Jumat, 24 April 2009

Belajar Ilmu Ratu Adil

SAAT kudeta terjadi, raja dan putra mahkota terbunuh, seorang Biyung Emban--baby sitter--melarikan bayi putra bungsu raja ke padepokan di lereng gunung. Kepada Begawan pemilik padepokan Biyung mengaku suaminya tewas dalam kerusuhan di ibu kota dan minta izin untuk tinggal, mengabdi pada padepokan!

"Asal mau membuat pondok dan cari makan sendiri, silakan!" sambut Begawan.

Mereka pun tinggal di padepokan itu. Berbeda dengan Aragorn yang meninggalkan istana dengan cincin tanda ia anak raja dalam "Lord of the Rings", putra raja yang diaku sebagai anak Biyung Emban itu tidak membawa apa pun tanda ia pewaris tahta! Maka itu, ia pun diperlakukan sebagai cantrik--murid--biasa oleh Begawan.

Tapi itu hanya sampai Begawan mendapat wangsit untuk mematangkan cantrik yang satu itu dengan ilmu memerintah negara secara adil, bersih, dan bijaksana! Begawan pun mendidiknya dengan keras, untuk menjadikannya layak sebagai seorang satrio piningit; pemimpin yang mumpuni dengan perilaku bisa diteladani.

....

Maka itu, rakyat merindukan seorang satrio piningit yang menguasai ilmu Ratu Adil.

Kisah di atas adalah kutipan dari tulisan H. Bambang Eka Wijaya (HBEW) di Lampung Post on line, tanggal 21 Maret 2004. Tulisan di atas merupakan salah satu dari berbagai tulisan pengamat mengenai satrio piningit. Karya HBEW di atas termasuk karya yang lumayan bagus.

Saya perlu menggarisbawahi beberapa hal dalam tulisan HBEW. Pertama, adanya kekerasan dan ketidakadilan yang menyebabkan seseorang yang berhak atas tahta harus diungsikan dan disembunyikan jauh dari pusat kerajaan. Kedua, mengenai ilmu Ratu Adil. Ketiga, cara mengidentifikasi satrio piningit. Dan keempat tidak disamarataknnya antara satrio piningit dan Ratu Adil.

Sebagai pengamat, tentu HBEW menulis dari sudut pandang pengamat. Sementara saya menulis satrio piningit sebagai pengalaman sejati. Ketidakadilan dan kekerasan di masa lalu itu nyata, tidak dibuat-buat. Bukan pura-pura ditindas dan menampilkan wajah memelas supaya terpilih dalam pilpres. Dalam ilustrasi yang ditulis HBEW di atas berupa kudeta. Dalam pengalaman kami berupa perampasan dan penjajahan atas bumi Mataram (dalam hal ini termasuk Perdikan Mangir) di abad ke-16. Sama-sama ketidakadilan apakah kudeta atau penjajahan.

Yang sangat menarik dari karya HBEW adalah mengenai ilmu Ratu Adil yang hampir tidak pernah disebut oleh pengamat-pengamat lain. Memang beberapa pengamat ada yang menyebut-nyebut konsep kepemimpinan. Tetapi pengalaman saya mengatakan bahwa menggunakan istilah ilmu Ratu Adil lebih relevan, karena hal itu tidak hanya menyangkut kepemimpinan tetapi juga keadilan. Ilustrasi HBEW mengenai ilmu Ratu Adil sudah lumayan. Menurut pengalaman saya ilmu Ratu Adil itu bukan sebuah ilmu berdisiplin tunggal tetapi multi disiplin atau bahkan bersifat holistic (menyeluruh) karena juga menyangkut hal yang spiritual dan mencakup juga ngelmu (bukan dalam perngertian klenik) tetapi sesuatu yang bisa terwujud hanya jika diikuti dengan tindakan atau laku. Berlarut-larutnya krisis global dan dan ketidak adilan serta kemiskinan selain karena suatu interest kelompok juga karena solusi yang ditawarkan terkotak-kotak dalam disiplin ilmu yang kaku dan sangat tidak holistic karena tidak sinkron dengan rencana Tuhan. Orang yang memahami ilmu Ratu Adil tindakannya bisa sinkron dengan rencana atau kehendak Tuhan tanpa harus mengganti Pancasila dengan hukum agama (manapun).

Hal ketiga yang saya garis bawahi dari tulisan HBEW adalah cara mengidentifikasi satrio piningit. Dalam tulisan HBEW bayi putra bungsu raja itu tidak membawa tanda apapun sebagai orang yang berhak atas tahta kerajaan. Berbeda dengan kisah Airlangga beserta isterinya (puteri Dharmawangsa Tguh) _yang juga lolos dari dari Pralaya_yang sangat mudah dikenali oleh rakyat Medang (Mataram) karena waktu kejadian mereka sudah dewasa. Sebagai sebuah opini di alam kebebasan berpendapat ilustrasi HBEW tentu boleh-boleh saja bahwa satrio piningit itu adalah seseorang yang terpilih dalam pilpres. Ini memang berbeda dengan pengalaman saya karena ketika sesorang ketiban pulung (wahyu keprabon) maka harus menjalani banyak pantangan, antara lain tidak menduduki jabatan struktural publik seperti jabatan presiden sebagaimana pernah saya tulis dalam postingan terdahulu ("Wahyu Keprabon"). Tanpa tanda-tanda fisik sepreti cincin atau keris, seseorang yang menerima wahyu keprabon bisa dibedakan dengan orang lain tanpa harus terpilih menjadi presiden. Bagi sebagian orang hal ini kelihatannya baru padahal pernah ditulis oleh D Soesestro dan Zein Al Arief dalam bukunya Satrio Piningit terbitan Penerbit Media Pressindo (1999): " Dengan kata lain, komentar Gus Nukit yang didasarkan pada kekuatan penglihatan batinnya ini menyiratkan bahwa apa yang dimaksud dengan Satrio Piningit bukanlah tokoh yang secara otomatis menduduki jabatan fungsional (maksudnya struktural-pen) semisal Presiden" (hlm 67).

Tulisan HBEW tidak menyamaratakan antara satrio piningit dengan Ratu Adil, ini sangat menarik. Banyak tulisan pengamat yang menyamaratakan antara satrio piningit dengan Ratu Adil. Saya perlu membuat penjelasan khusus dalam blog saya ini nantinya bahwa keduanya memang berbeda meskipun memiliki kemiripan. Nanti akan saya jelaskan dalam blog ini, meski sudah saya jelasakan dalam hard copy tulisan saya "Wahyu untuk Rakyat" yang pernah saya sebarkan pada beberapa pihak.

Menurut pengalaman saya keadilan bukan hanya sebuah ilmu yang bisa dipelajari oleh siapa saja tetapi juga suatu rencana Tuhan yang mungkin hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memahami.









2 komentar:

  1. satria piningit atau satria pinandhita itu adalah istri saya. dia wanita.
    sedangkan ratu adilnya adalah saya sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. jadi, satria pinandhita sinisihan wahyu, artinya wanita yang memerintah berdasarkan wahyu suaminya yang jesus asli.

      istri saya mengatur urusan negara. saya mengatur urusan agama.

      Hapus