pangeran Surabaya, yaitu anak didik Sunan Giri, oleh utusan itu dibacakan surat Sunan Giri yang berisi larangan berperang guna mencegah pertumpahan darah dan menyelamatkan rakyat kecil. Kemudian disampaikan sebuah teka-teki:"Pilihlah...sekarang: Isinya atau kulitnya." Pangeran Surabaya memilih isinya dan Senapati memperoleh kulitnya.

Sunan Giri menyatakan kepada utusannya yang baru kembali:"...kulit itu...adalah tanahnya, isinya...orang-orangnya. Apabila orang-orang itu tidak patuh pada pemilik tanah, maka mereka itu diusir" Senapati memang memilih yang terbaik.

Demikian kutipan saya dari karya de Graaf. Memang menjadi pertanyaan bagi kita di masa kini, apakah benar Senapati memilih yang terbaik. Ukuran yang dipakai de Graaf agak berbeda dengan orang Jawa. Tetapi inti postingan ini bukan itu. Intinya adalah dalam peristiwa itu Sunan Giri telah mencegah pertumpahan darah. Kedua, Senapoti tidak menguasai isinya.

Kini kita yang hidup di jaman ini bisa mencari hikmah dari jalan damai yang diprakarsai Sunan Giri. Istilah kulit dan isi mungkin tidak hanya berlaku bagi Jawa Timur. Pengalaman saya mengatakan bahwa, hal seperti itu berlaku juga bagi wilayah yang membentang antara Kali Progo dan Kali Opak di mana di situ Senopati adalah pendatang dan orang asing (fakta sejarah yang sering dilupakan orang). Dalam kasus Jawa Timur karena isinya telah dipilih Pangeran Surabaya maka kulitnya jatuh kepada Senopati. Fakta sejarah memang mencatat bahwa dinasti Senopati berusia panjang. Dalam kasus wilayah yang membentang antara Kali Progo dan Kali Opak Senopati memang menguasai kulitnya. Tetapi apakah Senopati memahami dan menguasai "isi" mataram?

Rasa-rasanya tidak. Dan pengalaman saya pun mengatakan demikian. Hakekat mataram telah disembunyikan Tuhan dari Senopati, sampai akhirnya saya temukan. Menurut hemat saya berkat mataram bisa berpindah ke mana penduduk mataram berpindah sebagaimana saya alami. Berkat mataram tidak terikat pada wilayah yang membentang antara Kali Progo dan Kali Opak. Arti dari kata mataram menurut hemat saya adalah:"pengetahuan yang direstui atau pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak" seperti pernah saya sampaikan dalam postingan "Wahyu Keprabon" dan berkaitan dengan teori ekonomi makro biososioekonomi. Hakekat mataram seperti itu jelas tidak terikat pada wilayah maupun simbol-simbol negara/kerajaan duniawi seperti wilayah, tentara, istana, selir, hukum positif dll.

Kalau Pangeran Surabaya memilih isinya karena dia memang ada niat dan keinginan. Sementara saya memperoleh "isi" atau hakekat mataram karena kulitnya telah jatuh ke tangan orang lain dan karena saya lahir belakangan di abad ke-20 di luar wilayah itu karena kakek-nenek dan orang tua saya telah meninggalkan wilayah istimewa itu (DIY) dan hidup dalam wilayah hukum NKRI non istimewa, sebuah negara demokrasi modern berdasar hukum dan Pancasila dengan bhinneka tunggal ika-nya.

Hikmah yang bisa kita petik adalah Tuhan bersama NKRI berperan bagaikan Sunan Giri di abad 20 yang telah membuat saya lahir tidak di wilayah yang membentang antara Kali Progo dan Opak. Hakekat mataram tidak terikat pada simbol-simbol duniawi di atas. Perjalanan spiritual saya akhirnya juga menemukan ketentuan perdamaian yang ditetapkan Tuhan bahwa saya (mataram) tidak lagi belajar perang sebagaimana yang saya baca dalam Kitab Suci:"...maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang" (Yesaya 2:4).

Di tempat di mana saya dilahirkan (Merbau Mataram) adalah suatu tempat yang dibangun oleh para veteran kemerdekaan RI yang "mengubah" alat-alat perang menjadi alat pertanian. Menjadi ksatria luhur seperti saya jelaskan dalam postingan sebelumnya:"Dharma Ksatria: Antara Satrio Piningit dan Ksatria Luhur" berarti menjadi atlet yang tidak lagi belajar perang. Bagi saya, tidak belajar perang juga berarti pantang menduduki jabatan presiden atau raja dalam pengertian teritorial dan struktural. Satu-satunya tanda duniawi yang masih boleh saya kenakan hanya gelar R(raden). Ini bukan cermin feodalitas, tetapi sekedar tanda kecil. Di samping itu perlu diketahui juga bahwa gelar R sebenarnya termasuk gelar yang sopan, sopan di hadapan Tuhan dan sopan di hadapan rohaniwan. Dibandingkan gelar Lord atau Gusti gelar raden lebih sopan karena gelar yang terkahir ini hanya dipakai ksatria tidak pernah dipakai Tuhan atau rohaniwan (pendeta) yang lebih luhur dari ksatria. NKRI sebagai negara demokrasi modern berdasarkan Pancasila dan hukum serta mengahrgai pluralitas (bhinneka tunggal ika), serta menjamin hak-hak asasi manusia adalah sesuatu yang sudah final dan merupakan kesepakatan damai dan rumah bersama bagi anak bangsa yang tinggal di Nusantara dengan keanekaragaman budaya, agama, bahasa, dan latar belakang sejarah di mana antar kelompok dahulu pernah bertikai.

Melalui postingan ini saya mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya, mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan. Sebagai manusia biasa, saya juga mungkin melakukan kekhilafan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar