Selasa, 07 April 2009

Dampak Biosoioekonomi pada Sektor Moneter-Perbankan

Beberapa hari lalu saya posting tulisan biososioekonomi pada tahun 2006 yang berjudul "Dampak Biosioekonomi dalam Sektor Modal/Keuangan Global" postingan itu merupakan kutipan dari karya tulis saya 2006 yang saya ajukan dalam lomba "Karya Tulis 2025" yang diselenggarakan Bank Indonesia. Dalam postingan kali ini saya kutipkan tulisan saya dari karya tulis yang sama khususnya dampak biososioekonomi (sebagai hukum alam) pada sektor moneter-perbankan.


Bidang moneter dan perbankan termasuk bidang yang menderita akibat tidak seimbangnya neraca HCS (mengenai neraca herucakra society/HCS bisa dilihat dalam makalah saya yang berjudul :"Bioekonomi, Ekonomi Masyarakat, dan Kependudukan"di www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id). Depresiasi permanen mata uang atau currency debasement merupakan fakta yang dihadapi dan dirasakan banyak orang. Mereka yang pendapatannya pas-pasan atau pensiunan dengan pendapatan pas-pasan termasuk kelompok yang menderita akibat depresiasi ini.


Banyak orang beranggapan bahwa depresiasi permanen mata uang ini timbul sebagai akibat tidak didukungnya uang fiat dengan jaminan emas. Uang fiat memang tidak didukung emas di bank sentral. menurut Tony A Prasetiantono hal ini karena produksi emas tidak akan mencukupi untuk kebutuhan itu. ( lihat tulisan Tony A Prasetiantono yang berjudul;" Uang sebagai Komoditas" Kompas 28 Juni 2000. Dalam tulisan itu dikatakan "Namun demikian, sistem standar emas semacam itu juga tidak bisa dpertahankan. Soalnya jumlah cadangan emas yang dapat disimpan di bank sentral tidak sebanding dengan kebutuhan transaksi dalam perekonomian yang kian cepat berakselerasi"


Ada pula usulan agar digunakan standar emas. Usulan ini pernah disampaikan kepada Presiden Ronald Reagen pada tahun 1981. Ia membentuk komisi, setelah melakukan pengkajian, komisi itu menolak gerakan tersebut. "Bagian penting alasan di balik penolakan itu adalah bahwa standar emas menempatkan kekuatan ekonomi yang besar di tangan negara yang memproduksi emas" (Case & Fair. Prinsip-prinsip Ekonomi Makro, Prenhalindo, Jakarta, 2002, terj dari Principles of Economics, Prentice Hall, New Jersey, 2000).



Bagi mereka yang terbiasa dengan rekening T atau neraca aset-liabilitas, akan segera menangkap bahwa apabila neraca HCS menghasilkan nilai negatif yang tinggi maka hal itu akan berpengaruh besar pada depresiasi (permanen) mata uang. Pencetakan uang oleh bank sentral atau penerbitan obligasi pemerintah akan membuat uang fiat tidak bisa bertahan nilainya. Secara teoritis kalau pertumbuhan populasi penduduk nol persen, pertumbuhan PDB juga nol persen, kekayaan individu terdaur ulang sesuai harapan biososioekonomi maka nilai uang bisa dipertahankan tidak terdepresiasi atau kalau terdepresiasi sangat kecil sekali. Dalam kondisi seperti itu bank sentral tidak perlu mencetak uang lagi, tidak perlu meminta pemerintah menerbitkan obligasi. Metode daur ulang sebenarnya adalah suatu metode yang selaras dengan hukum alam. Dengan metode ini maka perakaian sumber daya alam termasuk kekayaan juga lebih efisien. Perimbangan antara jumlah emas dan jumlah penduduk (bila pertumbuhan penduduk nol persen) akan selalu tetap. Dengan daur ulang kekayaan emas, maka emas seolah-olah tidak pernah habis. Hal yang sama berlaku untuk properti dan uang fiat. Perhatikan pula air kolam renang, apabila setiap minggu kita harus menguras sekaligus membuang arinya kemudian menyedot dari tanah air baru, betapa besar pemborosannya. Memang diperlukan revolusi berpikir (bdk Mubyarto, 2003, "Tanpa Revolusi Cara Berpikir Bangsa Indonesia akanMasuk Jurang" Kompas 14 Oktober 2003).


Tidak adanya daur ulang pada plastik akan menyebabkan penumpukan sampah plastik yang semakin menggunung karena plastik tidak bisa membusuk padahal harus diproduksi terus-meneerus untuk kebutuhan manusia. Metode daur ulang adalah metode yang universal. Bebas dari prasangka ideologi, agama, atau budaya tertentu. Tidak adanya daur ulang akan menyebabkan banyak permasalahan. Sampah plastik yang menggunung pada kasus plastik atau liabilitas yang tinggi jauh dari asetnya pada neraca HCS dan pemerintah.


Pengetatan moneter secara konvensional dengan iming-iming bunga SBI atau obligasi pemerintah sebenarnya suatu operasi moneter yang mahal bagi pemerintah dan masyarakat. Sekali lagi perlu diingat bahwa ekonomi itu berkaitan dengan kepentingan. Pemborosan bagi pihak yang satu bisa berarti efisiensi bagi pihak lain, aset bagi pihak yang satu bisa berarti liabilitas bagi pihak lain.


Apabila di Indonesia ada 10.000 orang yang memiliki deposito besar dari warisan, maka apabila mereka menghibahkan Rp1 milyar saja kepada bank sentral maka itu berarti terjadi pengetatan moneter permanen sebesar Rp 10 triliun. Dan apabila mereka meminjamkan Rp 5 milyar tanpa bunga kepada bank sentral selama dua tahun akan terjadi pengetatan temporer sebesar Rp 50 triliun (Hani Putranto:"Mengentaskan Kemiskinan dengan Paradigma Baru Demokrasi Ekonomi"karya tulis 2005). Tentu saja dana yang diserap itu masuk ke brankas bank sentral dan tidak dipakai untuk meningkatkan gaji pegawai bank sentral karena hal ini akan menyebabkan dana masuk ke pasar, masuk ke dalam sistem ekonomi. Ini adalah metode kontraksi moneter yang murah dan efektif. Murah di sini dipandang dari sudut kepentingan pemerintah, masyarakat, dan bank sentral yang dalam hal ini berada pada kepentingan yang sama. Bukan dipandang dari sudut pandang individu atau dinasti (klan). Memang dalam metode ini sejumlah fee perlu dibayarkan kepada bank komersial asal deposiito karena bank adalah institusi bisnis yang tetap harus mendapatkan pemasukan atau laba.


Membayar bunga atau laba kepada pemilik kekayaan besar dari warisan adalah suatu pemborosan. Pemborosan itulah yang tidak disadari oleh teori ekonomi konvensional karena pihak yang hendak dibela kepentingannya oleh teori itu tidak jelas. Kalau suku bunga deposito menjadi minus atau selisihnya dengan inflasi sangat kecil, secara teoritis itu merupakan pengaruh dari pemborosan itu, yaitu adanya dana warisan berjumlah besar pada dana pihak ketiga dalam perbankan.


Bagi bank, deposito adalah liabilitas. Bagi perekonomian makro, menurut biososioekonomi, deposito dan semua hak milik individu adalah liabilitas. Kalau kita ingin masalah moneter dan perbankan teratasi maka aset masyarakat (bukan aset orang per orang-pen) harus ditingkatkan sehingga mendekati liabilitasnya. Neraca HCS memang tidak perlu menghasilkan nilai positif karena masyarkat bukan institusi bisnis namun nilai negatifnya yang luar biasa besar harus segera diatasi.


Demikian pandangan biososioekonomi. Biososioekonomi sebagai ekonomi publik kerakyatan tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi usaha kecil (ekonomi rakyat orang per orang) tetapi juga pada sektor moneter.


1 komentar:

  1. Saran... kalau bisa dibikin bagan mas... supaya bisa mudah ditrace kalau terjadi kesalahan konsep. Sistematik juga diperlukan agar tidak meloncat-loncat alur pemikirannya.
    Suatu konsep akan lebih berguna jika mudah diterapkan secara sistematis.... karena masalah perekonomian adalah pekerjaan besar... bukan hanya konsumsi para pemikir ekonomi saja... tq

    BalasHapus