Selasa, 02 November 2010

Tiga Alasan Mengapa Biososioekonomi adalah Ekonomi Jalan Ketiga

Hari Selasa tanggal 2 Nopember 2004 adalah hari dan tanggal bersejarah bagi teori ekonomi makro biososioekonomi. Untuk pertama kalinya biososioekonomi (bioekonomi) dipresentasikan dalam seminar. Seminar itu adalah seminar bulanan ke-22 yang diselanggarakan Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gadjah Mada (PUSTEP-UGM) Yogyakarta. PUSTEP sekarang berganti nama menjadi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan. Jadwal postingan hari ini bersamaan dengan hari dan tanggal bersejarah itu. Postingan hari ini saya buat khusus untuk mengenang hari dan tanggal bersejarah itu.

Dulunya ekonomi jalan ketiga atau ekonomi jalan tengah atau ekonomi Pancasila dianggap sebagai sistem ekonomi yang tidak jelas karena hanya sekedar bukan ini bukan itu. Karena bukan ini atau bukan itu maka dianggap sebagai bukan apa-apa atau tidak ada. Anggapan seperti itu kemudian digemakan oleh media massa konvensional baik cetak maupun televisi melalui narasumber-narasumber yang ditampilkannya yang rata-rata berpendidikan formal ilmu ekonomi. Tindakan media massa konvensional itu membutakan mata banyak orang mengenai keberadaan ekonomi jalan ketiga. Bahkan ketika bioekonomi (biososioekonomi) dipublikasikan pada triwulan keempat tahun 2004 pun mata dan pikiran banyak orang masih tertutup. Tidak mudahnya menyadarkan publik akan adanya ekonomi Pancasila atau ekonomi jalan ketiga ini, rekan-rekan di PUSTEP UGM sering berkomentar: gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak. Saya sendiri lebih senang memlesetkan menjadi: Borobudur di pelupuk mata tidak tampak, gubuk reyot di seberang lautan tampak. Setahu saya hanya harian Suara Merdeka Semarang yang memberitakan seminar bioekonomi di PUSTEP itu.

Inilah tiga argumen mengapa teori ekonomi makro biososioekonomi dikatakan sebagai ekonomi jalan ketiga:


(1) Pandangannya Mengenai Laba

Seperti pernah saya tulis di blog ini khususnya pada postingan tanggal 1 Juni 2010 saat peringatan hari lahirnya Pancasila bahwa biososioekonomi mempunyai pandangan yang jelas berbeda dengan ekonomi jalan pertama (kapitalis) dan ekonomi jalan kedua (komunis-sosialis). Dalam pandangan kapitalis laba adalah pengembalian yang sah atas modal, titik. Pandangan komunis mengatakan laba adalah hasil eksploitasi buruh yang diambil alih oleh kaum kapitalis. Sementara pandangan biososioekonomi mengatakan bahwa laba berasal dari konsumen dan harus dikembalikan kepada konsumen (semua orang). Perbedaan ini nyata benar. Jadi ekonomi jalan tengah atau jalan ketiga itu nyata.


(2) Biososioekonomi Tidak Menuntut Rekening T Publik Bernilai Plus

Inilah argumen utama bahwa biososioekonomi adalah ekonomi jalan ketiga. Rekening T atau neraca herucakra society (global civil society yang terbuka dan adil) dan rekening T pemerintah setiap negara tidak dituntut menghasilkan nilai plus. Sudah cukup bila aset publik sama dengan liabilitasnya atau dengan kata lain nilainya nol. Angka nol adalah angka netral yang merupakan jalan tengah. Dalam kondisi seperti itu jumlah aset publik sama dengan jumlah aset individu_sebagai catatan menurut biosoioekonomi semua aset individu adalah liabilitas bagi publik. Ini jelas berbeda dengan kapitalisme yang membiarkan jumlah aset individu jauh melampaui jumlah aset publik sampai berlipat ganda, dan jelas berbeda dengan komunisme yang menuntut penghapusan hak milik individu. Dalam kondisi di mana jumlah aset publik sama dengan jumlah liabilitas publik itu, sistem ekonomi sudah mampu membayar kewajibannya yaitu: laba, bunga, gaji pegawai, dan jaminan sosial (food stamps/ketahanan pangan, pendidikan, kesehatan, tunjangan pensiunan atau orang lanjut usia). Meskipun nilai rekening T publik adalah nol, secara mikro tetap ada dinamika sirkulasi kepemilikan.


(3)Tidak menuntut pertumbuhan PDB tetapi juga tidak melarang individu meningkatkan aset pribadinya.
Perekonomian yang menuntut pertumbuhan PDB atau pertumbuhan agregat adalah perekonomian yang kapitalistik yang melawan alam. Efek buruk pertumbuhan PDB sama dengan pertumbuhan populasi penduduk. Dalam paradigma biososioekonomi, tanpa pertumbuhan PDB pun aset setiap orang (rumah tangga) bisa meningkat. Ukuran yang dipakai teori ekonomi makro biososioekonomi bukan pertumbuhan PDB tetapi PIT (persentase individu yang tumbuh). Biososioekonomi menginginkan angka PIT-nya 100% atau mendekati itu. Hal ini memang mirip dengan perikanan. Kalau kita menebarkan benih lele misalnya berapa persen yang berhasil tumbuh dan tidak mati. Dengan PIT ini biososioekonomi jelas bukan komunis tetapi juga bukan kapitalis karena tidak menuntut pertumbuhan PDB.


Semoga postingan ini bisa memberi penjelasan.


3 komentar:

  1. Begini bung, mengenai laba menurut saya adalah:

    siapa yang menjual barang dengan harga termurah tanpa membahayakan laba untuk kebutuhan hidup primer maupun sekunder sang distributor/sang pedagang/sang produsen adalah pemenang dan Singa Pasar.

    BalasHapus
  2. Apa yang Anda katakan tidak semuanya salah. Harus dilihat konteksnya. Secara mikro tidak terlalu salah tetapi secara makro menjadi salah. Dan seperti itulah neolib menggunakan paradigma mikro untuk diterapkan pada tataran makro (publik). Padahal apa yang oleh mikro disebut aset pada tataran mikro disebut liabilitas. Gerakan ekonomi jalan tengah (jalan ketiga)yang menuntut pengembalian kekayaan (akmulasi laba) pada konsumen (semua orang) bukan suatu gerakan yang diikuti dengan larangan mencari laba. Ekonomi jalan ketiga tidak melarang bisnis private. Dan asal Anda tahu yang diwajibkan mengembalikan laba adalah individu bukan institusi bisnis karena individu juga bersifat homo socius tidak hanya homo economicus. Perusahaan atau institusi bisnis tidak diwajibkan mengembalikan laba. Jelas? Bagi orang yang cerdas dan jujur serta memahami matematika dan statistika dengan baik seharusnya mengerti penjelasan saya.

    BalasHapus
  3. gimana cara memberantas korupsi?
    gimana cara mengontrol freeport?
    apa freeport bisa transparan?

    BalasHapus